Mempelajari bagaimana cara memodifikasi model perilaku perusahaan publik dan swasta merupakan elemen kunci dalam rangkaian proses pembuatan
kebijakan. Perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan guna memfasilitasi interaksi antara pemerintah dan pebisnis sektor industri agro untuk memastikan
bahwa prioritas perusahaan terintegrasi dalam kerangkan kebijakan koheren yang dibangun berdasarkan prosedur dan tujuan bersama yang memungkinkan
terjadinya proses evaluasi kinerja perusahaan yang netral secara politik. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak boleh terikat pada suatu hubungan
domestik maupun internasional. Kebijakan haruslah selalu dapat dimodifikasi, direstrukturisasi dan diperbaiki.
Kebijakan infrastruktur harus menekankan pada pengembangan daerah pedesaan dan kota-kota perantara. Pertumbuhan ini dapat menstimulasi investasi
di bidang pengolahan hasil pertanian dan sektor pedesaan lainnya, selain juga merupakan basis bagi terintegrasinya ekonomi pedesaan dan perkotaan, dan
pengembangan pertanian sebagai suatu industri.
2.9.1. Kebijakan Industri China
Menurut Reinhardt 2005 bahwa kinerja industri manufaktur dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi: lingkungan makroekonomi, iklim investasi dan
bisnis, peraturan dan kebijakan pemerintah, investasi langsung luar negeri, stabilititas sosial dan politik, institusi penunjang, keterampilan tenaga kerja,
teknologi, infrastruktur dan faktor lainnya. Dalam penelitiannya tentang industri di bagian barat China, faktor
keseimbangan menjadi pertimbangan penting dalam pembangunan industri dan perekonomian di China. Baik keseimbangan antar daerah maupun keseimbangan
akan perhatian terhadap pasar ekspor dan domestik. China terus menerus mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan
juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri. Pemerintah meluncurkan berbagai inisiatif berskala raksasa untuk
mengurangi ketertinggalan di daerah-daerah yang umumnya ada di bagian barat China, sekaligus untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Beberapa kebijakan yang diambil antara lain sebagai berikut : 1.
Mendorong konsumsi produk industri pengolahan dalam negeri di daerah- daerah produsennya melalui pengembangan produktivitas tenaga kerja
yang akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat. 2.
Meningkatkan keterkaitan, baik backward linkages maupun forward linkages
, dalam rangka meningkatkan penggunaan barang dan jasa setempat.
3. Mendorong capital-intensive manufacturing subsectors, yang meskipun
cenderung sedikit menggunakan tenaga kerja tetapi mempunyai keterkaitan backward dan forward linkages.
4. Mengupayakan peningkatan keterkaitan antar daerah
5. Memanfaatkan pertumbuhan cepat industrialisasi di bagian timur China
sebagai mesin pertumbuhan keseluruhan perekonomian. Dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan
untuk mengembangkan sektor industri manufaktur lokal. Perusahaan asing dapat meningkatkan level pembentukan kapital, penetrasi pasar luar negeri, promosi
ekspor dan menghasilkan devisa. Mereka juga dapat menyediakan pasar untuk pemasok dalam negeri dan industri penunjang yang sekaligus juga menggerakkan
alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan industri sehingga menyediakan kesempatan kerja. Mereka juga dapat
menyebarluaskan best practices melalui contoh efisiensi produksi yang lebih tinggi, standar tenaga kerja serta perlindungan lingkungan dan upah yang lebih
baik. Lebih dari itu, kompetisi di antara perusahaan asing dan domestik di pasar
yang didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan lokal. Tantangan yang dihadapi oleh perusahaan
manufaktur di barat China adalah menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi untuk menutup kekurangbertuntungan dalam hal biaya,
mengidentifikasi niche market baru didasarkan pada keunggulan komparatif alami, dan melakukan spesialisasi produk baru yang dapat menciptakan
keunggulan kompetitif, serta mengembangkan pemasaran dan jalus ditribusi untuk meraih nilai tambah yang relatif lebih tinggi.
2.9.2. Kebijakan Industri Indonesia