Tabel 23 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut
Kinerja pengelolaan
sumberdaya kelautan dan
perikanan Rezim
Sentralisasi Rezim
Otonomi Daerah
Rezim Sentralisasi
Rezim Otonomi
Daerah
Efisiensi
Pengambilan Keputusan
4.5 ±0.89 6.2 ±0.91 4.9 ±1.02
6.5 ±0.96 Kesempatan
Masyarakat 9.9 ±0.5
9.9 ±0.5 9.9 ±0.74
9.9 ±1.03 Kepatuhan
Masyarakat 5.1 ±0.62
6.3 ±0.95
5.3 ±0.79 5.8 ±0.87
Pemerataan
Tingkat Aksesibilitas
10 ±0 10 ±0
10 ± 0 10 ±0
Keragaman Alat Tangkap
6.4 ±1.03 5.1 ±1.81 5.3 ±1.64
3.9 ±2.17 Kesamaan
Ekonomi 5.6 ±1.41
5.1 ±2.34 5.8 ±1.40 5.5 ±2.0
Keberlanjutan Sosial
Ekonomi
Kebersamaan Masyarakat
7.5 ±1.10 6.8 ±1.53 7.2±0.83
6.3 ±1.33 Tingkat
Kesejahteraan 7.1 ±0.81
7.9 ±0.62 6.7±0.74 7.9 ±0.61
Kerukunan Nelayan
7.6 ±0.62 7.0 ±0.89 7.1±0.86
6.2 ±1.10
Keberlanjutan Biologi
Kondisi Sumberdaya
6.3 ±0.93 6.1 ±1.57 6.1±1.00
5.0 ±1.39 Hasil
Tangkapan 6.8 ±0.86
5.9 ±1.29 6.2 ±1.10 5.2 ±1.15
Total 6.2 6.7
6.8 6.6
Adapun pola perubahannya menunjukkan keadaan yang hampir sama antara desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi maupun rezim
otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 30.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Sentralisasi Otonomi Daerah
Rezim P
er ing
ka t
Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut
Gambar 30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan
Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Hasil ini memberikan arti bahwa desa sasi pada rezim sentralisasi tidak
melakukan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan secara baik sehingga memiliki kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang tidak berbeda
dengan desa non sasi. Diketahui bahwa pelaksanaan fungsi pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku dilakukan oleh pimpinan desa
Raja dan lembaga pengelolaan perikanan Kewang. Mereka memiliki peranan dan tanggung jawab yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat. Namun pada rezim sentralisasi kewenangan dan peranan Raja dan Kewang
ini mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sistem pemerintahan desa yang berlaku dan juga dengan perkem-
bangan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi lainnya. Hasil ini juga memiliki keterkaitan dengan hasil analisis sebelumnya di atas bahwa perubahan
sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pengelola- an dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dipedesaan
Maluku. Telah ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa pola perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat terlihat adanya penurunan yang cukup signifikan
dari rezim adat ke rezim sentralisasi. Dengan demikian hal ini berdampak terhadap pelaksanaan kinerja pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di
pedesaan Maluku. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Novaczek et al. 2001 dan Harkes 2006 yang membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di
Maluku Tengah. Umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa-desa yang tidak
sasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Arifin dan Pradina 1998 yang dikutip Dahuri 2003 bahwa sistem sasi belumlah cukup baik untuk mempertahankan
perikanan lola secara berkelanjutan di Maluku. Ada empat faktor penyebabnya yaitu : 1 lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola , seperti kebiasaan
makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa 2 kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi
sesering mungkin, 3 pertambahan penduduk yang tinggi rata-rata 2.1 per tahun dan 4 pengambilan lola secara illegal. Oleh sebab itu belajar dari kasus
di atas, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini
harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola
sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan
program pengelolaan bersama co-management di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik.
Faktor lain yang turut menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan desa sasi pada rezim sentralistik tidak mengalami perbedaaan dengan desa non sasi
adalah adalah karena sistem pengelolaan perikanan pada rezim sentralisasi bersifat sentralistik dimana terjadi eksternal kegiatan tangkap yang akhirnya
mengabaikan kearifan tradisional oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Hal-hal seperti ini yang diduga menyebabkan
kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi di rezim sentralisasi tidak berbeda dengan desa non sasi.
Pada rezim otonomi daerah, hasil statistik di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan antara desa sasi laut dan desa non sasi
laut. Apabila di lihat dari sisi waktu pemberlakuan otonomi daerah di Maluku yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 maka jumlah waktu
pelaksanaan pengelolaan perikanan pada rezim otonomi daerah di Maluku masih terlalu singkat tidak sebanding dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan di
rezim sentralisasi. Periode sistem pemerintahan desa apabila dihitung sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi maka sekitar 20 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama dan begitu banyak mengalami
perubahan dalam semua aspek maka pada rezim otonomi daerah yang masih sangat singkat ini maka tentunya mulai secara perlahan melakukan pembenahan-
pembenahan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Dalam penerapan UU No. 22 Tahun 1999, daerah Maluku pada saat itu sedang mengalami konflik
kerusuhan dan tragedi kemanusiaan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, akibatnya roda pemerintahan dan perekonomian daerah tidak dapat
berjalan dengan baik. Dengan kondisi demikian namun penerapan UU No. 22 Tahun 1999 di sambut baik dan merupakan suatu berkat bagi pemerintah daerah
Maluku karena dapat mengatur secara baik administrasi pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi, di tingkat kabupatenkota bahkan sampai pada tingkat desa.
Semangat untuk melaksanakan adat mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari
semakin kondusif. Dalam membenahi manejemen pemerintahan di rezim otonomi daerah maka
UU No. 22 Tahun 1999 kemudian mengalami revisi menjadi UU. No 32 Tahun 2004. Hal ini semakin dapat mengakomidir aspirasi masyarakat untuk kembali
menjalankan tradisi-tradisi adat terutama dalam pengelolaan perikanan. Berdasarkan hasil inventarisasi sasi di atas telah di sebutkan bahwa ada
peningkatan pelaksanaan sasi laut seiiring dengan diaktifkannya kembali lembaga -lembaga adat seperti Kewang. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan
perikanan di rezim otonomi daerah maka terasa perlu untuk kembali melihat keberhasilan sasi pada rezim adat dan juga melihat tidak efektifnya sasi pada
rezim sentralisasi. sehingga dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam peningkatan kinerja pengelolaan perikanan di pedesaan Maluku.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka pelaksanaan sasi harus lebih diefektifkan terutama oleh pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan
sehingga dapat memberikan nilai manfaat secara ekonomi kepada masyarakat. Selain itu, perlu juga didukung oleh kebijakan pemerintah daerah Maluku dan .
peningkatan kegiatan pendidikan baik formal maupun non formal dan peningkatan pelaksanaan pengelolaan perikanan bersama dalam bentuk ko-manajemen di
tingkat desa yang diterapkan dengan baik.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan