Tabel 18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan Rezim
Adat Rezim
Sentralisasi Rezim
Otonomi Daerah
Efisiensi :
Pengambilan keputusan nelayan
7.0 ±0.73 4.8 ±1.01
6.5 ±0.96
Kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan 10.0 ±0
9.9 ±0 9.9 ±0.93
Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan
perikanan 9.1 ±0.69
5.3 ±0.75 5.9 ±0.91
Pemerataan :
Tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya
perikanan 10.0 ±0
10.0 ±0 10.0 ±0
Keragaman alat tangkap
7.4 ±2.80 5.5 ±1.56
4.1 ±2.09 Tingkat kesamaan
ekonomi 6.9 ±2.07
5.8 ±1.41 5.4 ±2.09
Keberlanjutan Sosial Ekonomi :
Kebersamaan masyarakat dalam
kegiatan perikanan 9.1 ±0.61 7.3 ±0.92
6.4 ±1.39
Tingkat kesejahteraan rumah tangga
4.6 ±1.32 6.8 ±0.76
7.9 ±0.61 Kerukunan nelayan
8.6 ±1.77 7.3 ±0.84
6.4 ±1.10
Keberlanjutan Biologi :
Kondisi umum sumberdaya perikanan
9.8 ±0.41 6.1 ±0.98
5.3 ±1.51 Kondisi hasil tangkapan
sumberdaya perikanan 8.8 ±0.65
6.4 ±1.07 5.4 ±1.23
Total 8.4 6.8
6.6
Pada rezim sentralisasi dimana Raja dan Kewang kurang memiliki peranan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, sehingga nelayan kurang
berpartisipasi dan tidak aktif dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sedikit adanya perubahan pengambilan
keputusan masyarakat pada rezim otonomi daerah, disebabkan karena lembaga- lembaga adat mulai diaktifkan kembali dan masyarakat sudah mulai sadar dan
punya kepedulian terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan bagi kelangsungan hidup mereka.
Indikator kinerja efisiensi yang kedua adalah kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagai-
mana kesempatan masyarakat dalam memanfaatkan atau menggunakan sumber daya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai
kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan pada ketiga rezim memiliki nilai yang sama. Hal itu berarti bahwa walaupun terjadi
pergantian sistem pemerintahan desa tetapi tidak membawa pengaruh terhadap kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sampai saat
ini masyarakat masih bebas untuk menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Untuk itu maka tidak ada mengalami pola perubahan, seperti terlihat pada Gambar 10.
Kebebasan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan apabila tidak dikelola dengan baik maka akan membawa pengaruh yang cukup besar terhadap
menurunnya potensi dan kondisi dan kesehatan sumberdaya perikanan. Indikator kinerja efisiensi yang ketiga adalah kepatuhan masyarakat terha-
dap peraturan pengelolaan perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagaima- na masyarakat memiliki ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berlaku. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat
adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11
Adat Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim Pe
ri n
g k
a t
Pengambilan Keputusan Nelayan dalam
Pengelolaan Perikanan Kesempatan Masyarakat
dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Kepatuhan Masyarakat Terhadap Peraturan
Perikanan
Gambar 10 Pola perubahan kinerja efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim
sentralisasi dan rezim otonomi daerah
Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke
rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 10. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang telah ditetapkan oleh Raja selaku pemimpin adat dan dilaksanakan oleh Kewang
memiliki sanksi adat yang kuat dan mengikat sehingga membuat masyarakat adat tunduk dan patuh terhadap peraturan perikanan tersebut. Selain
itu, karena masyarakat yang tinggal menetap di desa tersebut mayoritas adalah masyarakat adat itu sendiri. Sebaliknya pada rezim sentralisasi terjadi penurunan
karena tidak berfungsinya Raja dan Kewang secara baik. Selain itu, banyak terjadi mobilisasi penduduk di mana umumnya penduduk berusia muda ke luar
desa untuk merantau, sekolah dan mencari kehidupan yang lebih baik. Di samping itu juga, banyak masuknya pendatang dari luar daerah yang kebanyakan
tinggal dan mendiami dusun-dusun, di pesisir pantai bahkan di gunung-gunung. Kondisi ini yang membuat terjadinya pembauran dan perubahan sosial ekonomi di
masyarakat. Pada rezim otonomi daerah, kepatuhan masyarakat terhadap per- aturan perikanan mulai menunjukkan peningkatan karena sistem pemerintahan
negeri telah diberlakukan kembali dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat mulai diperhatikan dan diaktifkan.
Indikator kinerja pemerataan yang pertama adalah tingkat aksesibilitas ter- hadap sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan biaya atau
ongkos yang harus dibayarkan seseorang supaya bisa menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai tingkat
aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim
otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan pada rezim
adat lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat
ke rezim sentralisasi dan bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11. Pola perubahan ini ini disebabkan karena pada rezim adat, untuk me-
nangkap ikan dan hasil laut lainnya masyarakat ataupun nelayan tidak mem- bayarkan apapun ke desa. Namun dengan bertambahnya waktu dan semakin ber-
tambahnya penduduk yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan-kebutuhan ekonominya maka pemerintah desa kini mulai melakukan pengaturan penge-
lolaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan baik secara formal maupun non formal yang bertujuan untuk menjaga daerah pesisir pantai dan juga untuk
peningkatan pendapatan desa dan juga masyarakat. Indikator kinerja pemerataan yang kedua adalah kepemilikan alat tangkap.
Indikator ini berhubungan dengan bagaimana keadaan kepemilikkan sarana produksi perikanan seperti alat tangkap, kapal dan motor ikan dan berkaitan
dengan pembagian keuntungan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kepemilikkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kepemi-
likkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat
ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11.
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat hampir semua masyarakat memiliki alat penangkapan ikan yang sama berupa alat penangkapan
ikan secara sederhana atau tradisional yaitu berupa perahu, jaring, pancing dan serok. Selain itu, usaha penangkapan ikan bukan sebagai mata pencarian utama
tetapi berupa usaha subsisten dengan mata pencarian lain sehingga usaha tersebut hanya cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari saja. Pada rezim sentralisasi
dimana telah terjadi peningkatan jumlah penduduk dan banyak masuknya pendatang maka banyak terjadi perubahan-perubahan sosial ekonomi. Salah satu
perubahan dalam masyarakat nelayan adalah berkembangnya alat penangkapan yang lebih modern yang diadopsi dari penduduk pendatang. Selain itu, usaha
perikanan tangkap bukan lagi merupakan usaha subsisten tapi telah berubah menjadi mata pencaharian utama. Faktor lain yang turut mendorong beralihnya
usaha perikanan sebagai mata pencarian utama adalah karena terbatasnya lahan di darat.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11
Adat Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim P
eri n
g k
a t
Tingkat Aksesibilitas terhadap Sumberdaya
Perikanan Kepemilikan Alat
Tangkap Tingkat Kesamaan
Ekonomi Masyarakat
Gambar 11 Pola perubahan kinerja pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku
pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
Dengan memiliki usaha perikanan sebagai mata pencarian utama maka nelayan telah memiliki manajemen usaha yang mengatur sistem keuangan usaha
secara proporsional sebagai wujud dari pembagian keuntungan usaha. Adapun peningkatan jumlah nelayan di Maluku dapat di lihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Jumlah nelayanpetani ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001
Perikanan Laut Perikanan Darat
Budidaya Air Tawar BAP
No. Thn Tangkap Budidaya
Perairan Umum
Kolam Keramba Sawah Tambak Jumlah
Orang
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
89.522 91.267
91.472 91.882
93.225 80.377
56.121 61.763
55 55
55 55
55 55
66 345
262 270
267 507
507 507
164 271
645 390
390 390
350 400
107 221
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
27 27
30 30
30 30
18 103
90.511 92.009
92.214 92864
94.167 81.369
56.476 62.701
Total 655.629 789
2.755 2893
- - 295
662.311
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003 Tabel ini memperlihatkan adanya peningkatan jumlah nelayan dari tahun ke
tahun namun mengalami perubahan di tahun 1999 karena saat itu kondisi daerah Maluku mengalami konflik kemanusiaan sehingga mengalami penurunan jumlah
nelayan maupum usaha perikanan yang cukup signifikan. Namun kini terjadi peningkatan kembali karena kondisi dan keadaan daerah Maluku yang telah aman
dan terkendali. Pada rezim sentralisasi maupun otonomi daerah, pemerintah sebagai manajer pengelolaan sumberdaya perikanan melakukan berbagai upaya
pemberdayaan masyarakat nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Berbagai upaya yang dilakukan adalah pembinaan dan pelatihan usaha
perikanan, penyuluhan dan penyaluran paket teknologi perikanan tangkap maupun budidaya yang berdampak terhadap peningkatan usaha perikanan yang diikuti
dengan perkembangan peningkatan armada dan alat tangkap, seperti terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Perkembangan perahukapal perikanan di Provinsi Maluku periode 1994-2001
Buah
T A H U N No
KATEGORI 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
X
1 2
3 Perahu tanpa motor
Perahu motor tempel Kapal motor
- 5 GT - 5-10 GT
- 10-20 GT - 20-30 GT
- 30-50 GT - 50-100 GT
- 100-200 GT - 200 GT
32.266 2.217
1.072 395
183 228
71
33 14
105 42
32.610 2.271
2.142 396
186 226
106 58
19
107 44
32.654 2.297
1.159 397
188 235
100 60
21 109
49 32.700
2.381 1.227
415 190
238 130
60 24
112 57
33.041 2.396
1.271 423
206 238
133 42
45 132
54 32.973
2.593 1.306
463 226
211 133
42 45
132 54
23.010 1.423
938 372
106 -
221 8
102 96
33 244.272
16.025 9.003
3.051 1.296
- 2.658
283 435
916 364
Total 35.555 36.023 36.110 36.233
36.710 36.872 25.371
269.300
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003 Tabel di atas menunjukkan bahwa armada penangkapan di Maluku masih
di dominasi oleh perahu tanpa motor namun di sisi lain telah terjadi perkembangan armada penangkapan yang lebih besar dan modern. Selain
berkembangnya armada penangkapan maka jenis alat tangkapan perikananpun mengalami perkembangan Tabel 21.
Tabel 21 Perkembangan unit penangkapan ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001
T A H U N No
Jenis Alat 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
2001 x
Jumlah 1.
2. 3
4. 5.
6. 7.
8. 9.
10 11
12 13
Pukat Udang Pukat Payang
Pukat pantai Pukat Cincin
Jaring Insang Jaring Angkut
Pancing Huhate
Rawai Perangkap
Alat pengumpul Muro – Ami
Lain - lain 164
- 765
514 8.246
3.629 24.337
616 4.529
2.731 2.037
14 3.982
165 -
771 525
9.683 3.658
20.791 669
4.580 3.356
1.850 11
6.486 168
- 769
530 9.745
3.576 20.840
679 4.592
3.425 1.882
10 6.538
175 -
767 538
9.775 3.661
20.837 702
4.730 3.389
1.893 11
6.517 174
- 770
540 9.882
3.637 21.209
737 4.653
3.549 2.116
9 6.378
179 125
608 639
10.197 3.226
19.328 496
3.268 3.368
1.120 7
4.460 107
125 364
383 6.118
1.935 11.596
297 1.960
2.020 672
4 4.107
107 125
364 383
6.124 1.937
11.607 297
1.962 2.022
673 4
4.116 1.239
375 5.178
4.052 69.770
25.259 150.545
4.493 30.274
23.860 12.243
70 42.584
Total 51.564
52.545 52.754
52.995 53.654
47.021 29.688
29.721 369.942
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003 Tabel ini menunjukkan bahwa alat penangkapan ikan didominasi oleh
pancing dan jaring insang. Dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di Maluku maka perkembangan
armada dan alat tangkap perikanan perlu di kaji lebih lanjut yang berkaitan dengan kondisi dan potensi sumberdaya perikanan di Maluku.
Indikator kinerja pemerataan yang ketiga adalah tingkat kesamaan ekonomi masyarakat. Indikator ini berhubungan dengan pembagian pendapatan masya-
rakat di desa sehubungan dengan perbedaan tingkat ekonomi. Hasil penelitian pada Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai tingkat kesamaan ekonomi pada masya-
rakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim adat maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dikatakan bahwa tingkat kesamaan ekonomi masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik.
Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar
11. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, kondisi jumlah penduduk masih sedikit dan ketersediaan sumberdaya alam baik darat dan laut
cukup banyak sehingga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Sumberdaya alam yang dimaksud adalah
seperti komoditi cengkeh, pala, coklat, sagu, kelapa, buah-buahan, umbi-umbian dan lain-lainnya. Cengkeh pada saat itu merupakan jenis komoditi primadona
masyarakat pedesaan Maluku karena selain memiliki potensi yang sangat besar tetapi juga memiliki nilai harga jual yang tinggi. Oleh karena itu masyarakat adat
yang memiliki dusun-dusun cengkeh akan memiliki pendapatan yang cukup tinggi sehingga kondisi kehidupan ekonomi masyarakat adalah lebih baik. Salah satu
indikator yang dapat dilihat adalah banyaknya anak-anak dalam keluarga yang dapat disekolahkan ke tingkat yang lebih tinggi dan ke luar desa bahkan ke luar
daerah sehingga berhasil dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Selain itu juga dengan hasil cengkeh banyak dilakukan pembangunan rumah dan memiliki
perabotan rumah tangga yang lebih baik. Pada rezim sentralisasi dimana harga cengkeh mengalami penurunan yang sangat drastis, terjadi peningkatan jumlah
penduduk dan masuknya pendatang sehingga banyak terjadi banyak perkembang- an pembangunan dan mulai terbatasnya lahan di darat. Oleh karena itu maka
masyarakat mulai mengalihkan perhatian dari usaha cengkeh dan menaruh perhatian pada laut sebagai sumber mata pencaharian hidup yaitu sebagai nelayan
murni. Padahal sebelumnya, usaha menangkap ikan di laut dilakukan oleh masyarakat hanyalah merupakan usaha subsisten dengan mata pencaharian lain di
darat. Pada rezim ini, pemerintah menggalakkan pembangunan perikanan dengan melakukan berbagai upaya baik pelatihan maupun pemberian bantuan teknologi
alat tangkap, teknologi pengolahan pasca panen maupun pemberian modal bagi masyarakat nelayan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan hidupnya.. Akan tetapi dari berbagai bentuk upaya tersebut di atas seringkali mengalami kegagalan di mana masyarakat nelayan tetap terbelenggu
dengan belitan kemiskinan. Menurut Pical 1997 bahwa tingkat adopsi teknologi masyarakat terhadap pengolahan hasil-hasil perikanan di pedesaan Maluku
Tengah adalah masih rendah dan berada pada tingkat sadar. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendampingan terhadap masyarakat nelayan maupun
keterlibatan pimpinan desa dalam membantu meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat dalam usaha perikanan. Oleh karena itu pendampingan terhadap
masyarakat nelayan terutama dalam usaha perikanan harus terus digalakkan dan dikembangkan serta dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena
usaha perikanan merupakan usaha yang sangat berisiko, membutuhkan modal besar, ketangguhan dan keuletan dalam bekerja. Apalagi saat ini kondisi
sumberdaya perikanan di sekitar pedesaan sudah mulai berkurang dan daerah penangkapan ikan sudah jauh dari desa sehingga membutuhkan alat penangkapan
ikan yang lebih besar dan modern. Untuk itu bagi masyarakat yang memiliki “jiwa” ke laut akan mempunyai usaha perikanan yang baik dan memiliki taraf
hidup yang baik. Namun satu hal yang turut mempengaruhi adalah manajemen usaha perikanan karena disadari bahwa kegagalan usaha perikanan di masyarakat
nelayan salah satu faktornya adalah lemahnya faktor manajemen usaha perikanan. Di samping masyarakat melakukan aktivitas perikanan tetapi ada juga
melakukan usaha-usaha lainnya. Salah satu yang dilihat di lapangan adalah berkembangnya usaha “home industri” berupa pembuatan kue olahan atau
penganan dari sagu seperti Bagea dan Serut dari Desa Ihamahu dan usaha Sempe berupa perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat di Desa Ouw, di
Pulau Saparua. Fenomena lain adalah berkembangnya usaha ojek motor antara desa yaitu di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan di Seram Bagian Barat. Hal ini
Lain-Lain
10 20
30 40
50 60
70
PN S
S el
ai n G
ur u
or ang
K ar
yaw an S
w ast
a o
rang P
ed aga
ng or
ang Pe
ta ni
or ang
A BK
A ngkut
an Laut or
ang Pe
rtu ka
ngan or
an g
So pi
r or
ang Tuk
an g Oj
ek o
ran g
Pe na
rik B
ecak or
ang Bu
ru h
or ang
Jenis Pekerjaan P
e rsen
tase
sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah tahun 2003. Adapun jenis pekerjaan masyarakat pada desa-desa
penelitian dapat di lihat pada Gambar 12. Pada rezim otonomi daerah terjadi penurunan karena kondisi masyarakat
Maluku yang baru saja pulih dari konflik kemanusiaan yang turut berdampak terhadap sosial ekonomi masyarakat terutama pekerjaan masyarakat. Untuk itu
diharapkan usaha perikanan sebagai salah satu sektor andalan di Maluku dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Terutama setelah sistem adat telah diaktifkan
kembali maka pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di tingkat pedesaan harus dilakukan secara baik untuk peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan.
Gambar 12 Jenis pekerjaan masyarakat selain nelayan di Maluku Tengah, 2003
Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang pertama adalah kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan. Indikator ini berhubungan
dengan kegiatan bersama dalam masyarakat terutama dalam bidang perikanan seperti timba laor dan bameti yaitu mencari siput bia yang dilakukan pada
waktu dan musim tertentu. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada
Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kehidupan
masyarakat adat memiliki kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk didalamnya kegiatan perikanan. Kegiatan
perikanan yaitu seperti pembersihan pantai, tradisi timba laor yaitu suatu kegiatan masyarakat yang di lakukan secara bersama-sama untuk mengambil
suatu jenis cacing laut yang disebut laor pada waktu dan musim tertentu yaitu di antara bulan bulan Maret dan bulan April setiap tahun. Selain itu masyarakat
sering melakukan kegiatan bameti yaitu suatu aktivitas mencari sumberdaya perikanan tertentu pada waktu air surut dan kegiatan ini sering dilakukan pada
waktu musim paceklik ikan. Aktivitas bersama ini yaitu dalam membuat perahu, menjahit jaring, menaikkan dan menurunkan perahu dikala selesai melaut dan
lain-lain.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Adat Sentralisasi
Otonomi Daerah Rezim
P er
ingka t
Kebersamaan Masyarakat dalam Kegiatan Perikanan
Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga
Kerukunan Nelayan
Gambar 13 Pola perubahan keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan
rezim otonomi daerah
Di samping kegiatan bersama dalam di bidang perikanan maka ada juga suatu tradisi masyarakat pedesaan untuk bergotong royong dalam melaku-kan
suatu pekerjaan yang disebut dengan masohi, seperti membangun rumah, petik cengkeh, tebang sagu, membangun tempat ibadah dan rumah adat. Tradisi-tradisi
ini berada dalam tatanan kelembagaan adat sehingga masyarakat sangat pro aktif dalam menjalankan tradisi ini. Namun dengan perubahan sistem pemerintahan
desa pada rezim sentralisasi dimana nilai-nilai adat mulai berkurang peranannya maka kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan juga mulai menurun.
Kebersamaan masyarakat tersebut diatas bertujuan untuk membantu, menolong dan meringankan suatu pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat
dengan tidak ada imbalan ataupun upah apapun. Kondisi saat ini telah berubah dimana untuk membantu pekerjaan seseorang harus diberi upah.yang sesuai dan
ada proses tawar menawar untuk melakukan suatu pekerjaan. Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kebersamaan dalam bermasyarakat di pedesaan mulai menurun
cenderung lebih pada kepentingan pribadi. Menurunnya nilai-nilai tradisi ini salah satu faktornya disebabkan karena hilangnya kelembagaan adat. Di samping
itu peningkatan jumlah penduduk dan berbagai kebutuhan-kebutuhan sosial ekonominya merupakan salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi
kebersamaan masyarakat. Di sadari bahwa memang perubahan sistem pemerintahan desa ke sistem pemerintahan negeri, tidak dapat serta merta dapat
berubah kembali seperti semula tetapi membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Namun berdasarkan hasil pengamatan di sejumlah negeri yang sudah
mulai mengaktifkan lembaga-lembaga adat maka terlihat bahwa tatanan kelembagaan adat dalam mengatur sosial kemasyarakatan termasuk di-dalamnya
tradisi dalam kebersamaan masyarakat sudah diaktifkan dan diefek-tifkan kembali ke arah yang lebih baik.
Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang kedua adalah tingkat kesejahteraan rumah tangga. Indikator ini berhubungan dengan kondisi sosial
ekonomi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hasil penelitian pada Tabel 18 memperlihatkan bahwa nilai tingkat kesejahteraan
rumah tangga masyarakat pedesaan pada rezim otonomi daerah adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rezim sentralisasi maupun pada rezim adat. Berdasar-
kan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di pedesaan Maluku pada rezim otonomi daerah adalah lebih baik.
Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya peningkatan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada
Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah semakin baik. Salah satu indikator yang dapat
di pakai untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah kondisi perumahan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa
di atas sekitar 50 persen perumahan penduduk memiliki rumah permanen dan semi permanen sedangkan sisanya masih merupakan perumahan kumuh. Hal ini
sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah, 2003 seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Kondisi perumahan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 Berdasarkan data di atas maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesejahtera-
an rumah tangga masyarakat menunjukkan keadaan hidup yang semakin mem- baik. Salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan
rumahtangga masyarakat adalah tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat pen- dapatan nelayan per tahun di Maluku menunjukkan adanya peningkatan yang
cukup besar dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada Gambar 15.
10 20
30 40
50 60
Permanen Semi Permanen
Kumuh Persenta
se
Jenis bangunan perumahan
Gambar 15 Perkembangan pendapatan nelayanorangtahun di Maluku Perkembangan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di pedesa-
an Maluku terutama di Maluku Tengah adalah adanya pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi dalam masyarakat seperti, sarana pendidikan,
sarana perdagangan, sarana perekonomian, sarana telekomunikasi, sarana pela- buhan, sarana kesehatan, dan sarana jalan. Adapun kondisi sarana dan prasarana
sosial ekonomi masyarakat di Maluku Tengah dapat di lihat pada Gambar berikut ini :
Gambar 16 Kondisi sarana pendidikan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
950000 1000000
1050000 1100000
1150000 1200000
1250000 1300000
1350000
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
Periode Ju
ml ah Rp
10 20
30 40
50 60
70
TK SDMadrasah
SLTPSanawiah SMUAliayah
Pe rsen
ta se
Jenis Sekolah
Gambar 17 Kondisi sarana perdagangan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
Gambar 18 Kondisi sarana ekonomi masyarakat di Maluku Tengah, 2003
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Toko Kios
Rumah Makan Pasar
Jenis sarana perdagangan
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
Bank Koperasi
Kantor Pos Per
senta se
Jenis sarana ekonomi Persen
ta se
Gambar 19 Kondisi sarana telekomunikasi di Maluku Tengah, 2003
Gambar 20 Kondisi sarana kesehatan di Maluku Tengah, 2003
i
5 10
15 20
25 30
35 40
45
Wartel Telepon
Stasiun Satelit HT
SSB
10 20
30 40
50 60
70 80
Rumah Sakit Puskesmas
PosyanduKB Per
s e
n tase
Jenis sarana kesehatan Jenis sarana telekomunikasi
Persen ta
se
Gambar 21 Kondisi sarana jalan di Maluku Tengah, 2003
Gambar 22 Kondisi sarana pelabuhan di Maluku Tengah, 2003
10 20
30 40
50 60
70 80
Aspal Sirtu
Tanah Setapak Semen
Persen ta
se
10 20
30 40
50 60
Dermaga Beton Dermaga Kayu
Per senta
se Jenis jalan
Jenis dermaga
Dengan memperlihatkan beberapa Gambar di atas maka hal ini menunjuk- kan bahwa kondisi sarana prasarana di kabupaten Maluku Tengah cukup tersedia.
Namun hal ini masih perlu untuk dikembangkan dan dilengkapi dengan lebih baik lagi mengingat daerah Maluku Tengah yang cukup luas dan terdiri dari pulau-
pulau. Diharapkan dengan adanya pembentukan Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur maka pembangunan sarana dan prasarana sosial
ekonomi masyarakat dapat dikembangkan kearah yang lebih baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta karakteristik wilayah sehingga dapat menunjang kesejah-
teraan masyarakat. Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang ketiga adalah keru-
kunan nelayan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan kerukunan di antara nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan.
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kerukunan nelayan dalam
melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat
ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kerukunan
nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan lebih baik karena hampir semua nelayan tidak ada perbedaan dalam kepemilikkan alat tangkap seperti perahu,
jaring dan pancing dimana kondisi semua nelayan hampir sama. Selain itu, karena potensi sumberdaya perikanan di pesisir pantai pedesaan juga masih baik
Sehingga tidak ada rasa persaingan yang dapat memicu konflik antar nelayan. Pada rezim sentralisasi, dimana terjadi perkembangan jumlah nelayan yang diikuti
dengan berkembangnya armada dan alat tangkap yang lebih besar dan modern maka terjadi persaingan antar nelayan. Seperti contohnya, perkembangan alat
tangkap purse seine dimana usaha penangkapan ikan dilakukan secara ber- kelompok dan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja serta memiliki aturan
manajemen usaha. Apabila manajemen usaha perikanan ini tidak dilakukan secara baik oleh manajer yang biasanya adalah pemilik purse seine, seperti
pembagian hasil usaha, maka akan dapat menimbulkan konflik nelayan baik antar nelayan maupun dengan manajer itu sendiri. Hal seperti ini yang biasanya menjadi
pemicu konflik di antara masyarakat nelayan. Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka manajemen usaha perikanan perlu dilakukan secara baik dan adanya
keterbukaan dalam informasi dan komunikasi antara masyarakat nelayan. Selain itu, masalah sosial lain yang sering terjadi dalam masyarakat umumnya terutama
nelayan adalah masalah minuman keras. Ada suatu kebiasaan bagi nelayan bahwa sebelum pergi ke laut dimana akan berhadapan dengan tantangan ombak dan
angin maka perlu minum sedikit minuman keras untuk menghilangkan rasa takut dan pusing. Kondisi ini memang sering dilakukan, namun apabila kebiasaan ini
tidak terkontrol dan dilakukan secara berlebihan maka akan menimbulkan masalah keributan, perkelahian, kekacauan yang berdampak terhadap hal-hal
yang negatif dan merugikan. Pada rezim adat, cara-cara penyelesaian konflik dapat cepat diselesaikan dengan mengacu pada tatanan kelembagaan adat.
Kewang berfungsi sebagai penjaga keamanan desa dan masyarakat sehingga
konflik yang terjadi dalam masyarakat akan lebih cepat diselesaikan dan masyarakat menjadi rukun kembali. Sebaliknya pada rezim sentralisasi me-
ngalami penurunan kerukunan nelayan dalam aktivitas perikanan disebabkan karena kelembagaan adat tidak berfungsi secara baik. Pada rezim otonomi daerah
walaupun secara statistik tidak berbeda jauh dengan rezim sentralisasi namun berdasarkan hasil pengamatan di beberapa negeri yang sudah menjalankan aturan-
aturan adat terlihat bahwa kondisi kerukunan nelayan dalam beraktivitas perikanan sudah semakin membaik.
Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang pertama adalah kondisi kese- hatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan umum
sumberdaya laut yang menunjukkan keadaan alam dan lingkungan sumberdaya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 16 menunjukkan nilai kondisi kesehatan
sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada
Gambar 23.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11
Adat Sentralisasi
Otonomi Daerah Rezim
P er
ing ka
t
Kondisi Umum Sumberdaya
Perikanan
Kondisi Hasil Tangkapan
S b d
Gambar 23 Pola perubahan kinerja keberlanjutan biologi sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim
sentralisasi dan rezim otonomi daerah
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kondisi kesehatan sumberdaya perikanan berada dalam kondisi yang lebih baik. Kondisi tersebut
didukung dengan adanya peraturan pemerintah negeri adat yang mengatur tentang penjagaan wilayah pesisir. Kewang sebagai salah satu perangkat adat mempunyai
peranan penting dalam mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat
ataupun nelayan, mereka mengatakan bahwa pada rezim adat, wilayah pesisir di pedesaan sangat subur sekali dimana kondisi perairan sangat bersih dan jernih dan
banyak terdapat pohon-pohon bakau yang memungkinkan banyak ikan dengan berbagai jenis dan ukurannya. Di samping itu, terdapat berbagai jenis siput,
kerang-kerangan, teripang, bunga-bunga karang, rumput laut dan berbagai jenis sumberdaya perikanan lainnya. yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai
pengganti ikan pada masa tidak musim ikan. Hal ini juga karena armada dan alat tangkap yang digunakan masyarakat pada saat itu masih sangat sederhana yaitu
berupa perahu tanpa motor, pancing dan jaring.
Pada rezim sentralisasi, terjadi banyak perubahan yang disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah nelayan dan usaha perikanan
yang diikuti dengan bertambahnya jumlah armada dan alat perikanan tangkap sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan usaha perikanan masyarakat
nelayan di pedesaan. Pada rezim sentralisasi ini diperhadapkan dengan suatu kondisi yang dilematis dimana di satu pihak berkembangnya usaha perikanan
tangkap sedangkan di pihak yang lain kondisi kesehatan perairan yang semakin menurun akibat tingkah laku manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, seperti
menebang pohon bakau untuk dijadikan bahan bakar dan bahan bangunan demikian juga pengambilan karang dan pasir. Selain itu, masyarakat juga suka
membom dan meracuni ikan sebagai salah satu cara alternatif yang cepat untuk mendapatkan ikan, pencemaran dari bahan bakar yang di pergunakan oleh
armada tangkap ataupun pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya
perikanan di Maluku Tengah, 2003, seperti terlihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Penyebab kerusakan lingkungan perairan di Maluku Tengah, 2003 Gambar ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakkan lingkungan pesisir pantai
yang tertinggi adalah pengambilan pasir laut dan karang laut dam diikuti dengan penggunaan bom dan pembiusan.
20 40
60 80
100 120
Bom Bahan Peledak
Bius Pengambilan
Karang Pengambilan
Pasir Laut Penebangan
Bakau lain-Lain
BoreStrom Persen
tase
Ya Tidak
Penyebab kerusakan lingkungan perairan
Meskipun terjadi penurunan kondisi kesehatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa pada umumnya daerah-daerah pesisir terutama di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut masih memiliki keadaan sumberdaya perikanan yang
tergolong masih baik yang dapat diamati dari jenis dan ukuran ikan yang tertangkap oleh nelayan. Hal ini juga sesuai dengan hasil inventarisasi dan
identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah, 2003 bahwa kondisi terumbu karang, pandang lamun dan hutan mangrove sekitar
diatas 50 masih berada dalam kategori baik, seperti terlihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar 25 Kondisi terumbu karang di Maluku Tengah, 2003
10 20
30 40
50 60
70 80
Baik Rusak
Reboisasi Kondisi terumbu karang
Persen tase
Gambar 26 Kondisi hutan manggrove di Maluku Tengah, 2003
Gambar 27 Kondisi padang lamun di Maluku Tengah, 2003
20 40
60 80
100 120
Baik Rusak
Reboisasi Pe
rsenta se
Kondisi hutan manggrove
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Baik Rusak
Reboisasi Kondisi padang lamun
Persen tase
Kondisi terumbu karang, hutan manggrove dan padang lamun merupakan salah satu indikator kesuburan perairan. Untuk itu berdasarkan Gambar di atas
maka perlu adanya upaya dari berbagai pihak baik dari masyarakat lokal maupun pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan di pedesaan Maluku untuk terus menjaga dan mengelola sumberdaya perikanan secara lebih baik ke depan untuk kepentingan semua pihak. Untuk itu
maka pada rezim otonomi daerah saat ini diharapkan lembaga sasi harus turut terlibat secara aktif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan secara ber- kelanjutan.
Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang kedua adalah hasil tangkapan ikan. Indikator ini berhubungan dengan jumlah hasil penangkapan sumberdaya
perikanan oleh masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai hasil tangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan ikan pada
rezim adat adalah lebih baik Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat
ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 23. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat ketersediaan
sumberdaya perikanan sangat banyak sehingga orang dengan mudah menangkap- nya. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan nelayan, mereka
mengatakan bahwa pada rezim adat ketersediaan ikan dan sumberdaya perikanan lainnya sangat banyak dan beraneka macam serta berada di dekat sekitar 10
sampai 15 meter di wilayah pesisir desa mereka sehingga dengan mudah untuk menangkapnya terutama pada saat musim ikan. Alat tangkap yang sering
digunakan adalah merupakan alat tangkap tradisional yaitu pancing, jaring dengan menggunakan perahu tanpa mesin. Selain itu digunakan alat perangkap ikan
seperti bubu selanjutnya ada juga yang menggunakan bagan, seperti terlihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Alat tangkap tradisional Peralatan tangkap ini sangat sederhana dan terbuat dari bahan-bahan yang
mudah di dapat di sekitar lingkungan desa. Hasil tangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap tersebut di atas pada waktu rezim adat adalah cukup
banyak selain itu daerah operasi penangkapan ikan tidak jauh dari desa. Hasil tangkapan ini cukup untuk keperluan makan setiap hari, apabila ada kelebihan
ikan maka akan diolah dan diawetkan dengan cara yang sederhana seperti ikan asin kering dan ikan asap. Pada rezim sentralisasi dimana pemerintah mulai
menggalakan pemberdayaan masyarakat nelayan dengan memberikan bantuan peralatan dan armada tangkap di desa-desa yang potensial perikanan tangkap,
maka terlihat bahwa hasil usaha perikanan tangkap semakin hari semakin bertambah. Oleh karena itu dengan adanya peningkatan armada dan alat tangkap
perikanan maka terjadi peningkatan produksi perikanan. Hal ini sesuai dengan perkembangan produksi perikanan Maluku pada periode tahun 1994 – 2001 pada
Tabel 22.
Tabel 22 Perkembangan produksi perikanan di Provinsi Maluku menurut cabang usaha periode 1994-2001
Ton Perikanan Laut
Perikanan Darat Budidaya Air tawar
B.A.P No
Tahun Penangkapan
Budidaya Perairan
Umum Kolam Karamba Sawah Tambak
Jumlah 1
2 3
4 5
6 7
8 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001
x
243.484,1 258.107,7
315.696,1 329.147,2
361.799,0 343.539,3
285.336,1 322.448,4
0.148 0.213
0.267 0.109
0.091 0.091
0.054 0.070
26,3 18,3
10,6 8,7
10,1 9,0
12,7 13,4
11,1 6,7
4,9 4,2
3,9 4,8
1,8 2,7
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
10,9 8,2
131,4 159,6
203,9 170,5
134,2 138,5
243.532.548 258.141.113
315.843.267 329.319.809
362.016.991 343.777.691
285.484.854 322.603.070
Total
2.459.611,9 1.043
109,1 40,1
-- --
957,2 2.460.719.343
Catatan : x Angka Sementara
Sumber : Laporan Tahun Dinas Perikanan dan Kelautan, 2003. Data statistik perikanan ini menunjukkan bahwa produksi perikanan Maluku
menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya hasil tangkapan disebabkan karena berkembangnya alat penangkapan ikan. Dengan
semakin berkembangnya alat tangkap ikan secara lebih modern maka daerah operasi penangkapan ikan adalah lebih jauh di luar wilayah pesisir pedesaan.
Adapun alat tangkap modern dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29 Alat tangkap modern Di samping berkembangnya alat tangkap maka berkembang juga usaha
perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan. Berkembangnya alat pe- ngumpul ikan baik yang dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional, asing mau-
pun nelayan tradisional seperti rumpon, sero, dan bagan yang diletakan di depan wilayah perairan desa sehingga banyak ikan yang sudah terkonsentrasi dan
bergerak serta berlindung pada alat pengumpul ikan tersebut. Hal ini yang merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah hasil tangkapan di
daerah perairan desa. Secara real di lapangan menunjukkan bahwa kondisi jumlah hasil penangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan pedesaan semakin
hari semakin menurun. Masyarakat nelayan yang memiliki keterbatasan armada dan alat tangkap dan juga modal maka akan sangat terasa sulit untuk men-
dapatkan ikan di sekitar wilayah perairan desa. Kondisi seperti ini yang sering memicu masyarakat untuk melakukan cara-cara yang dekstruktif sepeti membom
dan meracuni ikan yang berakibat pada menurunnya kondisi kesehatan sumberdaya perikanan. Penurunan jumlah hasil tangkapan sumberdaya perikanan
di wilayah perairan pedesaan merupakan suatu realitas dimana upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus perlu ditata kembali secara baik untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada rezim otonomi daerah, dimana masyarakat lokal diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumber-
daya perikanan di wilayah perairan mereka maka diharapkan penerapan penge- lolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui lembaga-lembaga adat
dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan perikanan yang ber- kelanjutan di wilayah perairan pedesaan Maluku.
Dengan memperhatikan hasil penelitian tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan di pedesaan Maluku yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap semua
variabel kinerja pengelolaan perikanan yaitu meliputi : efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan. Nilai total efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan menunjukkan
bahwa pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Menurut Nikijuluw 2002 bahwa faktor
kunci yang menentukan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya per- ikanan adalah semua pihak yang terlibat. baik manajer maupun pengguna
sumberdaya yang dapat bekerjasama serta memiliki persepsi dan pemahaman yang sama. Oleh karena itu pada rezim otonomi daerah perlu dilakukan berbagai
upaya untuk dapat meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Pimpinan desa dan lembaga pengelolaan
perikanan adalah merupakan manejer pengelolaan perikanan dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya perikanan dipedesaan harus turut berpartisipasi
dalam melaksanakan pengelolaan perikanan sebagai bagian dari pembangunan desa. Menurut Kurniantara et al. 2005, tinggi rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan desa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1 Basis informasi yang kuat
2 Kepemimpinan desa 3 Peranan organisasi lokal
4 Peranan pemerintah desa.
Dengan demikian peranan kepemimpinan desa sangat penting artinya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Hal ini bisa
ditempuh melalui peningkatan pengetahuan melalui pendidikan non formal secara kontinyu sehingga dapat meningkatkan kualitasnya. Menurut Saat 2001 bahwa
beberapa hal pokok dalam melaksanakankan otonomi daerah pengelolaan sumberdaya perikanan adalah :
1 Kualitas sumberdaya manusia 2 Partisipasi masyarakat
3 Penegakan hukum yang melibatkan lembaga-lembaga masyarakat dan 4 Ketersediaan dana untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan
untuk peningkatan infrastruktur wilayah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk meningkatkan kinerja
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim otonomi daerah, faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah Maluku.
4.6 Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut
Untuk menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut adalah dengan
menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil statistik menunjukkan bahwa nilai T = 55 yang kemudian dibandingkan dengan nilai T tabel dengan selang kepercayaan
W α2 - W1-α2 = 24 - 76 menunjukkan bahwa T hitung = 55 yaitu masih berada
dalam selang kepercayaan 24 -76. Untuk itu maka hipotesis H1 ditolak dan menerima hipotesis H0 yaitu bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dengan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah. Adapun indikator kinerja
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut, diperlihatkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut
Kinerja pengelolaan
sumberdaya kelautan dan
perikanan Rezim
Sentralisasi Rezim
Otonomi Daerah
Rezim Sentralisasi
Rezim Otonomi
Daerah
Efisiensi
Pengambilan Keputusan
4.5 ±0.89 6.2 ±0.91 4.9 ±1.02
6.5 ±0.96 Kesempatan
Masyarakat 9.9 ±0.5
9.9 ±0.5 9.9 ±0.74
9.9 ±1.03 Kepatuhan
Masyarakat 5.1 ±0.62
6.3 ±0.95
5.3 ±0.79 5.8 ±0.87
Pemerataan
Tingkat Aksesibilitas
10 ±0 10 ±0
10 ± 0 10 ±0
Keragaman Alat Tangkap
6.4 ±1.03 5.1 ±1.81 5.3 ±1.64
3.9 ±2.17 Kesamaan
Ekonomi 5.6 ±1.41
5.1 ±2.34 5.8 ±1.40 5.5 ±2.0
Keberlanjutan Sosial
Ekonomi
Kebersamaan Masyarakat
7.5 ±1.10 6.8 ±1.53 7.2±0.83
6.3 ±1.33 Tingkat
Kesejahteraan 7.1 ±0.81
7.9 ±0.62 6.7±0.74 7.9 ±0.61
Kerukunan Nelayan
7.6 ±0.62 7.0 ±0.89 7.1±0.86
6.2 ±1.10
Keberlanjutan Biologi
Kondisi Sumberdaya
6.3 ±0.93 6.1 ±1.57 6.1±1.00
5.0 ±1.39 Hasil
Tangkapan 6.8 ±0.86
5.9 ±1.29 6.2 ±1.10 5.2 ±1.15
Total 6.2 6.7
6.8 6.6