Analisis daya saing, keterkaitan dan sumber sumber pertumbuhan industry agro Indonesia

(1)

DISERTASI

HANDITO HADI JOEWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DISERTASI

HANDITO HADI JOEWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

ANALISIS DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI AGRO INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Nrp. A5460142914 Handito Hadi Joewono


(4)

HANDITO HADI JOEWONO. 2008. Analysis of Competitiveness, Linkages and Source of Growth of Agro-based Industry in Indonesia (ARIEF DARYANTO, as a Chairman, HARIANTO and KUNTJORO, as Members of the Advisory Committee).

World trade liberalization triggered the importance of increasing the competitiveness of Indonesian products in global market. The competitiveness of Indonesian products, especially the ones from agro-based industry, and its linkage to the upstream and downstream sectors need to be analyzed and understood. At the end, growth factors need to be formulated by doing comparison to other countries’ agro-based industry.

The objective of this study was held in order to analyze the competitiveness position of agro-based industry sector in Indonesia by analysing input-output in Asia’s countries, especially between Indonesia, Thailand, and China. Specifically, the purpose of this study were : (1) measuring the change of agro-based industry competitiveness in Indonesia, Thailand, and China, (2) analysing the linkage between agro-based industry sector in Indonesia with the economy of Thailand and China, and (3) calculating and analysing structural growth factors of agro-based industry sector in Indonesia, Thailand, and China.

The analysis in this study used multilateral I-O model and data from Asian I-O Table, 1995 and 2000 to get the competitiveness score through IIC (Index of International Competitiveness) and IDC (Index of Domestic Competitiveness), inter-country linkages, key sector and sources of growth through structural decomposition.

Findings from this study are : (1) competitiveness of Indonesia agro-based industry sector had declined from 1995 to 2000, especially for domestic competitiveness, (2) Indonesia agro-based industry sector has a linkage to Thailand and China, (3) Indonesia has no primary source of growth in agro-based industry that could be used in the future development. Structural growth factor in agro-based industry sector in Indonesia do not have a pattern, while Thailand was supported by technological change factor, and China was supported by export expansion factor.

Based on the above findings, this study come to some recommendations to increase Indonesia agro-based industry competitiveness as follows : (1) Developing agro-based industry as a key economic sector, (2) Increasing productivity, (3) Strengthening domestic competitiveness, (4) Increasing marketing-based competitiveness, and (5) Developing technology-based economy.


(5)

Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Agro Indonesia (ARIEF DARYANTO, sebagai Ketua, HARIANTO dan KUNTJORO, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan sumber-sumber pertumbuhan dengan melakukan komparasi terhadap industri agro negara-negara lain.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis posisi daya saing industri agro Indonesia melalui analisis input-output antar negara di Asia, khususnya antara Indonesia, Thailand dan China. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengukur perubahan daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China, (2) menganalisis keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan perekonomian negara Thailand dan China, dan (3) menghitung dan menganalisis faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor industri agro negara Indonesia, Thailand dan China. Pada penelitian ini digunakan pendekatan analisis I-O antar negara dengan menggunakan data Asian Input-Output Table 1995 dan 2000 untuk mendapatkan nilai daya saing melalui hitungan IIC (Index of International Competitiveness) dan IDC (Index of Domestic Competitiveness), keterkaitan antarsektor, sektor kunci, kinerja ekonomi, dan sumber-sumber pertumbuhan melalui dekomposisi struktural.

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa: (1) sektor industri agro Indonesia mengalami penurunan daya saing pada periode 1995-2000 terutama daya saing domestik, (2) sektor industri agro Indonesia mempunyai keterkaitan dengan China dan Thailand, dan (3) Indonesia tidak mempunyai sumber pertumbuhan sektor industri agro yang dapat diandalkan di masa mendatang. Faktor pertumbuhan struktural industri agro Indonesia tidak menunjukkan pola yang teratur, sementara Thailand cenderung ditunjang oleh faktor perubahan teknologi (technological change) sedangkan China cenderung ditunjang oleh faktor promosi ekspor (export expansion).

Penelitian ini menyarankan bahwa untuk meningkatkan daya saing industri agro Indonesia di masa mendatang perlu dilakukan: (1) pengembangan industri agro sebagai sektor unggulan, (2) peningkatan produktivitas, (3) perkuatan daya saing di pasar domestik, (4) peningkatan daya saing berbasis pemasaran, dan (5) pengembangan perekonomian berbasis teknologi.


(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

HANDITO HADI JOEWONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(8)

Nama Mahasiswa : Handito Hadi Joewono

Nomor Pokok : A5460142914

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec

Dr. Ir. Harianto, MS

Anggota Anggota Prof. Dr. Ir. Kuntjoro

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 22 April 2008 Tanggal Lulus


(9)

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1963 di Mojokerto, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari Bapak Hadi Joewono (alm.) dan Ibu Sri Suhartini.

Pada tahun 1975, penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Petra Jombang, kemudian melanjutkan pada SMP Petra Jombang dan lulus pada tahun 1978. Selanjutnya pada tahun 1982 lulus dari SMA Negeri II. Melalui PP II pada tahun 1983, penulis diterima untuk meneruskan studi ke jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor dan mendalami Jurusan Teknologi Industri Pertanian, dan dinyatakan lulus Sarjana Pertanian pada tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Tinggi Manajemen PPM Jakarta, dan lulus mendapat gelar Magister Manajemen. Pada tahun 2002, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi program S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai dari PT Nassau Nusantara Indah Jakarta pada tahun 1988. Tahun 2003 menjadi Direktur PT Arrbey Indonesia hingga saat ini. Penulis juga menulis beberapa buku yaitu: Jangan Sekadar Servis (2003), Jangan Sekadar Menang Bersaing (2003), ”7n1” Business Competition Strategy (2005) dan ”7n1” Strategy : Toward Global Competitiveness (2006).

Tahun 1989, penulis menikah dengan Nini Tanjung dan dikarunia empat orang anak yaitu Vania Stella Joewono (lahir tahun 1998), Roberto Evans Joewono (lahir tahun 1999), Alberto Hans Joewono (lahir tahun 2002) dan Davin Johann Joewono (lahir tahun 2005).


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Analisis Daya Saing, Keterkaitan dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Agro Indonesia. Tema yang diangkat dalam disertasi ini merupakan isyu penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia dan khususnya peningkatan dayasaing bisnis Indonesia.

Penyusunan disertasi ini bisa terlaksana baik karena adanya arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing, dan bantuan dari pihak-pihak lainnya. Karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan pada pengembangan rencana penelitian serta penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

2. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan koreksi dalam penyusunan disertasi ini. 4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB yang telah berkenan melakukan koreksi dan memberi saran perbaikan disertasi ini.


(11)

penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

6. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

7. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSc. Agr selaku pimpinan sidang ujian tertutup yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

8. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor yang telah memberi ijin kepada penulis untuk menyelesaikan studinya pada program S3 Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Penulis juga berterima kasih atas pengorbanan, dorongan semangat dan dukungan dari orangtua, istri dan anak-anak tercinta.

Semoga disertasi ini memberi manfaat bagi kemajuan negara, khususnya industri agro Indonesia.

Bogor, September 2008 Penulis


(12)

DAFTAR TABEL ………...……… vi

DAFTAR GAMBAR ……...………...……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………. ix

I. PENDAHULUAN …………...……… 1

1.1. Latar Belakang ……...………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……...……… 5

1.3. Tujuan Penelitian …...………... 10

1.4. Kegunaan Hasil Penelitian …...………... 11

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA …………...……… … 15 2.1. Konsep Daya Saing ... 15

2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter ... 28

2.1.2. Daya Saing Perusahaan, Industri, dan Negara ... 37

2.1.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing ... 40

2.2. Keterkaitan Antar Sektor ... 44

2.3. Kinerja Daya Saing ……...………... 49

2.4. Konsep Sumber Pertumbuhan ……...………...………… 50

2.5. Persaingan Global ...………….. 53

2.6. Instrumen Daya Saing ... 56

2.6.1. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perdagangan ... 56

2.6.2. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perindustrian ... 59

2.7. Industri Agro ... 64

2.8. Perkembangan Industri Agro Indonesia ... 70

2.9. Kebijakan Daya Saing Industri ... 81

2.9.1. Kebijakan Industri China ... 85


(13)

III. KERANGKA PEMIKIRAN ………...……….. 92

3.1. Kerangka Analisa ………..……...………....………. 92

3.2. Perumusan Implikasi Kebijakan ... 97

IV. METODE PENELITIAN …...………... 99

4.1. Tabel Input-Output ………....………... 99

4.2. Struktur Tabel Input-Output Antar Negara ... 109

4.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing …...………...……...…... 112

4.3.1. Index of International Competitiveness ... 112

4.3.2. Index of Domestic Competitiveness ... 113

4.4. Keterkaitan Antar Sektor ………... 114

4.5. Kinerja Daya Saing …...………... 116

4.6. Sumber Pertumbuhan ………... 116

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO ... 118

5.1. Struktur Industri Agro ………... 118

5.2. Daya Saing Sektor Industri Agro ……….... 122

5.3. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand ... 131

5.4. Keterkaitan Antar Sektor Industri Agro dalam Satu Negara dan Antar Negara ... . 135 5.4.1. Dampak Keterkaitan Ke Belakang Sektor Industri Agro ... 135

5.4.2. Sektor-Sektor Kunci Industri Agro ... 142

5.5. Struktur Permintaan Sektor Industri Agro ... 145

5.6. Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer ... 151

5.7. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro ... 156

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA ... 163

6.1. Peningkatan Keterkaitan Antar Sektor ... 163


(14)

6.3. Memperjelas Pola Sumber Pertumbuhan ... 167

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 173

7.1. Kesimpulan ... 173

7.2. Implikasi Kebijakan ... 174

DAFTAR PUSTAKA ……...………...…….. 176


(15)

1. Perkembangan Ekspor Dunia Tahun 1970-2002 ... 54

2. Pertumbuhan Ekspor Tahun 1970-2002... 54

3. Pangsa Pasar Ekspor Dunia Tahun 1970–2002 ... 55

4. Pertumbuhan Ekspor Per Jenis Produk di Negara-Negara China, Indonesia dan Thailand Tahun 1995-2001 ... 55

5. Pangsa Sub Sektor Industri Nasional Tahun 2000-2004 ... 71

6. Pertumbuhan Industri Nasional Tahun 2004-2006 ... 73

7. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tiga Sektor ... 99

8. Tabel Input-Output Nasional Produk Kompetitif Impor ... 101

9. Tabel Input-Output Nasional Produk Non-Kompetitif Impor ... 102

10. Kerangka Tabel Input-Output Antar Negara ... 103

11. Layout of The Asian International Input-Output Table ... 106

12. Agregasi Komoditi pada Tabel Input-Output Indonesia ... 110

13. Struktur Input Sektor Industri Indonesia Tahun 2000 ... 119

14. Komposisi Input Antara Asal Domestik dan Impor Sektor Industri Indonesia Tahun 2000 ... 121

15. Daya Saing Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of International Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 123

16. Peringkat Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan IIC (Index of International Competitiveness) Tahun 1995 dan 2000 ... 125

17. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Pangsa PasarTahun 1995 dan 2000 ... 126

18. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Pangsa Pasar Tahun 2000 ... 127

19. Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 129

20. Peringkat Daya Saing Domestik Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China, Berdasarkan Perubahan Angka Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 129


(16)

22. Kinerja Sektor Industri Agro Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 132 23. Kinerja Sektor Industri Agro China Tahun 1995 dan 2000 ... 134 24. Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 138 25. Disagregasi Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri

Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 139

26. Hubungan Simetris dalam Efek Sebar Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 2000 ... 141

27. Indeks Derajat Penyebaran dan Kepekaan Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 143

28. Permintaan Input Antara Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

2000 ... 146

29. Struktur Permintaan Akhir Industri Agro Indonesia Tahun 1995

dan Tahun 2000 ... 149

30. Penggunaan Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

Tahun 2000... 153

31. Komposisi Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

2000 ... 154

32. Sumber-Sumber Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro

Berdasarkan Persentase Terhadap Total Pertumbuhan Sektor


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional ... 30 2. Model Gabungan Persaingan Internasional Perusahaan di Asia ... 38 3. Kerangka Pemikiran Daya Saing Industri Agro Berdasarkan

Pendekatan Input-Output Indonesia, Thailand dan China ……… 93 4. Alur Keterkaitan ke Belakang Antar Sektor ... 95 5. Model Sederhana Input-Output ... 108 6. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 158 7. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 159 8. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

China Tahun 1995 dan 2000 ………... 160


(18)

1. Klasifikasi Sektor Input-Output Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 182

2. Kode Sistem Input-Output Multicountry Indonesia, Thailand dan

China Tahun 1995 dan 2000 ………...………. 184

3. Matriks Teknologi Multicountry Indonesia, Thailand, dan China

Tahun 1995 ……….……….. 185

4. Matriks Teknologi Multicountry Indonesia, Thailand, dan China

Tahun 2000 ………... 194

5. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 203

6. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 204

7. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di China Tahun 1995 dan 2000 ... 205

8. Key Sector dalam Perekonomian Indonesia, Thailand dan China

Berdasarkan Backward dan Forward Linkage Effect Tahun 1995

dan 2000 ... 206

9. Dekomposisi Struktural Pertumbuhan Sektor-Sektor Produksi

di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 207

10. Pengeluaran Pajak Impor Indonesia, Thailand dan China Tahun

1995 dan 2000 ... 212

11. Pengeluaran International Freight and Insurance Indonesia,

Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 213

12. Pengeluaran Intermediate Input Indonesia, Thailand dan China

Tahun 1995 dan 2000 ... 214

13. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Indonesia Tahun 1995

dan 2000 ... 215

14. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Thailand Tahun 1995

dan 2000 ... 216

15. Struktur Input Antara Domestik dan Impor China Tahun 1995 dan


(19)

16. Pengeluaran Input Primer Indonesia, Thailand dan China Tahun

1995 dan 2000 ……….. 218

17. Struktur Input Primer Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 219

18. Struktur Input Primer Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 220

19. Struktur Input Primer China Tahun 1995 dan 2000 ... 221

20. Key Sector Berdasarkan Backward dan Forward Linkage Effect …… 222

21. Struktur Intermediate Output Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 223

22. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ………... 224

23. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor Thailand Tahun 1995 dan 2000 ………... 225

24. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 226

25. Struktur Permintaan Akhir Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 227

26. Pengeluaran Pajak Impor Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 228

27. Pengeluaran International Freight and Insurance Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……...………... 229

28. Pengeluaran Intermediate Input Indonesia, Thailand dan China, Tahun 1995 dan 2000 ………... 230

29. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ……….. 231

30. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Thailand Tahun 1995 dan 2000 ………... 232

31. Struktur Input Antara Domestik dan Impor China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 233

32. Pengeluaran Input Primer Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 234


(20)

34. Struktur Input Primer Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 236

35. Struktur Input Primer China Tahun 1995 dan 2000 …...…………..… 237


(21)

1.1. Latar Belakang

Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya

saing produk Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia

khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami

keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan

sumber-sumber pertumbuhan dengan melakukan komparasi terhadap industri agro

negara-negara lain.

Krugman dan Obstfeld (2006), menyampaikan bahwa kemakmuran

nasional dapat diperoleh melalui perdagangan internasional yang memberi

manfaat saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang menjual dan membeli.

Melalui perdagangan akan dihasilkan surplus produsen dan konsumen. Produsen

akan mendapat kesempatan menjual produk yang dihasilkannya ke lebih banyak

konsumen. Demikian juga konsumen bisa menikmati berbagai produk yang tidak

dihasilkannya.

Berbeda dengan Krugman dan Obstfeld (2006), Adams et al. (2004)

menegaskan bahwa keunggulan komparatif mungkin saja merupakan inti dari

teori perdagangan dan spesialisasi, tetapi tidak selalu berhubungan erat dengan

diskusi mengenai daya saing yang terjadi di dunia nyata. Contoh nyata adalah

fenomena ”mengapa China lebih kompetitif dibandingkan dengan negara

pengekspor di Asia Timur lainnya? mengapa produk-produk China sangat


(22)

Menurut Porter (1990) kemakmuran suatu negara haruslah diusahakan.

Porter (1990) juga menegaskan bahwa kemakmuran negara bukanlah merupakan

sebuah warisan. Kemakmuran tidak tergantung dari melimpahnya sumberdaya

alam, tenaga kerja, tingkat suku bunga, ataupun nilai tukar mata uang asing,

seperti halnya yang diutarakan kaum ekonom klasik yang mengagungkan

pentingnya perdagangan. Daya saing negara tergantung dari kapasitas industri

negara tersebut untuk terus berinovasi dan berkembang. Oleh karena itu

meskipun diyakini memberi banyak manfaat, sebagian orang berpandangan

skeptis tentang manfaat yang bisa didapatkan melalui perdagangan, khususnya

perdagangan internasional. Perdagangan internasional juga membuat khawatir

produsen dalam negeri atas keberadaan pasar dari barang yang diproduksinya,

oleh karena itu sejak jaman klasik sampai sekarang masih saja ada kesangsian,

tidakkah lebih baik kalau penduduk dari negara tertentu membeli produk yang

dihasilkan negaranya sendiri karena akan menciptakan lapangan kerja.

Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai

dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan,

reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan dan investasi. Indonesia

mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World

Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation

(APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh pada

tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang. Tak


(23)

telah sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade

Area (AFTA) yang sudah mulai diberlakukan pada tahun 2002.

Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, sudah tentu mau tidak

mau akan tercipta persaingan yang semakin ketat, baik dalam perdagangan

internasional maupun dalam upaya menarik investasi multinasional. Pertanyaan

besar yang muncul kemudian adalah mampukah Indonesia memanfaatkan

keterbukaan pasar internasional dan bersaing di pasar global?. Kalau tidak

mampu, maka Indonesia hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar produk dunia.

Ekspor produk Indonesia ke pasar internasional, khususnya produk

pertanian masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw

material). Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti akan

menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan.

Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah,

karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan

sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya

kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang

dihasilkan oleh negara lain.

Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia untuk

produk pertanian relatif kurang menguntungkan. Liberalisasi perdagangan produk

pertanian relatif berjalan lebih lambat karena negara-negara maju cenderung

bersikap konservatif untuk melindungi kepentingan petani di negaranya. Era

perdagangan bebas membuat perlindungan pada produk pertanian semakin sulit

dilakukan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan produk pertanian,


(24)

global bisa bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri

yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia khususnya pada sektor pertanian,

dikhwatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia,

terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan

produk-produk vital seperti pangan. Indonesia harus mampu meningkatkan produk-produksi

pertaniannya dengan lebih efisien dan mutu yang lebih baik.

Dalam publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh

World Economic Forum pada tahun 2007, menunjukkan bagaimana daya saing

Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2007 peringkat daya saing

Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke 54 dari

131 negara. Prestasi Indonesia di 2007 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan

dibandingkan prestasi tahun 2006 yang berada di urutan 50 dari 125 negara.

Peringkat Indonesia pada 2006 merupakan lompatan besar karena pada 2005

berada di peringkat 69 dari 117 negara.

Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, peringkat Competitiveness

Indonesia relatif masih rendah. Singapura ada di urutan ke-7, Malaysia di urutan

ke-21 dan Thailand di urutan ke-28. Rendahnya peringkat daya saing

perekonomian Indonesia merupakan sinyal atas perlunya dilakukan upaya-upaya

peningkatan daya saing, terutama pada sektor yang potensial dan memiliki

kontribusi penting terhadap perekonomian nasional.

Berdasarkan laporan World Bank (2007) mengenai Agriculture for

Development, pertanian mempunyai peran penting sebagai dasar untuk


(25)

pertanian, beberapa instumen kebijakan pemerintah perlu diimplementasikan

seperti: meningkatkan aset rakyat miskin, meningkatkan produktivitas pertanian

dan perkebunan, dan menciptakan kesempatan di bisnis non-farm pertanian secara

umum. Pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan perekonomian nasional dan

menjadi pendorong utama dari industri berbasis pertanian atau industri agro.

Peningkatan daya saing, khususnya pada sektor industri agro perlu

mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia.

Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang relatif

melimpah semestinya bisa dikembangkan lebih jauh. Dalam kaitan tersebut perlu

dilakukan studi lebih lanjut untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing, mengukur daya saing dan merumuskan langkah-langkah dalam rangka

meningkatkan daya saing industri agro Indonesia. Selain itu perlu juga dilakukan

studi komparasi dengan negara-negara yang memiliki pembangunan industri agro

relatif lebih maju dari Indonesia, sehingga nantinya dapat ditemukan

langkah-langkah untuk memajukan industri agro sebagai bagian dari upaya peningkatan

perekonomian Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia sebagai negara berkembang telah merumuskan strategi

pengembangan industri sejak akhir 1960-an. Pada tahap awal era industrialisasi,

Indonesia menggalakan industri yang mampu mengganti produk impor untuk

menstimulasi industri manufaktur. Selanjutnya pada pertengahan tahun 80-an,

pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur

di dunia internasional. Berbagai langkah terus dilakukan oleh pemerintah untuk


(26)

belum memadai. Terperosoknya perekonomian dalam krisis 1998 menjadi salah

satu indikator kegagalan peningkatan daya saing industri Indonesia.

Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB)

Institute (2003), daya saing berarti kemampuan perusahaan untuk bersaing.

Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan

kualitas produk dan mendapatkan jaringan pemasaran. Pentingnya strategi

berkompetisi adalah untuk pembelajaran dalam perusahaan, pembangunan

keterampilan, dan peningkatan teknologi. Perubahan teknologi yang cepat, jarak

ekonomi yang semakin mengecil, bentuk organisasi baru, hubungan yang ketat

antara rantai domestik dan kebijakan liberal merupakan tantangan bagi perusahaan

di negara berkembang.

Beberapa tantangan makroekonomi yang sedang terjadi bermuara pada

pemahaman mengenai bagaimana suatu perekonomian negara dikelola. Ada

delapan aspek mendasar yang perlu mendapatkan prioritas, yaitu: (1) perumusan

kebijakan dengan penekanan pada prioritas stabilitas versus pertumbuhan, (2)

penerapan kebijakan yang pro-pasar, (3) penguatan sistem keuangan, (4)

pematangan infrastruktur, (5) penajaman orientasi perdagangan luar negeri, (6)

penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance), (7) penegakan

hukum, dan (8) penanganan terpadu masalah tenaga kerja dan otonomi daerah.

Pembangunan perekonomian khususnya sektor pertanian bisa dilakukan

melalui peningkatan nilai tambah dan kegiatan ekonomi pasca panen seperti

industri agro. Pengembangan industri agro sendiri membutuhkan keterpaduan

langkah pemerintah dan dunia usaha. Secara empiris pengembangan industri agro


(27)

yang diterima petani sebagai produsen, (2) meningkatkan kualitas dan

produktivitas komoditas unggulan, (3) meningkatkan investasi swasta, (4)

meningkatkan peranan lembaga keuangan dalam pembiayaan, dan (5)

meningkatkan jumlah pelaku usaha yang bermitra dengan lembaga pertanian.

Pengembangan industri agro lebih lanjut membutuhkan peningkatan daya

saing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing produk Indonesia

memang perlu mendapat perhatian, dan secara sistematis harus ditingkatkan

sebagai salah satu cara membangun perekonomian Indonesia. Oleh karena itu

dalam kaitan ini perlu diketahui ukuran daya saing industri agro Indonesia di

pasar internasional sebagai landasan untuk melakukan analisis daya saing dan

merumuskan upaya-upaya peningkatan daya saing dalam rangka pembangunan

daya saing dan perekonomian nasional.

Dalam rangka peningkatan daya saing, Indonesia bisa belajar dari China

yang merupakan raksasa ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi luar biasa.

Saat ini kinerja perekonomian China yang berkembang pesat merupakan

fenomena yang spektakular dalam perekonomian dunia. Setelah pintu gerbang

ekonominya dibuka, China berhasil menjadi salah satu negara yang memiliki

kekuatan ekonomi paling besar dalam tatanan perekonomian dunia.

Perkembangan perekonomian China yang sangat pesat saat ini mendapat

perhatian seluruh negara di dunia, baik itu sebagai ancaman maupun peluang yang

baru. China dianggap sebagai ancaman karena terkenal dengan

komoditas-komoditas ekspor yang berkualitas tinggi namun harganya relatif murah.

Murahnya produk China tidak hanya karena biaya input (terutama upah tenaga


(28)

rendah (undervaluation of Yuan) terhadap mata uang dolar AS sebagaimana yang

dituding oleh negara Amerika Serikat. Selain itu, pemberlakuan tax duty juga

merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produk-produk ekspor China.

Sebagai negara yang berpenduduk paling besar di dunia, sekitar 1.3 milyar

dengan pendapatan per kapita antara 800-1 000 US$ (ADB, 2003), maka sudah

pasti pasar China memberi daya tarik tersendiri bagi investor dari negara-negara

lain. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, yaitu

rata-rata per tahun antara 8 persen hingga 9 persen, data ini merupakan suatu indikasi

tentang adanya potensi pasar di China yang akan terus berkembang di masa

mendatang.

China juga menyadari bahwa kerjasama dengan negara-negara ASEAN

merupakan suatu terobosan penting yang dapat mendorong pertumbuhan

ekonominya lebih tinggi lagi di masa mendatang, yang diwujudkan dalam bentuk

kesepakatan untuk membentuk Free Trade Area (FTA) ASEAN–China.

Seandainya kerjasama ekonomi ini direalisasikan, pasti akan menjadikan blok

perdagangan bebas terbesar di dunia karena melibatkan hampir dua miliar

penduduk dengan kombinasi GDP lebih dari US $ 2 triliun.

Menurut hasil studi ASEAN–China Working Group on Economic

Cooperation (2001), FTA ASEAN–China diperkirakan dapat memberi

keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke China akan meningkat

sebesar 48 persen dan ekspor China ke ASEAN akan meningkat 55.1 persen. GDP

riil ASEAN diperkirakan bertambah sebesar US$5.4 miliar (0.9 persen) dan GDP


(29)

anggota ASEAN terbesar akan dinikmati oleh Vietnam (2.15 persen), sedangkan

Indonesia (1.12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1.17 persen).

Selain menggunakan China sebagai benchmarking (pembanding dan

referensi) dalam peningkatan daya saing, Indonesia bisa juga berkaca pada

Thailand. Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, maka

Thailand dan Indonesia merupakan dua negara yang sama-sama paling parah

mengalami krisis. Pada periode tersebut, perekonomian Thailand menurun tajam

hingga -11 persen, sedangkan Indonesia mencapai -13 persen.

Pemulihan ekonomi terasa lebih cepat di negara Thailand dibandingkan

Indonesia. Sampai pada tahun 2003 misalkan, pertumbuhan ekonomi Thailand

telah kembali normal mencapai 7 persen, sementara pertumbuhan ekonomi

Indonesia sangat lambat, yaitu hanya 3 persen untuk tahun yang sama (ADB,

2003). Bahkan diperkirakan sampai dengan tahun 2009 pertumbuhan ekonomi

Indonesia hanya akan sebesar 6-7 persen per tahun, ini berarti Indonesia harus

menunggu 10 hingga 11 tahun lagi semenjak masa krisis agar laju pertumbuhan

ekonominya dapat menyamai Thailand di tahun 2003.

Dari kemampuan Thailand yang dapat memulihkan kondisi

perekonomiannya dengan lebih cepat, maka tidaklah berkelebihan jika Indonesia

mempelajari pengalaman Thailand sehingga proses pemulihan ekonominya

berlangsung cepat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pada saat

mencetuskan triple track strategy juga merujuk pada negara Thailand yang telah

lebih dahulu mengeluarkan dual track strategy yang juga dikenal sebagai


(30)

Melihat berbagai kondisi aktual yang telah diuraikan di atas, maka sudah

sepantasnya dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi, khususnya untuk

komoditas industri agro, Indonesia perlu merujuk kepada China yang begitu cepat

dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu super power perekonomian dunia

saat ini dan Thailand yang mampu memulihkan perekonomian dengan cepat.

Selain latar belakang pemikiran tersebut di atas, pada penelitian ini

komparasi daya saing industri agro Indonesia dengan negara Thailand dan China

juga karena pertimbangan Thailand bisa merepresentasikan kekuatan industri agro

di antara negara-negara ASEAN, sementara China merupakan benchmark daya

saing industri agro di Asia dan bahkan dunia.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah

diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi daya saing industri agro Indonesia dibandingkan dengan

beberapa negara lain yang menjadi referensi utama bagi Indonesia,

khususnya Thailand dan China?

2. Seberapa jauh keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan

perekonomian negara Thailand dan China?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan struktural sektor

industri agro di negara-negara Indonesia, Thailand dan China?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi daya

saing industri agro Indonesia melalui analisis input-output antar negara di Asia,

khususnya antara Indonesia, Thailand dan China. Sementara secara lebih spesifik,


(31)

1. Mengukur perubahan daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan

China.

2. Menganalisis keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan

perekonomian negara Thailand dan China.

3. Menghitung dan menganalisis faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor

industri agro negara-negara Indonesia, Thailand dan China.

1.4. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan potret daya saing yang dapat

digunakan sebagai parameter untuk menilai kekuatan saing sektor bisnis di

Indonesia, dengan aplikasi pada produk industri agro. Selain itu studi ini juga

dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh eksternal terhadap

perkembangan komoditi industri agro domestik. Ditambah lagi, hasil studi ini

mampu menjelaskan faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor industri agro.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kegiatan penelitian ini akan memberi

implikasi kebijakan utama berupa rekomendasi peningkatan daya saing sektor

industri agro, yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai masukan dalam

perumusan kebijakan di bidang perindustrian, pertanian dan perdagangan.

Hasil penelitian yang dikemukakan diharapkan dapat memberikan

kontribusi dan manfaat bagi pihak-pihak sebagai berkut:

1. Para pelaku industri agro akan memperoleh gambaran mengenai peluang,

ancaman, kekuatan dan kelemahannya dalam bersaing dengan industri

sejenis di China dan Thailand. Dari gambaran tersebut diharapkan muncul

pemikiran tentang upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pelaku bisnis


(32)

2. Pemerintah akan mendapat masukan dalam merumuskan kebijakan

pengembangan industri agro yang lebih efektif dalam mendorong

pertumbuhan ekonomis.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini mencakup kinerja daya saing

industri agro dan faktor-faktor pembentuknya dengan membandingkan antara

Indonesia, Thailand dan China. Adapun industri agro yang digunakan dalam

kajian ini adalah agroindustri atau industri berbasis pertanian, yaitu industri yang

menggunakan bahan baku produk-produk pertanian. Selain itu metode penelitian

yang digunakan dalam kajian ini adalah model Input-Output antarnegara.

Memperhatikan latar belakang dan permasalahan seperti yang telah

diuraikan, maka penelitian akan menghadapi beberapa keterbatasan sebagai

berikut: (1) karena bersifat lintas sektor dan antar negara, penyajian data kinerja

daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China dihitung secara khusus

dengan menghadapi sejumlah keterbatasan data, (2) luasnya keterkaitan dengan

sektor dan negara lain akan meningkatkan kesulitan merumuskan kebijakan

koordinatif yang efektif.

Penggunaan model Input-Output sebagai instrumen pengkajian dan

analisis juga diduga mengandung banyak asumsi dan keterbatasan yang perlu

selalu mendapat perhatian. Agar model Input-Output dapat diterapkan dalam

mengukur dampak ekonomi, maka harus diketahui beberapa asumsi yang

menyertainya, antara lain: (1) keseluruhan kegiatan ekonomi di suatu

negara/daerah dibagi habis ke dalam sektor antar industri dan sektor permintaan


(33)

sektor permintaan akhir maupun input di sektor sendiri, (3) masing-masing sektor

hanya memproduksi satu produk yang homogen, agar struktur teknis tiap sektor

menjadi lebih mudah untuk dimengerti, (4) harga, permintaan konsumen dan

penyediaan faktor adalah ditentukan (given), (5) perbandingan antara output input

dan skala (return to scale) bersifat konstan, (6) di dalam sistem produksi, tidak

terdapat ekonomi dan dis-ekonomi eksternal, dan (7) kombinasi input diterapkan

dalam proporsi yang ditentukan secara ketat, artinya proporsi input senantiasa

bersifat linear terhadap outputnya.

Asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas telah memunculkan beberapa

kelemahan (weaknesses) dari model Input-Output (Cooper, 1993): (1) model

menganggap tidak ada pembatasan pada supply, (2) fungsi produksi dan konsumsi

bersifat linear, pola pengeluaran antar industri tetap, (3) harga relatif antara harga

input dan harga output juga berlaku konstan, dan (4) parameter-parameter model

yang bersifat konstan mengakibatkan pengukuran dampak ekonomi berlaku linier.

Selain itu, oleh karena input-output yang diaplikasikan dalam studi ini

bersifat statis menyebabkan berbagai fenomena mengenai perubahan-perubahan

perilaku ekonomi yang dinamis tidak dapat direkam dengan baik. Namun

demikian, di balik semua keterbatasan tersebut, untuk saat ini hanya model

input-output antarnegara saja yang mampu mendeskripsikan secara komprehensif

mengenai keterkaitan ekonomi antara suatu negara dengan negara lain, baik itu

backward linkage maupun forward linkage, sehingga nantinya dapat ditelusuri

bagaimana dampak perekonomian domestik di suatu negara terhadap

perekonomian negara lain. Semuanya ini dapat dikaji melalui satu kesatuan


(34)

ini merupakan salah satu kelebihan dari penggunaan model input-output


(35)

2.1. Konsep Daya Saing

Perkembangan konsep daya saing yang disampaikan oleh Cho dan Moon

(2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan

sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara

diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (2003)

memandang perdagangan sebagai positive-sum game di mana semua mitra yang

berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi

dalam memproduksi barang-barang di mana mereka memiliki keunggulan absolut.

Ricardo memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan

komparatif.

Smith (2003), percaya operasi hukum alam, atau invisible hand, dan oleh

karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat

bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika

setiap orang diizinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka

panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama.

Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah

penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di

mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor).

Selanjutnya Smith (2003) memperluas gagasan mengenai pembagian kerja

menjadi gagasan mengenai pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja

sama, dan pertukaran kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan


(36)

Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi

Adam Smith. Mengkritik merkantilisme, Smith (2003) menunjukkan bagaimana

segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli,

mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat

pertumbuhan alamiah aktivitas ekonomi. Sebaliknya, Smith (2003)

mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara. Diawali

dengan penalaran seperti ini, Adam Smith menunjukkan bagaimana setiap negara

dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat

dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa

kecukupan diri nasional (national self-sufficiency).

Persaingan sangat penting dalam masyarakat yang diusulkan Adam Smith.

Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang

paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing

mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal

mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah, atau penguasa,

seharusnya minimal.

Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah

menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. Meskipun demikian, posisi

Smith terhadap regulasi pemerintah tidaklah mutlak. Sebagaimana ditunjukkan

dalam tugas ketiga pemerintah, Smith (2003) menyatakan bahwa proyek-proyek

yang diperlukan yang terlalu besar untuk lembaga swasta akan dilaksanakan oleh

kewenangan publik.

Perdebatan tentang konsep keunggulan komparatif diawali ketika Smith


(37)

memberikan kontribusi pada teori ini (Krugman dan Obstfeld, 2006). Di

antaranya, kontribusi Ricardo pada teori perdagangan internasional sedemikian

penting sehingga teori klasik ini kadang-kadang dikatakan sebagai teori Ricardian.

Terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut. Menurut Smith,

sebuah negara yang superior seperti ini mungkin tidak memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional. Aturan ini dikenal sebagai teori keunggulan

komparatif. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun sebuah negara

tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara ini dan

juga negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan

internasional.

Krugman dan Obstfeld (2006), berpendapat bahwa impor dapat

menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi

produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar

adanya, sebagaimana yang diyakini oleh Adam Smith bahwa di dalam

perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang

memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah. Hal ini merupakan prinsip

keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik

antar-individu, antar-wilayah, maupun antar-negara. Model perdagangan

internasional Ricardian dengan demikian merupakan suatu alat yang sangat

bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi

dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang

berdagang.

Krugman dan Obstfeld (2006), juga menjelaskan bahwa keunggulan


(38)

menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda

antar-negara. Pada awal abad kedua puluh, sebuah teori penting yang baru

mengenai perdagangan internasional, model Heckscher-Ohlin (HO),

dikembangkan oleh dua orang ekonom Swedia yakni Hecksher dan Ohlin.

Keduanya berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan

dalam factor endowments. Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri

dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor

produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang

diperlukan dalam produksinya.

Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan

komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor

yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah

bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh

karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat

menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan

komparatif yang berbeda.

Studi empiris yang terkenal dari model HO dilakukan oleh Leontief

(1953). Leontief yang semula berekspektasi bahwa Amerika Serikat, negara yang

surplus modalnya paling besar di dunia, seharusnya mengekspor barang-barang

padat modal dan mengimpor barang-barang padat karya, tetapi ternyata

menemukan bahwa barang impor AS yang bersaing memerlukan modal yang 30

persen lebih besar.

Banyak barang manufaktur yang melalui suatu siklus produk yang terdiri


(39)

komparatif dari barang ini berubah dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke

negara lain. Hipotesis siklus produk berawal dengan asumsi bahwa rangsangan

pada inovasi biasanya dipicu oleh ancaman atau peluang di pasar. Dengan kata

lain, perusahaan cenderung dirangsang oleh kebutuhan dan kesempatan yang ada

di pasar yang terdekat, yaitu home market. Home market memainkan peran ganda

dalam hipotesis ini. Home market tidak hanya berperan sebagai sumber

rangsangan untuk perusahaan inovasi, tetapi juga lokasi yang lebih disukai untuk

melaksanakan produksi (Cho and Moon, 2000).

Berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside-in

approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal

proses penyusunan strategi. Konsep yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994)

lebih cenderung inside-out. The core competence model yang disusun oleh

Prahalad dan Hamel (1994) menyatakan bahwa daya saing dalam jangka panjang

diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost

dan more speedily dari pesaing. The core competence bisa menghasilkan produk

baru yang tidak diantisipasi sebelumnya.

Sumber utama untuk membangun competence adalah kemampuan

manajemen untuk mengkonsolidasikan corporate-wide technologies dan

production skills menjadi kompetensi. Hamel dan Prahalad (1994) menganjurkan

perusahaan agar strategi bersaing dibangun di seputar core of shared

competencies.

Core competence yang dimaksud Hamel dan Prahalad harus memenuhi

tiga persyaratan dassar yaitu: (1) menyediakan potensial akses ke pasar yang


(40)

seperti yang diharapkan konsumen, (3) core competence semestinya sulit ditiru

oleh pesaing.

Untuk membangun core competence diperlukan perbaikan proses yang

berkelanjutan, yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk

manajemen puncak.

Daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini

dan bisa diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan

mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu tergantung pada tingkat kompetisi,

perubahan perilaku permintaan dan kemampuan dasar industri di negara

bersangkutan.

Penjelasan para ahli ekonomi mengenai daya saing global berkaitan

dengan teori keunggulan komparatif dan faktor harga banyak terinspirirasi oleh

pandangan Ricardo dan Heckscher-Ohlin. Ricardo berfokus pada satu faktor

produksi dan tingkat teknologi yang berbeda-beda, sementara Hecksher dan Ohlin

berfokus pada input tenaga kerja dan kapital serta menilai keunggulan komparatif

berdasarkan perbedaan factor-faktor endowment dan faktor harga relatif.

(Dornbusch et al.,1998).

Dalam teori perdagangan modern dikatakan bahwa di dalam perdagangan

dengan tingkat kompetisi yang tidak sempurna, maka keunggulan komparatif

tetap memegang peranan penting untuk menjelaskan pola perdagangan yang

terjadi, namun skala ekonomi dan motivasi strategis juga berperan penting

(Helpman dan Krugman,1985 dalam

Menurut Adams et al. (2004), keunggulan komparatif tidak selalu

berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing dikarenakan beberapa hal: Adams et al., 2004).


(41)

Pertama, karena keunggulan komparatif merupakan konsep mikroekonomi yang

berfokus pada perdagangan industri spesifik, yang mampu menjelaskan mengapa

sebuah negara melakukan ekspor atas produk-produk padat karya, sementara

negara lain melakukan spesialisasi hanya untuk produk yang padat modal. Setiap

negara mempunyai keunggulan komparatif dalam hal memperoduksi

produk-produk tertentu, yaitu bila negara tersebut mempunyai tingkat biaya produk-produksi yang

lebih rendah dibandingkan negara pesaingnya. Oleh karena itu keunggulan

komparatif tidak terlalu berperan nyata dalam perspektif makroekonomi.

Kedua, keunggulan komparatif adalah konsep ekuilibrium, yang

memprediksi pola perdagangan di saat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar

berada pada posisi ekuilibrium. Sementara itu, keputusan bisnis secara eksplisit

seringkali harus mempertimbangkan juga tingkat pertumbuhan jangka pendek

selain hasil ekuilibrium jangka panjang. Seperti misalnya, kondisi perekonomian

yang terjadi saat ini, fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan beberapa faktor

lain yang mewakili deviasi dari kondisi ekuilibrum jangka panjang.

Akhirnya, keunggulan komparatif tidak menempatkan secara khusus

semua alternatif teknologi yang mungkin dilakukan oleh produsen. Pada tingkat

mikroekonomi, jika berbicara mengenai produk spesifik, maka teori tidak akan

selalu dapat menjelaskan negara mana yang mempunyai campuran sumberdaya

dan faktor harga yang paling baik untuk berbagai tipe produk yang diproduksi.

Tergantung dari infrastruktur dan teknologi serta rendahnya angka relatif jumlah

tenaga kerja terhadap kapital, yang akan berimplikasi terhadap tingginya

produktivitas dan nilai upah buruh. Bagi produk-produk padat karya, upah yang


(42)

tersedia teknologi alternatif yang menggunakan sedikit tenaga kerja dan lebih

banyak kapital. Sebagai contoh, beberapa produk yang diproduksi secara manual

di China dapat diproduksi dengan mesin di Amerika.

Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga

yang memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk

dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan

harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material),

produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya

transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan

kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar (Adams et al., 2004).

Pada kenyataannya penggunaan terminologi daya saing sangatlah luas.

Seringkali para pendukung daya saing menekankan pada tingkat pertumbuhan

produktifitas yang berkelanjutan, terutama dalam hal memproduksi

produk-produk yang memenuhi kebutuhan pasar global dan mampu menggiring ke tingkat

hidup yang lebih baik (Porter, 1990 dalam

Menurut Reinhardt (2005), pembuat kebijakan industri di seluruh dunia

semakin sering menggunakan teknologi dan klasifikasi pasar untuk menilai daya

saing manufaktur. Sektor industri manufaktur yang intensif teknologi mempunyai

pertumbuhan dan prospek dagang lebih baik, menawarkan kesempatan belajar,

dan seringkali menghasilkan eksternalitas bagi perekonomian. Selain itu sektor

manufaktur yang intensif teknologi juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi

dan memberikan hambatan masuk lebih tinggi bagi pendatang baru.

Competitiveness Policy Council,


(43)

Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), hal paling mendasar dari

perekonomian global adalah banyaknya manfaat dari perdagangan antar negara.

Jika ada dua atau lebih negara yang saling menjual dan membeli barang dan jasa,

maka pertukaran ini akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat.

Manfaat perdagangan internasional sesungguhnya lebih luas dari apa yang

disadari masyarakat umum. Hanya saja, selama ini telah berkembang pendapat

yang salah bahwa perdagangan internasional akan sulit dilakukan diantara

negara-negara yang mempunyai perbedaan jauh, baik dalam hal tingkat produktivitas

maupun tingkat kesejahteraan masyarakat.

Negara dengan tingkat perkembangan teknologi yang rendah bisa jadi

merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang lebih maju akan

mendatangkan kehancuran karena ketidakmampuan bersaing. Negara dengan

teknologi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan merasa bahwa

melakukan hubungan dagang dengan negara yang kurang maju dapat menurunkan

standar kehidupan mereka. Ada juga kekuatiran bahwa negara maju akan dibanjiri

oleh produk dari negara berkembang dengan kualitas produk rendah.

Sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari

perdagangan internasional, namun bisa jadi hal ini akan memberi dampak tidak

menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara, karena

perdagangan internasional akan memberikan pengaruh yang besar dalam hal

distribusi pendapatan.

Ohmae (1995) dalam Hanani (2000), mengatakan dampak liberalisasi

perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga bisa terjadi


(44)

perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam

menyikapi produk impor.

Berbagai perdebatan yang kontradiktif tentang perdagangan menghasilkan

beberapa teori perdagangan internasional seperti diungkapkan oleh Krugman dan

Obstfeld (2006), yang menyatakan bahwa :

1. Perdagangan internasional akan berpengaruh negatif bagi pemilik

sumberdaya yang bersifat spesifik dalam industri tertentu yang harus

bersaing dengan barang atau jasa impor, karena tidak dapat menemukan

tenaga kerja alternatif dari industri lain.

2. Perdagangan internasional juga akan mengubah distribusi pendapatan pada

beberapa kelompok besar, seperti kelompok pekerja dan pemilik modal.

Keikutsertaan pada perdagangan internasional bisa dipandang dari dua

alasan, yaitu: (1) masing-masing negara yang berdagang mempunyai perbedaan,

dan (2) perdagangan merupakan sarana untuk mencapai skala ekonomi produksi.

Jika suatu negara hanya memproduksi beberapa jenis produk tertentu, maka

keterlibatannya dalam perdagangan internasional membuat negara ini mempunyai

kesempatan untuk memproduksi jenis produk yang terbatas tadi dalam skala yang

lebih besar, sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut

harus memproduksi sendiri semua produk kebutuhan dalam negerinya. Melalui

perdagangan internasional juga bisa tergambar bagaimana hubungan dan rivalitas

antar negara khususnya dalam perekonomian dunia, yang antara lain digambarkan

dalam peta persaingan.

Menurut Cho dan Moon (2000), retorika daya saing – pandangan bahwa,


(45)

perusahaan besar yang bersaing dalam pasar global – telah sedemikian privatif.

Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), daya saing menghadirkan tiga bahaya.

Pertama, hal ini dapat mengakibatkan penyia-nyiaan uang untuk meningkatkan

daya saing AS. Kedua, hal ini dapat mengarah pada proteksionisme dan perang

dagang. Akhirnya, hal ini dapat mengakibatkan kebijakan publik yang buruk.

Krugman memberikan peringatan bahwa suatu obsesi dengan daya saing

merupakan hal yang berbahaya dan menyarankan membuang produktivitas dalam

hal ini.

Pada kenyataannya, meskipun demikian, mencoba untuk mendefinisikan

daya saing sebuah negara ternyata jauh lebih problematik dibandingkan

mendefinisikan daya saing sebuah perusahaan. Ukuran kinerja untuk sebuah

perusahaan secara harfiah adalah labanya: jika sebuah perusahaan tidak mampu

membayar para pekerja, para pemasok, dan para pemegang obligasinya, maka

perusahaan akan keluar dari bisnis. Jadi, pada saat kita mengatakan bahwa sebuah

perusahaan tidak kompetitif, yang kita maksud adalah bahwa posisi pasarnya tidak

dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, kecuali perusahaan tersebut

memperbaiki kinerjanya, perusahaan tersebut akan berhenti. Negara, di sisi lain,

tidak mungkin keluar dari bisnis.

Seseorang mungkin mengumpamakan secara naif bahwa ukuran kinerja

dari sebuah perekonomian nasional sekadar neraca perdagangan saja, bahwa daya

saing dapat diukur dengan kemampuan sebuah negara untuk menjual produk ke

luar negeri yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah produk yang dibelinya.


(46)

merupakan suatu tanda kelemahan nasional, suatu defisit mungkin merupakan

suatu tanda kekuatan.

Negara-negara tidak saling bersaing seperti halnya perusahaan saling

bersaing. Pada persaingan antar perusahaan, keberhasilan perusahaan yang

menang bersaing akan berakibat kekalahan pada perusahaan satunya. Tetapi

dalam persaingan antar negara, keberhasilan negara yang satu menjual produk ke

negara lain juga memberi manfaat bagi negara yang mengimpor khususnya dalam

menghasilkan consumer surplus. Negara pengimpor bisa mendapatkan produk

berkualitas dengan harga lebih murah.

Menurut Cho dan Moon (2000), para pendukung daya saing tidak pernah

menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara

nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi

domestik, pendidikan, biaya modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan

pada umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder – lebih sebagai gejala daripada

penyebab daya saing.

Krugman (2006), tidak menjelaskan perlambatan dalam pertumbuhan

produktivitas AS, tetapi ia menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik merupakan

penyebab intinya. Meskipun demikian, perlambatan tersebut datang tepat pada

saat impor AS sedang membubung tinggi dan seluruh industri seperti produk

elektronik konsumsi disapu habis oleh para pesaing luar negeri yang mengejar

taktik merkantilis.

Menurut Cho dan Moon (2000), negara mencoba untuk meningkatkan

standar kehidupan setiap warganya. Standar hidup yang lebih tinggi tergantung


(47)

pertumbuhan produktivitas pada prinsipnya ditentukan oleh ukuran investasi

domestik dalam pabrik dan perlengkapan, penelitian dan pengembangan,

keterampilan dan infrastruktur publik, kualitas manajemen swasta dan

administrasi publik.

Cho and Moon (2000), menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya

saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional

tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak

dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan

daya saing internasional sebuah negara dengan penganugerahan faktornya. Ada

negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya

lemah. Dalam suatu dunia di mana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja

bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang

dianugerahkan saja tidak menentukan daya saing internasional.

Menurut Rooyen et al. (2002), daya saing ekonomi komparatif sebuah

negara sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya

tanah, tenaga kerja dan modal. Sementara pendekatan daya saing kompetitif

kesempatan bisnis, kebijakan yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas

produk dan kemampuan memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan

skala ekonomi, economy of scope dan posisi di pasar

Selanjutnya Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing

berkaitan erat dengan teknologi yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan

perbaikan kualitas produk. Peningkatan spesialisasi teknologi juga


(48)

2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter

Untuk menyelidiki mengapa negara memperoleh keunggulan kompetitif

dalam industri tertentu dan implikasinya bagi strategi perusahaan dan

perekonomian nasional, Porter (1990) melaksanakan suatu studi selama empat

tahun terhadap sepuluh negara utama dalam perdagangan. Porter mendefinisikan

industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika memiliki

keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia.

Sebagai indikator, ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama

dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada

keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Porter menyimpulkan

bahwa beberapa negara berhasil dalam industri tertentu karena lingkungan asalnya

bersifat forward-looking, dinamis, dan menantang. Secara spesifik, beberapa

penentunya adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri

pendukung, strategi perusahaan dan struktur persaingan.

Dalam persaingan global yang semakin meningkat, negara menjadi

semakin penting. Bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju

penciptaan dan asimilasi pengetahuan, peran negara telah berkembang.

Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat

terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian,

lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap

keberhasilan kompetitif.

Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing dalam setiap

negara; tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap


(1)

Lampiran 30. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Thailand Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No. Sektor 1995 2000

Domestik Indonesia China Lainnya Total Domestik Indonesia China Lainnya Total

001 Paddy 653 482 2 722 4 074 227 338 887 616 559 429 20 138 14 708 270 057 864 332 002 Other agricultural products 1 431 285 4 259 6 835 353 051 1 795 430 1 656 644 21 174 23 982 355 542 2 057 342 003 Livestock 2 156 207 1 161 3 409 115 284 2 276 061 1 491783 119 465 55 153 1 547 520 004 Forestory 77 475 24 37 1 974 79 510 27 428 4 8 224 27 664 005 Fishery 1 035 025 1 311 5 071 315 636 1 357 043 1 284 883 3 560 4 241 80 467 1 373 151 006 Crude petroleum and natural gas 483 207 58 53 39 138 522 456 775 146 1 036 313 10 212 786 707 007 Other mining 511 763 434 962 49 315 562 474 358 743 471 503 9 862 369 579 008 Food, beverage and tobacco 18 405 173 61 338 56 896 2 044 775 20 568 182 16 374 052 94 474 118 453 2 300 322 18 887 301 009 Textile, leather, and the products thereof 15 461 266 92 232 320 009 4 141 744 20 015 251 10 990 795 91 204 394 905 2 286 869 13 763 773 010 Timber and wooden products 1 772 729 4 276 8 009 1 181 051 2 966 065 811 912 30 918 12 210 497 410 1 352 450 011 Pulp, paper and printing 1 269 330 43 673 25 279 1 191 947 2 530 229 1 400 458 46 369 20 335 1 038 928 2 506 090 012 Chemical products 2 510 161 35 187 62 814 1 264 970 3 873 132 4 293 177 106 656 146 564 2 357 406 6 903 803 013 Petroleum and petro products 535 746 42 883 12 463 3 177 364 3 768 456 1 108 099 134 426 78 822 6 788 305 8 109 652 014 Rubber products 2 875 812 11 216 32 742 440 291 3 360 061 1 995 965 17 696 38 476 359 450 2 411 587 015 Non-metallic mineral products 3 428 824 46 288 32 665 444 162 3 951 939 1 817 013 39 557 26 896 441 356 2 324 822 016 Metal products 1 896 783 14 100 223 655 2 733 465 4 868 003 1 966 963 32 496 100 649 1 689 493 3 789 601 017 Machinery 6 440 365 45 013 216 315 11 810 313 18 512 006 7 919 795 271 092 1 141 240 14 395 596 23 727 723 018 Transport equipment 5 724 376 22 342 106 453 5 116 290 10 969 461 4 341 360 42 557 87 268 3 631 067 8 102 252 019 Other manufacturing products 6 122 638 29 979 75 425 3 230 932 9 458 974 4 944 328 99 998 166 824 3 119 158 8 330 308 020 Electricity, gas, and water supply 3 851 037 1 727 3 663 87 088 3 943 515 4 819 971 10 367 4 659 178 196 5 013 193 021 Construction 15 190 737 31 239 197 480 4 352 148 19 771 604 5 545 207 23 893 90 101 1 384 280 7 043 481 022 Trade and transport 16 036 132 7 061 31 106 2 642 705 18 717 004 16 561 504 17 311 19 765 586 078 17 184 658 023 Services 20 485 727 14 877 53 123 1 332 081 21 885 808 16 225 028 49 973 98 164 1 890 687 18 263 852 024 Public administration 4 011 942 72 2 749 193 758 4 208 521 9 423 685 - - - 9 423 685


(2)

Lampiran 31. Struktur Input Antara Domestik dan Impor China Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No. Sektor 1995 2000

Domestik Indonesia Thailand Lainnya Total Domestik Indonesia Thailand Lainnya Total

001 Paddy 5 504 926 7 775 141 527 282 6 040 124 18 761 526 3 832 4 872 577 352 19 347 582 002 Other agricultural products 39 819 086 56 348 1024 3 829 246 43 705 704 43 387 136 11 482 12 333 1 378 113 44 789 064 003 Livestock 37 402 543 434 64 324 941 37 727 982 4 185 4 185 30 562 51 143 691 51 182 623 004 Forestory 2 647 382 210 1071 71 294 2 719 957 2 863 389 9 422 2 504 201 285 3 076 600 005 Fishery 7 255 752 40 180 133 514 7 389 486 11 778 884 3 775 10 016 378 366 12 171 041 006 Crude petroleum and natural gas 6 721 991 2 759 331 732 7 054 484 15 474 925 9 779 17 408 1 273 328 16 775 440 007 Other mining 23 698 936 7 434 14 981 445 385 24 166 736 21 488 609 21 531 25 482 1 798 505 23 334 127 008 Food, beverage and tobacco 83 014 819 72 935 396 213 7 637 991 91 121 958 117 137 600 165 383 83 406 4 325 051 121 711 440 009 Textile, leather, and the products thereof 101 001 911 53 297 160 931 17 071 373 118 287 512 135 468 546 165 323 147 535 14 196 468 149 977 872 010 Timber and wooden products 14 491 224 285 731 9 616 1 093 888 15 880 459 12 990 707 120 242 17 540 1 084 172 14 212 661 011 Pulp, paper and printing 17 817 149 176 365 16 990 3 245 065 21 255 569 25 531 235 678 036 144 269 5 601 706 31 955 246 012 Chemical products 57 290 782 83 329 70 997 8 418 569 65 863 677 125 291 241 234 357 137 703 12 788 393 138 451 694 013 Petroleum and petro products 19 319 297 679 013 475 2 835 484 22 834 269 55 308 215 917 281 89 905 15 283 612 71 599 013 014 Rubber products 7 450 530 57 173 206 087 765 302 8 479 092 15 169 260 49 114 20 411 1 736 371 16 975 156 015 Non-metallic mineral products 48 960 733 2 373 3 080 719 863 49 686 049 50 477 125 21 667 35 125 2 686 618 53, 220 535 016 Metal products 91 022 198 21 212 9 205 10 160 181 101 212 796 137 101 057 73 824 117 247 13 838 826 151 130 954 017 Machinery 113 634 261 48 436 56 366 21 964 795 135 703 858 230 847 765 203 426 951 872 47 974 408 279 977 471 018 Transport equipment 31 638 571 2 144 16 060 6 090 561 37 747 336 79 961 912 21 330 58 839 6 883 790 86 925 871 019 Other manufacturing products 39 070 332 20 812 8 161 5 889 332 44 988 637 54 024 175 81 931 82 136 8 337 193 62 525 435 020 Electricity, gas, and water supply 19 768 026 8 260 2 465 405 286 20 184 037 64 986 439 23 397 61 198 3 390 351 68 461 385 021 Construction 117 859 866 181 938 48 286 4 521 491 122 611 581 181 910 410 197 328 177 462 11 581 876 193 867 076 022 Trade and transport 64 412 952 8 719 7 031 2 254 477 66 683 179 120 401 282 57 653 109 497 5 527 241 126 095 673 023 Services 72 013 845 11 826 72 279 4 372 817 76 470 767 178 688 176 119 216 370 758 11 877 768 191055 918 024 Public administration 17 913 915 488 66 2 602 100 20 516 569 34 941 270 10 976 30 709 1 559 068 36 542 023


(3)

Lampiran 32. Pengeluaran Input Primer Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No.

Sektor

Indonesia

Thailand

China

1995

2000

1995

2000

1995

2000

001 Paddy

8 932 067

5 507 332

2 976 764

2 002 623

10 742 453

31 300 417

002 Other agricultural products

16 795 666

11 500 949

4 853 328

4 453 592

78 818 552

77 068 693

003 Livestock

4 542 196

2 858 734

1 289 016

1 205 790

34 649 511

47 400 784

004 Forestory

3 561 677

1 882 233

405 006

142 290

5 780 040

7 587 847

005 Fishery

4 268 066

3 362 772

2 367 053

1 858 641

12 979 269

17 378 612

006 Crude petroleum and natural gas

13 434 678

17 665 718

801 693

1 912 055

10 947 713

35 906 005

007 Other mining

6 981 915

5 969 000

1 468 306

802 460

15 145 769

19 682 813

008 Food, beverage and tobacco

19 877 246

13 484 829

9 883 539

8 373 815

36 411 771

57 657 583

009 Textile, leather, and the products thereof

6 856 041

5 427 589

10 314 275

6 882 971

43 745 624

55 615 034

010 Timber and wooden products

3 499 848

2 427 640

1 833 800

1 124 344

8 384 857

5 076 929

011 Pulp, paper and printing

2 602 168

2 329 053

1 330 421

1 438 655

8 399 029

13 684 232

012 Chemical products

4 151 137

2 995 105

1 741 996

3 203 336

33 761 539

47 227 443

013 Petroleum and petro products

2 935 196

2 683 605

3 117 301

2 855 268

8 707 557

23 965 479

014 Rubber products

2 594 162

670 066

2 690 081

998 812

6 651 922

5 045 116

015 Non-metallic mineral products

1 625 547

1 208 820

2 773 686

1 668 265

23 790 773

23 053 673

016 Metal products

3 721 083

2 213 283

2 123 685

2 310 509

36 309 647

44 061 894

017 Machinery

3 456 700

3 953 880

6 359 030

5 907 983

48 996 400

90 254 810

018 Transport equipment

5 628 265

5 544 218

4 964 633

3 268 693

15 256 006

28 435 450

019 Other manufacturing products

2 321 344

1 571 442

4 664 430

3 494 282

18 950 760

20 894 893

020 Electricity, gas, and water supply

2 568 136

1 046 639

4 344 130

5 227 823

17 529 769

46 973 215

021 Construction

15 897 985

9 482 686

12 910 028

3 313 089

55 823 068

71 790 006

022 Trade and transport

41 832 620

25 924 850

37 623 141

35 472 411

86 664 495

118 689 374

023 Services

51 295 128

29 445 159

39 364 137

26 949 832

81 132 893

195 937 071

024 Public administration

8 798 541

5 331 425

6 204 454

5 253 594

20 207 091

30 828 938


(4)

Lampiran 33. Struktur Input Primer Indonesia Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No. Sektor

1995 2000

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

001 Paddy 1 577 071 7 123 759 156 487 74 750 8 932 067 831 923 4 484 540 105 272 85 597 5 507 332 002 Other agricultural products 3 001 890 13 479 176 200 335 114 265 16 795 666 2 764 621 8 362 834 213 152 160 342 11 500 949 003 Livestock 764 975 3 646 470 85 440 45 311 4 542 196 1 280 987 1 512 804 48 878 16 065 2 858 734 004 Forestory 658 113 2 601 045 239 886 62 633 3 561 677 373 225 1 348 499 118 458 42 051 1 882 233 005 Fishery 756 375 3 300 685 168 841 42 165 4 268 066 692 106 2 446 530 155 075 69 061 3 362 772 006 Crude petroleum and natural gas 475 805 12 384 642 531 123 43 108 13 434 678 1 211 409 15 187 360 822 434 444 515 17 665 718 007 Other mining 2 471 261 3 549 036 591 042 370 576 6 981 915 1 942 361 3 224 973 453 502 348 164 5 969 000 008 Food, beverage and tobacco 4 884 052 10 751 630 1 493 623 2 747 941 19 877 246 3 616 031 6 553 317 974 586 2 340 895 13 484 829 009 Textile, leather, and the products thereof 2 239 598 3 373 019 894 237 349 187 6 856 041 1 916 831 2 617 985 642 961 249 812 5 427 589 010 Timber and wooden products 959 638 1 915 732 535 403 89 075 3 499 848 688 400 1 371 836 316 374 51 030 2 427 640 011 Pulp, paper and printing 685 928 1 670 471 150 892 94 877 2 602 168 685 108 1 379 692 165 120 99 133 2 329 053 012 Chemical products 1 639 377 1 720 746 483 018 307 996 4 151 137 1 108 221 1 221 580 407 928 257 376 2 995 105 013 Petroleum and petro products 716 485 1 592 579 572 904 53 228 2 935 196 609 687 1 481 477 542 644 49 797 2 683 605 014 Rubber products 1 232 700 1 051 214 203 280 106 968 2 594 162 334 069 272 942 41 639 21 416 670 066 015 Non-metallic mineral products 498 785 579 689 371 607 175 466 1 625 547 391 390 470 397 237 009 110 024 1 208 820 016 Metal products 887 636 2 190 313 351 460 291 674 3 721 083 690 044 1 119 758 244 983 158 498 2 213 283 017 Machinery 1 154 612 1 516 405 404 055 381 628 3 456 700 1 139 242 1 829 769 511 126 473 743 3 953 880 018 Transport equipment 2 040 194 2 545 053 607 699 435 319 5 628 265 2 108 068 2 557 945 643195 235 010 5 544 218 019 Other manufacturing products 577 113 1 481 621 80 632 181 978 2 321 344 453 737 891 907 68 375 157 423 1 571 442 020 Electricity, gas, and water supply 581 545 992 770 954 601 39 220 2 568 136 270 653 608 468 480 195 (312 677) 1 046 639 021 Construction 8 361 656 5 521 013 1282182 733 134 15 897 985 4 409 095 3 860 960 798 298 414 333 9 482 686 022 Trade and transport 9 721 071 25 614 235 4 382 163 2 115 151 41 832 620 5 873 606 15 669 494 2 843 013 1 538 737 25 924 850 023 Services 18 397 053 26 653 004 4 172 959 2 072 112 51 295 128 10 044 834 16 316 387 2 161 589 922 349 29 445 159 024 Public administration 8 374 009 3 424 529 - 8 798 541 5 076 483 - 254942 - 5 331 425


(5)

Lampiran 34. Struktur Input Primer Thailand Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No. Sektor

1995 2000

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

001 Paddy 291 555 2 598 935 76 043 10 231 2 976 764 685 816 1 258 230 58 296 281 2 002 623 002 Other agricultural products 840 502 3 850 803 154 877 7 146 4 853 328 1 107 576 3 034 021 306 300 5 695 4 453 592 003 Livestock 274 914 926 280 83 955 3 867 1 289 016 224 011 932 668 48 823 288 1 205 790 004 Forestory 165 889 219 787 11 241 8 089 405 006 49 294 85 184 4 349 3 463 142 290 005 Fishery 606 605 1 485 191 274 720 537 2 367 053 423 685 1 168 038 266 358 560 1 858 641 006 Crude petroleum and natural gas 163 432 265 549 184 008 188 704 801 693 451 504 704 146 415 117 341 288 1 912 055 007 Other mining 354 201 927 944 91 559 94 602 1468 306 206 892 513 379 65 554 16 635 802 460 008 Food, beverage and tobacco 1 944 270 3 951 509 864 182 3 123 578 9 883 539 2 044 328 3 909 303 749 982 1 670 202 8 373 815 009 Textile, leather, and the products

thereof 3 682 283 4 723 013 1 545 886 363 093 10 314 275 2347 106 3 273 361 1 034 134 228 370 6 882 971 010 Timber and wooden products 594 711 962 878 196 111 80 100 1 833 800 366 796 607 160 129 502 20 886 1 124 344 011 Pulp, paper and printing 327 605 709 401 217 575 75 840 1 330 421 223 951 1 005 309 168 128 41 267 1 438 655 012 Chemical products 468 977 884 924 270 522 117 573 1 741 996 915 293 1 620 365 606 522 61 156 3 203 336 013 Petroleum and petro products 180 039 672 362 461 340 1 803 560 3 117 301 225 864 632 718 385 166 1 611 520 2 855 268 014 Rubber products 659 020 1 766 999 185 329 78 733 2 690 081 339 087 489 197 146 988 23 540 998 812 015 Non-metallic mineral products 740 911 1 391 968 454 715 186 092 2 773 686 440 637 854 801 346 703 26 124 1 668 265 016 Metal products 636 783 1 131 837 2 48 609 106 456 2 123 685 680 371 1 291 632 312 795 25 711 2 310 509 017 Machinery 1 442 117 3 333 720 1 074 148 509 045 6 359 030 1 634 641 2 757 095 1 286 009 230 238 5 907 983 018 Transport equipment 1 447 587 2 199 890 5 83 721 733 435 4 964 633 959 811 1 328 051 507 692 473 139 3 268 693 019 Other manufacturing products 1 607 629 2 377 158 440 089 239 554 4 664 430 1 127 617 1 782 493 455 010 129 162 3 494 282 020 Electricity, gas, and water supply 981 845 2 326 180 800 008 236 097 43 44 130 1 823 429 1 596 435 1 418 992 388 967 5 227 823 021 Construction 4 112 965 6 693 626 1 489 585 613 852 12 910 028 1 089 436 1 400 448 637 153 186 052 3 313 089 022 Trade and transport 7 227 372 24 179 654 4 046 605 2 169 510 37 623 141 7 047 012 22 446 163 3880 417 2 098 819 35 472 411 023 Services 14 626 101 16 676 803 4 848 260 3 212 973 39 364 137 10 894 912 9 429 655 4 631 994 1 993 271 26 949 832 024 Public administration 5 853 597 - 350 857 - 6 204 454 4 814 915 - 438 679 - 5 253 594


(6)

Lampiran 35. Struktur Input Primer China Tahun 1995 dan 2000

(US$)

No. Sektor

1995 2000

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

Upah dan Gaji

Surplus

Operasi Penyusutan Pajak Total

001 Paddy 9 065 443 1 021 898 359 336 295 776 10 742 453 27 273 682 2 045 339 1 131 968 849 428 31 300 417 002 Other agricultural products 66 598 217 7 471 163 2 576 283 2 172 889 78 818 552 66 988 793 5 166 796 2 784 640 2 128 464 77 068 693 003 Livestock 29 771 985 3 051 588 877 552 948 386 34 649 511 43 577 939 627 113 1 916 661 1 279 071 47 400 784 004 Forestory 4 854 180 608 242 149 317 168 301 5 780 040 6 686 620 422 631 288 965 189 631 7 587 847 005 Fishery 9 758 416 2 127 823 704 054 388 976 12 979 269 14 510 677 1 503 095 943 963 420 877 17 378 612 006 Crude petroleum and natural gas 1 457 771 4 972 618 2 594 623 1 922 701 10 947 713 7 249 208 16 134 256 6 763 195 5 759 346 35 906 005 007 Other mining 9 551 765 1 488 578 3 065 358 1 040 068 15 145 769 12 431 016 423 508 4 577 360 2 250 929 19 682 813 008 Food, beverage and tobacco 11 383 714 7 960 212 3 037 672 14 030 173 36 411 771 23 279 321 11 722 380 8 564 136 14 091 746 57 657 583 009 Textile, leather, and the products

thereof 18 798 358 9 630 024 4 373 587 10 943 655 43 745 624 25 675 667 9 110 454 10 427 957 10 400 956 55 615 034 010 Timber and wooden products 4 104 385 813 234 1 026 165 2 441 073 8 384 857 2 272 105 864 621 1 018 371 921 832 5 076 929 011 Pulp, paper and printing 2 753 418 2 948 718 1 097 982 1 598 911 8 399 029 6 982 948 2 845 451 1 993 491 1 862 342 13 684 232 012 Chemical products 6 434 203 16 018 338 4 103 925 7 205 073 33 761 539 17 559 956 9 079 317 8 888 842 11 699 328 47 227 443 013 Petroleum and petro products 1 732 920 2 416 743 1 161 273 3 396 621 8 707 557 6 566 165 5 818 435 4 122 316 7 458 563 23 965 479 014 Rubber products 3 252 636 1 429 088 358 489 1 611 709 6 651 922 2 390 952 532 802 618 194 1 503 168 5 045 116 015 Non-metallic mineral products 10 421 035 4 068 162 3 887 306 5 414 270 23 790 773 12 058 637 2 607 967 4 433 417 3 953 652 23 053 673 016 Metal products 12 601 850 9 845 170 6 355 036 7 507 591 36 309 647 16 984 603 10 567 797 8 003 794 8 505 700 44 061 894 017 Machinery 16 500 464 18 008 386 5 248 383 9 239 167 48 996 400 38 315 544 21 469 526 16 162 617 14 307 123 90 254 810 018 Transport equipment 4 858 916 6 508 914 1 700 675 2 187 501 15 256 006 14 414 223 4 360 715 4 656 946 5 003 566 28 435 450 019 Other manufacturing products 7 555 910 6 333 781 1 636 882 3 424 187 18 950 760 9 657 853 3 872 384 3 884 175 3 480 481 20 894 893 020 Electricity, gas, and water supply 2 120 448 7 702 416 3 343 971 4 362 934 17 529 769 12 352 570 10 453 767 14 450 269 9 716 609 46 973 215 021 Construction 24 065 182 6 617 839 20 963 983 4 176 064 55 823 068 47 174 863 12 571 508 5 434 430 6 609 205 71 790 006 022 Trade and transport 23 785 187 51 625 562 7 384 258 3 869 488 86 664 495 61 816 102 16 287 613 17 488 750 23 096 909 118 689 374 023 Services 37 057 611 27 133 136 11 717 092 5 225 054 81 132 893 101 391 032 24 994 077 43 121 919 26 430 043 195 937 071 024 Public administration 16 015 610 808 336 3 354 391 28 754 20 207 091 25 399 679 578 521 4 752 754 97 984 30 828 938