Kepadatan akan membuat rasa sesak meskipun kesesakan tidak selalu disebabkan oleh kepadatan. Kesesakan merupakan suatu perasaan subjektif yang
dialami seseorang sehingga dalam situasi ini ada yang tidak merasakan kesesakan tetapi ada pula yang merasakan kesesakan. Maka apa yang dialami oleh individu
yang satu belum tentu dirasakan individu lain. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis bermaksud untuk melaku
kan penelitian dengan judul “Hubungan Kesesakan Terhadap Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden
Semarang.
1.2 Rumusan Masalah
Melalui uraian pada latar belakang diatas, masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah
a. Bagaimana gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden Semarang?
b. Bagaimana gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang?
c. Apakah ada hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
a. Mengetahui gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden Semarang.
b. Mengetahui gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun Pekunden Semarang.
c. Mengetahui hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni
rumah susun Pekunden Semarang.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat dilakukannya penelitian ini
adalah :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi dunia psikologi sosial dan psikologi lingkungan di
Indonesia tentang tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang dalam kaitannya dengan kesesakan dimana kesesakan
merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan secara khusus kepada para penghuni rumah susun Pekunden Semarang tentang
pentingnya pengembangan dan pengelolaan stres dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dalam berkomunikasi, menjalin hubungan antar
sesama penghuni bahkan dalam berperilaku dan bertindak.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stres
2.1.1 Pengertian Stres
Manusia tidak pernah lepas dari stres, setiap orang pasti pernah mengalami stres baik stres dalam bentuk ringan, sedang, maupun berat. Stres merupakan
salah satu bentuk gangguan psikologis yang kerap dialami manusia, terutama di era modern ini sebagai akibat dari semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi manusia. Sepanjang hidupnya manusia tidak akan pernah lepas dari masalah. Jika hal tersebut dirasakan menekan, mengganggu dan mengancam
maka keadaan ini dapat disebut stres.
Sarwono 1995: 86 menyatakan bahwa stres adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi
atau menghilangkan stres, individu melakukan tingkah laku penyesuaian coping behavior. Sedangkan menurut Markam dan Slamet 2008: 35 stres adalah suatu
keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Sama halnya dengan Hardjana 1994: 14
yang mengartikan stres sebagai keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres
membuat seseorang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan, entah nyata atau tidak nyata antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya biologis,
psikologis dan sosial yang ada padanya. Dari kedua pengertian diatas dapat
diartikan bahwa stres dianggap sebagai respon yang merupakan kondisi atau keadaan sebagai akibat dari tekanan emosional dimana beban yang dirasakan
tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban tersebut. Berbeda dengan definisi stres menurut Taylor dalam Kusuma dan
Gusniarti, 2008: 34 yang mengartikan stres sebagai hasil dari proses penilaian individu berkaitan dengan sumber
– sumber pribadi yang dimilikinya untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan. Atkinson, dkk 2010: 338 mendefinisikan
stres sebagai hal yang terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa
tersebut biasanya dinamakan stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres.
Anoraga 2006: 108 mengungkapkan bahwa stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap
suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Manusia akan cenderung mengalami stres apabila ia kurang
mampu mengadaptasikan keinginan – keinginan dengan kenyataan – kenyataan
yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Anoraga 2006: 10 merumuskan stres sebagai reaksi dari tekanan emosional, juga
rangsangan – rangsangan yang merusak keadaan fisiologis individu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah akibat reaksi individu dari tekanan emosional dan kekurangmampuan
invidu untuk menyesuaikan diri yang disebabkan karena adanya persepsi
ketakutan dan kecemasan sehingga dapat merusak keadaan fisiologis serta menganggu keseimbangan hidup bagi individu.
2.1.2 Gejala – Gejala Stres
Gejala – gejala stres menyangkut kesehatan fisik dan kesehatan mental.
Individu yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Individu tersebut sering menjadi mudah marah dan agresi, tidak dapat
rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Lebih lanjut individu tersebut melarikan diri dengan minum alkohol atu merokok secara berlebihan.
Selain itu, bisa menderita penyakit fisik seperti, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi dan sulit tidur Handoko, 2001: 200. Selye dalam Bell dalam
Iskandar, 2012: 49 menjelaskan proses stres dari kajian fisiologis. Seseorang berinteraksi dengan stimulus lingkungan yang dapat menimbulkan stres bagi
seseorang, maka di dalam dirinya akan muncul gejala – gejala aktivitas saraf
otonom. Aktivitas saraf otonom secara otomatis bekerja karena dirinya merasakan stres. Adapun ciri
– ciri dari peningkatan saraf otonom adalah meningkatnya detak jantung, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya pengeluaran keringat di
telapak tangan, sering buang air kecil dsb. Lazarus dalam Bell dalam Iskandar 2012: 50 memperbaiki pendapat
Selye. Seseorang akan mengalami stres apabila ia telah melakukan penilaian kognitif yang terdapat dalam dirinya. Apabila hasil penilaian kognitif menyatakan
bahwa stimulus lingkungan yang dihadapinya tidak mengancam dirinya , maka proses fisiologis tersebut tidak berlangsung. Hal ini berarti bahwa tidak muncul
perasaan tegang dalam dirinya, sehingga kondisi psikologisnya menjadi seimbang
kembali.
Menurut Atkinson, dkk 2010: 349 situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan sampai emosi umum kecemasan, kemarahan,
kekecewaan dan depresi stres yang ditunjukkan dengan gejala – gejala sebagai
berikut: 1.
Gejala emosional atau reaksi psikologis yaitu marah – marah, cemas,
kecewa, suasana hati mudah berubah – ubah, depresi, agresif terhadap
orang lain, mudah tersinggung dan gugup. a. Kecemasan
Respon yang paling umum adalah kecemasan yang diartikan sebagai emosi tidak menyenangkan yang ditandai oleh istilah seperti khawatir,
prihatin, tegang dan takut. b. Kemarahan dan Agresi
Reaksi umum lain terhadap situasi stres adalah kemarahan, yang mungkin dapat menyebabkan agresi. Anak
– anak seringkali menjadi marah dan menunjukkan perilaku agresif jika mereka mengalami
frustasi. Agresi langsung terhadap sumber frustasi tidak selalu dimungkinkan. Riset telah membuktikan bahwa agresi bukan
merupakan respon yang pasti terjadi setelah frustasi, tetapi jelas merupakan salah satu darinya.
c. Apati dan Depresi Walaupun respon umum terhadap frustasi adalah agresi aktif, respon
kebalikannya adalah menarik diri dan apati juga sering terjadi. Jika kondisi stres terus berjalan dan individu tidak berhasil mengatasinya,
apati dapat memberat menjadi depresi Atkinson, dkk 2010: 352. 2.
Gejala Kognitif Selain reaksi emosional terhadap stres, individu seringkali
menunjukkan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stresor
yang serius.
Individu merasa
sulit berkonsentrasi
dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis, sebagai akibatnya
kemampuan mereka melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk Atkinson, dkk 2010: 354 yaitu merasa
sulit berkonsentrasi, kacau pikirannya, mudah lupa, daya ingat menurun, suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.
3. Gejala Fisik
Sulit tidur, sulit buang air besar, sakit kepala, adanya gangguan pencernaan, selera makan berubah, tekanan darah menjadi tinggi, jantung
berdebar – debar, dan kehilangan energi. Stres kronis dapat menyebabkan
gangguan fisik tertentu seperti ulkus, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Stres kronis juga menganggu sistem imun, dengan demikian
menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan bakteri dan virus yang menyerang Atkinson, dkk 2010: 359.
Sedangkan Anoraga 2006: 109 menyatakan bahwa stres yang tidak teratasi menimbulkan gejala badaniah, jiwa dan gejala sosial. Dapat ringan, sedang dan
berat. Gejala ringan dan sedang dapat ditandai dengan keluarnya keringat dingin dan keringat pada telapak tangan, rasa panas dingin badan, asam lambung yang
meningkat sakit maag, kejang lambung dan usus, mudah kaget, dan gangguan seksual. Sedangkan gejala berat akibat stres sudah tentu kematian, gila psikosis
dan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Anoraga 2006: 109 menjelaskan gejala
– gejala dari stres meliputi : 1. Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget, banyak keluar keringat
dingin, gangguan pola tidur, lesu letih, kaku leher belakang sampai punggung, dada merasa panas atau nyeri, rasa tersumbat pada kerongkongan,
gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual, muntah, gejala kulit, bermacam
– macam gangguan menstruasi, keputihan, kejang – kejang, pingsan dan jumlah gejala lain.
2. Gejala emosional: pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, was
–was, kawatir, mimpi – mimpi buruk, murung, mudah marah atau jengkel, mudah menangis, pikiran bunuh diri, gelisah dan pandangan putus
asa. 3. Gejala sosial : makin banyak makan, menarik diri dari pergaulan sosial,
mudah bertengkar dan membunuh. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, pada dasarnya stres dapat dilihat
dari 4 gejala yaitu gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan gejala sosial. Keempat gejala tersebut akan digunakan dalam pembuatan
instrumen penelitian. Dalam pembuatan instrumen, peneliti menggabungkan gejala
– gejala stres dari Atkinson dan Anoraga dengan alasan peneliti menganggap bahwa gejala
– gejala stres menurut Atkinson dan Anoraga saling melengkapi, sehingga dapat mengungkap keseluruhan gejala
– gejala stres yang ada.
2.1.3 Faktor Penyebab Stres
Segala macam
bentuk stres
pada dasarnya
disebabkan oleh
kekurangmengertian manusia akan keterbatasan – keterbatasannya sendiri.
Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe
– tipe dasar stres. Menurut Anoraga 2006: 109 ada dua faktor utama yang berkaitan langsung
dengan stres, yaitu 1. Perubahan dalam Lingkungan
Apabila perubahan dalam lingkungannya sudah menjadi sedemikian cepat dan ganas, sehingga seseorang sudah merasa kewalahan untuk menghadapi
atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut, maka ambang ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui. Kondisi inilah yang harus
dihindarkan atau ditanggulangi.
2. Diri Manusia Sendiri
Dalam hubungan dengan gangguan badan, dikatakan bahwa stres emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem neurohumoral
menyebabkan gejala – gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon
adrenalin dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat
menimbulkan kadar asam dan lemak bebas selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah dan keduanya mengakibatkan
gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian mendadak serangan jantung.
Menurut Smet 1994: 130 reaksi terhadap stres bervariasi antara satu orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini
sering disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat
merubah dampak stresor bagi individu yaitu sebagai berikut :
1. Variabel dalam kondisi individu : umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor
– faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, budaya,
status ekonomi dan kondisi fisik.
2. Karakteristik kepribadian : introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum,
tipe kepribadian A, ketabahan, locus of control, kekebalan dan ketahanan.
3. Variabel sosial – kognitif : dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial
dan kontrol pribadi yang dirasakan.
4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi
dalam jaringan sosial.
5. Strategi coping : menentukan bagaimana keputusan yang diambil berdasarkan
emosi atau pemikiran yang matang.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor penyebab stres yaitu variabel dalam kondisi individu, karakteristik kepribadian, variabel sosial
– kognitif, strategi coping, hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang
diterima, dan integrasi dalam jaringan sosial.
2.1.4 Sumber – Sumber Stres
Sumber stres dapat berubah – ubah sejalan dengan perkembangan
manusia. Sarafino dalam Smet, 1994: 115 membedakan sumber – sumber stres
sebagai berikut :
a. Sumber
– sumber stres di dalam diri seseorang. Tingkat stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur
individu, stres juga akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik , konflik
merupakan sumber stres yang utama. b.
Sumber – sumber stres di dalam keluarga.
Stres bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga seperti perselisihan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan
– tujuan yang saling berbeda, atau bahkan kematian orang tua. Misal: perbedaan keinginan tentang acara televisi
yang akan ditonton, perselisihan antara orang tua dengan anak – anak yang
menyetel tapenya keras – keras, timbul di lingkungan yang terlalu sesak bahkan
kehadiran anggota keluarga baru. c.
Sumber – sumber stres di dalam pekerjaan.
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka. Pekerjaan dapat menyebabkan stres
apabila hasilnya tidak sesuai dengan perintah dan dapat menyebabkan stres. Tuntutan kerja dapat menimbulkan stres dalam 2 cara. Pertama, pekerjaan itu
mungkin terlalu banyak. Orang bekerja terlalu keras dan lembur, karena keharusan harus mengerjakan, mungkin alasan uang atau alasan lain. Kedua, jenis
pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressfull daripada jenis pekerjaan lainnya Smet, 1994: 117.
d. Sumber
– sumber stres yang berasal dari komunitas dan lingkungan. Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber
– sumber stres. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, seperti kebisingan,
suhu yang terlalu panas dan kesesakan yang mengganggu kenyamanan, dan dapat menyebabkan kemarahan, bahkan pertengkaran Smet, 1994: 116.
Iskandar 2012: 48 mengungkapkan bahwa lingkungan yang berada di sekitar manusia memberikan stimulasi yang dapat dimaknakan sebagai stresor
atau stimulus yang dapat menimbulkan tekanan pada seseorang. Ketika seseorang menghadapi suara yang bising maka ia merasa bahwa suara tersebut menekan
dirinya atau menjadi stressor karena ia merasa tidak menyenangi suara bising. Namun demikian, suatu peristiwa dapat dipersepsi sebagai ancaman atau bahkan
sebagai tantangan. Kemungkinan sesuatu menjadi ancaman akan ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor
– faktor yang memungkinkan seseorang merasa terancam adalah dikarenakan adanya penilaian terhadap objek lingkungan. Penilaiannya
dapat dikategorikan sebagai berikut 1. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kejadian yang mendadak dan tidak
ada atau sedikit sekali memberikan peringatan bahwa akan terjadi suatu peristiwa atau disebut juga cataclysmic event.
2. Kategori stres personal yang merupakan stres yang dialami oleh seseorang dan tidak melanda banyak orang seperti halnya pada cataclysmic event.
Contohnya meninggalnya orang yang dicintai atau sakitnya keluarga dan hilangnya pekerjaan.
3. Stres yang berulang kali terjadi, sehingga seseorang dapat mengalami peristiwanya setiap hari seperti misalnya kemacetan lalu lintas.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum sumber
– sumber stres terbagi menjadi faktor internal dan eksternal. Stres dapat bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, bersumber dari keluarga, dari
pekerjaan atau bahkan dari faktor lingkungan. Faktor internal dan eksternal ini memberikan pengaruh terhadap tingkat stres pada seseorang. Tingkat stres yang
dialami oleh yang satu dengan yang berbeda. Anoraga 2006: 109 mengungkapkan bahwa sebenarnya ada dua faktor utama yang berkaitan langsung
dengan stres, yaitu perubahan dalam lingkungan dan diri manusianya sendiri. Akibat terhadap seseorang bermacam
– macam dan hal ini tergantung pada kekuatan “konsep diri”nya yang akhirnya menentukan besar kecilnya toleransi
orang tersebut terhadap stres. Tetapi meskipun demikian, fleksibilitas dan adaptasibilitas juga diperlukan agar seseorang dapat menghadapi stresnya dengan
baik. Menurut Smet 1994: 130 reaksi terhadap stres bervariasi antara satu
orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Tingkat stres yang dialami seseorang dapat ringan, sedang dan berat. Hal ini sering
disebabkan oleh perbedaan masing – masing sumber stres pada setiap orang.
Orang – orang yang kaku atau fanatik terhadap ambisi – ambisi dan norma –
norma yang dipegangnya cenderung mengalami keadaan yang lebih buruk.
Atkinson, dkk 2010: 230 menyatakan kejadian stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua orang, tergantung pada situasi apa yang berarti
kepada seseorang. Berat atau tidaknya stres ditentukan oleh faktor – faktor seperti
evaluasi kognitif, perasaan- perasaan mampu, adanya dukungan sosial, kendali atas lamanya terjadi stres dan daya ramal peristiwa yang membuat stres. Stres
pada seseorang dapat bersumber dari faktor internal individu, faktor eksternal individu ataupun keduanya. Kedua faktor ini memiliki kontribusi yang berbeda
– beda bagi setiap orangnya, dan bergantung pada seberapa besar seseorang mampu
mengatasi setiap stressor – stressor yang ada.
2.2 Kesesakan
2.2.1 Pengertian Kesesakan
Kesesakan ada hubungannya dengan kepadatan namun kepadatan bukanlah merupakan syarat yang mutlak untuk menimbulkan perasaan sesak.
Secara teoritis perlu dibedakan antara kepadatan density dengan kesesakan crowding. Kepadatan mengacu kepada jumlah orang dalam ruang space
sehingga sifatnya mutlak, sedangkan kesesakan adalah persepsi seseorang terhadap kepadatan, sehingga sifatnya subjektif Halim, 2008: 72.
Gifford 1987: 165 menyatakan bahwa kesesakan adalah perasaan seseorang atau perasaan subjektif karena banyaknya orang disekitarnya. Sarwono
1995: 77 menjelaskan bahwa kesesakan berarti a. Kesesakan adalah persepsi tentang kepadatan, dalam artian jumlah manusia.
Jadi, tidak termasuk didalamnya kepadatan dalam arti hal – hal lain yang non
manusia. Orang yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun
dalam hutan rimba yang penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota yang penuh bangunan tetapi tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan
kesesakan seperti yang dialami oleh penumpang kereta api atau bus atau
pengunjung resepsi pernikahan yang disekitarnya terdapat banyak orang.
b. Kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Oorang yang sudah biasa naik bus yang padat penumpangnya mungkin sudah tidak merasa sesak lagi.
Sebaliknya orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong.
Sears 2007: 229 mengungkapkan bahwa kesesakan merupakan perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif atau rasa sesak
adalah keadaan psikologis yang menekan dan tidak menyenangkan, yang dikaitkan dengan keinginan untuk memperoleh lebih banyak ruang daripada yang
telah diperoleh. Altman 1975: 49 menyatakan bahwa faktor situasional sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kesesakan. Stresor yang menyertai kesesakan
seperti suara gaduh, panas, polusi dan karakteristik setting tipe rumah dan tingkat kepadatan.
Stokols dalam Altman 1975: 49 menyatakan kesesakan sebagai konsep psikologis dengan dasar pengalaman dan motivasi. Ada beberapa poin penting
dari pendekatan Stokols. Pertama, kesesakan adalah reaksi pribadi dan subjektif, bukan variabel fisik. Kedua, kesesakan adalah keadaan motivasi yang sering
berakibat pada maksud tingkah laku, yaitu untuk segera diakhiri atau menghilangkan rasa ketidaknyamanan. Ketiga, kesesakan muncul pada perasaan
yang berada di ruangan yang terlalu sempit. Stokols juga membedakan antara
kesesakan non-sosial, dimana faktor-faktor fisik dapat membangkitkan perasaan sesak pada individu terhadap keterbatasan ruang gerak pada suatu ruangan yang
sempit, dan kesesakan sosial dimana rasa sesak terutama datang dari kehadiran orang yang terlalu banyak dalam suatu ruangan.
Esser dalam Altman, 1975: 49 menyatakan kesesakan sebagai suatu kondisi mental yang dipenuhi stres dan dia juga ada hubungan antara proses
psikologi dan fisiologi. Dia menduga bahwa rasa sesak berasal dari ketidakharmonisan antara susunan saraf pusat dengan kondisi stimulus.
Kesesakan dapat melibatkan bagian otak yang secara biologis lebih kompleks dan sistem saraf pada kebutuhan yang mendasar atau biologis terhalangi oleh
kepadatan suatu populasi. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
kesesakan adalah perasaan subjektif yang dialami oleh seseorang dalam merespon situasi kepadatan karena sempitnya ruang yang tersedia dan perasaan ini dapat
diekspresikan dengan rasa senang maupun tidak senang. Kesesakan ini akan terjadi apabila terdapat hambatan tertentu dalam usaha interaksi sosial dan usaha
pencapaian tujuan yaitu ketika individu menerima stimulus yang terus menerus dan tidak mampu untuk mengontrolnya dan mengalami hambatan dalam
pemenuhan kebutuhan personalnya.
2.2.2 Aspek – Aspek Kesesakan
Kesesakan muncul jika terdapat situasi atau gangguan yang sifatnya menghalangi aktivitas individu dalam suatu setting. Selain itu kesesakan
digambarkan sebagai persepsi orang terhadap dirinya sendiri dalam menerima
stimulus yang berlebihan terhadap tekanan sosial yaitu bila terjadi reaksi yang lebih besar dari yang diharapkan Permitasari, 2006: 42. Gifford 1987: 167
menyatakan bahwa aspek – aspek kesesakan adalah sebagai berikut
a. Aspek Situasional
Meliputi banyaknya orang yang saling berdekatan, hambatan dalam tujuan atau pekerjaan karena banyaknya orang
– orang di sekitar, adanya ruangan yang sempit di mana ada terlalu banyak orang di dekat kita, tujuan kita
terhalang serombongan orang, ruang jadi berkurang dengan kedatangan tamu atau teman sehingga merasakan gangguan secara fisik atau perasaan tidak
enak.
b. Aspek Behavioral Menjaga jarak dari tindakan agresi dengan menggunakan respon yang halus
seperti meninggalkan tempat kejadian meliputi bentuk – bentuk reaksi
individu yang berkisar antara agresi berlebihan jarang hingga respon yang lebih ringan seperti meninggalkan tempat, menghindari tatapan mata ataupun
menarik diri dari interaksi sosial. c. Aspek Emosional
Kesesakan merupakan suatu pengalaman yang subjektif dan muncul sebagai akibat reaksi negatif terhadap orang lain dan perasaan positif terhadap situasi
tersebut. Secara tidak langsung mempengaruhi perasaan seseorang dan biasanya bersifat negatif yang merupakan pengalaman subjektif dan suatu
reaksi yang berhubungan dengan perasaan. Mengacu pada suasana hati biasanya suasana hati yang buruk.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek kesesakan yaitu aspek situasional, behavioral dan emosional. Ketiga aspek ini
saling berhubungan dan berkelanjutan. Eroglu dkk dalam Yildirim Alkalin- Baskaya 2007: 3411 menjelaskan bahwa kesesakan terdiri atas dua dimensi,
yaitu a. Persepsi crowding manusia yang didasarkan pada jumlah individu. Persepsi
kesesakan tersebut melibatkan jumlah individu dalam satu ruang, dimana banyak-sedikit individu menjadi poin terpenting dalam menimbulkan
perasaan sesak. b. Persepsi crowding spasial yang berdasarkan pada jumlah barang dan
perlengkapan serta konfigurasi individu. Persepsi ini lebih pada kondisi pada ruang serta posisi individu dalam ruang tersebut.
Ketiga aspek kesesakan menurut Gifford 1987: 167 yang meliputi aspek situasional, behavioral dan emosional merupakan bagian dari salah satu dimensi
yang dikemukakan oleh Eroglu dkk yaitu persepsi kesesakan manusiawi yang didasarkan jumlah individu. Ketiga gejala tersebut akan dijadikan dasar dalam
pembuatan instrumen penelitian, sebab peneliti hanya membatasi aspek kesesakan pada persepsi crowding manusia saja.
2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kesesakan
Tingkah laku yang menunjukkan sebagai reaksi terhadap kesesakan dirasa berbeda antara satu individu dengan individu lain. Hal ini disebabkan oleh faktor
– faktor yang saling mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap situasi yang
menimbulkan kesesakan. Sears 2007: 229 mengatakan ada 3 hal yang mempengaruhi terjadinya kesesakan, yaitu
a. Beban Indera yang Berlebihan
Bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, dia akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi
semua stimulasi itu. Kepadatan sosial merupakan salah satu sumber stimulasi yang kadang
– kadang dapat menimbulkan rangsangan yang berlebihan dan perasaan sesak. Beban indra yang berlebihan selalu bersifat tidak
menyenangkan dan menganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat. Orang mengatasi beban indera yang berlebihan dengan menyaring
beberapa stimulasi dan hanya memperhatikan stimulasi yang paling penting.
b. Intensitas – Kepadatan
Kepadatan tinggi dapat menguatkan reaksi yang umum terhadap situasi sosial. Dalam penelitian Freedman dalam Sears 2007: 231 disimpulkan
bahwa kehadiran banyak orang kadang – kadang tidak menyenangkan atau
menimbulkan perasaan sesak namun kadang – kadang terasa menyenangkan,
tetapi biasanya kehadiran mereka memperkuat situasi sosial. c. Hilangnya Kendali
Kepadatan tinggi bisa menyebabkan orang merasa kurang memiliki. Pemikirannya adalah bahwa dengan adanya begitu banyak orang dalam
sebuah ruang, setiap individu tidak akan dapat mengendalikan situasi dengan lebih baik, bergerak dengan bebas, menghindari kontak mata yang tidak
diinginkan sehingga menimbulkan perasaan sesak.
Kemungkinan besar beban indera yang berlebihan, intensifikasi kepadatan, dan hilangnya kendali berperan dalam menimbulkan rasa sesak Permitasari,
2006: 31. Lebih lanjut Gifford 1987: 167 menekankan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu :
a. Faktor personal, yaitu : kepribadian, preferensi dan harapan. b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berperan dalam pembentukan tingkah
laku dalam merespon kesesakan. Penekanan faktor sosial yang dimaksud adalah :
Keberadaan seseorang semata – mata dan kepribadian orang lain di sekitar.
1. Persaingan yang cenderung terbentuk di kelompok
– kelompok kecil. 2.
Kualitas atau tipe – tipe hubungan diantara individu.
3. Macam
– macam informasi yang diterima tentang kesesakan. c. Faktor fisik, dijelaskan sebagai berikut :
Kepadatan yang tinggi itu sendiri merupakan faktor paling umum yang dapat menimbulkan perasaan sesak, namun seperti yang kita lihat, hal itu tidak
selalu menuntun pada rasa sesak. Faktor – faktor fisik yang berhubungan
dengan kesesakan adalah 1. Ukuran ruang yang akan diteliti kamar, gedung, komplek pemukiman
dan kota. 2. Variasi arsitektur, meliputi : tinggi plafon, penataan mebel,
penempatanjendela,sekat, dinding pemisah dll. Terdapat faktor personal dan situasional setting yang dapat
mempengaruhi seseorang untuk menyatakan sesuatu yang dialaminya sebagai
kesesakan. Faktor personal misalnya saja adalah locus of control. Gifford 1987: 167 menyatakan bahwa orang dengan internallocus of control dapat dengan
mudah mengontrol stres yang diakibatkan oleh kesesakan. Faktor personal lainnya adalah kecenderungan berafiliasi atau dapat disebut juga sociability. Faktor yang
kedua adalah faktor situasional atau setting yang meliputi pengaruh sosial dan pengaruh fisik.
2.2.4 Dampak – Dampak Kesesakan
Sarwono 1995: 81 menyatakan bahwa dampak – dampak kesesakan pada
manusia dibedakan oleh:
a. Dampak kesesakan pada penyakit dan patologi sosial.
1. Reaksi fisiologis misalnya, meningkatnya tekanan darah 2. Penyakit fisik misalnya psikosomatis, pusing dan gatal
– gatal. 3. Patologi sosial misalnya meningkatnya kejahatan, kecenderungan bunuh
diri, gangguan jiwa dan kenakalan remaja. 4. Dampak kesesakan pada tingkah laku.
5. Agresif terhadap lingkungan, marah kepada orang – orang di lingkungan
itu dan merusak lingkungan. 6. Menarik diri dari lingkungan, pergi dan menghindar dari lingkungan
tersebut, menutup diri , tidak peduli terhadap lingkungan misalnya dengan sibuk membaca buku atau melamun.
7. Berkurangnya tingkah laku menolong. 8. Kecenderungan melihat sisi buruk orang lain jika terlalu lama bersama
– sama di tempat yang padat atau sesak.
9. Dampak kesesakan pada suasana hati dan hasil usaha. 10. Hasil usaha atau prestasi kerja menurun.
11. Suasana hati mood cenderung murung. Berbagai dampak kesesakan tersebut dapat dilihat bahwa suatu perilaku
yang bersifat negatif lebih dominan dalam merespon situasi yang menimbulkan kesesakan, baik berhubungan langsung terhadap pola tingkah laku, maupun dalam
bentuk kemunduran fisik.
2.3 Rumah Susun