Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand

mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri. Dalam upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan untuk menggerakkan alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan industri sehingga menyediakan kesempatan kerja sesuai dengan penelitian Reinhardt 2005. Kebijakan industri di seluruh dunia yang semakin sering menggunakan teknologi perlu mendapat perhatian.

5.3. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand

Perbandingan kinerja sektor industri agro Indonesia, China dan Thailand dihitung dengan menggunakan indikator: Efisiensi dan Marjin Bruto. Kinerja industri agro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 21. Peningkatan teknologi seperti dianjurkan oleh Reinhardt 2005 juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Jika diperhatikan pada Tabel 21 tersebut, sektor industri agro Indonesia tahun 2000 mengalami penurunan efisiensi. Nilai tambah yang diciptakan untuk setiap satu dolar input yang dikeluarkan hanya mencapai rata-rata 0.37 dolar di tahun 1995, dan 0.35 dolar di tahun 2000. Tabel 21. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000 Indikator Kinerja Efisiensi dolar Marjin Bruto 1995 2000 1995 2000 008 0.35 0.35 26.11 25.34 009 0.35 0.35 23.44 22.50 010 0.34 0.36 24.50 25.46 011 0.40 0.35 29.21 24.73 014 0.39 0.35 20.23 17.44 keterangan : 008 : Makanan, minuman, dan tembakau 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya 011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet Dari Tabel 21 uga terlihat perbandingan tingkat efisiensi antara sektor industri agro itu sendiri. Industri pulp, kertas dan percetakan, serta industri barang dari karet mengalami penurunan tingkat efisiensi pada tahun 2000. Beda halnya dengan industri kayu dan olahan kayu, tingkat efisiensinya mampu naik dari 0.34 dolar pada tahun 1995 menjadi 0.36 dolar pada tahun 2000, sementara industri makanan, minuman dan tembakau serta industri tekstil, kulit dan produk turunannya tidak mengalami perubahan tingkat efisiensi. Secara rata-rata, sektor agrindustri Indonesia mengalami penurunan tingkat marjin bruto pada tahun 2000 dibandingkan 1995. Hanya industri kayu dan produk olahannya yang mampu menaikkan marjin bruto pada periode tersebut. Menggunakan indikator yang sama, pengukuran kinerja juga dilakukan pada sektor industri agro Thailand sebagai pembanding kinerja industri agro Indonesia, perhatikan Tabel 22. Tabel 22. Kinerja Sektor Industri Agro Thailand Tahun 1995 dan 2000 Indikator Kinerja Efisiensi dolar Marjin Bruto 1995 2000 1995 2000 008 0.17 0.22 13.83 16.25 009 0.52 0.44 33.67 29.07 010 0.18 0.16 11.95 11.09 011 0.29 0.22 15.29 18.27 014 0.49 0.52 30.17 34.23 keterangan: 008 : Makanan, minuman, dan tembakau 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya 011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet Sama halnya dengan kondisi sektor industri agro di negara Indonesia, di Thailand seluruh sektor industri agronya juga mengalami inefisiensi didalam menciptakan nilai tambah. Sektor industri agro di negara Thailand yang dapat meningkatkan efisiensinya di tahun 2000 adalah industri makanan, minuman dan tembakau; sementar sektor lain mengalami penurunan efisiensi. Kinerja industri agro di Thailand dapat juga diperhatikan pada penerimaan marjin bruto yang menggambarkan seberapa besar suatu sektor memperoleh surplus usaha jika dibandingkan dengan total input primer yang digunakan. Semakin besar marjin bruto, maka semakin besar surplus usaha yang diperoleh, begitu sebaliknya. Dari lima sektor industri agro yang diamati, hanya ada dua sektor yang menurun marjin brutonya, yakni industri tekstil, kulit dan produk turunannya, serta industri kayu dan produk olahan. Berdasarkan empat indikator yang telah disajikan dalam Tabel 31, dapat dikatakan bahwa kinerja sektor industri agro di Thailand tidaklah lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Namun demikian, bila diperhatikan dari besarnya perubahan untuk setiap indikator, negara Thailand tampak lebih berhasil meningkatkan kinerja industri agronya dibandingkan Indonesia. Sebagai contoh untuk marjin bruto. Sektor industri agro di Thailand rata-rata mampu meningkatkan keuntungan marjinnya di tahun 2000 sebesar 0.80 persen, sedangkan di Indonesia terlihat menurun sebesar -1.60 persen. Berikut ini disajikan pengukuran kinerja pada sektor industri agro China, yang dapat dilihat pada Tabel 23. Sangat berbeda dengan profil kinerja industri agro di Indonesia dan Thailand, sektor industri agro di China jika diperhatikan dari tingkat efisiensinya mutlak lebih tinggi dibandingkan kedua negara tersebut. Tabel 23. Kinerja Sektor Industri Agro China Tahun 1995 dan 2000 Indikator Kinerja Efisiensi dolar Marjin Bruto 1995 2000 1995 2000 008 0.63 1.48 19.50 19.06 009 2.22 3.56 15.25 14.33 010 0.81 0.74 17.58 14.36 011 1.28 2.06 18.93 14.24 014 0.99 2.62 22.35 11.85 keterangan: 008 : Makanan, minuman, dan tembakau 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya 011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet Bahkan ketika sektor industri agro di Indonesia dan Thailand sedang mengalami penurunan efisiensi antara tahun 1995 dan 2000, China mampu meningkatkan efisiensi sektor industri agronya lebih tinggi. Secara merata kenaikannya bisa mencapai 0.90 persen, sementara untuk Indonesia dan Thailand masing-masing mengalami penurunan sebesar -0.01 dan -0.02 persen seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 21 dan Tabel 22. Kinerja perekonomian China yang berkembang pesat sejak kebijakan pasar terbuka dijalankan secara tidak langsung sangat mempengaruhi perkembangan sektor industri agronya. Negara China saat ini sangat terkenal dengan komoditas-komoditas ekspor industri agro yang berkualitas tinggi namun harganya relatif murah. Tidak semua indikator kinerja industri agro di China tampak lebih baik dibandingkan Indonesia dan Thailand. Khususnya untuk marjin bruto, seluruh sektor industri agro China tampak masih kalah jauh di bandingkan industri agro Indonesia dan Thailand. Misalkan dengan Indonesia, marjin bruto untuk sektor industri agro rata-rata sebesar 23.09 persen, sementara di China hanya sebanyak 14.7 persen. Sedangkan bila dibandingkan dengan Thailand, upaya untuk meningkatkan marjin bruto sektor industri agro terlihat lebih baik di negara tersebut dibandingkan negara China. Ketika sektor industri agro Thailand dapat meningkatkan marjin bruto di tahun 2000, di China marjin brutonya malah mengalami penurunan yang cukup besar yakni -3.95 persen. Penurunan tingkat marjin bruto di China sekaligus menggambarkan penurunan harga jual rata-rata yang merupakan strategi penetrasi pasar ekspor China dengan menjual produk berharga relatif murah.

5.4. Keterkaitan Antar Sektor Industri Agro Dalam Satu Negara dan