Dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku

(1)

VENDA JOLANDA PICAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Bogor, Mei 2007

Venda Jolanda Pical


(3)

Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, M. FEDI A. SONDITA dan VICTOR P.H. NIKIJULUW.

Sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan melalui beberapa kebijakan. Hal ini berpengaruh terhadap sistem pemerintahan desa yang berdampak terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Unit pengamatan dalam penelitian ini adalah desa, dan ada 61 desa yang di teliti. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner observasi lapangan dan catatan harian. Sejumlah perubahan sistem pemerintahan desa yang diamati meliputi: sistem pemerintahan, kepala pemerintahan, struktur pemerintahan, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan pelaksana pengelolaan perikanan di desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasi laut sampai saat ini masih tetap dilaksanakan dan mulai diaktifkan kembali pada rezim otonomi daerah. Perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dan juga berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Walupun demikian tidak ada perbedaan kinerja antara desa sasi laut dengan desa non sasi laut. Beberapa kebijakan yang disarankan adalah, sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasi; perlunya penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat melalui proses pembinaan dan pendidikan secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat.

Kata kunci : Pemerintahan desa, sumberdaya kelautan dan perikanan, pengelolaan berbasis masyarakat, sasi, Maluku


(4)

System on the Marine and Fisheries Resources Management in Molucca Villages. Under the Supervision of JOHN HALUAN, M.FEDI A. SONDITA and VICTOR P.H. NIKIJULUW.

The governance system in Indonesia has been changed several regulations. Such change has influenced village-level government system which in turn can affect marine and fisheries management in Molluca villages. The Objectives of this research were to analyse the impact of changes in village government system on the management of fisheries resources in Molluca villages. The observation unit of the study was village; there were 61 villages studied. Data were collected through some interviews, field observation, and diary notes. Some observed changes in the village government system included government system, head of government, government structure, executive, legislative, and judicative components, and practices in the management of the fisheries resources accessible to the villagers. The revealed existence of a community–based resources management locally called sasi; the sasi has been reactivated to promote local governance on resource management. Change in village government has affected performance of village level management. However, there was no significant difference in the management performance between sasi and non sasi villages. Some policies are proposed to maintain and revitalize the sasi as and effective village level management system. These include strengthening village-based institution by supporting and empowering the human resources through educational process and community engagement in sustainable development practices.

Keywords : village government, marine and fisheries resources, community-based management, sasi, Molluca


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

VENDA JOLANDA PICAL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Nama : Venda Jolanda Pical NIM : C 561030071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc Ketua

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc Dr. Ir.Victor P.H. Nikijuluw, MSc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

karunia dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan September 2006, adalah Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku.

Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc dan Bapak Dr. Ir.Victor P.H. Nikijuluw, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, motivasi, kritikan dan saran perbaikan selama proses pembimbingan sampai pada penyelesaian studi Doktor. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Monintja atas arahan, bimbingan dan saran yang berguna untuk penyelesaian studi Doktor ini. Terima kasih kepada bapak Dr.Ir. Budy Wiryawan, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup begitu juga kepada Dr. Ir. Alex Retraubun MSc dan Dr. Ir. Rilus Kinseng MA sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka atas waktu dan kesempatan menguji, serta telah memberikan perhatian dan berbagai masukan berupa saran dan kritik demi penyempurnaan disertasi ini.

Terimakasih disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Maluku atas bantuan biaya penelitian dan berbagai fasilitas selama melakukan penelitian. Terima kasih kepada pimpinan dan staf Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat atas bantuan, kerjasama dan fasilitas. Terima kasih khusus kepada Lin Mayaut, Egi Puttilehalat, Ir. Butje Haurissa dan Ir. Ronny Salenussa atas bantuan dalam pelak-sanaan pengumpulan data di lapangan. Terima kasih kepada Bapak Ir. John Randa MSc atas segala bantuannya. Terima kasih kepada Ir. Yan Masrikat, MSi, Ir. Fonny Risamasu MSi, Ir. Gybert Mamuaya MSc, Ir. Tri Wiji Nurani, MSi, Ir Yahyah MSi, Ir. Hafids Olii, MSi dan rekan-rekan TKL 2003 lainnya atas kerjasama dan persahabatan yang baik.

Terimakasih yang tulus dan penghargaan kepada orangtuaku Papi dan Mami (almarhumah), kakakku Febry dan Usi Adry, begitu juga adikku Feldy dan Rahel dan kedua keponakanku Vita dan Gita atas dukungan moril dan material, serta doanya. Terimakasihku juga kepada papa Boe yang telah tiada. Terimakasih juga bagi saudara-saudaraku Bu Joshua Joseph sekeluarga, Usi Nona Litama-huputty-Joseph sekeluarga, Usi Noke Lekahena-Joseph sekeluarga, Bu Benny Joseph sekeluarga, Usi Popi Mangundap-Joseph sekeluarga dan Tety Loppies-Joseph sekeluarga atas dukungan moril serta doanya.

Akhirnya ungkapan terima kasih yang tiada terhingga juga penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr. Ir. Godlief Joseph MSi dan ke dua anak tersayang Joy Alphason Magistro Joseph dan JEAN Joseph atas segala perhatian dan kasih sayang, pengorbanan dan doa yang senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yesus.

Tuhan kiranya memberkati semua orang yang turut terlibat dalam keberhasilan studi saya ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(9)

dua dari pasangan Rudolph Fredrik Pical dan Jacoba Maria Suzana Tetelepta. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya TMPD dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2003 dengan mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.


(10)

Baeleo : Rumah adat, tempat musyawarah adat

Badati : Sistem tanggung bersama untuk sesuatu kegiatan

Buka Sasi : Periode musim penangkapan ikan

Fusu : Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Ternate (Maluku Utara)

Kapitan : Pemimpin Perang

Kepala Soa : Pemimpin suatu bagian dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga

Kewang : Suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah Saniri Negeri Lengkap (pimpinan desa) yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo, yang ber-tugas memeriksa, mengawasi, dan mengamankan petuanan

negeri/desa, yang meliputi wilayah darat, perairan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kehidupan dan penghidupan

penduduknya, berdasarkan pranata sasi.

Maano : Sistem bagi hasil dalam melaksanakan suatu aktivitas seperti memetik cengkeh

Makan Pasuri : Menikmati hasil-hasil kebun,hutan secara bersama-sama warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan.

Marinyo : Orang yang bertanggung jawab untuk

mengkomunikasikan keputusan pemerintah negeri (Raja) kepada staf pemerintahan negeri maupun kepada masyarakat

Mata rumah : Marga/Famili

Masohi : Suatu aktivitas tolong-menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan

Pemerentah negeri : Sistem pemerintahan desa di Maluku yang berbasis adat


(11)

Saniri Negeri Besar : Badan Yudikatif yang terdiri dari Saniri Rajapatti,

Saniri Negeri Lengkap dan semua warga

masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas

Saniri Negeri Lengkap : Badan Legislatif yang terdiri atas anggota saniri, tua adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, Kewang, Marinyo, Kapitan, Tuan Negeri dan Tuan Tanah.

Saniri Rajapatti : Badan eksekutif yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa

Sasi : Larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu baik darat maupun laut tanpa ijin yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat.

Siboboso game : Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Sidangoli, Taliabu, dan Kepulauan Sula.

Tuan Negeri : Pemimpin pelaksana adat dalam negeri

Tutup sasi : Periode penutupan penangkapan ikan.

Yot huwear : Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam di Maluku Tenggara


(12)

DAFTAR TABEL ………....……….. xi

DAFTAR GAMBAR ………...……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………....……… xvi

1 PENDAHULUAN ………...……… 1

1.1 Latar Belakang ………...……….. 1

1.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.3 Perumusan Masalah ... 8

1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ……....………...……….. 9

1.5 Tujuan Penelitian ………...……...……….. 10

1.6 Manfaat Penelitian ………...………. 11

1.7 Hipotesis Penelitian ………...………....………. 11

2 TINJAUAN PUSTAKA …...………. 13

2.1 Kajian terhadap Sistem Pemerintahan Desa di Maluku ... 13

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan …...….. 19

2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat …... 25

2.4 Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku ………...……...……… 27

2.5 Penelitian Sasi Terdahulu ………..……….. 32

2.6 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ……...……. 35

3 METODOLOGI PENELITIAN ………...………….. 39

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian …....………...……… 39

3.2 Metode Sampling ………...………. 39

3.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data …...……….. 41

3.4 Analisis Data ………...……… 43

3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif ... 43

3.4.2 Uji Friedman ……….………. 44


(13)

4.1.1 Kota Ambon ... 51

4.1.2 Kabupaten Maluku Tengah ... 56

4.1.3 Kabupaten Seram Bagian Barat ... 60

4.2 Perubahan Sistem Pemerintahan Desa ………...……… 64

4.3 Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah ... 79

4.4 Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat …... 91

4.5 Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku …... 100

4.6 Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut ... 129

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1 Kesimpulan ... 135

5.2 Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ……….………. 130


(14)

1 Ruang lingkup penelitian ……… 8 2 Jenis data berdasarkan tujuan penelitian ...……… 41 3 Analisis data berdasarkan tujuan penelitian ... 48 4 Nama kabupaten, ibukota serta jumlah kecamatan dan desa

di Maluku ……… 50

5 Nama kecamatan, luas, jumlah desa dan kelurahan di Kota Ambon … 51 6 Perkembangan jenis alat tangkap dan armada tangkap

di Kota Ambon tahun 2002-2004 …...……… 54 7 Potensi dan jumlah tangkapan sumberdaya perikanan

di Kota Ambon tahun 2004 ………...……… 56 8 Nama kecamatan, luas, nama ibukota serta jumlah desa dan

kelurahan di Kabupaten Maluku Tengah …...……… 57 9 Nama kecamatan, luas, serta jumlah desa dan dusun di Kabupaten

Seram Bagian Barat ... 61 10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi

dan rezim otonomi daerah …………...……… 65 11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku ... 80 12 Lokasi desa sasi laut ……....……...….. 81 13 Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan di pasar Kota Ambon tahun 2005 ... 84 14 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

tidak tertulis …...… 86 15 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

berbasis masyarakat secara tertulis …...……... 87 16 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara

tertulis tentang sanksi ... 88 17 Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …... 91 18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ...…. 101 19 Jumlah nelayan /petani ikan di Provinsi Maluku


(15)

21 Perkembangan unit penangkapan ikan di Provinsi Maluku

periode 1994 -2001 …...……….. 107 22 Perkembangan produksi perikanan di Provinsi Maluku

menurut cabang usaha periode 1994-2001 ……...………. 126 23 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada


(16)

1 Kerangka pemikiran penelitian ………...……….. 12 2 Skema rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ……....…...…… 28 3 Metode gugus bertahap dalam teknik pengambilan sampel ... 40 4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth,

Kabupaten Maluku Tengah ... 67 5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha,

Kabupaten Maluku Tengah ... 73 6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai,

Kabupaten Maluku Tengah ... 76 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia …...… 83 8 Kondisi kegiatan pelatihan di Maluku Tengah, 2003 ... 90 9 Pola perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim

sentralisasi dan rezim otonomi daerah …...……… 92 10 Pola perubahan kinerja efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan

dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat,

rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah …...……... 103 11 Pola perubahan kinerja pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya

kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat,

rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 105 12 Jenis pekerjaan masyarakat selain nelayan di Maluku Tengah,

2003 ...… 110 13 Pola perubahan kinerja keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat

di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi

dan rezim otonomi daerah …...……... 111 14 Kondisi perumahan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ...… 113 15 Perkembangan pendapatan nelayan/orang/tahun di Maluku ... 114

16 Kondisi sarana pendidikan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ... 114 17 Kondisi sarana perdagangan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ... 115 18 Kondisi sarana ekonomi masyarakat di Maluku Tengah, 2003 ... 115


(17)

21 Kondisi sarana jalan di Maluku Tengah, 2003 ... 117

22 Kondisi sarana pelabuhan di Maluku Tengah, 2003 ... 117

23 Pola perubahan kinerja keberlanjutan biologi sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 120

24 Penyebab kerusakan lingkungan perairan di Maluku Tengah, 2003 ….. 121

25 Kondisi terumbu karang di Maluku Tengah, 2003 ... 122

26 Kondisi hutan manggrove di Maluku Tengah, 2003 ... 123

27 Kondisi padang lamun di Maluku Tengah, 2003 ... 123

28 Alat tangkap tradisional ………...………. 125

29 Alat tangkap modern …...……….. 127

30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 131


(18)

1 Lokasi penelitian ... 149

2 Provinsi Maluku ... 150

3. Kuesioner 1 …………...………. 151

4 Kuesioner 2 ... 152

5 Kuesioner 3 ... 156

6 Daftar pertanyaan wawancara ... 159

7 Hasil inventarisasi sasi di pedesaan Maluku ... 161

8 Hasil inventarisasi peraturan perikanan ... 163

9 Rekapitulasi data pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 165

10 Urutan kerja uji Friedman untuk perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat ... 167

11 Analisis perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 168

12 Rekapitulasi data efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 169

13 Rekapitulasi data pemerataan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 171

14 Rekapitulasi data keberlanjutan sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 173

15 Rekapitulasi data keberlanjutan biologi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 175

16 Urutan kerja uji Friedman untuk perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat ... 177

17 Analisis perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah ... 178


(19)

19 Urutan kerja uji Mann –Whitney pada rezim sentralisasi ... 186 20 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim otonomi daerah ... 189


(20)

Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan merupakan isu penting saat ini baik di tingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan karena kondisi perikanan di dunia menunjukkan bahwa perminta-an dperminta-an jumlah konsumen ikperminta-an sebagai bahperminta-an pperminta-angperminta-an dperminta-an juga untuk keperluperminta-an industri semakin hari semakin meningkat, seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dunia, meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang gizi ikan yang menyehatkan, menguatkan, mencerdaskan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan industri perikanan dunia, semen-tara disisi lain ada tendensi bahwa sumberdaya ikan mengalami deplesi. Sumber-daya perikanan dunia cenderung menurun karena dieksploitasi terus menerus. Kondisi perikanan di Samudera Hindia cenderung menurun baik dari hasil tang-kapan longline maupun laju pancing (hook rate). Bobot individu tuna cende-rung menurun dari 37 kg/ekor tahun 1973 menjadi 25 kg/ekor tahun 2002. Demikian pula laju pancing yang menurun dari 2,16 ekor per mata pancing tahun 1973 menjadi 0,74 ekor per 100 mata pancing tahun 2002. Kecenderungan me-nurun juga terjadi pada sumberdaya udang di Laut Arafura. Hasil tangkapan di dominasi oleh rajungan yang mencapai 80 persen dari total hasil tangkapan udang dan krustasea lainnya. Dominasi udang jerbung juga bergeser ke udang dogol. Juga telah terjadi penurunan ukuran udang dari rata-rata 10-30 ekor per kg menjadi 35-60 ekor per kg. Kecenderungan serupa juga terjadi pada sumberdaya ikan demersal di Laut Cina Selatan. Ukuran dari tiga species ikan demersal juga mengecil; peperek (Leiognathus splendens), bawal putih (Pampus argenteus), dan manyung (Arius thalasinus) pada tahun 1975 memiliki panjang maksimum masing-masing 15 cm. 31 cm, dan 31 cm pada 2002 menyusut menjadi 10 cm, 20 cm, dan 20 cm. Kelimpahan stok juga merosot, dari 2,36 ton/km2 (1975) menjadi 0,58 ton/km2 (2002). Kecenderungan penurunan yang sama juga terjadi atas laju tangkap, yakni dari 7,312 ton/unit alat tangkap baku/tahun pada 1991 menjadi 4,495 ton/unit alat tangkap baku pada 2000. (LIPI 2003).

Demikian juga halnya seperti hasil evaluasi Food and Agricultural Organi-zation (FAO) yang menunjukkan bahwa sumberdaya ikan dunia cenderung telah


(21)

dimanfaatkan secara penuh, khusus untuk wilayah perairan Pasifik Barat Tengah dengan kode 71, Samudera Hindia Timur dengan kode 57, Pasifik Barat Daya dengan kode 81 dan Pasifik Barat laut dengan kode wilayah 61 (Nikijuluw, 2005). Wilayah perairan dengan kode 71 dan 57, adalah perairan Indonesia, secara agregat telah mencapai puncak pemanfaatannya. Kawasan Barat dan Selatan Indonesia adalah bagian dari wilayah dengan kode 71 sedangkan kawasan Timur dan Utara Indonesia adalah bagian dari wilayah dengan kode 57. Hasil evaluasi ini menunjukkan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terus menerus dilakukan secara tidak terkendali, maka akan terjadi over eksploitasi sumberdaya perikanan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, dengan lautan yang lebih luas di-bandingkan dengan daratan, memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) memperkirakan potensi sumberdaya perikanan sebesar 6,4 juta ton/tahun dan ting-kat pemanfaatannya diperkirakan telah mencapai 63,5 % (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa secara nasional sumberdaya perikanan diseluruh perairan telah mencapai tingkat pemanfaatan yang cukup tinggi atau hampir jenuh. Berdasarkan kenyataan ini, maka pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia sangat perlu dilakukan.

Penanggung jawab utama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah Pemerintah. Hal tersebut seperti tertuang dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pasal 4, bahwa seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat di dalam perairan Indonesia adalah di bawah ke-daulatan negara republik Indonesia. Untuk itu, Pemerintah memiliki hak dan tanggung jawab utama dalam mengelola dan mengawasi pemanfaatan sumber-daya perikanan. Otoritas pengelola sumbersumber-daya perikanan oleh pemerintah ini didasarkan juga pada UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Di Indonesia, pengelolaan potensi sumberdaya perikanan secara efisien dan berkelanjutan belum dikelola secara baik bagi kelangsungan hidup dan


(22)

kesejahteraan rakyat, sehingga pemerintah masih terus mencari dan menyempurnakan cara-cara yang tepat untuk diterapkan (Wagey, 2003).

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, terasa sangat sulit dilakukan oleh pemerintah. Ada ber-bagai faktor kendala yang menyebabkan sulitnya pengelolaan oleh pemerintah, yaitu antara lain terbatasnya tenaga, dana, dan fasilitas dalam mengawasi pelak-sanaan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah perairan Indonesia yang sangat luas. Selain itu, pemerintah kurang memahami masalah yang dihadapi masyarakat ditingkat daerah, rendahnya legitimasi pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta lambatnya proses transformasi kebijakan yang diambil di tingkat pusat ke dalam bentuk kebijakan aplikatif di tingkat daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah kemudian mendelegasikan wewenang dan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah atau kepada masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah kini memiliki otonomi secara khusus di dalam mengelola sumberdaya perikanan yang ada di dalam wilayahnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Otonomisasi pemerintahan daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ini merupakan salah satu bentuk aplikatif dari penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Daerah Maluku sebagai daerah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan maka memiliki potensi yang besar di bidang perikanan dan kelautan. Potensi sumber-daya kelautan dan perikanan yang terbesar terdapat di Laut Banda dengan sediaan stok sebanyak 208.588 ton dan potensi lestari sebanyak 104.299 ton per tahun. Persediaan stok Laut Arafura sebanyak 50 770 ton per tahun. Ketersediaan potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku memberikan indikasi bahwa perlu di-lakukan pengelolaan sumberdaya perikanan secara baik sehingga sektor perikan-an dapat memberikperikan-an kontribusi yperikan-ang besar bagi peningkatperikan-an kesejahteraperikan-an masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) Maluku. Pada tahun 2005 PAD Provinsi Maluku dari sektor perikanan adalah sebesar Rp.5 510 963 919.78 terdiri atas retribusi hasil perikanan sebesar Rp. 5 510 885 030.78 dan dari Ijin Usaha Perikanan (IUP) adalah sebesar Rp. 78 889 040. Dibandingkan dengan PAD tahun


(23)

2004 yaitu sebesar Rp. 3 200 000 000,- maka terlihat bahwa peningkatan PAD sekitar 71.9 persen.

Selain memiliki potensi sumberdaya alam laut, Maluku juga memiliki potensi sumberdaya alam darat yang cukup potensial seperti : cengkeh, pala, sagu, coklat, kopi, kelapa dan lain sebagainya. Dengan memiliki potensi ini, dahulu Maluku terkenal dengan sebutan pulau rempah-rempah yang banyak diincar oleh para saudagar dari luar negeri antara lain Cina, Portugis, Inggris dan Belanda di sekitar abad ke 14, 15 dan 16 (Nanere, 1996). Kondisi dan potensi sumberdaya alam tersebut di atas sangat menentukan corak dan karakteristik sosial budaya masyarakat Maluku dan kehidupan ekonominya sebagai petani dan nelayan.

Dalam rangka pembangunan perikanan dan kelautan di Provinsi Maluku se-cara terarah dan sistimatis maka Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku telah menetapkan rencana strategis tahun 2005-2008. Visi pembangunan kelautan dan perikanan Provinsi Maluku adalah terwujudnya pembangunan kelautan dan perikanan berbasis ekosistim kepulauan dengan memanfaatkan IPTEK, sebagai pilar utama dalam peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Misi pembangunannya adalah :

(1) Mewujudkan otonomi daerah di laut secara nyata dan bertanggung jawab

(2) Menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama dari masyarakat Maluku

(3) Menciptakan sumberdaya manusia perikanan yang berkualitas, kreatif, pro aktif dan berdaya saing

(4) Meningkatkan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat

(5) Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investor perikanan

(6) Memanfaatkan IPTEK dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, serta

(7) Meningkatkan kontribusi kelautan dan perikanan bagi perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.


(24)

Berdasarkan visi dan misi tersebut maka disusun strategi, program dan ke-giatan. Salah satu program yang direncanakan adalah revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional dengan sasaran kegiatan adalah:

(1) Mengidentifikasi potensi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

(2) Pemberian penghargaan (coastal award) bagi masyarakat (3) Penguatan kelembagaan lokal dan

(4) Penguatan ekonomi masyarakat (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005).

Perencanaan program ini sangat berarti karena pedesaan Maluku memiliki kelembagaan lokal serta kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Kearifan tradisional ini memiliki sebutan yang berbeda-beda. Di sekitar Maluku Tengah disebut “sasi”, di Maluku Tenggara di sebut “yot - huwear”, di Ternate disebut “fusu”, di Sidangoli, Taliabu dan Kepulauan Sula disebut “siboboso game”, (LKMD, 1994). Namun sebutan sasi, umumnya lebih dikenal secara luas. Kearifan tradisional ini pernah mendapatkan penghargaan lingkungan hidup nasional (Hadiah Kalpataru) pada tahun 1986 dan kemudian menjadi sorotan dan perhatian dari berbagai pihak baik secara nasional maupun internasional seiring dengan berkembangannya isu community-based fisheries managament.

Keberadaan sasi sudah ada sejak dulu kala baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini sesuai dengan laporan Andamari et al., (1991) bahwa sasi di Desa Nolloth Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, sudah berlangsung sejak sebelum pendudukan Belanda, tidak berfungsi selama masa penjajahan jepang dan kemudian berfungsi lagi pada tahun 1969 hingga kini. Selain itu, Nikijuluw (1994) juga mengemukakan bahwa pada bulan Januari 1913 ditandatangani dokumen tertulis tentang aturan sasi di Desa Paperu, Kecamatan Saparua Kabu-paten Maluku Tengah oleh Saniri Negeri (Pemerintah Desa) yang berlaku selama periode tahun 1913-1922.

Sasi dilaksanakan oleh masyarakat desa di bawah pengawasan lembaga sasi yang disebut Kewang. Kewang merupakan suatu korps polisi negeri yang dipilih


(25)

dan diangkat oleh suatu rapat Saniri Negeri Lengkap (pimpinan desa) yang ber-tugas memeriksa, mengawasi, dan mengamankan petuanan negeri/desa, yang meliputi wilayah darat, perairan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk kehidupan dan penghidupan penduduknya, berdasarkan pranata sasi (Ohorella 1994). Dalam pelaksanaannya, Kewang bertanggung jawab terhadap Saniri Negeri (Pemerintahan desa) termasuk di dalamnya Raja sebagai kepala pemerintahan negeri dan sebagai kepala adat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka pelaksanaan sasi memiliki keterkaitan dengan lembaga-lembaga adat pada sistem pemerintahan negeri

Pada rezim orde baru, sistem pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa dengan adanya pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979. Dasar penerbitan UU tersebut adalah pelaksanaan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan penerapan ketetapan MPR No IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikembangkan atas dasar keutuh-an negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi, memperkuat pemerintah desa, agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif.

Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1979 berlaku satu struktur pemerintahan desa secara seragam di seluruh Indonesia dan bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Dengan diterapkannya UU tersebut maka di pedesaan Maluku terjadi perubahan sistem pemerintahan desa dari sistem pemerintahan negeri ke sistem pemerintahan desa. Kondisi ini terus berlangsung sampai kemudian pada rezim reformasi pemerintah menerbitkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun


(26)

dampak dari penerapan UU tersebut adalah adanya perubahan sistem pemerintahan desa dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri.

Perubahan sistem pemerintahan desa yang telah berlangsung selama ini me-rupakan suatu fenomena yang menarik karena diduga memiliki dampak terhadap perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Dapat dikatakan bahwa berhasil tidaknya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku tergantung dari fungsi dan peranan sistem pemerintahan desa yang berlaku.

Hasil kajian terhadap penelitian-penelitian sasi terdahulu maka pengamatan penelitian tersebut dilakukan pada periode sebelum diterapkannya rezim otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Aspek-aspek pola perubahan pengelolaan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah belum dikaji dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Saran dan rekomen-dasi penelitian di atas adalah menyusun suatu program ko-manajemen baik di tingkat desa maupun di tingkat kabupaten. Hal-hal inilah yang menjadi bahan masukan bagi penelitian ini.

1.2 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pada tiga rezim pemerintahan desa yaitu rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah.

(1) Rezim adat yaitu periode sebelum berlaku UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada periode ini sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan oleh masyarakat

(2) Rezim sentralisasi yaitu periode berlakunya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada periode ini pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bersifat sentralistik begitu juga dengan sistem pemerintahan desa

(3) Rezim otonomi daerah yaitu periode berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Peme-rintahan Daerah. Pada periode ini terjadi suatu proses perubahan dalam


(27)

pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintah desa telah dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri. Dengan demikian maka pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat sebagai bagian dari sistem pemerintahan negeri menjadi perhatian dan mulai diaktifkan kembali. Adapun ruang lingkup penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Ruang lingkup penelitian

No. Rezim Periode Sistem

Pemerintahan Desa Sistem Pengelolaaan Sumberdaya Perikanan 1 2 3 Adat Sentralisasi Otonomi daerah Sebelum pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979

Setelah pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979

Pemberlakuan

UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 Negeri Desa, dan kombinasi antara desa dan negeri Negeri Berbasis masyarakat Sentralistik Pengelolaan Perikanan Otonomisasi Pengelolaan perikanan

1.3 Perumusan Masalah

Permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

(1) Bagaimana perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

(2) Sejauhmana keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah

(3) Bagaimana dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah (4) Bagaimana dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa


(28)

pedesaan Maluku pada rezim adat rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

(5) Apakah ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian

Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari sekitar 559 pulau, dimana dari jumlah pulau tersebut ada beberapa pulau yang tergolong besar sisanya adalah pulau-pulau sedang dan pulau-pulau kecil (Bappeda Maluku, 2004). Sebagai daerah$ kepulauan maka luas wilayah Maluku sebagian besarnya terdiri dari laut. Dengan luas laut yang besar tersebut maka perairan Maluku memiliki potesi sumberdaya perikanan yang besar Adapun potensi perikanan laut Maluku dapat disebutkan sebagai berikut: ikan pelagis kecil 682 000 ton/tahun, tongkol 27 900 ton/tahun, tuna 50 165 ton/tahun, ikan dasar 97 200 ton/tahun, ikan karang, udang 18 000 ton/tahun, rumput laut standing coop adalah 720 ton/km2 dengan potensi produksi 25 800 ton, cumi-cumi 100 000-125 000 ton/tahun, lobster 786 ton/tahun, tenggiri 30 348 ton/tahun, juga terdapat 969 jenis kerang-kerangan dan yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah 13 jenis siput dan 21 jenis kerang. Walaupun potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, namun produksi perikanan di Maluku masih relatif kecil. Pada tahun 2002, tercatat produksi dan tingkat pemanfaatan potensi adalah sebagai berikut: cakalang 9 443.4 ton (+11 %), tuna 7 728.6 ton (+15 %) dan udang 5 856.4 ton (+32.5 %). Perairan Maluku juga memiliki potensi area untuk pengembangan budidaya laut dengan perkiraan sebagai berikut: mutiara 924 ha., lola 1 000 ha., teripang 3 100 ha., rumput laut 2 500 ha., dan ikan 2 950 ha. Potensi inipun belum banyak yang dimanfaatkan (Bappeda Maluku, 2004).

Berdasarkan karakteristik wilayah Maluku sebagai daerah kepulauan yang di dominasi oleh laut maka masyarakat Maluku memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam baik laut maupun darat. yang dikenal sebagai sasi. Pelaksanaan sasi oleh masyarakat diawasi oleh Kewang dan Raja sebagai lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam sistem pemerintahan negeri.


(29)

Dengan potensi sumberdaya perikanan yang besar dan memiliki kearifan tradisonal dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut namun sampai saat ini pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Maluku belum dilaksanakan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ada berbagai faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, antara lain: kondisi biofisik sumberdaya perikanan, teknologi alat tangkap, pasar, pemegang kepentingan, kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan. Sedangkan faktor eksternal, antara lain: migrasi serta mobilitas penduduk, perubahan komposisi usia penduduk, perkembangan perdagangan, pergantian sistem pemerintahan yang membuat struktur pemerintahan desa (lokal) ikut juga berubah (Nikijuluw, 2002).

Salah satu faktor eksternal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perubahan sistem pemerintahan desa. Menurut Kissya (2000), Novaczek et al.

(2001) dan Nikijuluw (2002) bahwa perubahan struktur pemerintahan desa menyebabkan melemahnya pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem pemerintahan desa yang berlaku akan memberi dampak terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Kerangka pemikiran penelitian digambarkan sebagai berikut (Gambar 1).

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah menganalisis dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku.

Tujuan khusus penelitian adalah:

(1) Mendeskripsikan perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

(2) Menginventarisasi keberadaan sasi pada rezim otonomi daerah

(3) Menganalisis dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat


(30)

(4) Menganalisis dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku

(5) Menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

(1) Masyarakat pedesaan di Maluku terutama dalam membenahi dan menata pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat yang berkelanjutan

(2) Pemerintah daerah Maluku guna mengkaji kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dalam rangka pengembangan usaha perikanan tangkap di pedesaan Maluku

(3) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku guna menunjang visi dan misi pembangunan perikanan Maluku terutama pelaksanaan program revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional

(4) Pemerintah pusat sebagai bahan informasi ilmiah tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku

1.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian disusun sebagai berikut:

(1) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku

(2) Perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku (3) Ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan

pada desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah


(31)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan:

= Penjelasan = Mempengaruhi = Dipengaruhi oleh

= Memiliki hubungan Daerah

Maluku

Potensi Perikanan Sistem sasi

Pengelolaan Perikanan belum optimal

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Kebijakan tentang Pemerintahan Daerah : UU No. 5 Thn 1974 UU No. 5 Thn 1979 UU No. 22 Thn 1999 UU No. 32 Thn 2004 Rezim Adat

Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi daerah

Sistem Pemerintahan Desa

Kinerja Pengelolaan Perikanan

Pola Perubahan Pengelolaan Perikanan

Berbasis Masyarakat

Kinerja Pengelolaan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut

Perumusan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku pada Rezim Otonomi Daerah

Perubahan Pemerintahan Desa

Keberadaan sasi

Provinsi Kepulauan


(32)

Sebelum adanya kebijakan pemerintah mengatur sistem pemerintahan desa secara nasional maka desa-desa yang telah lama ada sebagai kesatuan-kesatuan hukum adat yang bersifat teritorial maupun genelogis, beraneka ragam bentuk dan coraknya, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, misalnya: Jawa Barat (kampung), Aceh (Gampong), Tapanuli (Huta atau Kuta), Sumatera Selatan (Marga), Maluku (Negorij), Makasar (Gaukay) dan sebagainya (Siwalette (2005).

Masyarakat adat hampir terdapat di semua daerah dan di banyak negara. Pengertian masyarakat adat terdiri dari lima pengertian yaitu (1) penduduk asli suatu daerah, (2) sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan (3) selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) ketururunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara berkelompok (Ansaka,2006).

Di Indonesia, peraturan yang mengatur sistem pemerintahan adat adalah warisan dari peraturan Belanda (Siwalette, 2005) dimana eksistensi desa adat di akui dan di atur dalam pasal 18 UUD 1945 (Sama et al., 2001).

Sistem pemerintahan adat di Maluku dikenal dengan pemerintah negeri dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat masih termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Susunan organisasi pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeriadalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de kepala-kepala soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan


(33)

Kepala Soa (Siwalette, 2005). Raja dipilih berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah dan ditentukan oleh Saniri Negeri Lengkap berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Jadi dalam sistem pemerintahan negeri di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah (Pariela, 2005). Selain Raja, ada beberapa jabatan adat yang di tentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu yang disebut mata rumah,seperti Kapitan,

Marinyo, Tuan Negeri, Tuan Tanah dan Kepala Kewang. Oleh karena itu, di dalam masyarakat adat, setiap marga/famili atau mata rumah telah mengetahui posisi dan jabatannya dalam struktur pemerentah negeri sehingga setiap orang yang ditentukan dan terpilih dalam jabatannya pada struktur pemerintah negeri sangat ditokohkan oleh masyarakat. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur pemerintahan negeri memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001).

Dalam pelaksanaan pembangunan pada sistem pemerentah negeri di Maluku maka ada beberapa pranata yang merupakan aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang dilaksanakan yaitu tradisi tolong menolong dan tradisi menjaga ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam. Tradisi tolong menolong seperti : masohi. badati, maano, dan makan pasuri. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan. Contohnya adalah kegiatan pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya. Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil


(34)

maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. Makan pasuri

yakni menikmati hasil-hasil kebun, hutan secara bersama-sama warga-warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005).

Dalam menjamin ketertiban sosial serta pelestarian sumberdaya alam maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu

Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka

Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasiuntuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan


(35)

terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeridan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar.

Pada sistem pemerintahan negeri, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku.

Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanan negeri.

Petuanan darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut

dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasiadalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002). Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan negeri, sasi merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat.


(36)

Pada sistem pemerintahan Orde Baru diterbitkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan kemudian dikeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menegaskan bahwa: dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikembangkan atas dasar keutuhan negara kesatuan dan diarahkan pada pelak-sanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi, maka memperkuat pemerintah desa, agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menye-lenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif. Berdasarkan hal tersebut maka diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang bertujuan untuk meyeragamkan sistem pemerintahan desa desa di Indonesia untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan (Siwalette, 2005). Sejak berlakunya UU tersebut maka mulai berlaku satu struktur pemerintahan desa secara seragam diseluruh Indonesia. Penerapan dari UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat desa. Dimana lembaga-lembaga adat mendapatkan penyesuaian untuk masuk ke dalam struktur pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979. Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, lembaga musyawarah desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.

Pelaksanaan dan penerapan UU No. 5 Tahun 1979 di Provinsi Maluku diberlakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Maluku No.Inst.08/GMAL/1980 yang mengatur tentang Struktur Pemerintahan Desa di Maluku yang sesuai berdasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1979 bahwa pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, lembaga musyawarah desa (LMD) dimana dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas sekretariat desa (sekertaris desa dan kepala-kepala urusan) dan kepala-kepala dusun. Dalam instruksi Gubernur Maluku itu dijelaskan bahwa LMD dalam struktur pemerintahan desa terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang harus


(37)

diambil dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial-politik dan golongan profesi yang ada di desa. Golongan profesi adalah unsur-unsur instansi penting dalam desa yang peranannya turut menunjang pembangunan desa, misalnya guru, pimpinan KUD, pimpinan Puskesmas dan lainnya (Siwalette, 2005). Selanjutnya untuk badan Saniri Negeri yang ada atau badan lainnya (lembaga adat), atau yang disebut dengan nama lain, fungsi dan peranannya dapat dipersamakan dengan LMD menurut peraturan daerah, secara bijaksana akan disesuaikan susunan dan tata kerjanya menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah. Pembentukan LMD dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan memperhatikan usaha menyalurkan perwujudan demokrasi Pancasila secara nyata. Penjabaran lebih lanjut adalah yang termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Pemerintahan Desa, dikatakan bahwa LMD berada di bawah kepala desa. LMD sebagai bagian dari pemerintahan desa merupakan lembaga permusyawaratan atau permufakatan yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala dusun, pimpinan-pimpinan lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat. Jumlah anggota LMD paling sedikit 9 orang dan paling banyak 15 orang, tidak termasuk ketua dan sekretaris yang dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (Siwalette, 2005). Penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini untuk konteks Maluku maka dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku No. 410.24-71/081981 tanggal 12 Juni 1981 bahwa struktur pemerintahan desa yang selama ini dikenal dengan lembaga pemerintahan adat seperti Rajadan badan-badan Saniri Negeri lainnya masih diakui sepanjang struktur pemerintahan adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, maka di desa-desa yang dulunya merupakan negeri umumnya struktur pemerintahan desanya adalah kombinasi dari dua sistem pemerintahan desa yang ada.

Pada sistem pemerintahan reformasi maka diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa terdapat pada Bab XI pasal 111 ayat (1) dan (2) yang mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut tentang desa ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang


(38)

ini. Peraturan daerah, sebagaimana di maksud dalam pada ayat (1), wajib me-gakui dan menghormati hak asal-usul dan adat istiadat desa. Menurut Siwalette (2005) bahwa substansi dari klausal pasal tersebut memberikan implikasi yang bisa signifikan terhadap kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan, dalam hal ini akan terdapat sekurang-kurangnya tiga bentuk pe-rubahan sebagai berikut; pepe-rubahan dalam pembuatan regulasi dimana yang se-mula, ditetapkan oleh pemerintah pusat dan berlaku secara nasional, akan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan berlaku secara lokal; perubahan menyangkut besaran dominasi peran; yang semula, desa didominasi oleh institusi birokrasi, ke depan sangat mungkin akan didominasi oleh institusi-institusi masyarakat. Perubahan berkenan dengan bentuk; yang semula bentuk desa praktis seragam, ke depan sangat mungkin menjadi beragam sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dalam perkembangannya maka UU No. 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Adapun substansi dari UU ini adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab secara otonom untuk mengatur daerahnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya dan pendapatan asli daerah (PAD). Penerapan UU No.32 Tahun 2004 semakin memperkuat pemerintah Provinsi Maluku untuk mengakomodir aspirasi masyarakat untuk kembali ke sistem pemerintahan negeri. Oleh karena itu pada tanggal 19 Agustus 2005 dijadikan suatu momentum bagi pemerintah daerah Maluku bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Provinsi Maluku untuk menyatakan secara resmi oleh Gubernur Maluku bahwa sistem pemerintahan desa kembali pada sistem pemerintahan negeri.

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Kondisi perikanan dunia diperhadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Di satu pihak, hasil tangkapan yang didaratkan menunjukkan hasil yang sangat besar namun pada sisi yang lain, sejumlah stok ikan perairan dekat pantai (coastal waters) dan perairan pantai (inshore) yang menipis karena di tangkap secara berlebihan (overfished) (Widodo, 2003). Selain itu, sementara produksi ikan telah meningkat namun suplai ikan pangan yakni ikan untuk konsumsi manusia telah secara nyata menurun. Kenyaatan seperti ini telah menimbulkan


(39)

kesadaran dan kepedulian negara-negara di dunia untuk mengarahkan komunitas dunia untuk mengadopsi sejumlah instrumen dan inisatif internasional yang di-tujukan untuk keperluan konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati serta pre-servasi dan perlindungan atas lingkungan akuatik. Instrumen dan inisiatif inter-nasional utama yang mengarahkan berbagai isu kritis yang relevan dengan per-ikanan adalah sebagai berikut :

(1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982

(2) Konferensi dunia Perikanan untuk Pengelolaan dan Pembangunan Perikanan FAO 1984 (FAO World Fisheries Conference on Fisheries Management and Development, 1984)

(3) Deklarasi Cancun 1992 mengenai penangkapan ikan yang bertanggung jawab (responsible fishing)

(4) UNCED atau Earth Summit di Rio Janeiro, Juni 1992

(5) Code of Conduct for Responsible Fisheries (Kode Etik bagi Perikanan yang Bertanggung jawab) 1995

Beberapa dari instrumen dan inisiatif ini telah diberlakukan secara legal, sedang lainnya di susun dan ditegakkan sebagai dasar dan panduan yang ditujukan untuk membantu menyusun langkah-langkah kebijaksanaan bagi pemerintah-pemerintah pada tingkat nasional, sub regional dan global (Widodo, 2003).

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya per-ikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip untuk pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab di antaranya meliputi:

(1)Pelaksanaan hak menangkap ikan disertai dengan upaya konservasi (2)Pengelolaan perikanan berasaskan pada mempertahankan kualitas,

keanekaragaman hayati dan keberlanjutan

(3)Pengembangan armada sesuai dengan kemampuan reproduksi sumber daya

(4)Perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti-bukti ilmiah

(5)Pengelolaan sumberdaya berdasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary approach)


(40)

(6)Pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya

(7)Mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi

(8)Perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan, serta

(9)Penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controling and surveillance (MCS) (FAO, 1995).

Kebijakan di bawah CCRF diharapkan dapat memberikan tempat yang memadai bagi nelayan tradisional sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkat-kan. Melalui pendekatan tersebut, diharapkan kesadaran nelayan tradisional dalam memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dapat pula berkembang (Suseno, 2004).

Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia mengacu pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pengertian pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainnya yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Lembaran Negara RI, 2004). Pengertian ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Cochrane (2002) bahwa pengelolaan perikanan adalah proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakkan hukum dari aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Dari kedua pengertian pengelolaan perikanan tersebut, maka hakekat pengelolaan perikanan sebenarnya adalah pengelolaan terhadap tingkah laku manusia yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut seperti yang dikemukakan oleh


(41)

Nikijuluw (2002) bahwa pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.

Adapun tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk: (1) Menjaga kelestarian produksi

(2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan dan (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut

(Widodo dan Nurhakim, 2002; Murdiyanto, 2004).

Secara eksplisit dapat di katakan bahwa hakekat tujuan pengelolaan perikanan ini adalah suatu upaya perikanan yang berkelanjutan yaitu pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dan hasil-hasilnya demi untuk kesejahteraan hidup masyarakat baik pada saat ini maupun yang akan datang.

Pengelolaan sumberdaya perikanan selalu diperhadapkan dengan banyaknya permasalahan yang kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang internal maupun ekstenal. Untuk itu, menurut Charles (2001) paradigma pembangunan perikanan harus dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan saling berinteraksi dalam batasan-batasan tertentu untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan yang diharapkan. Sebagai suatu sistem maka komponen-komponen sistem perikanan adalah sebagai berikut :

(1) Sistem alam, yang terdiri dari : ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik (2) Sistem manusia, yang terdiri : nelayan, sektor pasca panen dan

konsumen, rumah tangga nelayan dan masyarakat, sosial/ekonomi/ lingkungan budaya.

(3) Sistem pengelolaan perikanan, yang terdiri : kebijakan dan perencanaan perikanan, pengelolaan perikanan, pengembangan perikanan dan penelitian perikanan (Charles, 2001).

Ketiga komponen sistem tersebut terdapat elemen-elemen sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Selain itu, ketiga komponen itu dipengaruhi juga oleh kekuatan ekternal yang turut berinteraksi bagi kelangsungan sistem tersebut. Pengelolaan perikanan merupakan bagian dari komponen sistem pengelolaan (management system) yang saling berinteraksi dengan elemen kebijakan dan perencanaan, penelitian serta pengembangan


(42)

perikanan. Hal ini berarti bahwa pengelolaan perikanan memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek kebijakan dan perencanaan serta penelitian dan pengem-bangan perikanan. Selain itu, pengelolaan perikanan juga memiliki keterkaitan dengan aspek sumberdaya perikanan itu sendiri dan lingkungannya serta manusia yang memanfaatkan sumberdaya tersebut.

Adapun beberapa pokok isu yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dahuri (2001) adalah:

(1) Pemanfaatan sumberdaya kelautan masih jauh dari optimal

(2) Adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus ke konflik kepentingan antar sektor serta pemegang kepentingan lainnya

(3) Lemahnya peraturan perundangan dalam hal pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan

(4) Kerusakan habitat akibat pengelolaan yang tidak terkendali (5) Masih minimnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan mengakibatkan masih kurang tersentuhnya usaha perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat

(6) Adanya potensi konflik antar daerah yang berbatasan

(7) Masih kurangnya data dan informasi potensi sumberdaya kelautan (8) Belum adanya rencana tata ruang pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil (9) Kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir

(10) Overeksploitasi sumberdaya hayati laut (11) Pencemaran; konflik penggunaan ruang (12) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (13) Keterbatasan dana

(14) Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan kawasan pesisir

(15) Lemahnya penegakkan hukum serta (16) Kemiskinan masyarakat pesisir

Isu-isu pokok pengelolaan tersebut ternyata telah menjadi sorotan dari berbagai pihak baik secara nasional maupun internasional yang memiliki kepen-tingan di dalam mengembangkan pembangunan perikanan secara berkelanjutan.


(43)

Pengelolaan sumberdaya perikanan pada hakekatnya adalah inti dari proses pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Adapun indikator keberlanjutan dapat dilihat dari berbagai komponen. Pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (2001) didasarkan pada empat dasar komponen yaitu; keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial-ekonomi, keberlanjutan masyarakat dan keberlanjutan kelembagaan. Komponen keberlanjutan ini digambarkan dalam bentuk segitiga keberlanjutan yang membentuk dasar suatu kerangka untuk penilaian keberlanjutan yaitu: keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosioekonomi dan keberlanjutan masyarakat. Di antara ketiga komponen keberlanjutan yang membentuk segitiga keberlanjutan tersebut maka komponen keempat yaitu keberlanjutan kelembagaan berada ditengah-tengahnya dimana keberlanjutan kelembagaan merupakan suatu proses akumulasi dari ketiga komponen keberlanjutan serta adanya saling hubungan di antara komponen-komponen tersebut.

Kriteria keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Ostrom (1994) adalah sistem pengelolaan sumberdaya yang dapat dinilai dari sisi sikap masyarakat untuk menjaga lingkungan dan sumberdaya (stewardship) dan kelen-turan (resilience) sistem. Selanjutnya Ostrom (1994) mengajukan indikator ke-berlanjutan lainnya, yaitu kesesuaian atau kecocokan antara pemegang kepenting-an atau semua pihak ykepenting-ang terlibat lkepenting-angsung dalam pelakskepenting-anakepenting-an suatu sistem.

Menurut Novaczek et al. (2001) faktor kunci yang menentukan keberlanjut-an pengelolakeberlanjut-an sumberdaya perikkeberlanjut-ankeberlanjut-an adalah kerjasama dkeberlanjut-an persepsi ykeberlanjut-ang sama dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik manajer maupun pengguna sumberdaya. Selanjutnya Novaczek et al. (2001) membagi kriteria keberlanjutan perikanan dalam pengamatannya terhadap kinerja sasi di Maluku menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Keberlanjutan sosial meliputi : tradisi aksi bersama, kesejahteraan keluarga, pendapatan, keharmonisan masyarakat dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Keberlanjutan biologi meliputi : kondisi kesehatan sumberdaya dan hasil tangkapan. Suatu sistem dikatakan berkinerja baik secara sosial jika sistem tersebut dapat mempertahankan tradisi aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan, menjaga keharmonisan masyarakat serta memberikan


(44)

ruang bagi masalah-masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama. Sementara itu, sistem dikatakan berkelanjutan secara biologi apabila kesehatan sumberdaya dan hasil tangkapan ikan tetap baik.

2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) dapat di-definisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002). Proses pemberian tanggung jawab ini disadari bahwa masyarakat lebih mengetahui keberadaan dan potensi sumberdaya per-ikanan yang dimilikinya sehingga masyarakat diharapkan dapat mengelola sumberdaya perikanan tersebut berdasarkan tujuan-tujuan yang telah disepakati-nya bersama berdasarkan kebutuhan dan keinginandisepakati-nya.

Adapun tujuan yang diharapkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada hakekatnya adalah supaya sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara hati-hati dan terus menerus oleh masyarakat baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Adapun implikasi dari hal ini adalah apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan secara hati-hati dilakukan oleh masyarakat maka akan adanya aliran manfaat yang dirasakan terus-menerus sepanjang tahun. Dengan adanya aliran manfaat seperti ini, nilai sekarang (present value) sumberdaya ikan semakin besar. Sebaliknya, jika penangkapan ikan dilaksanakan secara tidak benar, pemulihan stok tidak akan terjadi dan aliran manfaat yang diperoleh hanya pada saat yang singkat sehingga

present value sumberdaya ikan berkurang (Nikijuluw, 2002).

Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat berupaya untuk mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat wilayah pesisir. Istilah berbasis dapat diartikan bahwa pengguna utama sumberdaya yaitu masyarakat haruslah menjadi pengelola yang baik terhadap sumberdaya mereka. Strategi ini berbeda dengan strategi pengelolaan lain yang bersifat terpusat, yang program kegiatannya berasal dari


(45)

tingkat atas, atau kurang/tidak melibatkan masyarakat pengguna sumberdaya. (Tulungen et al., 2002)

Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat adalah :

(1)Konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumberdaya).

(2)Pemahaman yang mendalam dari masing-masingpelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (Dahuri, 2003). Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat dilembaga-kan melalui tiga cara:

(1)Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun-temurun dan merupakan adat atau budaya dianut selama ini.

(2)Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan. Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak membuat masyarakat makin sejahtera dan bahagia.

(3)Pemerintah memberikan tanggung jawab sepenuhnya dan wewenang pengelolaan sumberdaya kepada masyarakat (Nikijuluw, 2002).

Secara mendasar, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama yang secara luas telah diketahui khalayak umum, yaitu :

(1) Masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem serta konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) Masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan keanekaragaman


(46)

sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran, dsb. Dahuri, 2003).

Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat terlaksana jika masyarakat lokal mampu memanfaatkan potensi alam, budaya, dan infra-struktur yang ada. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami dan sadar akan potensi serta kendala yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mereka. Indikator pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat adalah untuk mempertahankan biodiversitas, melindungi identitas sosial masya-rakat, konsistensi dengan budaya lokal, dan konsistensi dengan aspirasi lokal (Nikijuluw, 2002).

2.4 Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya sudah ada sejak dulu kala, dikenal dengan sebutan sasi Sasi berasal dari kata Sanksi (Witness) yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992).

Untuk mengetahui keberadaan sasi sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat maka terlebih dahulu harus mema-hami sistematika rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Nikijuluw (2005) yang tertera pada Gambar 2.

Sumberdaya perikanan Indonesia dalam kerangka perspektif nasional adalah res communes atau ada pemiliknya seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa bumi dan air serta seluruh kekayaan alam yang dikandung di dalamnya adalah milik negara. Dengan demikian maka sumberdaya perikanan adalah properti negara (state property) dimana pemerintah bertanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan itu. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan sumberdaya perikanan oleh negara dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota. Tanggung jawab pemerintah yaitu


(47)

pada perairan ZEE serta laut teritorial di atas 12 mil. Dengan demikian maka maka pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan ini adalah rezim sentralistik.

Common Pool Wadah bersama

Res communes Res Nullius Properti Bersama Tanpa Pemilik

Defacto

tanpa Pemilik Akses Properti Properti Properti

Terbuka Masyarakat Pemerintah Swasta

De Facto & De Jure

Tanpa pemilik

Laissez-faire Kepemerintahan Masyarakat Kepemerintahan Negara Diatur oleh mekanisme Open Competition Berbasis masyarakat Kepemerintahan internasional dan Regulasi Pasar

Non tradisional Neo Tradiosional Tradisional Sentralisasi Desentralisasi

Non indegenous indegenous Dekonsentrasi Delegasi Devolusi Swastanisasi

Gambar 2 Skema rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ( Nikijuluw, 2005)

Tanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yaitu pada per-airan teritorial hingga 12 mil dari garis pantai. Dengan demikian maka rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku di perairan hingga 12 mil ini adalah rezim desentralistik. Selain kedua bentuk rezim tersebut, di beberapa daerah yang masih kuat adat dan budaya lokalnya, berlaku juga rezim properti masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Keberada-an rezim ini umumnya berdasarkKeberada-an hak ulayat laut (territorial use rihgts), dan hak asli (indigenous rights) yang dimiliki oleh penduduk asli setempat (indigenous people) yang memanfaatkan sumberdadaya secara arif dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi lokal (indigenous knowledge and technologies). Dalam jumlah yang terbatas di beberapa lokasi, hak pengelolaan sumberdaya


(48)

per-ikanan oleh pemerintah diberikan juga kepada perusahaan swasta atau individu. Umumnya perusahaan atau individu menggunakan haknya untuk masuk dan me-manfaatkan wilayah tertentu dalam kegiatan penangkapan atau budidaya ikan. Dalam hubungan ini maka perusahaan atau individu tidak bertindak sebagai pemilik (owner) tetapi pengguna (user) sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2005).

Konsep dasar pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat adalah pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya ikan dimana masyarakat atau komunitas setempat mengambil tanggung jawab utama dalam pe-ngelolaan sumberdaya. Model pepe-ngelolaan ini menempatkan masyarakat setem-pat sebagai pihak yang diberi tanggung jawab dan wewenang oleh pemerintah dalam porsi yang cukup berarti (significant) untuk melakukan pengaturan peman-faatan sumberdaya ikan di wilayahnya. Masyarakat dalam hal ini adalah sekelompok orang atau komunitas di daerah pantai yang mempunyai tujuan yang sama yaitu memanfaatkan sumberdaya ikan dengan mengambil hasil laut di wilayah perairan pantai untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagai mata pencahariannya (Murdiyanto, 2004).

Berdasarkan Gambar 2 di atas maka pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat terdiri dari non tradisional, neo tradisional, dan tradisional. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) tradisional adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang keberadaan-nya berdasarkan adat budaya serta praktik-praktik yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama. Dengan kata lain, PSPBM tradisional umumnya merupa-kan adat istiadat atau tradisi yang masih di pegang dan dianut oleh masyarakat. Sementara itu, PSPBM yang keberadaannya karena sengaja dilahirkan ber-dasarkan aturan-aturan baru yang ditetapkan masyarakat sendiri atau karena di-fasilitasi pemerintah di kenal dengan PSPBM neo tradisional. PSPBM tradisional umumnya berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis sehingga penyebaran informasi tentang aturan-aturan itu dilaksanakan secara verbal, ditransfer dari generasi tua ke muda. Revitalisasi PSPBM tradisional ini menyangkut aturan-aturan tidak ter-tulis yang dibuat menjadi aturan-aturan terter-tulis meskipun masih tetap informal. PSPBM neo tradiosional biasanya tertulis dengan baik karena dibuat berdasarkan perkembangan dan kristalisasi gagasan dari pihak pemerintah dan masyarakat.


(49)

Meskipun demikian, karena tidak atau belum dijadikan sebagai suatu aturan formal pemerintah sehingga masih disebut sebagai PSPBM neo tradisional. Biasanya PSPBM muncul karena adanya pengetahuan baru yang dimiliki masyarakat yang relevan dan mampu menjawab masalah yang mereka hadapi. Kelahiran PSPBM neo tradisional umumnya melalui proses penyadaran masya-rakat yang dilakuikan oleh pihak luar yang lebih mengerti persoalan yang dihadapi masyarakat. Umumnya pihak luar ini adalah lembaga sosial atau pen-damping masyarakat yang tinggal dan hidup bersama masyarakat. (Nikijuluw, 2002). Berdasarkan uraian di atas maka sasi digolongkan sebagai PSPBM tradisional.

Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat yaitu meliputi semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : lola, teripang, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Nikijuluw (2002) mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku khususnya di Pulau Saparua, memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan tersebut memiliki tujuan, kaedah, pelaksanaan, superstruktur organisasi (Nikijuluw, 2002). Tujuan sasi adalah melindungi tradisi, meningkatkan pendapatan desa, melindungi lingkungan dan mencegah sumberdaya dimanfaatkan oleh orang lain. Kaedah sasi adalah : melarang mengambil lola, batu laga, tiram, akar bahar, teripang, caping-caping dan semua jenis ikan pada musim tutup sasi, penangkapan ikan pada saat musim buka sasi, alat tangkap ikan pada saat buka sasi adalah jala, bagan tancap, dan pancing tangan, daerah sasi adalah perairan depan desa dan sepanjang desa hingga kedalaman air 25 meter. Pelaksanaan buka sasi dilaksanakan oleh pemerin-tah desa sedangkan aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa, aturan dilaksanakan oleh pemerintah desa sedangkan pengawasan pelaksanaan aturan sasi oleh polisi desa (Kewang).

Pelaksanaan sasi laut dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode tertentu di kawasan perairan ini. Periode penutupan penangkapan ikan dikenal dengan nama tutup sasi (closed season) sementara itu, periode musim penangkapan ikan dikenal dengan sebutan buka sasi (opened season).


(1)

Lampiran 19 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim sentralisasi

Rezim Sentralisasi

Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim sentralisasi) Langkah 2 (Gabungkan) Sasi

Non

sasi 9.88 sasi Kesempatan 9.88 9.89 5.13 sasi Kepatuhan 5.13 5.31 4.50 sasi Pengambilan Keputusan 4.50 4.87 6.38 sasi Alat Tangkap 6.38 5.22 5.56 sasi

Kesamaan 5.56 5.82 10.00 sasi Tingkat Akses 10.00 9.96 7.50 sasi

Kebersamaan 7.50 7.20 7.13 sasi Kesejahteraan 7.13 6.71 7.63 sasi Kerukunan 7.63 7.13 6.25 sasi Kondisi SDP 6.25 6.04 6.75 sasi Kondisi Hasil Tangkapan 6.75 6.24 9.89 non

5.31 non

4.87 non

5.22 non

5.82 non

9.96 non

7.20 non

6.71 non

7.13 non

6.04 non


(2)

Langkah 3 (Urutkan kecil-besar) Langkah 4 (Beri peringkat) 4.50 sasi 4.50 sasi 1 4.87 non 4.87 non 2 5.13 sasi 5.13 sasi 3 5.22 non 5.22 non 4 5.31 non 5.31 non 5 5.56 sasi 5.56 sasi 6 5.82 non 5.82 non 7 6.04 non 6.04 non 8 6.24 non 6.24 non 9 6.25 sasi 6.25 sasi 10 6.38 sasi 6.38 sasi 11 6.71 non 6.71 non 12 6.75 sasi 6.75 sasi 13 7.13 sasi 7.13 sasi 14 7.13 non 7.13 non 15 7.20 non 7.20 non 16 7.50 sasi 7.50 sasi 17 7.63 sasi 7.63 sasi 18 9.88 sasi 9.88 sasi 19 9.89 non 9.89 non 20 9.96 non 9.96 non 21 10.00 sasi 10.00 sasi 22

Langkah 5 (pisahkan, jumlahkan peringkat)

4.87 non 2 4.50 Sasi 1 5.22 non 4 5.13 Sasi 3 5.31 non 5 5.56 Sasi 6 5.82 non 7 6.25 Sasi 10 6.04 non 8 6.38 Sasi 11 6.24 non 9 6.75 Sasi 13 6.71 non 12 7.13 Sasi 14 7.13 non 15 7.50 Sasi 17 7.20 non 16 7.63 Sasi 18 9.89 non 20 9.88 Sasi 19 9.96 non 21 10.00 Sasi 22

119 134

Langkah 6 (masukkan ke rumus)

(

)

2

1

+

=

S

J

J


(3)

N

Mean

Rank

Sum

of

Ranks

Sasi 11 12.23

134.50

Non Sasi

11

10.77

118.50

Total 22

Test Statistics(b)

VAR000

05

Mann-Whitney U

52.500

Wilcoxon W

118.500

Z

-.525

Asymp. Sig.

(2-tailed)

.599

Exact Sig.

[2*(1-tailed Sig.)]

.606(a)


(4)

Lampiran 20 Urutan kerja uji Mann-Whitney pada rezim otonomi daerah

Rezim Otonomi Daerah

Langkah 1 (Rata-rata per variabel pada rezim otonomi daerah) Langkah 2 (Gabungkan) Sasi

Non

sasi 9.88 sasi Kesempatan 9.88 9.84 6.31 sasi Kepatuhan 6.31 5.80 6.19 sasi Pengambilan Keputusan 6.19 6.56 5.06 sasi Alat Tangkap 5.06 3.78 5.13 sasi

Kesamaan 5.13 5.51 10.00 sasi Tingkat Akses 10.00 9.96 6.75 sasi

Kebersamaan 6.75 6.33 7.88 sasi Kesejahteraan 7.88 7.89 7.00 sasi Kerukunan 7.00 6.22 6.06 sasi Kondisi SDP 6.06 5.00 5.94 sasi Kondisi Hasil Tangkapan 5.94 5.18 9.84 non

5.80 non

6.56 non

3.78 non

5.51 non

9.96 non

6.33 non

7.89 non

6.22 non

5.00 non


(5)

Langkah 3 (Urutkan kecil-besar) Langkah 4 (Beri peringkat)

3.78 non 3.78 non 1

5.00 non 5.00 non 2

5.06 sasi 5.06 sasi 3 5.13 sasi 5.13 sasi 4

5.18 non 5.18 non 5

5.51 non 5.51 non 6

5.80 non 5.80 non 7

5.94 sasi 5.94 sasi 8 6.06 sasi 6.06 sasi 9 6.19 sasi 6.19 sasi 10

6.22 non 6.22 non 11

6.31 sasi 6.31 sasi 12

6.33 non 6.33 non 13

6.56 non 6.56 non 14

6.75 sasi 6.75 sasi 15 7.00 sasi 7.00 sasi 16 7.88 sasi 7.88 sasi 17

7.89 non 7.89 non 18

9.84 non 9.84 non 19

9.88 sasi 9.88 sasi 20

9.96 non 9.96 non 21

10.00 sasi 10.00 sasi 22

Langkah 5 (pisahkan, jumlahkan peringkat)

3.78 non 1 5.06 sasi 3 5.00 non 2 5.13 sasi 4 5.18 non 5 5.94 sasi 8 5.51 non 6 6.06 sasi 9 5.80 non 7 6.19 sasi 10 6.22 non 11 6.31 sasi 12 6.33 non 13 6.75 sasi 15 6.56 non 14 7.00 sasi 16 7.89 non 18 7.88 sasi 17 9.84 non 19 9.88 sasi 20 9.96 non 21 10.00 sasi 22

117 136

Langkah 6 (masukkan ke rumus)

(

)

2

1

+

=

S

J

J


(6)

N

Mean

Rank

Sum

of

Ranks

Sasi 11 12.36

136

Non Sasi

11

10.64

117

Total 22

Test Statistics(b)

VAR000

08

Mann-Whitney U

51.000

Wilcoxon W

117.000

Z

-.624

Asymp. Sig.

(2-tailed)

.533

Exact Sig.

[2*(1-tailed Sig.)]

.562(a)

Keputusan : terima H

0

Keputusan terima H

0

karena W

α

< Mann-Whitney U < W

1-α