lihat dari aspek sosial, politik, ekonomi dan lingkungan. Menurut Kissya 2000, salah satu faktor penyebab perubahan yang melemahkan pelaksanaan sasi adalah
karena hilangnya kewenangan dan peranan lembaga Kewang yang bertanggung jawab dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya. Selain itu, aturan-aturan sasi
tidak tertulis dengan baik dan selalu ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui cerita orang tua. Novaczek et al,. 2001. Perubahan sasi juga disebabkan
karena adanya peningkatan populasi manusia, mobilitas penduduk dan pe- ningkatan pembangunan desa yang cukup tinggi Norimarna, 1998.
Walaupun telah mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pe- ngelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku,
namun persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan sasi laut khususnya di Pulau Saparua adalah masih baik. Hal ini berarti bahwa masyarakat setempat masih
merasakan dampak manfaat dari pelaksanaan sasi bagi kelangsungan hidup masyarakat secara sosial ekonomi. Walaupun mereka sadar akan pengaruh faktor-
faktor internal maupun eksternal yang sulit dikontrol oleh masyarakat itu sendiri. Novaczek et al. 2001 membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di
Maluku Tengah, menyimpulkan bahwa umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa-
desa yang tidak sasi. Keberlanjutan sosial yang dimaksud dilihat pada kehidupan masyarakat yang lebih harmoni, melakukan aktifitas secara bersama-sama dan
mendiskusikan tentang isu-isu desa. Dari keberlanjutan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat untuk desa-desa yang disasi tidaklah lebih baik dari desa-
desa yang tidak sasi.
2.5 Penelitian Sasi Terdahulu
Novaczek et al. 2001 mengevaluasi pelaksanaan sasi di desa-desa Maluku Tengah. Indikator-indikator yang diukur bersifat non ekonomi yaitu : efisiensi,
keberlanjutan sosial, keberlanjutan biologi dan pemerataan. Dengan indikator tersebut disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan sumberdaya perikanan pantai
melalui sasi di Maluku Tengah ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan pada beberapa tahun sebelumnya. Persepsi masyarakat untuk kinerja
sasi pada masa lalu adalah lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang ini.
Pembentukan proses persepsi ini tentunya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor baik yang internal maupun eksternal masyarakat.
Saad 2003 mengkaji struktur kepemimpinan dan kewenangan masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan hak ulayat laut di berbagai tempat di
wilayah Indonesia Timur. Salah satu contoh kasus ialah lembaga Kewang di Maluku. Struktur organisasi Kewang di Desa Haruku terdiri dari kepala Kewang
darat, kepala Kewang laut , pembantu sekel, dua orang sekretaris, seorang
bendahara dan beberapa orang anggota. Kepala Kewang darat dan kepala Kewang laut
saling melengkapi namun dari sisi kedudukannya maka kepala Kewang darat
lebih tinggi. Tugas kepala Kewang darat adalah mengatur tugas pengawasan anggota Kewang, memimpin rapat Kewang, mengadakan koordinasi
dengan Raja kepala desa mengenai waktu tutup dan buka sasi, serta memimpin upacara penutupan dan pembukaan sasi, memberikan hukuman atau denda
terhadap pelanggaran sasi serta melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tutup dan buka sasi, seperti meletakan tanda sasi. Gambaran tentang
struktur kepemimpinan beserta kewenangannya pada masyarakat hukum adat ter- sebut menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat dan institusi kepemim-
pinannya hingga kini masih tetap hidup meskipun selama ini telah diintervensi oleh sistem pemerintahan formal dalam bentuk perundang-undangan tentang
desa. Batas wilayah hak ulayat laut di Desa Haruku tercermin dari petuanan laut yang disebut labuhan desa. Batas labuhan berupa garis imajiner yang ditarik dari
batas petuanan darat, sedangkan ke arah laut sampai pada perbatasan antara laut dangkal dengan laut dalam. Di dalam wilayah labuhan, terdapat juga wilayah
yang pada waktu tertentu ditutup atau dilarang dieksploitasi, meskipun oleh anak negeri sendiri kecuali dengan alat-alat dan jenis ikan tertentu. Wilayah yang
demikian itu disebut dengan labuhan sasi. Labuhan sasi di Desa Haruku terbagi manjadi dua bagian, yaitu labuhan sasi laut dan labuhan sasi ikan lompa. Batas
labuhan sasi laut di sebelah Utara adalah garis imajiner yang ditarik dari sudut
balai desa bagian Utara sepanjang 200 meter ke arah laut, dan sebelah Selatan sampai ke Tanjung Wairusi, yaitu Tanjung yang berada di dekat Fort Newzeland.
Diperkirakan panjang labuhan sasi laut ini mencapai 600 meter. Batas labuhan sasi
ikan lompa yakni Tanjung Wairusi ke Selatan sampai Tanjung Hi-i dengan
panjang sekitar 1500 meter dan lebar ke arah laut 200 meter. Eksklusivitas wilayah labuhan sasi laut disebabkan wilayah tersebut merupakan daerah
mobilitas ikan lompa Trisina baelama dan ikan make. Penutupan wilayah ini agar sumberdaya perikanan yang ada dapat mencapai hasil yang optimal, sehingga
ketika saatnya dibuka untuk dieksploitasi hasilnya cukup untuk dibagikan kepada seluruh warga masyarakat desa Haruku. Selama masa penutupan wilayah,
masyarakat dilarang mengeksploitasi sumberdaya perikanan kecuali dengan alat tangkap tertentu.
Bandjar 1998 mengkaji tentang peran sasi laut dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut terhadap masyarakat pesisir di Maluku. Dinamika sasi
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik modal perseorangankelompok sehingga merubah peraturan-peraturan
sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari penduduk setempat. Dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaat oleh masyarakat kepada
pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya perikanan yang di sasi. Hal ini berdampak negatif terhadap
masyarakat setempat. baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.
Thorburn 1998 meneliti tentang penerapan sasi pada pengelolaan lola Topshell,Trochus niloticus pada desa-desa di bagian Pantai Timur Pulau Kei
Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Lola merupakan salah satu pendapatan utama penduduk Kei hingga kini dan pendapatan daerah Maluku Tenggara.
Penerapan hukum dan peraturan yang tidak konsistensi ditambah dengan kolusi serta kepentingan pribadi dari berbagai kelompok yang terlibat di dalamnya secara
bersama-sama telah mengancam kelestarian baik kelembagaan sasi maupun flora dan fauna yang dikelola dengan berhasil dan secara berkesinambungan di wilayah
ini. Dalam klasifikasi flora dan fauna yang dilindungi tidak tercantum hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan dan pengembangan sistem pengelolaan
bersama yang dapat dilaksanakan serta saling menguntungkan, dimana sistem ini mampu memenuhi kepentingan pihak-pihak terkait dan menerapkan kebijakan
yang berlaku dalam masyarakat setempat dan instansi pemerintah sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, pedagang dan industri.
Arifin and Pradina 1998 yang dikutip Dahuri 2003 mengkaji tentang pengelolaan sumberdaya siput lola di Maluku. Hasil kajiannya memperlihatkan
bahwa perkembangan produksi perikanan lola tidak sesuai dengan gambaran umum tentang suksesnya sistem sasi dalam mengatur sumberdaya alam. Jumlah
cangkang lola yang didaratkan dari hasil buka sasi selama 13 tahun dan produksi hipotetik jika asumsinya lola dipanen setiap tahun menunjukkan bahwa produksi
lola cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sasi belum cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan. Ada empat
faktor yang menyebabkan kegagalan perikanan lola, yaitu : 1 Lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola, seperti kebiasaan
makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa 2 Kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para
pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin 3 Pertambahan penduduk yang tinggi rata-rata 2,1 per tahun
4 Pengambilan lola secara illegal Belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya hayati dengan
hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa
yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama co-
management di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik.
2.6 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan