bertanding, dan Dam sudah mendekati kemenangannya, dengan itu ia dapat membuktikan diri atas kehebatannya tetapi Dam melupakan itu semua. Ia tidak
berpikir soal kemenangannya, dengan merendahkan hati ia berusaha menolong Jarjit.
”Aku memukul dada Jarjit keras-keras---teknik yang diajarkan pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan
darurat.Jarjit bergeming.Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah.Aku memukul lebih keras.Ayolah, Kawan kau bisa
melakukannya.Aku berseru cemas.Tetap tidak ada reaksi.Beruntung, sebelum aku panik, Jarjit tersendak
memuntahkan air.Ia siuman. Aku membantunya bersandar.” Liye, 2011:17
4.3 Sederhana Keperluan Hidup
Sederhana keperluan hidup adalah bersikaprealistis dan proposional, artinya menyelaraskan antara kebutuhan atau keinginan dengan kemampuan
secara proporsional. Ada pepatah yang mengatakan: “Jangan lebih besar pasak daripada tiang”. Bersikaplah yang sedang-sedang saja, tidak boros dan juga tidak
kikir.Seseorang yang hidup proporsional menyeimbangkan antara keinginan, dan hidupnya senantiasa terarah.Ia mampu membedakan mana yang menjadi
kebutuhan dan mana yang hanya sekedar keinginan. Ayah sadar betul akan hal ini, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ia tidak pernah berfoya-foya.
Ia tahu memilah-milah mana yang penting dan mana yang tidak. Seperti yang digambarkan oleh pernyataan Dam berikut ini:
”Ayah, sejak aku mengerti apa itu uang, tidak pernah mau membelikan sesuatu di luar buku, keperluan sekolah, dan
pengeluaran penting lainnya--- jangan Tanya uang saku harian, tidak ada. Dan jelas tiket sepak bola di luar itu
semua.Aku tahu peraturan itu.” Liye, 2011:86
Bukan karena Ayah adalah orang yang kikir, ini terbukti saat ia akhirnya membeli tiket VIP untuk menonton pertandingan sepak bola di stadion, semua itu
karena ia ingin menyenangkan hati Dam, karena ia sayang kepada Dam. Seperti yang terlihat dalam kutipan ”Ayah memutuskan menelepon call center
pemesanan, membeli tiga tiket VIP sekaligus, untukku, Ayah, dan Ibu. Itu benda paling mahal yang dibeli Ayah seumur hidupnya…” Liye, 2011:87
Ayah juga tidak membeli sepeda motor, bukan karena ia enggan, namun ia berpikir selagisepeda motor tidak terlalu menjadi kebutuhan utama, ia masih
bersedia naik angkutan umum. Terlihat dalam kutipan berikut, ”Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku.” Liye, 2011:22
Sama halnya seperti Ayah, Dam juga mewarisi kesederhanaan dari beliau. Saat ia ditawari akan diberi hadiah jika menang lomba renang estafet, ia tidak
menginginkan hadiah mewah layaknya seperti anak-anak lain, yang terbiasa diberi hadiah mainan atau barang-barang mahal. Seperti yang digambarkan dalam
dialog berikut ini: ”Kau ingin hadiah apa jika menang?” Ayah bertanya.
”Aku menggeleng, tidak ingin hadiah apa-apa.Tepatnya sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan,
dan sejenisnya.Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita Ayah, masakan special Ibu, dan jenis hadiah yang tidak
lazim kalian bayangkan.” Liye, 2011:97
Bahkan hingga menjadi seorang mahasiswa ia hanya menggunakan motor vespa sebagai kendaraannya disaat teman-teman sebayanya menggunakan motor
mewah bahkan menggunakan mobil pergi ke kampus. Seperti dalam kutipan berikut, ”Hari itu gerimis membasuh kota. Aku memperlambat laju motor vespa,
berbelok ke gedung jurusan ilmu pasti.” Liye, 2011:243
4.4 Sederhana dalam Sukacita