Pembahasan Analisis Inferensial Kesesakan dengan Tingkat Stres

konsisten. Stokols dkk dalam Sears, 2007: 238 menyatakan sebagian besar penelitian menunjukkan pria lebih peka terhadap kepadatan dibandingkan wanita dan pria cenderung memberikan respon yang lebih negatif.

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Kesesakan dengan Tingkat Stres

Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, hipotesis penelitian yang berbunyi “Ada korelasi positif antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang ” dinyatakan diterima dengan koefisien korelasi sebesar 0,688. Angka tersebut mengandung arti bahwa kesesakan memberikan sumbangan efektif sebesar 68,80 terhadap tingkat stres. Kondisi ini mengindikasikan tingkat konsistensi tingkat stres dapat diprediksi sebesar 68,8 oleh kesesakan, sedangkan 31,20 ditentukan oleh faktor-faktor lain yang diungkapkan dalam penelitian ini, seperti variabel dalam kondisi individu, karakteristik kepribadian, variabel sosial – kognitif, strategi coping, hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, dan integrasi dalam jaringan sosial Nilai signifikansi pada penelitian ini adalah positif, yang berarti bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kesesakan dengan tingkat stres. Dalam hal ini, semakin tinggi kesesakan maka semakin tinggi pula tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang. Berdasarkan hasil penelitian, salah satu hal yang dapat memunculkan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang adalah kesesakan. Kesesakan dipandang sebagai pemicu timbulnya tingkat stres psikologis pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang. Kesesakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap orang – orang yang tinggal di lingkungan yang padat penduduk seperti di rumah susun. Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan pemicu timbulnya stres. Hasil beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tripathi dalam Hermawan, 2014: 3 yang meneliti tentang pengaruh high density pada crowding stress dan interpersonal attraction. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepadatan yang tinggi high density berasosiasi dengan semakin besarnya crowding stress dan semakin kecil interpersonal attraction daripada dalam situasi dengan kepadatan yang rendah low-density. Penelitian yang dilakukan Karlin dkk dalam Sears 2007: 234 membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar, semuanya dalam kamar yang dirancang untuk dua orang. Mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar melaporkan adanya stres dan kekecewaan yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar. D’Atri dalam Sears, 2007: 234 mengungkapkan penelitian yang dilakukan terhadap penghuni penjara juga memberikan bukti tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Tahanan yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan tahanan yang tinggal di dalam sel bertipe asrama. Hasil yang serupa diungkapkan oleh Rini 2006: 1 dalam penelitiannya tentang kesesakan dan stres yang meneliti mengenai hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesesakan dengan stres pada penduduk musiman. Penelitian serupa dilakukan oleh Haryanto 1996: 1 yang menghasilkan temuan yang sama yaitu ada hubungan positif antara kepadatan dan kesesakan dengan stres pada remaja di pemukiman padat. Kepadatan dan kesesakan memberikan sumbangan secara bersama – sama terhadap stres sebesar 17. Wrightman dan Deaux dalam Dewi 2008: 10 menyatakan bahwa stres dan segala bentuk macam gangguan psikis lainnya dapat disebabkan oleh suasana yang padat sesak, sehingga kondisi psikologis yang negatif mudah timbul.Tinggal dalam lingkungan sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dan berpenghuni padat seperti di rumah susun dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga dapat membuat seseorang mengalami stres. Hal ini dikarenakan mereka yang tinggal di kawasan tersebut memiliki penilaian yang negatif terhadap lingkungan tempat mereka tinggal padat dan sesak Hermawan, 2014: 2. Rumah susun merupakan tempat hunian yang jumlah penghuninya relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit. Berdasarkan studi pendahuluan, diketahui bahwa terdapat beberapa rumah susun Pekunden Semarang yang terlalu sesak. Selain itu kondisi lingkungan, ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang. Akibatnya terjadinya penurrunan kualitas secara terus menerus dan pada akhirnya membuat para penghuni rumah susun Pekunden Semarang menjadi tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut mempengaruhi keadaan psikis para penghuni rumah susun. Kepadatan tinggi merupakan stresor lingkungan yang menyebabkan stres. Iskandar dalam Hermawan, 2014: 3 mengatakan bahwa seseorang yang menilai kepadatan sebagai hal negatif, akan dirasakan sebagai hal yang tidak nyaman dan dengan munculnya perasaan negatif akibat kepadatan yang tidak membuat rasa nyaman, akan meningkatkan denyut jantung. Meningkatnya denyut jantung merupakan salah satu respon terhadap stres stress responses yang dapat menjadi indikator seseorang mengalami stres. Berdasarkan hasil penelitian, penghuni rumah susun Pekunden Semarang mengindikasikan dirinya mengalami stres yang diakibatkan oleh kesesakan. Mereka menjadi mudah marah, jengkel atau kesal ketika banyak orang disekitarnya, mudah cemas, mudah tersinggung, sering gugup bahkan mudah tegang dan takut. Selain itu, penghuni disana sering mengalami masalah tidur yang merupakan gejala fisik dari stres. Tidak jarang ada pula yang menarik diri dari pergaulan dan mudah bertengkar dengan tetangga. Kondisi lingkungan di rumah susun Pekunden Semarang cukup padat dan sesak dan dinilai sebagai stresor atau stimulus lingkungan yang dapat menyebabkan stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang Tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang dalam kategori sedang atau cukup. Adapun gejala stres yang paling nampak mengindikasikan tingkatan stres dalam kategori sedang adalah gejala fisik atau badan dengan indikator seperti adanya gangguan tidur, sakit kepala, selera makan berubah – ubah, mual dan muntah, adanya tekanan darah tinggi bahkan jantung berdebar – debar. Munculnya gejala stres terjadi bila individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya sehingga individu akan merasa tertekan dan terganggu secara fisik dan psikis. Hal ini dijelaskan Baum dalam Dewi, 2008: 11 mengatakan bahwa peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Tinggal dalam lingkungan sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dan berpenghuni padat dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga dapat membuat seseorang mengalami stres. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa ada korelasi positif antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.

4.6 Keterbatasan Penelitian