”Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan
jiwa orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada di dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari
manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun keduanya dapat saling melengkapi
dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia, karena terdapat
kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati oleh psikolog, atau sebaliknya.”
2.2 Landasan Teori
Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche yang artinya jiwa dan logos artinya ilmu pengetahuan. Menurut Walgito dalam Endraswara, 2008:93
”Psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia karena psyche atau psicho mengandung pengertian ”jiwa”. Dengan
demikian, psikologi mengandung makna ”ilmu pengetahuan jiwa.” Walgito dalam Wiyatmi, 2011:7 mengatakan, ”Psikologi merupakan suatu ilmu yang
meneliti serta mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas yang dipandang sebagai manifestasi dari kehidupan psikis manusia.”
Wiyatmi 2011:7 mengemukakan, ”Dalam psikologi, perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme itu.”
Hubungan antara psikologi dan sastra sangat berkaitan.Menurut Semi dalam Endraswara, 2008:7 ”Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan
kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar
subconcius setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.”
Psikologi sastra hadir untuk melengkapi pemahaman sastra. Tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan
pemahaman sastra akan timpang. Daya tarik psikologi sastra adalah terletak pada aneka ungkapan jiwa.
Banyak hal unik dan menarik ketika mengkaji psikologi sastra. Menurut Semi dalam Endraswara, 2008:12 ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi
sastra, yaitu: 1 sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan,
2 dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan 3 sangat
membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, dan absurd, dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya
semacam itu.
Sigmund Freud merupakan tokoh pencetus ide psikologi sastra.Penelitian ini juga menggunakan teori psikoanalisis dari Freud.Dalam teori psikoanalisis,
kepribadian dipandang sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki
fungsi, kelengkapan, dinamisme dan mekanisme masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas.
Koswara 1986:32 mengemukakan, ”Id istilah Freud: das Es adalah sistem kepribadian yang paling dasar,
sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Untuk dua sistem lainnya, id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau
penyalur energi yang dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Freud dalam Taniputera, 2005:44 mengatakan ”Id adalah sistem kepribadian bawaan atau yang paling asli dari manusia. Pada saat dilahirkan,
seseorang hanya memiliki id saja.Unsur-unsur kepribadian ini merupakan tempat bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali”.
Taniputera 2005:45 mengatakan ”Asas yang mengatur kerjanya id adalah asas kesenangan guna mencapai kepuasan atau kebahagiaan nurani.
Seseorang bayi yang menangis keras-keras saat lapar atau saat merasa tidak nyaman adalah karena di dorong oleh id, bahwa dengan dia menangis maka ia
bisa lepas dari ketidaknyamanannya untuk mencapai keinginannya.” Sistem kepribadian yang kedua adalah Ego.Feist dan Gregory J. Feist
2010:32-33 menjelaskan, “Ego atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita.Ego berkembang dari id semasa bayi dan
menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar.Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan reality principle.Sarwono
2000:156-157 juga mengatakan, ”Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan yang ditempuh, memilih
kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya.” Koswara 1986:34 mengemukakan,
”Sekilas akan tampak bahwa antara id dan ego hampir selalu terjadi konflik atau pertentangan. Tetapi bagaimana pun, menurut Freud, ego
dalam menjalankan fungsinya tidaklah ditujukan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau naluri-naluri yang berasal dari id,
melainkan justru bertindak sebagai perantara dari tuntutan-tuntutan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak
lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri-naluri yang tidak layak atau tidak bisa diterima oleh lingkungan. Jadi, fungsi yang
paling dasar dari ego ini tidak lain sebagai pemelihara kelangsungan hidup individu.”
Sistem kepribadian yang ketiga adalah Superego.Taniputera 2005:45 mengatakan, ”Superego merupakan unsur moral atau hukum dari kepribadian
manusia. Ia merupakan aspek moral dari seseorang yang menentukan benar dan salahnya perbuatan yang dilakukan”.
Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id.Sistem ini sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Seorang anak pada waktu kecil mendapat
pendidikan dari orangtua dan melalui pendidikan itulah ia mengetahui mana yang baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang,
mana yang sesuai dengan norma masyarakat, mana yang melanggar norma. Pada waktu anak itu menjadi dewasa, segala norma-norma yang diperoleh melalui
pendidikan itu menjadi pengisi dari sistem superego, sehingga superego berisi dorongan-dorongan untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-
norma masyarakat dan sebagainya. Koswara 1986:34-35 mengemukakan, ”Superego istilah Freud: das
Ueberich adalah sistem kepribadian berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif menyangkut baik-buruk. Menurut Freud, superego terbentuk
melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau bararti bagi individu tersebut seperti orang
tua dan guru.” Feist dan Gregory J. Feist 2010:34 menjelaskan superego memiliki dua
subsistem, suara hati conscience dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-
pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari
kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapat imbalan atas perilaku yang tepat dan
mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan.”
2.3 Tinjauan Pustaka