1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk yang padat. Padatnya penduduk Indonesia disebabkan oleh semakin pesatnya
pertumbuhan dan perkembangan penduduk dari tahun ke tahun, yang nampak pada kota
– kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung bahkan Semarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah tahun 2013, kota
Semarang menduduki peringkat ketiga dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Brebes dan Cilacap, yaitu sebanyak 1.644.800 jiwa dengan kepadatan penduduk
mencapai 4.402 per km
2
. Secara administratif, kota Semarang terdiri dari wilayah dataran rendah
kota bawah dan dataran tinggi kota atas yang terbagi atas 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Semarang tumbuh menjadi kota besar di kawasan provinsi Jawa
Tengah sebagai tempat tujuan urbanisasi masyarakat desa, mengingat semakin berkembangnya industri besar maupun kecil di kota Semarang. Inilah yang
menyebabkan kepadatan penduduk kawasan pusat kota Semarang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan pinggiran kota. Individu sebagai pekerja akan lebih
memiih untuk tinggal di pusat kota dimana letaknya dekat dengan lokasi kerja mereka.
Kawasan pusat kota semakin ramai dengan munculnya berbagai perumahan baru, fasilitas pendidikan dan pusat perbelanjaan yang tidak hanya
berpusat pada kawasan simpang lima saja seperti Carefour, Mall Banyumanik, Ada Swalayan, Perumahan Banyumanik, Perumahan Pucang Gading, dan fasilitas
pendidikan baik negeri maupun swasta, seperti Undip, Polines, Unika, dan lain –
lain. Pusat pertumbuhan di kawasan tengah kota Semarang sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk muncul menjadi kota kecil baru, seperti tumbuhnya
daerah Banyumanik sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk Kota Semarang bagian atas yang menjadikan daerah ini semakin padat. Cepatnya
pertumbuhan di daerah ini dikarenakan kondisi lahan di Semarang bawah sering terkena bencana banjir. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir yang
disebabkan oleh luapan air laut rob. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan kawasan kota pinggiran Semarang tidaklah terlalu signifikan jika dibandingkan
dengan wilayah lain di kota Semarang
.
Pertumbuhan penduduk yang cepat dalam wilayah kota Semarang dengan sendirinya akan memunculkan berbagai macam permasalahan. Pesatnya
pertumbuhan penduduk mengakibatkan jumlah penduduk semakin padat dan tidak sebanding dengan luas wilayah yang akan digunakan sebagai lahan tempat
tinggal. Hal ini akan memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah masalah tempat tinggal.
Perumahan atau pemukiman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sumardi dalam Prabowo, 1999: 8 menyatakan bahwa kebutuhan
perumahan merupakan kebutuhan pokok manusia disamping makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi dan partisipasi masyarakat.
Permasalahan perumahan bukan hanya masalah jumlah saja, tetapi merupakan
masalah yang cukup kompleks. Batubara dalam Prabowo, 1998: 9 menyatakan bahwa perumahan merupakan bagian integral dari masalah sosial, ekonomi, dan
kebudayaan bangsa, serta pemukiman nasional dalam arti yang luas. Kualitas hunian yang memadai sebagai tempat tinggal layak huni untuk
pembinaan keluarga sesuai dengan multiaspek rumah, menjadi sangat sulit dimiliki bagi individu di perkotaan saat ini. Akibatnya bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah MBR di perkotaan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memperoleh rumah yang terjangkau dan layak huni Jo Santoso
dalam Prabowo, 1998: 11. Namun dengan kenaikan jumlah penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan penyediaan fasilitas umum mengakibatkan
kecenderungan memburuknya kualitas pemukiman. Dalam rangka pengadaan pemukiman yang sehat, maka pemerintah mencoba mengurangi dampak
permasalahan yang mungkin saja dapat muncul dengan mengembangkan proyek rumah tunggal, rumah susun dan program perbaikan kampung. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemerintah kota Semarang adalah dengan mengadakan proyek rumah susun yang diprioritaskan bagi masyarakat golongan
berpenghasilan rendah, sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor
161985 tentang rumah susun Latifah dan Suryanto, dalam Dewi 2008: 13. Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah
yang layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah MBR dengan kepastian hukum dalam pemanfaatannya serta untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
Sehingga rumah dapat dijadikan sarana pembinaan keluarga dalam pembentukan kepribadian, watak, serta pendidikan yang baik sesuai dengan harkat dan martabat
manusia Undang – Undang No.16 tahun 1985.
Pembangunan rumah susun sederhana sudah banyak diselenggarakan di kota
– kota besar di Indonesia, salah satunya di kota Semarang. Kota Semarang memiliki beberapa rumah susun sederhana, diantaranya rumah susun Bandarharjo,
Pekunden, Karangroto, Plamongan , Genuk dan Kaligawe. Rumah susun atau dikenal dengan sebutan flat adalah rumah dimana lingkungan tetangga tidak saja
di kanan-kiri, tetapi juga berada di atas dan di bawah dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran yang relatif sempit Sarwono, 1995: 118.
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bangunan
– bangunan yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan
– satuan yang masing
– masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat – tempat hunian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan tanah bersama
Undang – Undang Republik Indonesia tahun 1993. Rustandi dalam Prabowo,
1999: 11 menyatakan bahwa rumah susun terdiri atas beberapa tingkat dan setiap tingkatnya terdiri dari beberapa unit rumah. Rumah merupakan suatu bangunan
untuk tempat tinggal, yang berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Rumah merupakan sarana untuk berlindung dari hujan dan panas, memberi rasa
aman dan nyaman, tempat berkumpulnya anggota keluarga, tempat bersosialisasi dan berinteraksi dengan tetangga, memenuhi kebutuhan harga diri dan juga
merupakan sarana aktualisasi diri.
Namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi rumah susun yang merupakan pemukiman kepadatan tinggi dan setiap bangunan dihuni oleh beberapa keluarga
Freedman dalam Prabowo, 1999: 11. Rumah susun merupakan tempat tinggal dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit.
Kondisi lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang. Penurunan kualitas secara terus menerus membuat para penghuni rusun merasa
tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut mempengaruhi keadaan psikis para penghuni rumah susun.
Kondisi lingkungan yang demikian, membuat para penghuni mendapatkan stimulus yang berlebihan sehingga harus melakukan adaptasi dengan cara
memilih stimulus – stimulus yang dianggap tidak relevan dan tidak penting. Rini
2006: 1 menyatakan bahwa dalam usahanya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang demikian artinya dengan situasi kelebihan informasi,
memunculkan berbagai masalah diantara individu menjadi acuh tak acuh satu sama lain dan kurang responsif. Dan dilakukan dengan menarik diri atau
mengurangi kontak sosial dengan orang lain. Gambaran banyaknya permasalahan tinggal di rumah susun dikemukakan
oleh Dewi 2008: 10 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa penghuni rumah susun Bandarharjo yang ditemuinya mengaku terkadang sering
marah – marah, mudah tersinggung sehingga kurang bersahabat dengan tetangga.
Hal – hal tersebut merupakan sebagian dari gejala – gejala stres yang dapat
dialami oleh individu, baik secara fisik, emosional, intelektual dan interpersonal. Tekanan yang dialami dapat berasal dari tetangga rusun, keadaan ekonomi,
lingkungan rumah susun, kondisi di dalam rumah dan hal ini dapat membuat seseorang mengalami stres. Lebih lanjut Iskandar 2012: 135 menerangkan hasil
penelitiannya di rumah susun dengan ukuran 36 m
2
yang banyak dihuni lebih dari 4 orang. Kondisi padat tersebut dijumpai setiap hari, sehingga seorang kepala
rumah tangga sering pulang lebih lambat untuk tiba di rumahnya. Sedangkan anak – anaknya yang sudah besar, mereka lebih sering bermain di luar rumahnya. Hal
ini dikarenakan ruangan yang sempit tersebut tidak menyenangkan penghuninya. Perilaku penghuni rumah susun tersebut adalah upaya untuk menghindari stres.
Tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi, juga dialami oleh sebagian besar warga Hongkong. Hongkong mempunyai kepadatan penduduk
lebih dari 400.000 ribu orang per km
2
. Sedangkan peruntukan tanah untuk pemukiman hanyalah sebanyak 6,8 dari keseluruhan tanah yang ada. Hal ini
tentunya mengakibatkan pemukiman di wilayah Hongkong padat dan sesak. Contohnya adalah sebuah flat dengan ukuran kamar 10’x10’ yang sebagian besar
dihuni oleh minimal 5 lima anggota keluarga. Ukuran kamar 10’x10’ dibagi menjadi beberapa ruang seperti ruang tidur, dapur, ruang kelurga bahkan kamar
dan hanya dibatasi oleh sekat – sekat beruba tirai. dikutip dari berbagai sumber.
Dengan kondisi demikian, tentunya membuat para penghuni merasa tidak nyaman. Sebagian besar penghuni menjadi mudah marah bahkan suasana hati
mudah berubah - ubah saat berada di rumah. Bukan hanya anak – anak tetapi
orang dewasa juga sulit berkonsentrasi untuk belajar dan melakukan pekerjaan. Akibatnya kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan terutama pekerjaan
yang kompleks cenderung memburuk. Haryanto dkk dalam Dewi 2008: 10
menyatakan bahwa dalam suasana yang padat dan sesak kondisi psikologis yang negatif mudah timbul. Hal ini merupakan faktor penunjang kuat munculnya stres
dan beragam bentuk aktivitas sosial yang negatif. Gambaran tentang suasana yang padat dan sesak di rumah susun juga
tampak dalam kehidupan Pak Untung sebagai salah satu penghuni Rumah Susun Urip Sumoharjo, ia mengaku bahwa sering merasa bingung untuk memberi ruang
bagi semua anggota keluarganya. Ruangan dalam rumah terbatas tetapi jumlah anggota yang banyak tidak mampu menampung seluruh anggota keluarga
sehingga Pak Untung dan anggota keluarga lainnya menjadi sering marah – marah
www.jawapos.com .
Salah satu rumah susun yang terdapat di daerah Semarang dengan kondisi yang padat adalah Rumah Susun Pekunden. Penelitian ini berbeda dengan
beberapa penelitian sebelumnya, meskipun variabel yang diteliti sama yaitu kesesakan dengan tingkat stres. Namun tempat penelitian dalam penelitian ini
adalah rumah susun dimana karakteristik subjek penelitian yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti yaitu laki
– laki dan perempuan usia minimal 17 tahun dengan minimal jumlah anggota keluarga minimal 4 orang. Karakteristik subjek
yang diteliti berbeda dengan subjek dalam penelitian – penelitian sebelumnya.
Diketahui bahwa penelitian – penelitian sebelumnya hanya meneliti pada wilayah
pemukiman dengan kepadatan tinggi tanpa ada batasan- batasan tertentu tiap rumahnya.
Peneliti memilih rumah susun Pekunden untuk dijadikan lokasi penelitian dengan beberapa alasan. Dilihat dari kondisi lingkungan, bentuk dan letak rusun
Pekunden, tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan yang ada disana membuat seseorang merasa kurang nyaman jika tinggal di rumah susun. Tidak hanya dari
fasilitas tempat tinggal yang kurang baik tetapi daerah lingkungan tempat tinggal yang tidak lepas dari berbagai permasalahan lain. Seperti konflik antar anggota
keluarga, atau bahkan konflik dengan tetangga. Alasan lain adalah karakteristik penghuni rumah susun Pekunden juga sudah memenuhi syarat untuk menjadi
subjek penelitian. Selain itu berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan wawancara, diperoleh temuan bahwa penghuni rumah susun Pekunden merasakan
adanya kesesakan dan muncul gejala – gejala stres selama tinggal di rumah susun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang penghuni rumah susun pada tanggal 17 Maret 2015 dan tanggal 16 April 2015 bertempat di rumah susun
Pekunden, hampir keseluruhan menyatakan bahwa terkadang mereka mudah marah, mudah tersinggung dan terkadang membatasi hubungan dengan tetangga.
Tinggal dalam ruang sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga stres mudah muncul. Segala
macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian seseorang akan keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan
keterbatasan inilah yang menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, rasa bersalah Anoraga, 2006: 107.
Gambaran keterbatasan tinggal di rumah susun nampak di kehidupan DA 21 tahun yang merupakan warga penghuni rumah susun Pekunden dimana
dalam satu rumah dengan tipe 27 m
2
terdapat 3 kepala keluarga yang didalamnya terdapat 7 orang jiwa. Artinya satu orang hanya akan mendapatkan ruang kurang
dari 4 m
2.
Dengan kondisi kesesakan yang cukup tinggi dapat membuatnya merasa tidak nyaman.
“ Wah, karena yang tinggal di rumah saya ada 7 orang, ya jelas saya merasa tidak nyaman. Mau nonton televisi harus gantian, mau mandi
harus nunggu giliran, apa – apa harus antri. Malah jadinya rebutan dan
akhirnya saya dan kakak jadi sering berantem. Duhh repot pokoknya. Karena rumah saya tidak ada kamar, jadi mau tidur juga repot.
Kayaknya gak ada ruang yang cukup nyaman buat saya bersantai dan beristirahat
. Ya kecuali kalau saya sendirian di rumah”. Wawancara: 17 Maret 2015
Hal serupa diungkapkan oleh ES 41 tahun yang merupakan penghuni rusun tipe 27 m
2
dengan enam anggota keluarga. ES menyatakan bahwa kondisi rumahnya jauh dari standard untuk dapat dikatakan sebagai rumah yang nyaman.
Hal ini berakibat pada kondisi psikologisnya yang mudah tersinggung, cepat marah bahkan terkadang membuatnya sakit kepala.
“Walah mbak, rumah kaya gini kok nyaman. Menurut saya nyaman bukan dari faktor fisik saja. Memang kalau mbak lihat dari luar
memang rumah saya sudah bagus, lantai sudah keramik, ada kipas angin, tv dan ada ruang karaoke juga. Hehehe, tapi liat dalamnya
ruwet mbak. Dimana
– mana ada barang saya, barang anak saya juga berserakan dimana
– mana. Kalau sudah gitu mau istirahat dimana, apalagi saya punya dua anak yang masih kecil
– kecil. Lah kalau sudah ngumpul di rumah, gak kebayang berisiknya. Gimana saya mau
istirahat. Kadang – kadang saya juga marah kalau mereka berantem,
bikin berisik, tapi ya mau gimana lagi cuma punya rumah ini terus mau kemana. Pusing saya mbak kalau udah kaya gitu”.
Wawancara: 16 April 2015 Tidak jauh berbeda dengan DA dan ES, salah seorang penghuni rusun SS
64 tahun juga menyatakan bahwa kondisi rumahnnya sangatlah tidak nyaman. SS mendiami rusun dengan ukuran 27 m
2
dengan dua kepala keluarga sehingga jumlah keseluruhan terdapat enam orang yang tinggal didalamnya. SS merupakan
warga asli Pekunden yang mendapat ganti rugi atas pembangunan rusun Pekunden. SS menilai bangunan rusun ini memang bagus dan terlihat megah
ketika pertama kali ditempati. Rumah susun Pekunden merupakan proyek rumah susun pertama di kota Semarang. Namun, seiring dengan bergantinya tahun,
kondisi bangunan terlihat sangat memprihatikan. Apalagi dari tahun ke tahun banyak penghuni baru tentunya ini mengakibatkan ketidaknyamanan tersendiri
bagi SS. “ Dulu sekitar tahun 80an bangunan sini bagus lho mbak. Dulu kan
saya punya rumah disini tapi kena gusur dan akhirnya dapat ganti rugi jadinya punya rusun ini. Ya dulu sih nyaman sekali. Lah tapi sekarang
banyak tetangga punya anggota keluarga baru, yang tadinya hanya dua orang sekarang jadi empat sampai lima orang satu rumahnya. Jadi
tambah semrawut. Dirumah saya saja ada enam orang, gara
– gara ketambahan tiga cucu jadinya makin rame. Tapi ya itu jadi makin
semrawut rumahnya. Anak – anak tetangga juga makin banyak.
Kurang tahu gara – gara itu atau tidak, yang jelas saya sering sulit
tidur dan mudah sekali kesal dengan tetangga yang seliweran diluar. Lihat saja mbak, kamar saja tidak ada, jadi kalau mau tidur harus pake
kasur lipat. Kadang – kadang saya juga tidur di sofa. Kalau sudah
seperti itu mana bisa beristirahat dengan tenang”. Wawancara: 16 April 2015
Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan
bahwa kondisi rumah susun Pekunden Semarang yang padat dan sesak membuat para penghuninya tidak nyaman. Terbukti dari hasil wawancara yang
menyebutkan bahwa narasumber tidak dapat beristirahat dengan tenang karena banyaknya orang disekitar, terganggu dalam melakukan aktivitas dan berakibat
pada kondisi psikologisnya yang menjadi mudah tersinggung dan cepat marah, bahkan berakibat pada kondisi fisik seperti sakit kepala. Kondisi yang demikian
menjadi faktor pemicu timbulnya stres, seperti yang diungkapkan oleh Haryanto dkk dalam Dewi 2008:10 yang menyebutkan bahwa dalam suasana yang padat
san sesak kondisi psikologis yang negatif mudah muncul dan hal ini menjadi faktor penunjang kuat munculnya stres.
Selain faktor diatas, faktor lain yang berkaitan langsung dengan stres adalah perubahan dalam lingkungan. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa
dulu kondisi lingkungan rumah susun Pekunden Semarang nyaman untuk ditinggali, namun dari tahun ke tahun kondisi lingkunganya cenderung memburuk
yang terlihat dari penurunan kualitas ketersediaan sarana dan prasarana yang ada. Selain itu seiring berjalannya waktu banyak penghuni
– penghuni baru, dan berakibat pada bertambahnya jumlah penghuni secara keseluruhan, sehingga
terjadi perubahan dalam lingkungan di rumah susun Pekunden Semarang. Anoraga 2006: 109 menyebutkan bahwa perubahan dalam lingkungan dapat
menjadi faktor penyebab munculnya stres. Apabila perubahan lingkungannya sudah menjadi semakin cepat dan ganas, maka seseorang sudah merasa kewalahan
untuk menghadapi atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut, sehingga ambang ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui, akibatnya dalam
kondisi seperti ini stres akan mudah muncul. Penelitian mengenai stres di rumah susun diantaranya dilakukan oleh
Dewi 2008: 57 yang dilakukan di rumah susun Bandarharjo, Semarang menyatakan bahwa tekanan yang terjadi dalam lingkungan rumah susun
Bandarharjo dan lingkungan perumahan lain yang berbeda, dengan situasi –
situasi negatif yang ada dalam lingkungan rusun tersebut dapat membuat penghuninya menjadi stres. Menurut Wrightman dan Deaux dalam Dewi 2008:
10 menyatakan stres dan segala bentuk macam gangguan psikis lainnya dapat
disebabkan oleh suasana yang padat sesak, sehingga kondisi psikologis yang negatif mudah timbul. Baum dalam Dewi, 2008: 11 mengatakan bahwa
peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan lingkungannya maka individu akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kebebasan individu akan
terancam sehingga individu mudah mengalami stres. Tinggal dalam lingkungan sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dan berpenghuni padat dapat membuat
perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga dapat membuat seseorang mengalami stres.
Kesesakan dipandang sebagai stres psikologis yang terkadang disebabkan oleh kepadatan. Stres yang dialami tergantung pada situasi situasional dan
variabel psikologi lain Baum, 1979: 137. Hasil penelitian Baum dan Valins 1979: 171 membuktikan bahwa kepadatan dan kesesakan erat kaitannya dengan
patologi sosial dan stres. Seseorang tidak akan mengalami stres selama ia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stressor lingkungan. Ketika
adaptasinya terhadap kesesakan maka stres tersebut dapat berkurang atau bahkan hilang.
Anoraga 2006: 107 menyatakan bahwa segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurang mengertian seseorang akan keterbatasannya
sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe
– tipe dasar stres. Gifford 1987: 118 mengemukakan bahwa stres dapat dipicu oleh
faktor kepadatan tinggi dan mengakibatkan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut mengalami kesesakan lingkungan. Jumlah penghuni yang padat,
tata ruang yang tidak teratur dan ruangan yang sempit dapat membuat seseorang merasa sesak sehingga merasa tidak nyaman.
Akibat negatif dari kesesakan menyebabkan seseorang tidak bisa mengendalikan situasi tersebut. Ketika seseorang mampu untuk mengendalikan
situasi yang tertekan, maka niscaya seseorang tersebut mampu untuk mengendalikan emosinya. Sebaliknya apabila seseorang tidak bisa mengendalikan
situasi tersebut, maka ia akan merasa lebih tertekan. Menurut Sarwono 1995: 77 kesesakan adalah salah satu bentuk persepsi seseorang terhadap lingkungannya,
oleh karena itu lebih bersifat subjektif dan bergantung pada keadaan lingkungan tersebut. Kesesakan crowding berbeda denngan kepadatan density. Altman
1975: 49 berpendapat bahwa kesesakan sebagai perasaan subjektif seseorang aspek psikologis sedangkan kepadatan adalah banyaknya orang yang menempati
setiap unit tempat tinggal aspek fisik. Dijelaskan pula bahwa kepadatan merupakan salah satu penyebab munculnya kesesakan tetapi dalam hal ini tidak
selalu menjadi penyebab utama. Sears 2007: 228 mengungkapkan bahwa kesesakan atau rasa sesak
adalah perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif. Tingkat kesesakan yang kita rasakan tergantung pada jumlah kepadatan yang
dirasakan. Tingginya tingkat kepadatan cukup untuk mempersepsikan kesesakan. Tetapi kepadatan tidaklah sama dengan kesesakan. Menurut Stokols dalam
Holander, 1981: 304 kepadatan density mengacu pada kendala keruangan
spatial contraint, sedangkan kesesakan crowding adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak tight space. Jadi kesesakan merupakan suatu
pengalaman subjektif seseorang terhadap ruang yang sempit dan biasanya dalam kondisi sesak sebagai hal yang bersifat negatif.
Sependapat dengan Stokols, Altman 1987: 49 menyatakan bahwa pada kondisi kepadatan tinggi yang berhubungan dengan lingkungan dengan sarat
kemiskinan cenderung menjadi mudah tersinggung, merasa tidak nyaman secara fisik, cenderung berkompetisi, gerak selalu dibatasi dsb. Semakin seseorang
merasa tidak nyaman dengan keadaan lingkungannya maka semakin seseorang merasa frustasi karena ada tekanan dari luar yang tidak dikehendaki oleh individu
yang bersangkutan. Kesesakan akan menyebabkan keadaan psikologis yang menekan,
akibatnya seorang individu akan merasa terkungkung oleh keadaan disekitar lingkungannya, sementara individu itu sendiri masih membutuhkan ruang untuk
bergerak. Apabila ruang yang diperlukan untuk bergerak terbatas, atau sangat terbatas, besar kemungkinan munculnya perasaan kesesakan. Kesesakan
diruangan yang sempit dan kecil sering membuat mereka gugup, merasa tidak nyaman dan mudah tersinggung Altman, 1987: 49. Selanjutnya Freedman dan
Evans dikutip dari Davidoff, 1991: 52 menyatakan pada kondisi kepadatan tinggi yang berhubungan dengan lingkungan yang kecil cenderung menjadi
mudah tersinggung, merasa tidak nyaman , cenderung berkompetisi, gerak yang selalu dibatasi, lingkungan yang menjijikan, panas dan sejenisnya.
Kepadatan akan membuat rasa sesak meskipun kesesakan tidak selalu disebabkan oleh kepadatan. Kesesakan merupakan suatu perasaan subjektif yang
dialami seseorang sehingga dalam situasi ini ada yang tidak merasakan kesesakan tetapi ada pula yang merasakan kesesakan. Maka apa yang dialami oleh individu
yang satu belum tentu dirasakan individu lain. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis bermaksud untuk melaku
kan penelitian dengan judul “Hubungan Kesesakan Terhadap Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden
Semarang.
1.2 Rumusan Masalah