HUBUNGAN KESESAKAN DENGAN TINGKAT STRES PADA PENGHUNI RUMAH SUSUN PEKUNDEN SEMARANG

(1)

i

HUBUNGAN KESESAKAN DENGAN TINGKAT STRES

PADA PENGHUNI RUMAH SUSUN PEKUNDEN

SEMARANG

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

oleh Astriana Erlinda

1511411098

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto :

Give your stress wings and let it fly away. (Terry Guillemets)

Peruntukan :

Skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak Kusno, S.T dan Ibu Sri Retnowati tercinta, Mbak Weka Anindita dan teman – teman yang selalu menyemangati dan mendukung sampai akhir.


(5)

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Skripsi yang berjudul “Kesesakan Dengan Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah

Susun Pekunden Semarang” ini dengan lancar.

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi jenjang Strata 1 guna meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Atas selesainya skripsi ini penyusun bermaksud mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Fakhruddin, M.Pd., Dekan Fakultas Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan kemudahan administrasi dan perijinan penelitian.

2. Drs. Edy Purwanto, M.Si., Ketua jurusan Psikologi yang telah menyediakan sarana pembelajaran, memberikan kemudahan administrasi dan perijinan penelitian.

3. Dr. Sri Maryati Deliana M.Si., Dosen Wali, atas motivasi, dorongan dalam menyusun skripsi.

4. Drs. Sugeng Hariyadi S. Psi. M.S., Dosen Pembimbing atas arahan, saran, koreksi dalam skripsi dan memperlancar bimbingan dalam penyusunan skirpsi. 5. Luthfi Fathan Dahriyanto S.Psi, M.A., Dosen Penguji I atas arahan, saran dan

koreksi dalam skripsi ini.

6. Ibu Rahmawati Prihastuty S.Psi., M.Si., Dosen Penguji II atas arahan, saran dan koreksi dalam skripsi ini.


(6)

vi

7. Bapak dan Ibu dosen jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang yang telah memberi bekal ilmu yang bermanfaat dan saran – saran yang berarti. 8. Kedua orang tua penulis Bapak Kusno dan Ibu Sri Retnowati, yang telah

membimbing, memberi semangat dan membesarkanku dengan sabar.

9. Kakak penulis tercinta Mbak Weka Anindita dan Mas Dwi Ady Sukarya, yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini, 10.Teman-teman tercinta Dwi Ningtyas Tutik, Andinia Rizky Halim, Asnawati dan Lalu Muhrizin yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 11.Teman tersayang, Wakhidati Maimunah yang telah menjadi teman bimbingan

selama proses skripsi ini dikerjakan.

12.Adik-adik angkatan dan teman-teman jurusan psikologi angkatan 2011, atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.

13.Seluruh penghuni rumah susun Pekunden Semarang yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

14.Semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini

Semoga bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas tersebut mendapat imbalan dari Allah SWT. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca pada umumnya.


(7)

vii

ABSTRAK

Erlinda, Astriana. 2015. Hubungan Kesesakan Dengan Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Drs. Sugeng Hariyadi S. Psi. M.S.

Kata Kunci: Tingkat Stres, Kesesakan.

Rumah adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga dan tempat bersosialisasi yang nyaman dan aman. Namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi rumah susun. Rumah susun merupakan tempat tinggal dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit. Kondisi lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang. Penurunan kualitas secara terus menerus membuat para penghuni rusun merasa tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut mempengaruhi keadaan psikis seperti memicu timbulnya stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang. Stres dan segala bentuk macam gangguan psikis lainnya dapat disebabkan oleh kesesakan sehingga kondisi psikologi yang negati mudah muncul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Populasi penelitian ini adalah penghuni rumah susun Pekunden Semarang yang berjumlah 159 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampling jenuh dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. Data penelitian diambil dengan menggunakan dua skala yaitu skala tingkat stres yang terdiri dari 28 item dan skala kesesakan yang terdiri dari 20 item. Skala tingkat stres memiliki koefisien validitas sebesar 0,271 sampai dengan 0,597 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,865. Skala kesesakan memiliki koefisien validitas sebesar 0,275 sampai dengan 0,670 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,862. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah analisis korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang (nilai r = 0,688 dengan p < 0,000).

Saran bagi para penghuni rumah susun Pekunden Semarang diharapkan dapat mencoba menerima segala kondisi yang ada dan lebih meningkatkan interaksi sosial antar penghuni sehingga terbentuk rasa nyaman selama tinggal di rumah susun, dan agar dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga kesesakan yang dirasakan dapat ditekan serendah mungkin.


(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK... ... vii

DAFTAR ISI... ... viii

DAFTAR TABEL... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 16

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 16

1.4.2 Manfaat Praktis ... 16

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Stres ... 17

2.1.1 Pengertian Tingkat Stres... ... 17


(9)

ix

2.1.3 Faktor Penyebab Stres ... 23

2.1.4 Sumber – Sumber Stres ... 25

2.2 Kesesakan ... 28

2.2.1 Pengertian Kesesakan... 28

2.2.2 Aspek – Aspek Kesesakan... ... 30

2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan ... 32

2.2.4 Dampak – Dampak Kesesakan ... 35

2.3 Rumah Susun ... 36

2.3.1 Pengertian Rumah Susun ... 36

2.3.2 Tujuan Pembangunan Rumah Susun ... 37

2.4 Hubungan Kesesakan Dengan Tingkat Stres ... 39

2.5 Kerangka Berpikir ... 41

2.6 Hipotesis Penelitian ... 43

3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ... 44

3.1.1 Jenis Penelitian ... 44

3.1.2 Desain Penelitian ... 44

3.2 Variabel Penelitian ... 44

3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 44

3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 45

3.2.3 Hubungan Antar Variabel ... 46

3.3 Populasi dan Sampel ... 46


(10)

x

3.3.2 Sampel ... 47

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 48

3.4.1 Metode Pengumpulan Data Tingkat Stres... 50

3.4.2 Metode Pengumpulan Data Kesesakan ... 52

3.5 Uji Coba Instrumen ... 53

3.5.1 Validitas ... 54

3.5.2 Reliabilitas ... 58

3.6 Metode Analisis Data ... 59

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Penelitian ... 61

4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 61

4.1.2 Proses Perijinan ... 63

4.1.3 Penentuan Subjek Penelitian ... 63

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 64

4.2.1 Pengumpulan Data ... 64

4.2.2 Pelaksanaan Skoring ... 65

4.3 Hasil Penelitian ... 66

4.3.1 Analisis Deskriptif ... 66

4.3.2 Gambaran Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 66

4.3.3 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 77

4.4 Hasil Uji Asumsi ... 86

4.4.1 Uji Normalitas ... 86


(11)

xi

4.4.3 Uji Hipotesis ... 88 4.5 Pembahasan ... 89 4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Kesesakan Dengan Tingkat Stres

Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... ....90 4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Kesesakan Dengan Tingkat Stres

Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 101 4.6 Keterbatasan Penelitian ... 105 5. PENUTUP

5.1 Simpulan ... 107 5.2 Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA ... 109


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Populasi Penelitian ... 47

3.2 Blue print skala Tingkat Stres ... 50

3.3 Blue print skala Kesesakan ... 52

3.4 Hasil Uji Coba Skala Tingkat Stres ... 55

3.5 Hasil Uji Coba Skala Kesesakan ... 57

3.6 Hasil Perhitungan Reliabilitas Skala ... 59

3.7 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik ... 60

4.1 Kriteria Tingkat Stres ... 68

4.2 Gambaran Umum Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 68

4.3 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Emosional ... 70

4.4 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Kognitif ... 72

4.5 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Fisik Atau Badan ... 74

4.6 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Sosial ... 75

4.7 Ringkasan Deskriptif Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 76

4.8 Kriteria Kesesakan ... 78

4.9 Gambaran Umum Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 79

4.10 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Situasional ... 81


(13)

xiii

4.11 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang

Berdasarkan Aspek Behavioral ... 83

4.12 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Emosinal ... 84

4.13 Ringkasan Deskriptif Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 85

4.14 Uji Normalitas ... 86

4.15 Uji Linearitas ... 87


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berpikir ... 42 3.1 Hubungan Antar Variabel ... 46 4.1 Gambaran Umum Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun

Pekunden Semarang... ...69 4.2 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden

Semarang Berdasarkan Gejala Emosional ... 71 4.3 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden

Semarang Berdasarkan Gejala Kognitif ... 72 4.4 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden

Semarang Berdasarkan Gejala Fisik atau Badan ... 74 4.5 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden

Semarang Berdasarkan Gejala Sosial ... 76 4.6 Ringkasan Deskriptif Tingkat Stres ... 77 4.7 Gambaran Umum Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden

Semaran. ... 79 4.8 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang

Berdasarkan Aspek Situasional ... 81 4.9 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang

Berdasarkan Aspek Behavioral ... 83 4.10 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang

Berdasarkan Aspek Emosional ... 84 4.11 Ringkasan Deskriptif Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skala Penelitian ... 112

2. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 121

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 134


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk yang padat. Padatnya penduduk Indonesia disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan penduduk dari tahun ke tahun, yang nampak pada kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung bahkan Semarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah tahun 2013, kota Semarang menduduki peringkat ketiga dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Brebes dan Cilacap, yaitu sebanyak 1.644.800 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 4.402 per km2.

Secara administratif, kota Semarang terdiri dari wilayah dataran rendah (kota bawah) dan dataran tinggi (kota atas) yang terbagi atas 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Semarang tumbuh menjadi kota besar di kawasan provinsi Jawa Tengah sebagai tempat tujuan urbanisasi masyarakat desa, mengingat semakin berkembangnya industri besar maupun kecil di kota Semarang. Inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk kawasan pusat kota Semarang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan pinggiran kota. Individu sebagai pekerja akan lebih memiih untuk tinggal di pusat kota dimana letaknya dekat dengan lokasi kerja mereka.

Kawasan pusat kota semakin ramai dengan munculnya berbagai perumahan baru, fasilitas pendidikan dan pusat perbelanjaan yang tidak hanya


(17)

berpusat pada kawasan simpang lima saja seperti Carefour, Mall Banyumanik, Ada Swalayan, Perumahan Banyumanik, Perumahan Pucang Gading, dan fasilitas pendidikan baik negeri maupun swasta, seperti Undip, Polines, Unika, dan lain – lain. Pusat pertumbuhan di kawasan tengah kota Semarang sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk muncul menjadi kota kecil baru, seperti tumbuhnya daerah Banyumanik sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk Kota Semarang bagian atas yang menjadikan daerah ini semakin padat. Cepatnya pertumbuhan di daerah ini dikarenakan kondisi lahan di Semarang bawah sering terkena bencana banjir. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir yang disebabkan oleh luapan air laut (rob). Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan kawasan kota pinggiran Semarang tidaklah terlalu signifikan jika dibandingkan dengan wilayah lain di kota Semarang.

Pertumbuhan penduduk yang cepat dalam wilayah kota Semarang dengan sendirinya akan memunculkan berbagai macam permasalahan. Pesatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan jumlah penduduk semakin padat dan tidak sebanding dengan luas wilayah yang akan digunakan sebagai lahan tempat tinggal. Hal ini akan memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah masalah tempat tinggal.

Perumahan atau pemukiman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sumardi (dalam Prabowo, 1999: 8) menyatakan bahwa kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan pokok manusia disamping makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi dan partisipasi masyarakat. Permasalahan perumahan bukan hanya masalah jumlah saja, tetapi merupakan


(18)

masalah yang cukup kompleks. Batubara (dalam Prabowo, 1998: 9) menyatakan bahwa perumahan merupakan bagian integral dari masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan bangsa, serta pemukiman nasional dalam arti yang luas.

Kualitas hunian yang memadai sebagai tempat tinggal layak huni untuk pembinaan keluarga sesuai dengan multiaspek rumah, menjadi sangat sulit dimiliki bagi individu di perkotaan saat ini. Akibatnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memperoleh rumah yang terjangkau dan layak huni (Jo Santoso dalam Prabowo, 1998: 11). Namun dengan kenaikan jumlah penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan penyediaan fasilitas umum mengakibatkan kecenderungan memburuknya kualitas pemukiman. Dalam rangka pengadaan pemukiman yang sehat, maka pemerintah mencoba mengurangi dampak permasalahan yang mungkin saja dapat muncul dengan mengembangkan proyek rumah tunggal, rumah susun dan program perbaikan kampung. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota Semarang adalah dengan mengadakan proyek rumah susun yang diprioritaskan bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 16/1985 tentang rumah susun (Latifah dan Suryanto, dalam Dewi 2008: 13).

Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan kepastian hukum dalam pemanfaatannya serta untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.


(19)

Sehingga rumah dapat dijadikan sarana pembinaan keluarga dalam pembentukan kepribadian, watak, serta pendidikan yang baik sesuai dengan harkat dan martabat manusia (Undang – Undang No.16 tahun 1985).

Pembangunan rumah susun sederhana sudah banyak diselenggarakan di kota – kota besar di Indonesia, salah satunya di kota Semarang. Kota Semarang memiliki beberapa rumah susun sederhana, diantaranya rumah susun Bandarharjo, Pekunden, Karangroto, Plamongan , Genuk dan Kaligawe. Rumah susun atau dikenal dengan sebutan flat adalah rumah dimana lingkungan tetangga tidak saja di kanan-kiri, tetapi juga berada di atas dan di bawah dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran yang relatif sempit (Sarwono, 1995: 118).

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bangunan – bangunan yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan – satuan yang masing – masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat – tempat hunian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan tanah bersama (Undang – Undang Republik Indonesia tahun 1993). Rustandi (dalam Prabowo, 1999: 11) menyatakan bahwa rumah susun terdiri atas beberapa tingkat dan setiap tingkatnya terdiri dari beberapa unit rumah. Rumah merupakan suatu bangunan untuk tempat tinggal, yang berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Rumah merupakan sarana untuk berlindung dari hujan dan panas, memberi rasa aman dan nyaman, tempat berkumpulnya anggota keluarga, tempat bersosialisasi dan berinteraksi dengan tetangga, memenuhi kebutuhan harga diri dan juga merupakan sarana aktualisasi diri.


(20)

Namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi rumah susun yang merupakan pemukiman kepadatan tinggi dan setiap bangunan dihuni oleh beberapa keluarga (Freedman dalam Prabowo, 1999: 11). Rumah susun merupakan tempat tinggal dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit. Kondisi lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang. Penurunan kualitas secara terus menerus membuat para penghuni rusun merasa tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut mempengaruhi keadaan psikis para penghuni rumah susun.

Kondisi lingkungan yang demikian, membuat para penghuni mendapatkan stimulus yang berlebihan sehingga harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus – stimulus yang dianggap tidak relevan dan tidak penting. Rini (2006: 1) menyatakan bahwa dalam usahanya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang demikian artinya dengan situasi kelebihan informasi, memunculkan berbagai masalah diantara individu menjadi acuh tak acuh satu sama lain dan kurang responsif. Dan dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak sosial dengan orang lain.

Gambaran banyaknya permasalahan tinggal di rumah susun dikemukakan oleh Dewi (2008: 10) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa penghuni rumah susun Bandarharjo yang ditemuinya mengaku terkadang sering marah – marah, mudah tersinggung sehingga kurang bersahabat dengan tetangga. Hal – hal tersebut merupakan sebagian dari gejala – gejala stres yang dapat dialami oleh individu, baik secara fisik, emosional, intelektual dan interpersonal. Tekanan yang dialami dapat berasal dari tetangga rusun, keadaan ekonomi,


(21)

lingkungan rumah susun, kondisi di dalam rumah dan hal ini dapat membuat seseorang mengalami stres. Lebih lanjut Iskandar (2012: 135) menerangkan hasil penelitiannya di rumah susun dengan ukuran 36 m2 yang banyak dihuni lebih dari 4 orang. Kondisi padat tersebut dijumpai setiap hari, sehingga seorang kepala rumah tangga sering pulang lebih lambat untuk tiba di rumahnya. Sedangkan anak

– anaknya yang sudah besar, mereka lebih sering bermain di luar rumahnya. Hal ini dikarenakan ruangan yang sempit tersebut tidak menyenangkan penghuninya. Perilaku penghuni rumah susun tersebut adalah upaya untuk menghindari stres.

Tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi, juga dialami oleh sebagian besar warga Hongkong. Hongkong mempunyai kepadatan penduduk lebih dari 400.000 ribu orang per km2. Sedangkan peruntukan tanah untuk pemukiman hanyalah sebanyak 6,8% dari keseluruhan tanah yang ada. Hal ini tentunya mengakibatkan pemukiman di wilayah Hongkong padat dan sesak.

Contohnya adalah sebuah flat dengan ukuran kamar 10’x10’ yang sebagian besar dihuni oleh minimal 5 (lima) anggota keluarga. Ukuran kamar 10’x10’ dibagi

menjadi beberapa ruang seperti ruang tidur, dapur, ruang kelurga bahkan kamar dan hanya dibatasi oleh sekat – sekat beruba tirai. (dikutip dari berbagai sumber). Dengan kondisi demikian, tentunya membuat para penghuni merasa tidak nyaman. Sebagian besar penghuni menjadi mudah marah bahkan suasana hati mudah berubah - ubah saat berada di rumah. Bukan hanya anak – anak tetapi orang dewasa juga sulit berkonsentrasi untuk belajar dan melakukan pekerjaan. Akibatnya kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk. Haryanto dkk dalam Dewi (2008: 10)


(22)

menyatakan bahwa dalam suasana yang padat dan sesak kondisi psikologis yang negatif mudah timbul. Hal ini merupakan faktor penunjang kuat munculnya stres dan beragam bentuk aktivitas sosial yang negatif.

Gambaran tentang suasana yang padat dan sesak di rumah susun juga tampak dalam kehidupan Pak Untung sebagai salah satu penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo, ia mengaku bahwa sering merasa bingung untuk memberi ruang bagi semua anggota keluarganya. Ruangan dalam rumah terbatas tetapi jumlah anggota yang banyak tidak mampu menampung seluruh anggota keluarga sehingga Pak Untung dan anggota keluarga lainnya menjadi sering marah – marah (www.jawapos.com).

Salah satu rumah susun yang terdapat di daerah Semarang dengan kondisi yang padat adalah Rumah Susun Pekunden. Penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, meskipun variabel yang diteliti sama yaitu kesesakan dengan tingkat stres. Namun tempat penelitian dalam penelitian ini adalah rumah susun dimana karakteristik subjek penelitian yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti yaitu laki – laki dan perempuan usia minimal 17 tahun dengan minimal jumlah anggota keluarga minimal 4 orang. Karakteristik subjek yang diteliti berbeda dengan subjek dalam penelitian – penelitian sebelumnya. Diketahui bahwa penelitian – penelitian sebelumnya hanya meneliti pada wilayah pemukiman dengan kepadatan tinggi tanpa ada batasan- batasan tertentu tiap rumahnya.

Peneliti memilih rumah susun Pekunden untuk dijadikan lokasi penelitian dengan beberapa alasan. Dilihat dari kondisi lingkungan, bentuk dan letak rusun


(23)

Pekunden, tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan yang ada disana membuat seseorang merasa kurang nyaman jika tinggal di rumah susun. Tidak hanya dari fasilitas tempat tinggal yang kurang baik tetapi daerah lingkungan tempat tinggal yang tidak lepas dari berbagai permasalahan lain. Seperti konflik antar anggota keluarga, atau bahkan konflik dengan tetangga. Alasan lain adalah karakteristik penghuni rumah susun Pekunden juga sudah memenuhi syarat untuk menjadi subjek penelitian. Selain itu berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan wawancara, diperoleh temuan bahwa penghuni rumah susun Pekunden merasakan adanya kesesakan dan muncul gejala – gejala stres selama tinggal di rumah susun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang penghuni rumah susun pada tanggal 17 Maret 2015 dan tanggal 16 April 2015 bertempat di rumah susun Pekunden, hampir keseluruhan menyatakan bahwa terkadang mereka mudah marah, mudah tersinggung dan terkadang membatasi hubungan dengan tetangga. Tinggal dalam ruang sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga stres mudah muncul. Segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian seseorang akan keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, rasa bersalah (Anoraga, 2006: 107).

Gambaran keterbatasan tinggal di rumah susun nampak di kehidupan DA (21 tahun) yang merupakan warga penghuni rumah susun Pekunden dimana dalam satu rumah dengan tipe 27 m2 terdapat 3 kepala keluarga yang didalamnya terdapat 7 orang jiwa. Artinya satu orang hanya akan mendapatkan ruang kurang


(24)

dari 4 m2. Dengan kondisi kesesakan yang cukup tinggi dapat membuatnya merasa tidak nyaman.

“ Wah, karena yang tinggal di rumah saya ada 7 orang, ya jelas saya

merasa tidak nyaman. Mau nonton televisi harus gantian, mau mandi harus nunggu giliran, apa – apa harus antri. Malah jadinya rebutan dan akhirnya saya dan kakak jadi sering berantem. Duhh repot pokoknya. Karena rumah saya tidak ada kamar, jadi mau tidur juga repot. Kayaknya gak ada ruang yang cukup nyaman buat saya bersantai dan beristirahat. Ya kecuali kalau saya sendirian di rumah”.

(Wawancara: 17 Maret 2015) Hal serupa diungkapkan oleh ES (41 tahun) yang merupakan penghuni rusun tipe 27 m2 dengan enam anggota keluarga. ES menyatakan bahwa kondisi rumahnya jauh dari standard untuk dapat dikatakan sebagai rumah yang nyaman. Hal ini berakibat pada kondisi psikologisnya yang mudah tersinggung, cepat marah bahkan terkadang membuatnya sakit kepala.

“Walah mbak, rumah kaya gini kok nyaman. Menurut saya nyaman

bukan dari faktor fisik saja. Memang kalau mbak lihat dari luar memang rumah saya sudah bagus, lantai sudah keramik, ada kipas angin, tv dan ada ruang karaoke juga. Hehehe, tapi liat dalamnya ruwet mbak. Dimana – mana ada barang saya, barang anak saya juga berserakan dimana – mana. Kalau sudah gitu mau istirahat dimana, apalagi saya punya dua anak yang masih kecil – kecil. Lah kalau sudah ngumpul di rumah, gak kebayang berisiknya. Gimana saya mau istirahat. Kadang – kadang saya juga marah kalau mereka berantem, bikin berisik, tapi ya mau gimana lagi cuma punya rumah ini terus

mau kemana. Pusing saya mbak kalau udah kaya gitu”.

(Wawancara: 16 April 2015) Tidak jauh berbeda dengan DA dan ES, salah seorang penghuni rusun SS (64 tahun) juga menyatakan bahwa kondisi rumahnnya sangatlah tidak nyaman. SS mendiami rusun dengan ukuran 27 m2 dengan dua kepala keluarga sehingga jumlah keseluruhan terdapat enam orang yang tinggal didalamnya. SS merupakan warga asli Pekunden yang mendapat ganti rugi atas pembangunan rusun Pekunden. SS menilai bangunan rusun ini memang bagus dan terlihat megah


(25)

ketika pertama kali ditempati. Rumah susun Pekunden merupakan proyek rumah susun pertama di kota Semarang. Namun, seiring dengan bergantinya tahun, kondisi bangunan terlihat sangat memprihatikan. Apalagi dari tahun ke tahun banyak penghuni baru tentunya ini mengakibatkan ketidaknyamanan tersendiri bagi SS.

“ Dulu sekitar tahun 80an bangunan sini bagus lho mbak. Dulu kan

saya punya rumah disini tapi kena gusur dan akhirnya dapat ganti rugi jadinya punya rusun ini. Ya dulu sih nyaman sekali. Lah tapi sekarang banyak tetangga punya anggota keluarga baru, yang tadinya hanya dua orang sekarang jadi empat sampai lima orang satu rumahnya. Jadi tambah semrawut. Dirumah saya saja ada enam orang, gara – gara ketambahan tiga cucu jadinya makin rame. Tapi ya itu jadi makin semrawut rumahnya. Anak – anak tetangga juga makin banyak. Kurang tahu gara – gara itu atau tidak, yang jelas saya sering sulit tidur dan mudah sekali kesal dengan tetangga yang seliweran diluar. Lihat saja mbak, kamar saja tidak ada, jadi kalau mau tidur harus pake kasur lipat. Kadang – kadang saya juga tidur di sofa. Kalau sudah

seperti itu mana bisa beristirahat dengan tenang”.

(Wawancara: 16 April 2015)

Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa kondisi rumah susun Pekunden Semarang yang padat dan sesak membuat para penghuninya tidak nyaman. Terbukti dari hasil wawancara yang menyebutkan bahwa narasumber tidak dapat beristirahat dengan tenang karena banyaknya orang disekitar, terganggu dalam melakukan aktivitas dan berakibat pada kondisi psikologisnya yang menjadi mudah tersinggung dan cepat marah, bahkan berakibat pada kondisi fisik seperti sakit kepala. Kondisi yang demikian menjadi faktor pemicu timbulnya stres, seperti yang diungkapkan oleh Haryanto dkk dalam Dewi (2008:10) yang menyebutkan bahwa dalam suasana yang padat


(26)

san sesak kondisi psikologis yang negatif mudah muncul dan hal ini menjadi faktor penunjang kuat munculnya stres.

Selain faktor diatas, faktor lain yang berkaitan langsung dengan stres adalah perubahan dalam lingkungan. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa dulu kondisi lingkungan rumah susun Pekunden Semarang nyaman untuk ditinggali, namun dari tahun ke tahun kondisi lingkunganya cenderung memburuk yang terlihat dari penurunan kualitas ketersediaan sarana dan prasarana yang ada. Selain itu seiring berjalannya waktu banyak penghuni – penghuni baru, dan berakibat pada bertambahnya jumlah penghuni secara keseluruhan, sehingga terjadi perubahan dalam lingkungan di rumah susun Pekunden Semarang. Anoraga (2006: 109) menyebutkan bahwa perubahan dalam lingkungan dapat menjadi faktor penyebab munculnya stres. Apabila perubahan lingkungannya sudah menjadi semakin cepat dan ganas, maka seseorang sudah merasa kewalahan untuk menghadapi atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut, sehingga ambang ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui, akibatnya dalam kondisi seperti ini stres akan mudah muncul.

Penelitian mengenai stres di rumah susun diantaranya dilakukan oleh Dewi (2008: 57) yang dilakukan di rumah susun Bandarharjo, Semarang menyatakan bahwa tekanan yang terjadi dalam lingkungan rumah susun Bandarharjo dan lingkungan perumahan lain yang berbeda, dengan situasi – situasi negatif yang ada dalam lingkungan rusun tersebut dapat membuat penghuninya menjadi stres. Menurut Wrightman dan Deaux dalam Dewi (2008: 10) menyatakan stres dan segala bentuk macam gangguan psikis lainnya dapat


(27)

disebabkan oleh suasana yang padat sesak, sehingga kondisi psikologis yang negatif mudah timbul. Baum (dalam Dewi, 2008: 11 ) mengatakan bahwa peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya maka individu akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kebebasan individu akan terancam sehingga individu mudah mengalami stres. Tinggal dalam lingkungan sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dan berpenghuni padat dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga dapat membuat seseorang mengalami stres.

Kesesakan dipandang sebagai stres psikologis yang terkadang disebabkan oleh kepadatan. Stres yang dialami tergantung pada situasi situasional dan variabel psikologi lain (Baum, 1979: 137). Hasil penelitian Baum dan Valins (1979: 171) membuktikan bahwa kepadatan dan kesesakan erat kaitannya dengan patologi sosial dan stres. Seseorang tidak akan mengalami stres selama ia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stressor lingkungan. Ketika adaptasinya terhadap kesesakan maka stres tersebut dapat berkurang atau bahkan hilang.

Anoraga (2006: 107) menyatakan bahwa segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurang mengertian seseorang akan keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe – tipe dasar stres. Gifford (1987: 118) mengemukakan bahwa stres dapat dipicu oleh


(28)

faktor kepadatan tinggi dan mengakibatkan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut mengalami kesesakan lingkungan. Jumlah penghuni yang padat, tata ruang yang tidak teratur dan ruangan yang sempit dapat membuat seseorang merasa sesak sehingga merasa tidak nyaman.

Akibat negatif dari kesesakan menyebabkan seseorang tidak bisa mengendalikan situasi tersebut. Ketika seseorang mampu untuk mengendalikan situasi yang tertekan, maka niscaya seseorang tersebut mampu untuk mengendalikan emosinya. Sebaliknya apabila seseorang tidak bisa mengendalikan situasi tersebut, maka ia akan merasa lebih tertekan. Menurut Sarwono (1995: 77) kesesakan adalah salah satu bentuk persepsi seseorang terhadap lingkungannya, oleh karena itu lebih bersifat subjektif dan bergantung pada keadaan lingkungan tersebut. Kesesakan (crowding) berbeda denngan kepadatan (density). Altman (1975: 49) berpendapat bahwa kesesakan sebagai perasaan subjektif seseorang (aspek psikologis) sedangkan kepadatan adalah banyaknya orang yang menempati setiap unit tempat tinggal (aspek fisik). Dijelaskan pula bahwa kepadatan merupakan salah satu penyebab munculnya kesesakan tetapi dalam hal ini tidak selalu menjadi penyebab utama.

Sears (2007: 228) mengungkapkan bahwa kesesakan atau rasa sesak adalah perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif. Tingkat kesesakan yang kita rasakan tergantung pada jumlah kepadatan yang dirasakan. Tingginya tingkat kepadatan cukup untuk mempersepsikan kesesakan. Tetapi kepadatan tidaklah sama dengan kesesakan. Menurut Stokols dalam (Holander, 1981: 304) kepadatan (density) mengacu pada kendala keruangan


(29)

(spatial contraint), sedangkan kesesakan (crowding) adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space). Jadi kesesakan merupakan suatu pengalaman subjektif seseorang terhadap ruang yang sempit dan biasanya dalam kondisi sesak sebagai hal yang bersifat negatif.

Sependapat dengan Stokols, Altman (1987: 49) menyatakan bahwa pada kondisi kepadatan tinggi yang berhubungan dengan lingkungan dengan sarat kemiskinan cenderung menjadi mudah tersinggung, merasa tidak nyaman secara fisik, cenderung berkompetisi, gerak selalu dibatasi dsb. Semakin seseorang merasa tidak nyaman dengan keadaan lingkungannya maka semakin seseorang merasa frustasi karena ada tekanan dari luar yang tidak dikehendaki oleh individu yang bersangkutan.

Kesesakan akan menyebabkan keadaan psikologis yang menekan, akibatnya seorang individu akan merasa terkungkung oleh keadaan disekitar lingkungannya, sementara individu itu sendiri masih membutuhkan ruang untuk bergerak. Apabila ruang yang diperlukan untuk bergerak terbatas, atau sangat terbatas, besar kemungkinan munculnya perasaan kesesakan. Kesesakan diruangan yang sempit dan kecil sering membuat mereka gugup, merasa tidak nyaman dan mudah tersinggung (Altman, 1987: 49). Selanjutnya Freedman dan Evans (dikutip dari Davidoff, 1991: 52) menyatakan pada kondisi kepadatan tinggi yang berhubungan dengan lingkungan yang kecil cenderung menjadi mudah tersinggung, merasa tidak nyaman , cenderung berkompetisi, gerak yang selalu dibatasi, lingkungan yang menjijikan, panas dan sejenisnya.


(30)

Kepadatan akan membuat rasa sesak meskipun kesesakan tidak selalu disebabkan oleh kepadatan. Kesesakan merupakan suatu perasaan subjektif yang dialami seseorang sehingga dalam situasi ini ada yang tidak merasakan kesesakan tetapi ada pula yang merasakan kesesakan. Maka apa yang dialami oleh individu yang satu belum tentu dirasakan individu lain. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kesesakan Terhadap Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang.

1.2

Rumusan Masalah

Melalui uraian pada latar belakang diatas, masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah

a. Bagaimana gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden Semarang?

b. Bagaimana gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang?

c. Apakah ada hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden Semarang.


(31)

b. Mengetahui gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang.

c. Mengetahui hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.

1.4

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi dunia psikologi sosial dan psikologi lingkungan di Indonesia tentang tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang dalam kaitannya dengan kesesakan dimana kesesakan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan secara khusus kepada para penghuni rumah susun Pekunden Semarang tentang pentingnya pengembangan dan pengelolaan stres dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dalam berkomunikasi, menjalin hubungan antar sesama penghuni bahkan dalam berperilaku dan bertindak.


(32)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Stres

2.1.1 Pengertian Stres

Manusia tidak pernah lepas dari stres, setiap orang pasti pernah mengalami stres baik stres dalam bentuk ringan, sedang, maupun berat. Stres merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis yang kerap dialami manusia, terutama di era modern ini sebagai akibat dari semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Sepanjang hidupnya manusia tidak akan pernah lepas dari masalah. Jika hal tersebut dirasakan menekan, mengganggu dan mengancam maka keadaan ini dapat disebut stres.

Sarwono (1995: 86) menyatakan bahwa stres adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi atau menghilangkan stres, individu melakukan tingkah laku penyesuaian (coping behavior). Sedangkan menurut Markam dan Slamet (2008: 35) stres adalah suatu keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Sama halnya dengan Hardjana (1994: 14) yang mengartikan stres sebagai keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat seseorang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan, entah nyata atau tidak nyata antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang ada padanya. Dari kedua pengertian diatas dapat


(33)

diartikan bahwa stres dianggap sebagai respon yang merupakan kondisi atau keadaan sebagai akibat dari tekanan emosional dimana beban yang dirasakan tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban tersebut.

Berbeda dengan definisi stres menurut Taylor (dalam Kusuma dan Gusniarti, 2008: 34) yang mengartikan stres sebagai hasil dari proses penilaian individu berkaitan dengan sumber – sumber pribadi yang dimilikinya untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan. Atkinson, dkk (2010: 338) mendefinisikan stres sebagai hal yang terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut biasanya dinamakan stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres.

Anoraga (2006: 108) mengungkapkan bahwa stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Manusia akan cenderung mengalami stres apabila ia kurang mampu mengadaptasikan keinginan – keinginan dengan kenyataan – kenyataan yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Anoraga (2006: 10) merumuskan stres sebagai reaksi dari tekanan emosional, juga rangsangan – rangsangan yang merusak keadaan fisiologis individu.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah akibat reaksi individu dari tekanan emosional dan kekurangmampuan invidu untuk menyesuaikan diri yang disebabkan karena adanya persepsi


(34)

ketakutan dan kecemasan sehingga dapat merusak keadaan fisiologis serta menganggu keseimbangan hidup bagi individu.

2.1.2 Gejala – Gejala Stres

Gejala – gejala stres menyangkut kesehatan fisik dan kesehatan mental. Individu yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Individu tersebut sering menjadi mudah marah dan agresi, tidak dapat rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Lebih lanjut individu tersebut melarikan diri dengan minum alkohol atu merokok secara berlebihan. Selain itu, bisa menderita penyakit fisik seperti, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi dan sulit tidur (Handoko, 2001: 200). Selye dalam Bell (dalam Iskandar, 2012: 49) menjelaskan proses stres dari kajian fisiologis. Seseorang berinteraksi dengan stimulus lingkungan yang dapat menimbulkan stres bagi seseorang, maka di dalam dirinya akan muncul gejala – gejala aktivitas saraf otonom. Aktivitas saraf otonom secara otomatis bekerja karena dirinya merasakan stres. Adapun ciri – ciri dari peningkatan saraf otonom adalah meningkatnya detak jantung, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya pengeluaran keringat di telapak tangan, sering buang air kecil dsb.

Lazarus dalam Bell (dalam Iskandar 2012: 50) memperbaiki pendapat Selye. Seseorang akan mengalami stres apabila ia telah melakukan penilaian kognitif yang terdapat dalam dirinya. Apabila hasil penilaian kognitif menyatakan bahwa stimulus lingkungan yang dihadapinya tidak mengancam dirinya , maka proses fisiologis tersebut tidak berlangsung. Hal ini berarti bahwa tidak muncul


(35)

perasaan tegang dalam dirinya, sehingga kondisi psikologisnya menjadi seimbang kembali.

Menurut Atkinson, dkk (2010: 349) situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan dan depresi stres yang ditunjukkan dengan gejala – gejala sebagai berikut:

1. Gejala emosional atau reaksi psikologis yaitu marah – marah, cemas, kecewa, suasana hati mudah berubah – ubah, depresi, agresif terhadap orang lain, mudah tersinggung dan gugup.

a. Kecemasan

Respon yang paling umum adalah kecemasan yang diartikan sebagai emosi tidak menyenangkan yang ditandai oleh istilah seperti khawatir, prihatin, tegang dan takut.

b. Kemarahan dan Agresi

Reaksi umum lain terhadap situasi stres adalah kemarahan, yang mungkin dapat menyebabkan agresi. Anak – anak seringkali menjadi marah dan menunjukkan perilaku agresif jika mereka mengalami frustasi. Agresi langsung terhadap sumber frustasi tidak selalu dimungkinkan. Riset telah membuktikan bahwa agresi bukan merupakan respon yang pasti terjadi setelah frustasi, tetapi jelas merupakan salah satu darinya.


(36)

c. Apati dan Depresi

Walaupun respon umum terhadap frustasi adalah agresi aktif, respon kebalikannya adalah menarik diri dan apati juga sering terjadi. Jika kondisi stres terus berjalan dan individu tidak berhasil mengatasinya, apati dapat memberat menjadi depresi (Atkinson, dkk 2010: 352). 2. Gejala Kognitif

Selain reaksi emosional terhadap stres, individu seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stresor yang serius. Individu merasa sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis, sebagai akibatnya kemampuan mereka melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk (Atkinson, dkk 2010: 354) yaitu merasa sulit berkonsentrasi, kacau pikirannya, mudah lupa, daya ingat menurun, suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. 3. Gejala Fisik

Sulit tidur, sulit buang air besar, sakit kepala, adanya gangguan pencernaan, selera makan berubah, tekanan darah menjadi tinggi, jantung berdebar – debar, dan kehilangan energi. Stres kronis dapat menyebabkan gangguan fisik tertentu seperti ulkus, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Stres kronis juga menganggu sistem imun, dengan demikian menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan bakteri dan virus yang menyerang (Atkinson, dkk 2010: 359).


(37)

Sedangkan Anoraga (2006: 109) menyatakan bahwa stres yang tidak teratasi menimbulkan gejala badaniah, jiwa dan gejala sosial. Dapat ringan, sedang dan berat. Gejala ringan dan sedang dapat ditandai dengan keluarnya keringat dingin (dan keringat pada telapak tangan), rasa panas dingin badan, asam lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, dan gangguan seksual. Sedangkan gejala berat akibat stres sudah tentu kematian, gila (psikosis) dan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Anoraga (2006: 109) menjelaskan gejala – gejala dari stres meliputi :

1. Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget, banyak keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu letih, kaku leher belakang sampai punggung, dada merasa panas atau nyeri, rasa tersumbat pada kerongkongan, gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual, muntah, gejala kulit, bermacam – macam gangguan menstruasi, keputihan, kejang – kejang, pingsan dan jumlah gejala lain.

2. Gejala emosional: pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, was –was, kawatir, mimpi – mimpi buruk, murung, mudah marah atau jengkel, mudah menangis, pikiran bunuh diri, gelisah dan pandangan putus asa.

3. Gejala sosial : makin banyak makan, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar dan membunuh.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, pada dasarnya stres dapat dilihat dari 4 gejala yaitu gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan gejala sosial. Keempat gejala tersebut akan digunakan dalam pembuatan


(38)

instrumen penelitian. Dalam pembuatan instrumen, peneliti menggabungkan gejala – gejala stres dari Atkinson dan Anoraga dengan alasan peneliti menganggap bahwa gejala – gejala stres menurut Atkinson dan Anoraga saling melengkapi, sehingga dapat mengungkap keseluruhan gejala – gejala stres yang ada.

2.1.3 Faktor Penyebab Stres

Segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian manusia akan keterbatasan – keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe – tipe dasar stres. Menurut Anoraga (2006: 109) ada dua faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres, yaitu

1. Perubahan dalam Lingkungan

Apabila perubahan dalam lingkungannya sudah menjadi sedemikian cepat dan ganas, sehingga seseorang sudah merasa kewalahan untuk menghadapi atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut, maka ambang ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui. Kondisi inilah yang harus dihindarkan atau ditanggulangi.

2. Diri Manusia Sendiri

Dalam hubungan dengan gangguan badan, dikatakan bahwa stres emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem neurohumoral menyebabkan gejala – gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon (adrenalin) dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat


(39)

menimbulkan kadar asam dan lemak bebas selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian mendadak (serangan jantung).

Menurut Smet (1994: 130) reaksi terhadap stres bervariasi antara satu orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini sering disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak stresor bagi individu yaitu sebagai berikut :

1. Variabel dalam kondisi individu : umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor – faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, budaya, status ekonomi dan kondisi fisik.

2. Karakteristik kepribadian : introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, tipe kepribadian A, ketabahan, locus of control, kekebalan dan ketahanan. 3. Variabel sosial – kognitif : dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial

dan kontrol pribadi yang dirasakan.

4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

5. Strategi coping : menentukan bagaimana keputusan yang diambil berdasarkan emosi atau pemikiran yang matang.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor penyebab stres yaitu variabel dalam kondisi individu, karakteristik kepribadian, variabel sosial – kognitif, strategi coping, hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, dan integrasi dalam jaringan sosial.


(40)

2.1.4 Sumber – Sumber Stres

Sumber stres dapat berubah – ubah sejalan dengan perkembangan manusia. Sarafino (dalam Smet, 1994: 115) membedakan sumber – sumber stres sebagai berikut :

a. Sumber – sumber stres di dalam diri seseorang.

Tingkat stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu, stres juga akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik , konflik merupakan sumber stres yang utama.

b. Sumber – sumber stres di dalam keluarga.

Stres bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga seperti perselisihan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan – tujuan yang saling berbeda, atau bahkan kematian orang tua. Misal: perbedaan keinginan tentang acara televisi yang akan ditonton, perselisihan antara orang tua dengan anak – anak yang menyetel tapenya keras – keras, timbul di lingkungan yang terlalu sesak bahkan kehadiran anggota keluarga baru.

c. Sumber – sumber stres di dalam pekerjaan.

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka. Pekerjaan dapat menyebabkan stres apabila hasilnya tidak sesuai dengan perintah dan dapat menyebabkan stres. Tuntutan kerja dapat menimbulkan stres dalam 2 cara. Pertama, pekerjaan itu mungkin terlalu banyak. Orang bekerja terlalu keras dan lembur, karena keharusan harus mengerjakan, mungkin alasan uang atau alasan lain. Kedua, jenis


(41)

pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressfull daripada jenis pekerjaan lainnya (Smet, 1994: 117).

d. Sumber – sumber stres yang berasal dari komunitas dan lingkungan. Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber – sumber stres. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, seperti kebisingan, suhu yang terlalu panas dan kesesakan yang mengganggu kenyamanan, dan dapat menyebabkan kemarahan, bahkan pertengkaran (Smet, 1994: 116).

Iskandar (2012: 48) mengungkapkan bahwa lingkungan yang berada di sekitar manusia memberikan stimulasi yang dapat dimaknakan sebagai stresor atau stimulus yang dapat menimbulkan tekanan pada seseorang. Ketika seseorang menghadapi suara yang bising maka ia merasa bahwa suara tersebut menekan dirinya atau menjadi stressor karena ia merasa tidak menyenangi suara bising. Namun demikian, suatu peristiwa dapat dipersepsi sebagai ancaman atau bahkan sebagai tantangan. Kemungkinan sesuatu menjadi ancaman akan ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor – faktor yang memungkinkan seseorang merasa terancam adalah dikarenakan adanya penilaian terhadap objek lingkungan. Penilaiannya dapat dikategorikan sebagai berikut

1. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kejadian yang mendadak dan tidak ada atau sedikit sekali memberikan peringatan bahwa akan terjadi suatu peristiwa atau disebut juga cataclysmic event.

2. Kategori stres personal yang merupakan stres yang dialami oleh seseorang dan tidak melanda banyak orang seperti halnya pada cataclysmic event.


(42)

Contohnya meninggalnya orang yang dicintai atau sakitnya keluarga dan hilangnya pekerjaan.

3. Stres yang berulang kali terjadi, sehingga seseorang dapat mengalami peristiwanya setiap hari seperti misalnya kemacetan lalu lintas.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum sumber – sumber stres terbagi menjadi faktor internal dan eksternal. Stres dapat bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, bersumber dari keluarga, dari pekerjaan atau bahkan dari faktor lingkungan. Faktor internal dan eksternal ini memberikan pengaruh terhadap tingkat stres pada seseorang. Tingkat stres yang dialami oleh yang satu dengan yang berbeda. Anoraga (2006: 109) mengungkapkan bahwa sebenarnya ada dua faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres, yaitu perubahan dalam lingkungan dan diri manusianya sendiri. Akibat terhadap seseorang bermacam – macam dan hal ini tergantung pada

kekuatan “konsep diri”nya yang akhirnya menentukan besar kecilnya toleransi

orang tersebut terhadap stres. Tetapi meskipun demikian, fleksibilitas dan adaptasibilitas juga diperlukan agar seseorang dapat menghadapi stresnya dengan baik.

Menurut Smet (1994: 130) reaksi terhadap stres bervariasi antara satu orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Tingkat stres yang dialami seseorang dapat ringan, sedang dan berat. Hal ini sering disebabkan oleh perbedaan masing – masing sumber stres pada setiap orang. Orang – orang yang kaku atau fanatik terhadap ambisi – ambisi dan norma – norma yang dipegangnya cenderung mengalami keadaan yang lebih buruk.


(43)

Atkinson, dkk (2010: 230) menyatakan kejadian stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua orang, tergantung pada situasi apa yang berarti kepada seseorang. Berat atau tidaknya stres ditentukan oleh faktor – faktor seperti evaluasi kognitif, perasaan- perasaan mampu, adanya dukungan sosial, kendali atas lamanya terjadi stres dan daya ramal peristiwa yang membuat stres. Stres pada seseorang dapat bersumber dari faktor internal individu, faktor eksternal individu ataupun keduanya. Kedua faktor ini memiliki kontribusi yang berbeda – beda bagi setiap orangnya, dan bergantung pada seberapa besar seseorang mampu mengatasi setiap stressor – stressor yang ada.

2.2

Kesesakan

2.2.1 Pengertian Kesesakan

Kesesakan ada hubungannya dengan kepadatan namun kepadatan bukanlah merupakan syarat yang mutlak untuk menimbulkan perasaan sesak. Secara teoritis perlu dibedakan antara kepadatan (density) dengan kesesakan (crowding). Kepadatan mengacu kepada jumlah orang dalam ruang (space) sehingga sifatnya mutlak, sedangkan kesesakan adalah persepsi seseorang terhadap kepadatan, sehingga sifatnya subjektif (Halim, 2008: 72).

Gifford (1987: 165) menyatakan bahwa kesesakan adalah perasaan seseorang atau perasaan subjektif karena banyaknya orang disekitarnya. Sarwono (1995: 77) menjelaskan bahwa kesesakan berarti

a. Kesesakan adalah persepsi tentang kepadatan, dalam artian jumlah manusia. Jadi, tidak termasuk didalamnya kepadatan dalam arti hal – hal lain yang non manusia. Orang yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun


(44)

dalam hutan rimba yang penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota yang penuh bangunan tetapi tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan kesesakan seperti yang dialami oleh penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan yang disekitarnya terdapat banyak orang. b. Kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Oorang yang sudah biasa

naik bus yang padat penumpangnya mungkin sudah tidak merasa sesak lagi. Sebaliknya orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong.

Sears (2007: 229) mengungkapkan bahwa kesesakan merupakan perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif atau rasa sesak adalah keadaan psikologis yang menekan dan tidak menyenangkan, yang dikaitkan dengan keinginan untuk memperoleh lebih banyak ruang daripada yang telah diperoleh. Altman (1975: 49) menyatakan bahwa faktor situasional sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kesesakan. Stresor yang menyertai kesesakan seperti suara gaduh, panas, polusi dan karakteristik setting (tipe rumah dan tingkat kepadatan).

Stokols (dalam Altman 1975: 49) menyatakan kesesakan sebagai konsep psikologis dengan dasar pengalaman dan motivasi. Ada beberapa poin penting dari pendekatan Stokols. Pertama, kesesakan adalah reaksi pribadi dan subjektif, bukan variabel fisik. Kedua, kesesakan adalah keadaan motivasi yang sering berakibat pada maksud tingkah laku, yaitu untuk segera diakhiri atau menghilangkan rasa ketidaknyamanan. Ketiga, kesesakan muncul pada perasaan yang berada di ruangan yang terlalu sempit. Stokols juga membedakan antara


(45)

kesesakan non-sosial, dimana faktor-faktor fisik dapat membangkitkan perasaan sesak pada individu terhadap keterbatasan ruang gerak pada suatu ruangan yang sempit, dan kesesakan sosial dimana rasa sesak terutama datang dari kehadiran orang yang terlalu banyak dalam suatu ruangan.

Esser (dalam Altman, 1975: 49) menyatakan kesesakan sebagai suatu kondisi mental yang dipenuhi stres dan dia juga ada hubungan antara proses psikologi dan fisiologi. Dia menduga bahwa rasa sesak berasal dari ketidakharmonisan antara susunan saraf pusat dengan kondisi stimulus. Kesesakan dapat melibatkan bagian otak yang secara biologis lebih kompleks dan sistem saraf pada kebutuhan yang mendasar atau biologis terhalangi oleh kepadatan suatu populasi.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kesesakan adalah perasaan subjektif yang dialami oleh seseorang dalam merespon situasi kepadatan karena sempitnya ruang yang tersedia dan perasaan ini dapat diekspresikan dengan rasa senang maupun tidak senang. Kesesakan ini akan terjadi apabila terdapat hambatan tertentu dalam usaha interaksi sosial dan usaha pencapaian tujuan yaitu ketika individu menerima stimulus yang terus menerus dan tidak mampu untuk mengontrolnya dan mengalami hambatan dalam pemenuhan kebutuhan personalnya.

2.2.2 Aspek – Aspek Kesesakan

Kesesakan muncul jika terdapat situasi atau gangguan yang sifatnya menghalangi aktivitas individu dalam suatu setting. Selain itu kesesakan digambarkan sebagai persepsi orang terhadap dirinya sendiri dalam menerima


(46)

stimulus yang berlebihan terhadap tekanan sosial yaitu bila terjadi reaksi yang lebih besar dari yang diharapkan (Permitasari, 2006: 42). Gifford (1987: 167) menyatakan bahwa aspek – aspek kesesakan adalah sebagai berikut

a. Aspek Situasional

Meliputi banyaknya orang yang saling berdekatan, hambatan dalam tujuan atau pekerjaan karena banyaknya orang – orang di sekitar, adanya ruangan yang sempit di mana ada terlalu banyak orang di dekat kita, tujuan kita terhalang serombongan orang, ruang jadi berkurang dengan kedatangan tamu atau teman sehingga merasakan gangguan secara fisik atau perasaan tidak enak.

b. Aspek Behavioral

Menjaga jarak dari tindakan agresi dengan menggunakan respon yang halus seperti meninggalkan tempat kejadian meliputi bentuk – bentuk reaksi individu yang berkisar antara agresi berlebihan (jarang) hingga respon yang lebih ringan seperti meninggalkan tempat, menghindari tatapan mata ataupun menarik diri dari interaksi sosial.

c. Aspek Emosional

Kesesakan merupakan suatu pengalaman yang subjektif dan muncul sebagai akibat reaksi negatif terhadap orang lain dan perasaan positif terhadap situasi tersebut. Secara tidak langsung mempengaruhi perasaan seseorang dan biasanya bersifat negatif yang merupakan pengalaman subjektif dan suatu reaksi yang berhubungan dengan perasaan. Mengacu pada suasana hati biasanya suasana hati yang buruk.


(47)

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek kesesakan yaitu aspek situasional, behavioral dan emosional. Ketiga aspek ini saling berhubungan dan berkelanjutan. Eroglu dkk dalam Yildirim & Alkalin-Baskaya (2007: 3411) menjelaskan bahwa kesesakan terdiri atas dua dimensi, yaitu

a. Persepsi crowding manusia yang didasarkan pada jumlah individu. Persepsi kesesakan tersebut melibatkan jumlah individu dalam satu ruang, dimana banyak-sedikit individu menjadi poin terpenting dalam menimbulkan perasaan sesak.

b. Persepsi crowding spasial yang berdasarkan pada jumlah barang dan perlengkapan serta konfigurasi individu. Persepsi ini lebih pada kondisi pada ruang serta posisi individu dalam ruang tersebut.

Ketiga aspek kesesakan menurut Gifford (1987: 167) yang meliputi aspek situasional, behavioral dan emosional merupakan bagian dari salah satu dimensi yang dikemukakan oleh Eroglu dkk yaitu persepsi kesesakan manusiawi yang didasarkan jumlah individu. Ketiga gejala tersebut akan dijadikan dasar dalam pembuatan instrumen penelitian, sebab peneliti hanya membatasi aspek kesesakan pada persepsi crowding manusia saja.

2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kesesakan

Tingkah laku yang menunjukkan sebagai reaksi terhadap kesesakan dirasa berbeda antara satu individu dengan individu lain. Hal ini disebabkan oleh faktor


(48)

menimbulkan kesesakan. Sears (2007: 229) mengatakan ada 3 hal yang mempengaruhi terjadinya kesesakan, yaitu

a. Beban Indera yang Berlebihan

Bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, dia akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Kepadatan sosial merupakan salah satu sumber stimulasi yang kadang – kadang dapat menimbulkan rangsangan yang berlebihan dan perasaan sesak. Beban indra yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan menganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat. Orang mengatasi beban indera yang berlebihan dengan menyaring beberapa stimulasi dan hanya memperhatikan stimulasi yang paling penting. b. Intensitas – Kepadatan

Kepadatan tinggi dapat menguatkan reaksi yang umum terhadap situasi sosial. Dalam penelitian Freedman (dalam Sears 2007: 231) disimpulkan bahwa kehadiran banyak orang kadang – kadang tidak menyenangkan atau menimbulkan perasaan sesak namun kadang – kadang terasa menyenangkan, tetapi biasanya kehadiran mereka memperkuat situasi sosial.

c. Hilangnya Kendali

Kepadatan tinggi bisa menyebabkan orang merasa kurang memiliki. Pemikirannya adalah bahwa dengan adanya begitu banyak orang dalam sebuah ruang, setiap individu tidak akan dapat mengendalikan situasi dengan lebih baik, bergerak dengan bebas, menghindari kontak mata yang tidak diinginkan sehingga menimbulkan perasaan sesak.


(49)

Kemungkinan besar beban indera yang berlebihan, intensifikasi kepadatan, dan hilangnya kendali berperan dalam menimbulkan rasa sesak (Permitasari, 2006: 31). Lebih lanjut Gifford (1987: 167) menekankan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu :

a. Faktor personal, yaitu : kepribadian, preferensi dan harapan.

b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berperan dalam pembentukan tingkah laku dalam merespon kesesakan. Penekanan faktor sosial yang dimaksud adalah :

Keberadaan seseorang semata – mata dan kepribadian orang lain di sekitar. 1. Persaingan yang cenderung terbentuk di kelompok – kelompok kecil. 2. Kualitas atau tipe – tipe hubungan diantara individu.

3. Macam – macam informasi yang diterima tentang kesesakan. c. Faktor fisik, dijelaskan sebagai berikut :

Kepadatan yang tinggi itu sendiri merupakan faktor paling umum yang dapat menimbulkan perasaan sesak, namun seperti yang kita lihat, hal itu tidak selalu menuntun pada rasa sesak. Faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kesesakan adalah

1. Ukuran ruang yang akan diteliti (kamar, gedung, komplek pemukiman dan kota).

2. Variasi arsitektur, meliputi : tinggi plafon, penataan mebel, penempatanjendela,sekat, dinding pemisah dll.

Terdapat faktor personal dan situasional (setting) yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menyatakan sesuatu yang dialaminya sebagai


(50)

kesesakan. Faktor personal misalnya saja adalah locus of control. Gifford (1987: 167) menyatakan bahwa orang dengan internallocus of control dapat dengan mudah mengontrol stres yang diakibatkan oleh kesesakan. Faktor personal lainnya adalah kecenderungan berafiliasi atau dapat disebut juga sociability. Faktor yang kedua adalah faktor situasional atau setting yang meliputi pengaruh sosial dan pengaruh fisik.

2.2.4 Dampak – Dampak Kesesakan

Sarwono (1995: 81) menyatakan bahwa dampak – dampak kesesakan pada manusia dibedakan oleh:

a. Dampak kesesakan pada penyakit dan patologi sosial.

1. Reaksi fisiologis misalnya, meningkatnya tekanan darah 2. Penyakit fisik misalnya psikosomatis, pusing dan gatal – gatal.

3. Patologi sosial misalnya meningkatnya kejahatan, kecenderungan bunuh diri, gangguan jiwa dan kenakalan remaja.

4. Dampak kesesakan pada tingkah laku.

5. Agresif terhadap lingkungan, marah kepada orang – orang di lingkungan itu dan merusak lingkungan.

6. Menarik diri dari lingkungan, pergi dan menghindar dari lingkungan tersebut, menutup diri , tidak peduli terhadap lingkungan misalnya dengan sibuk membaca buku atau melamun.

7. Berkurangnya tingkah laku menolong.

8. Kecenderungan melihat sisi buruk orang lain jika terlalu lama bersama – sama di tempat yang padat atau sesak.


(51)

9. Dampak kesesakan pada suasana hati dan hasil usaha. 10. Hasil usaha atau prestasi kerja menurun.

11. Suasana hati (mood) cenderung murung.

Berbagai dampak kesesakan tersebut dapat dilihat bahwa suatu perilaku yang bersifat negatif lebih dominan dalam merespon situasi yang menimbulkan kesesakan, baik berhubungan langsung terhadap pola tingkah laku, maupun dalam bentuk kemunduran fisik.

2.3

Rumah Susun

2.3.1 Pengertian Rumah Susun

Perumahan merupakan kebutuhan pokok manusia, disamping makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, kebersihan dan lain-lain. Kebutuhan perumahan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun disisi lain menunjukkan bahwa lahan perumahan semakin terbatas dan hal tersebut akan menyebabkan perkembangan lahan perumahanyang cenderung vertikal sehingga berkembanglah rumah susun.

Berdasarkan undang – undang nomor 1 pasal 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.


(52)

Sedangkan menurut keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 524 tahun 2001, rumah susun sederhana adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian dengan luas minimum 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) setiap unit hunian, dilengkapi dengan KM/WC serta dapur, dapat bersatu dengan unit hunian ataupun terpisah dengan penggunaan komunal, dan diperuntukan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Lain halnya dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan rumah susun sebagai bangunan yang direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman oleh beberapa keluarga serta mempunyai tingkat minimum dua lantai dengan beberapa unit hunian.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun untuk tempat hunian keluarga yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah dan diperuntukan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

2.3.2 Tujuan Pembangunan Rumah Susun

Pembangunan rumah susun mempunyai tujuan – tujuan tertentu sesuai dengan undang – undang nomor 1 pasal 3 tahun 2011 yaitu

a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya.

b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam


(53)

menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh; mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif.

d. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi MBR. e. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan

rumah susun.

f. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu.

g. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan pembangunan rumah susun adalah menciptakan pemukiman layak huni dan terjangkau serta meningkatkan pemanfaatan ruang dan tanah di kawasan perkotaan terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis


(54)

2.4 Hubungan Antara Kesesakan Dengan Tingkat Stres

Kesesakan dipandang sebagai pemicu timbulnya tingkat stres psikologis pada seseorang individu. Stres yang dialami tergantung pada situasi situasional dan variabel psikologi lain. Penelitian tentang kesesakan dan stres dilakukan oleh Rini (2006: 1) yang meneliti mengenai hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesesakan dengan stres pada penduduk musiman. Kondisi lingkungan yang padat dan sesak mengakibatkan individu mendapat stimulus yang berlebihan sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus – stimulus yang dianggap relevan dan penting dari berbagai stimulus yang diterima dan memberikan sedikit perhatian terhadap stimulus yang dianggap tidak penting dan tidak relevan. Dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi kelebihan informasi, penduduk musiman menjadi acuh tak acuh satu sama lain dan kurang responsif. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak sosial dengan orang lain.

Penelitian serupa dilakukan oleh Hermawan (2014) yang meneliti gambaran crowding stress pada warga berusia remaja di pemukiman padat penduduk Kelurahan Babakan Asih Bandung yang menyatakan bahwa kondisi wilayah yang padat dapat memberikan efek negatif pada individu yang menempatinya, salah satunya adalah crowding stress. Hasil penelitian Hermawan menunjukkan bahwa secara umum remaja di Kelurahan Babakan Asih mengalami stres dengan tingkatan sedang. Adapun situasi yang paling membuat mereka


(55)

merasakan ketidaknyamanan bermukim adalah kondisi spasial (keterbatasan ruang) yang ada di lingkungan tersebut.

Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Haryanto dkk (1996: 1) yang menghasilkan temuan yang serupa yaitu ada hubungan positif antara kepadatan dan kesesakan dengan stres pada remaja di pemukiman padat. Kepadatan dan kesesakan memberikan sumbangan secara bersama – sama terhadap stres sebesar 17%..

Sama halnya dengan hasil temuan Evans (2007: 1) yang meneliti tentang kesesakan dan personal space pada 139 penumpang kereta api komuter, menemukan bahwa duduk terlalu dekat dengan penumpang lain dalam suasana yang sesak dan padat secara signifikan memicu timbulnya tiga indikasi stres. Tempat duduk yang padat dan sesak dengan gangguan dari orang – orang asing lebih memicu timbulnya stres daripada diantara orang – orang dengan hubungan interpersonal yang positif (Evan, 2007: 3).

Hasil yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Sundstrom (1975: 1) yang menyatakan bahwa kondisi dalam ruangan dengan kepadatan yang tinggi memicu timbulnya stres. Kondisi ini muncul ketika melibatkan kondisi dimana kontrol individu terganggu oleh interaksi interpersonal. Ruangan dengan kepadatan tinggi memicu timbulnya gangguan interpersonal seperti goal blocking yang dapat memunculkan stres yang berkelanjutan (Sundstrom, 1975: 9). Kesesakan dipandang sebagai stres psikologis yang terkadang disebabkan oleh kepadatan. Stres yang dialami tergantung pada situasi situasional dan variabel psikologi lain (Baum, 1979: 137).


(56)

Hasil penelitian Baum dan Valins (1979: 171) membuktikan bahwa kepadatan dan kesesakan erat kaitannya dengan patologi sosial dan stres. Seseorang tidak akan mengalami stres selama ia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stressor lingkungan. Ketika adaptasinya terhadap kesesakan berhasil maka stres tersebut dapat berkurang atau bahkan hilang.

2.5

Kerangka Berpikir

Manusia tidak pernah lepas dari stres, setiap orang pasti pernah mengalami stres baik stres dalam bentuk ringan, sedang, maupun berat. Stres yang dialami seseorang akan membuat dirinya merasa tertekan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres, diantaranya faktor internal dalam diri individu dan faktor eksternal diluar diri invidu. Faktor internal dari dalam individu, dapat muncul melalui persepsi crowding manusia. Sedangkan sumber stres yang berasal faktor eksternal diluar diri invidu dapat berupa sumber stres dari lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan dan sumber stres yang berasal dari kondisi lingkungan diantara kesesakan, kebisingan dan suhu. Sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut


(57)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat stres antara lain adalah faktor internal dalam diri individu

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Stres

Faktor Eksternal Faktor Internal

Kondisi Pekerjaan Kondisi

Lingkungan Kondisi Keluarga

Situasional Persepsi

Crowding Manusia

Kesesakan Behavioral

Emosional Kebisingan

Suhu

Tingkat Stres

1. Gejala emosional 2. Gejala kognitif 3. Gejala fisik atau

badan 4. Gejala sosial


(58)

dan faktor eksternal diluar diri invidu. Faktor internal dari dalam individu, dapat muncul melalui persepsi crowding manusia yaitu persepsi kesesakan manusiawi yang didasarkan jumlah individu. Sedangkan faktor – faktor eksternal diluar diri invidu dapat berupa kondisi keluarga seperti interaksi antar anggota keluarga, adanya anggota baru, kehilangan bahkan kecacatan. Kondisi pekerjaan juga dapat mempengaruhi tingkat stres. Pekerjaan dapat menyebabkan stres apabila hasilnya tidak sesuai dengan perintah dan dapat menyebabkan stres. Sedangkan kondisi lingkungan berasal dari lingkungan fisik individu. Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber- sumber stres. Lingkungan yang dimaksud adalah kondisi lingkungan dengan kesesakan tinggi yang ditandai dengan aspek behavioral, situasional dan emosional. Ketiga aspek kesesakan tersebut merupakan bagian dari salah satu dimensi faktor internal mempengaruhi stres yaitu persepsi crowding manusia. Kondisi lingkungan lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres adalah yang tingkat kebisingan tinggi, dan faktor lingkungan yang terakhir adalah suhu yang terlalu panas. Dari faktor -faktor tersebut dapat memunculkan tingkat stres yang ditandai dalam 4 gejala yaitu gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan gejala sosial.

2.6

Hipotesis

Berdasarkan landasan teori diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh

peneliti adalah “ Ada korelasi positif antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang”. Dalam hal ini, semakin tinggi kesesakan maka semakin tinggi pula tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.


(59)

44

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan tentang metode penelitian yang dipakai yang meliputi: jenis penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

3.1

Jenis dan Desain Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang mempunyai tata cara pengambilan keputusan interpretasi data dan kesimpulan berdasarkan angka-angka yang diperoleh dari hasil analisis statistik. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data – data numerikal (angka) yang diolah dengan dengan metode statistika. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi hubungan variabel yang diteliti (Azwar, 2012: 5)

3.1.2 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan jenis penelitian untuk mencari hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen (bebas) dengan variabel dependen (tergantung).

3.2

Variabel Penelitian

3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Berdasarkan hubungan fungsional antara variabel satu dengan yang lainnya, variabel dibedakan menjadi dua yaitu variabel independen (bebas) dan


(60)

independen (tergantung). Dalam penelitian ini variabel bebas dan variabel tergantung dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Variabel Bebas ( Y ) : Tingkat Stres 2. Variabel Tergantung ( X ) : Kesesakan

3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar 2012: 74). Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Tingkat Stres

Tingkat stres adalah tingkat reaksi individu yang bersumber dari tekanan emosional dan kekurangmampuan invidu untuk menyesuaikan diri yang disebabkan karena adanya persepsi ketakutan dan kecemasan sehingga dapat merusak keadaan fisilogis serta menganggu keseimbangan hidup bagi individu. Adapun gejala – gejala tingkat stres yang dipakai dalam penyusunan skala adalah gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan gejala sosial.

b. Kesesakan

Kesesakan adalah perasaan subjektif yang dialami oleh seseorang dalam merespon situasi kepadatan karena sempitnya ruang yang tersedia dan perasaan ini dapat diekspresikan dengan rasa senang maupun tidak senang. Kesesakan ini akan terjadi apabila terdapat hambatan tertentu dalam usaha interaksi sosial dan usaha pencapaian tujuan yaitu ketika individu menerima stimulus yang terus menerus dan tidak mampu untuk mengontrolnya dan mengalami hambatan dalam


(61)

pemenuhan kebutuhan personalnya. Adapun aspek – aspek kesesakan yang dipakai dalam penyusunan skala adalah aspek situasional, aspek behavioral dan aspek emosional.

3.2.3 Hubungan Antar Variabel

Hubungan antar variabel merupakan hubungan antara variabel X dan variabel Y yang terjadi hubungan sebab akibat. Variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah kesesakan, sedangkan variabel yang dipengaruhi adalah variabel tergantung (Y) yang dalam penelitian ini adalah tingkat stres. Jadi dalam penelitian ini variabel X mempengaruhi variabel Y. Apabila dibuat bagan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Hubungan Antar Variabel

3.3

Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan kelompok yang menarik minat peneliti, yang kepadanya peneliti hendak menggeneralisasikan hasil penelitiannya. Dalam konteks yang lebih luas, populasi dapat berupa orang – orang yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama, mereka menjadi anggota kelompok etnis tertentu, atau mereka yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu. Semakin banyak kesamaan karakteristik yang dimiliki anggota suatu populasi terkait dengan variabel yang sedang diteliti maka dapat dikatakan semakin homogen penelitian tersebut (Purwanto, 2013: 86).


(1)

HASIL UJI RELIABILITAS SKALA TINGKAT STRES

Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items

,865 28

HASIL UJI VALIDITAS SKALA KESESAKAN

Correlations

Total

VAR00001 Pearson Correlation

,385** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00002 Pearson Correlation

,617**

Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00003 Pearson Correlation

,559** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00004 Pearson Correlation

,670** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00005 Pearson Correlation

,625** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00006 Pearson Correlation

,545** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00007 Pearson Correlation

,527** Sig. (2-tailed) ,000


(2)

VAR00008 Pearson Correlation

,544** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00009 Pearson Correlation

,566** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00010 Pearson Correlation

,638** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00011 Pearson Correlation

,506** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00012 Pearson Correlation

,643** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00013 Pearson Correlation

,542** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00014 Pearson Correlation

,390** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00015 Pearson Correlation

,643** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00016 Pearson Correlation

,522** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00017 Pearson Correlation

,457** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

VAR00018 Pearson Correlation

,275** Sig. (2-tailed) ,002

N 125

VAR00019 Pearson Correlation

,382** Sig. (2-tailed) ,000


(3)

N 125 VAR00020 Pearson

Correlation

,486** Sig. (2-tailed) ,000

N 125

Total Pearson Correlation

1 Sig. (2-tailed)

N 125

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

HASIL UJI RELIABILITAS KESESAKAN

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items


(4)

LAMPIRAN 4

HASIL UJI ASUMSI

DAN HIPOTESIS


(5)

HASIL UJI NORMALITAS

HASIL UJI LINEARITAS

ANOVA Table

Stres * Kesesakan Between Groups

Within

Groups Total (Combined) Linearity

Deviation from Linearity Sum of

Squares

19836,737 12940,629 6896,108 7505,375 27342,112

df 43 1 42 81 124

Mean Square

461,319 12940,629 164,193 92,659

F 4,979 139,659 1,772


(6)

HASIL UJI HIPOTESIS

ANOVA Table

Stres * Kesesakan Between Groups

Within

Groups Total (Combined) Linearity

Deviation from Linearity Sum of

Squares

19836,737 12940,629 6896,108 7505,375 27342,112

df 43 1 42 81 124

Mean Square

461,319 12940,629 164,193 92,659

F 4,979 139,659 1,772