Daya Saing Sektor Industri Agro

pendapatannya. Sebagai contoh, perkembangan industri mie instan yang begitu pesat dalam kurun waktu 10 tahun ini ternyata tidak dapat mengangkat secara maksimal pendapatan petani palawija cabe, bawang, tomat dan lain-lain. Berdasarkan komposisi penggunaan bahan baku yang terkait dengan komoditi pertanian dari besaran persentase maupun penyebarannya maka dapat disampaikan bahwa klasifikasi sektor industri yang digolongkan sebagai industri agro dalam studi ini adalah : 1 industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau, 2 industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, 3 industri kayu dan olahan, 4 industri karet, dan 5 industri pulp, kertas dan percetakan.

5.2. Daya Saing Sektor Industri Agro

Dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan indikator daya saing IIC index of international competitiveness, terjadi penurunan daya saing sektor industri agro Indonesia di pasar internasional pada periode 1995-2000 seperti terdapat pada Tabel 15 berikut. Pada Tabel 15 tersebut terlihat adanya penurunan nilai IIC sektor industri agro Indonesia sebesar -0.0850 pada tahun 2000 bila dibandingkan tahun 1995. Meskipun secara sektoral produk industri agro Indonesia pada tahun 2000 berada dalam kategori daya saing kuat karena semua produk mempunyai IIC 0, namun bila dibandingkan pada tahun 1995 ternyata untuk sebagian besar produk mengalami penurunan angka IIC. Perkembangan industri agro di Indonesia baik secara keseluruhan maupun sektoral jika mengacu kepada angka IIC dapat dikatakan berada dalam tahap pengembangan ekspor, oleh karena memiliki nilai IIC dalam interval 0 IIC 1, yang berarti sebagian besar produk industri agro Indonesia tergantung terhadap permintaan ekspor. Tabel 15. Daya Saing Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of International Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 Komoditi Industri agro 1995 2000 Perubahan Indone si a 1. Makanan, minuman, dan tembakau -0.0278 0.0454 0.0732 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.2417 0.3142 0.0725 3. Kayu dan produk olahannya 0.7463 0.6249 -0.1214 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.0005 0.0951 0.0956 5. Produk karet 0.6185 0.0737 -0.5448 Rata-rata Indonesia -0.0850 T ha il and 1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.3630 0.2595 -0.1035 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.2316 0.2233 -0.0083 3. Kayu dan produk olahannya -0.6764 -0.1156 0.5608 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.3216 -0.2227 0.0989 5. Produk karet 0.3442 0.3056 -0.0386 Rata-rata Thailand 0.1019 Chi na 1. Makanan, minuman, dan tembakau -0.2437 -0.0205 0.2232 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.0918 0.4128 0.3210 3. Kayu dan produk olahannya -0.3236 0.1750 0.4986 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.6811 -0.7074 -0.0263 5. Produk karet -0.3079 -0.1106 0.1973 Rata-rata China 0.2428 Salah satu produk industri yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat fondasi sektor industri agro di Indonesia adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Keberhasilan industri tersebut menaikkan peringkat daya saingnya dari kategori sedang pada tahun 1995 IIC = -0.0278 menjadi kategori kuat pada tahun 2000 IIC = 0.0454 merupakan sebuah catatan tersendiri yang patut dijadikan tolok ukur untuk memperkuat fondasi industri agro. Industri pulp, kertas dan percetakan dapat juga menjadi salah satu fondasi agorindustri yang kuat di Indonesia, karena industri tersebut mampu menaikkan daya saingnya dengan cukup tinggi, yang ditandai oleh peningkatan angka IIC dari -0.0005 pada tahun 1995 menjadi 0.0951 pada tahun 2000. Berbeda dengan perkembangan sektor industri agro Indonesia, daya saing sektor industri agro Thailand meningkat cukup tinggi. Perubahan angka IIC yang bernilai positif 0.1019, yaitu dari -0.0118 pada tahun 1995 menjadi 0.0900 pada tahun 2000. Namun demikian, tidak seperti Indonesia, perkembangan daya saing industri makanan, minuman dan tembakau di Thailand justru sedang mengalami penurunan, yang ditandai dengan berubahnya angka IIC dari 0.3630 pada tahun 1995 menjadi 0.2595 pada tahun 2000, atau menurun sebesar -0.1035. Kondisi seperti ini juga terlihat dalam perkembangan industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, serta industri barang dari karet untuk kurun waktu yang sama. Dapat dikatakan bahwa pada periode 1995-2000, sebagian besar produk industri agro Thailand sedang dalam tahap perluasan ekspor, kecuali untuk produk industri kayu dan kayu olahan serta industri pulp, kertas dan percetakan yang masih dalam tahap proses pengganti impor karena masing-masing memiliki IIC dalam interval -0.5 IIC 0 pada tahun 2000. Jika diperhatikan dari kemampuan menaikkan daya saing, dari tiga negara yang diteliti, hanya China saja yang dapat dikatakan paling berhasil dalam mengembangkan sektor industri agro sepanjang tahun 1995 sampai dengan 2000. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilannya menaikkan nilai IIC pada tahun 2000 sebanyak 0.2428 poin bila dibandingkan dengan tahun 1995. Dan secara sektoral China juga menunjukkan mampu meningkatkan daya saing sebagian besar produk agorindustri, kecuali untuk industri pulp, kertas dan percetakan yang tampak menurun daya saingnya dari -0.6811 pada 1995 menjadi -0.7074 pada tahun 2000. Tabel 16. Peringkat Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan IIC Tahun 1995 dan 2000 Komoditi Industri Agro Indonesia Thailand China Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat 1 Makanan, minuman, dan tembakau 0.0732 2 -0.1035 3 0.2232 1 2 Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.0725 2 -0.0083 3 0.321 1 3 Kayu dan produk olahannya -0.1214 3 0.5608 1 0.4986 2 4 Pulp, kertas, dan percetakan 0.0956 2 0.0989 1 -0.0263 3 5 Produk karet -0.5448 3 -0.0386 2 0.1973 1 Rata-rata 3 2 1 Dari perbandingan perubahan daya saing pada Tabel 16 terlihat bahwa tidak ada satupun komoditi industri agro Indonesia yang dapat dibanggakan karena mendapat peringkat 1 bila dibandingkan Thailand dan China. Negara China mencatat kemajuan daya saing industri agro paling tinggi pada 3 komoditi, yaitu: 1 Industri makanan, minuman dan tembakau, 2 Industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dan 3 Industri barang karet. Thailand meraih kemajuan daya saing industri agro paling tinggi pada dua komoditi, yaitu: 1 Industri kayu dan kayu olahan, dan 2 Industri pulp, kertas dan percetakan. Keberhasilan China menaikkan daya saing produk industri agro juga terlihat pada market share atau pangsa pasar dunia. Pada Tabel 17 terlihat bahwa China mampu menaikkan pangsa pasar produk industri agronya di tahun 2000 dibanding 1995 pada hampir semua produk industri agro kecuali produk karet. Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar pada 3 produk yaitu produk karet, tekstil, kulit dan produk turunannya serta kayu dan produk olahannya. Tabel 17. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Pangsa Pasar Tahun 1995 dan 2000 Komoditi Industri Agro Pangsa Pasar Perubahan Pangsa Pasar 1995 2000 Indone si a 1. Makanan, minuman, dan tembakau 3.44 6.34 2.90 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 6.37 6.25 -0.12 3. Kayu dan produk olahannya 20.77 18.16 -2.61 4. Pulp, kertas, dan percetakan 4.03 9.60 5.57 5. Produk karet 7.56 1.28 -6.28 T ha il and 1. Makanan, minuman, dan tembakau 10.92 12.59 1.67 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 10.48 5.31 -5.17 3. Kayu dan produk olahannya 2.72 3.69 0.97 4. Pulp, kertas, dan percetakan 3.43 3.45 0.02 5. Produk karet 8.80 2.36 -6.44 C hi na 1. Makanan, minuman, dan tembakau 11.63 12.93 1.30 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 29.84 42.48 12.64 3. Kayu dan produk olahannya 8.39 14.97 6.58 4. Pulp, kertas, dan percetakan 3.45 5.40 1.95 5. Produk karet 4.83 4.36 -0.47 Kenaikan pangsa pasar Indonesia diraih pada produk makanan, minuman, dan tembakau serta pulp, kertas, dan percetakan. Thailand mengalami penurunan pada 2 produk, sementara 3 produk lain mengalami peningkatan. Sehingga dari sisi perubahan pangsa pasar industri agro bisa disimpulkan bahwa China mengalami kemajuan paling tinggi diikuti oleh Thailand dan Indonesia di peringkat ketiga. Meskipun mengalami penurunan pangsa pasar, sesungguhnya sampai dengan tahun 2000 pangsa pasar produk industri agro Indonesia relatif lebih baik dari Thailand seperti terdapat pada Tabel 18. Tabel 18. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Pangsa Pasar Tahun 2000 Produk Industri agro Indonesia Thailand China Pangsa Peringkat Pangsa Peringkat Pangsa Peringkat 1. Makanan, minuman, dan tembakau 6.34 3 12.59 2 12.93 1 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 6.25 2 5.31 3 42.48 1 3. Kayu dan produk olahannya 18.16 1 3.69 3 14.97 2 4. Pulp, kertas, dan percetakan 9.60 1 3.45 3 5.402 2 5. Produk karet 1.28 3 2.36 2 4.36 1 Peringkat 2 3 1 Indonesia mempunyai pangsa pasar tertinggi untuk kelompok produk: 1 industri kayu dan kayu olahan, dan 2 industri pulp, kertas dan percetakan. China menguasai pangsa pasar terbesar untuk produk: 1 Industri makanan, minuman dan tembakau, 2 Industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dan 3 Industri barang dari karet. Hanya saja kalau data tersebut dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pangsa pasar yang terdapat pada Tabel 17, maka posisi pangsa pasar Indonesia relatif mengkuatirkan karena pertumbuhan pngsa pasar Thailand lebih cepat dibandingkan Indonesia. Kalau Indonesia tidak melakukan upaya peningkatan pangsa pasar, bisa jadi di kemudian hari pangsa pasar produk industri agro Indonesia kalah dari Thailand. Berdasarkan data pada Tabel 18 tumpuan harapan pada pangsa pasar produk industri agro China menyebar relatif pada semua produk sementara Thailand bertumpu kepada produk industri makanan, minuman dan tembakau sedangkan Indonesia bertumpu pada produk kayu dan kayu olahan yang pada tahun 2000 menguasai 18.16 persen pangsa pasar dunia. Hanya saja produk kayu dan kayu olahan Indonesia tidak bisa diandalkan di masa mendatang karena selain sudah mengalami penurunan pada periode 1995 hingga 2000 dari pangsa pasar 20.77 persen menjadi 18.16 persen, juga karena menurunnya pasokan kayu sebagai bahan baku industri tersebut terkait dengan sudah gundulnya hutan-hutan Indonesia. Industri makanan, minuman dan tembakau yang diharapkan dapat memperkuat fondasi industri agro Indonesia karena daya saingnya berkembang cukup baik, ternyata hanya mampu memberi andil sebesar 6.34 persen terhadap pangsa pasar dunia di tahun 2000. Dengan mengadopsi konsep IIC sebagai metoda pengukur daya saing, dirumuskan IDC atau index of domestic competitivenes sebagai indikator daya saing di pasar domestik, yang hasil pengolahan data dan perbandingannya antara Indonesia, Thailand dan China disajikan di Tabel 19. Semua produk agorindustri Indonesia mengalami penurunan IDC, atau bisa dikatakan semua produk industri agro Indonesia relatif tidak mampu bersaing di negerinya sendiri. Peringkat perubahan IDC yang ditampilkan di Tabel 20 memperjelas lemahnya daya saing industri agro Indonesia di pasarnya sendiri. Tidak seperti Indonesia dan Thailand yang sedang mengalami penurunan daya saing domestik produk industri agronya, secara umum produk industri agro China justru mengalami peningkatan, yang diindikasikan dengan naiknya nilai IDC pada tahun 2000. Tabel 19. Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 Komoditi Industri Agro 1995 2000 Perubahan Indone si a 1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.9451 0.899 -0.0461 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.6471 0.5988 -0.0483 3. Kayu dan produk olahannya 0.9174 0.8213 -0.0961 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.7585 0.5395 -0.2190 5. Produk karet 0.9138 0.6096 -0.3042 Rata-rata Indonesia -0.1427 T ha il and 1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.8502 0.8067 -0.0435 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.6796 0.7149 0.0353 3. Kayu dan produk olahannya 0.5952 0.598 0.0028 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.4715 0.5275 0.0560 5. Produk karet 0.8334 0.7343 -0.0991 Rata-rata Thailand -0.0097 C hi na 1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.8768 0.9494 0.0726 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.7844 0.8464 0.0620 3. Kayu dan produk olahannya 0.8890 0.8716 -0.0174 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.7893 0.7548 -0.0345 5. Produk karet 0.8690 0.8416 -0.0274 Rata-rata China 0.011 Tabel 20. Peringkat Daya Saing Domestik Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Angka Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 Komoditi Industri Agro Indonesia Thailand China Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat 1 Makanan, minuman, dan tembakau -0.0461 3 -0.0435 2 0.0726 1 2 Tekstil, kulit, dan produk turunannya -0.0483 3 0.0353 2 0.0620 1 3 Kayu dan produk olahannya -0.0961 3 0.0028 1 -0.0174 2 4 Pulp, kertas, dan percetakan -0.2190 3 0.0560 1 -0.0345 2 5 Produk karet -0.3042 3 -0.0991 2 -0.0274 1 Rata-rata -0.1427 3 -0.0097 2 0.0110 1 Ada dua sektor industri agro yang menjadi penopang meningkatnya daya saing domestik China yakni industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, masing-masing mengalami kenaikan IDC sebesar 0.0726 dan 0.0620. Dari peringkat perubahan IDC pada Tabel 20 di atas, terdapat tiga produk industri agro China yang mengalami perubahan IDC lebih positif dibanding Thailand dan Indonesia. Thailand menjadi peringkat 1 perubahan IDC untuk dua produk, sementara Indonesia untuk semua produk industri agro menjadi juru kunci karena berada di peringkat ketiga dari tiga negara. Dari analisis perubahan IDC tersebut di atas, Indonesia bisa belajar dari pengalaman Thailand dan China untuk membangun sektor industri agronya melalui pengembangan daya saing domestik. Indonesia perlu melakukan upaya terpadu untuk meningkatkan daya saing domestiknya. Program terpadu yang melibatkan pemerintah dan sektor bisnis seperti Gerakan Nasional Gemar Produk Indonesia yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus 2006 sebagai kerjasama Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kementerian KUKM dan KADIN Indonesia menjadi contoh yang dapat dioptimalkan. Peningkatan daya saing sektor industri agro di pasar internasional memang tidak bisa dipisahkan dari peningkatan daya saing di pasar domestik. Penelitian yang dilakukan Reinhardt 2005 di China menunjukkan bahwa faktor keseimbangan termasuk keseimbangan pasar menjadi pertimbangan penting dalam pembangunan industri dan perekonomian di China. China terus menerus mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri. Dalam upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan untuk menggerakkan alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan industri sehingga menyediakan kesempatan kerja sesuai dengan penelitian Reinhardt 2005. Kebijakan industri di seluruh dunia yang semakin sering menggunakan teknologi perlu mendapat perhatian.

5.3. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand