Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Hipertensi dan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada Periode Januari 2014 – Juni 2014

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 5.SuratKeteranganPengajuan Ethical Clearance Dari KetuaKomiteEtikPenelitianKesehatanFakultasKedokteran USU


(6)

Lampiran 6.SuratKeteranganTelahSelesaiMelakukanPenelitian Di RSUP Haji Adam Malik Medan


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T. M. (2013).Farmakoekonomi Prinsip Dan Metodologi. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Halaman 3, 84-85.

American Diabetes Association (ADA). (2015). Position Statement: Standards of Medical Care in Diabetes 2015. Diabetes Care, vol. (Suppl.1). http://care.diabetes- journals.org. Diakses tanggal: 26 Maret 2015. Halaman 59.

American Heart Association (AHA). (2003). Seventh Report of the Joint National Committee on Preventation, Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure

Maret 2015.Halaman 1286.

Ambarrini, D. (2015). Analisis Efektivitas Biaya Terapi Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Moewardi Tahun 2014

16 November 2015.

Aristika, D. (2014). Deskripsi Karakteristik Penderita, Lama Dirawat (LOS) Dan Epidemologi Penyakit Diabetes Mellitus Pada Pasien JKN Di RSUD

Tugurejo Semarang Triwulan I Tahun

2015.

Balitbang Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Benowit, N. L. (2010). Obat-Obat Kardiovaskular-Ginjal. Di dalam: Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 10. Editor: Bertram G. Katzung. Jakarta: EGC.Halaman 174.

Bootman J. L., Townsend J., dan McGhan. (2001). Principle of Pharmacoconomics. Third Edition. Harvey Whitney Books Company, Cincinnati. Halaman 93.

Chobanian, A. V., George L. B., Henry R. (2003). Seventh Repoth Of The Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure.USA, Departement Of Health And Human Service 2015. Halaman 1208.

Chui, M. A. (2004). Pharmacy Managemen Essentials For All Practice Setting.


(8)

Depkes RI. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3.

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Yee, Gary R. Matzke. (2008).

Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. Amerika: Mc Graw Hill Medical.Halaman 139, 1209.

Drummond, M. F., Stoddart G. L., dan Torrance G. (1997). Methods For The Economic Evaluation Of Health Care Programmes.Canada: Hamilion.Halaman 46.

European Society of Hypertension (ESH) and European Society of Cardiology (ESC). (2013). Guidelines for the Management of Arterial Hypertension.

1286.

Fauci, S. A., Kasper L. D., Longo L. D., Braunwald E. (2008). Harrion’s

Principles of Internal Medicine. Edisi XVII. New York: Mc Graw Hills Company. Halaman 1403.

International Diabetes Federation. (2011). One Adult In Ten Will Have Diabetes

By

Kurniawan, A. (2002). Gizi Seimbang untuk Mencegah Hipertensi. Jakarta: Yarsi. Halaman 1.

Mansjoer, A., Triyanti, K., dan Savitri, R. (2000). Kapita Selekta Kedokteran.Volume 1. Jakarta: Media Aesculapius.

Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Edisi V. Penerjemah: Mathilda Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 350.

Mycek, Mary, J., Richard, A., Harvey, dan Pamela, C., Champe. (2001).

Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Editor: Huriawati Hartanto. Jakarta: Widya Medika.Halaman 181, 264.

Nasir, Abd, Abdul M., Ideputri. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan.

Yogyakarta: Nuha Medika.Halaman 196, 199-200.

Nolte, M.S. (2010). Hormon Pankreas Dan Obat Antidiabetes. Di dalam:

Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 10. Editor: Bertram G. Katzung. Jakarta: EGC. Halaman 704, 710-711, 714.

Phillips, T.D. (2012). What is Cost-effectiveness Diakses tanggal: 23 Oktober 2015.

Price, A.S., dan Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Jakarta: EGC.


(9)

Rahajeng, E., dan Tuminah, S. (2009). Prevalensi Hipertensi Dan Determinannya Di Indinesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Volum: 59.Nomor: 12. Halaman 583.

Rascati, K.L. (2009). Essential of Pharmacoeconomics. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins.Halaman 82.

Render, B., dan Herizer, J. (2001).Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi.Edisi I. Jakarta: Salemba Empat.Halaman 315, 318.

Santoso, M. (2004). Gambaran Pola Kompikasi Penderita Hipertensi yang Dirawat Inap di RSUD Koja. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran UKRIDA/SMF Juli 2015.

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta: EGC. Halaman 102.

Siregar, C., dan Amalia, L. (2004).Farmasi Rumah Sakit, Teori Dan Penerapan.Jakarta: Kedokteran EGC. Halaman 54.

Smeltzer, Suzanne, C., dan Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi VIII. Volume: 2. Halaman 301.

Soegondo S. (2004). Diagnosis dan Klasifikasi DM Terkini dalam Penatalaksanaan Diabetis Mellitus. Jakarta: FKUI.

Suherman. S. K. (2007). Insulin dan Antidiabetik Oral. Dalam Buku Farmakologi Terapi Edisi V. Jakarta: FK UI.Halaman 485.

Sukandar, Elin, Y., Retnosari, A., Joseph, S., da, Ketut, A., (2009). Iso Farmakoterapi. Jakarta Barat: PT. ISFI Penerbitan.Halaman 35.

Timur, W.M., Tri, M., Andayani., dan Riyanta, A. (2012). Analisis Efektivitas-Biaya Kombinasi Antihipertensi Oral Pasien Hipertensi Rawat Jalan di

RSUD Tugurejo Semarang Periode

2007

September 2015.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting (Khusus Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya). Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 547.

Vogenberg, R. F. (2001). Introduction to Applied Pharmacoeconomics. Editor: Zollo S. McGraw-Hill Companies, United States of America.


(10)

Yogiantoro, M. (2006). Ilmu PenyakitDalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 599-603


(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dirancang

secara deskriptif bersifat retrospektif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

observasi, pengumpulan datasekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien hipertensi dan diabetes melitus rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik periode Januari 2014 - Juni 2014.

3.2.2 Sampel

Sampel yang dipilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah penentuan sampel yang didasarkan atas karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nasir, 2011). Yang termasuk kriteria inklusi adalah:

a. pasien hipertensi dan diabetes melitus yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Januari 2014- Juni 2014.


(12)

b. pasienhipertensi dan diabetes melitus yang menggunakanBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

c. Pasien hipertensi dan diabetes melitus yang pulang dengan cara berobat jalan dan diizinkanpulang oleh dokter.

Kriteria Ekslusi

Kriteria Eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri subjek yang tidak dapat dipilih sebagai sampel adalah:

a. data status pasien yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas terbaca.

b. pasien hipertensi dan diabetes melitus yang pulang dengan status PAPS (pulang atas permintaan sendiri) dan meninggal dunia.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 - Juli 2015.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data rekam medis secara retrospektif pada kasus hipertensi dan diabetes melitusbulan Januari 2014 - Juni 2014. Data yang diambil meliputi:


(13)

a. data karakteristik pasien yaitu nomor rekam medis, nama pasien jenis kelamin dan usia.

b. data klinis pasien yaitu diagnosis utama, jenis obat dan lama rawat inap. c. data biaya langsung pasien meliputi biaya penggunaan obat dan biaya

rawat inap.

3.4.2Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan diatur ke dalam Microsoft Excel.

b. dianalisis biaya, lama rawat inap dan keberhasilan terapi.

c. hasil pengolahan data kemudian dibahas secara farmakoekonomi. d. pengambilan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data.

3.5 Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif.Besarnya biaya dihitung untuk memperoleh ada atau tidaknya efektivitas biaya pada pasien hipertensi dan diabetes melitus yang menjalani rawat inap.

Analisis efektifitas biaya dihitung dengan menggunakan rumus Cost Effectiveness Average (CEA) yang dihitung berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan pasien hipertensi dan diabetes melitus terhadap efektivitas penggunaaan obat dengan rumus sebagai berikut:

CEA =

������������������� ���������������������������


(14)

Perbandingan antaramodel terapi lainnya dianalisis

menggunakanIncremental Cost Effectiveness Ratio (ICER) dengan rumus sebagai berikut:

ICER =

���������� −���������� ���������������� −���������������� 3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

a. biaya langsung medis adalah biaya yang dikelaurkan oleh BPJS atau Pemerintahan terkait dengan jasa pelayanan medis meliputi biaya penggunaan obat dan biaya rawat inap.

b. cost-effectiveness analysis adalah nilai ratio yang diperoleh dengan cara membandingkan total biaya yang harus dikeluarkan dengan outcame yang dihasilkan.

c. kategori target (outcome) pada:

i. hipertensi: Tercapainya tekanan darah target ≤140/90 mmHg (Dipiro, 2008).

ii. diabetes melitus: Tercapainya kadar gula darah target 140-199 mg/dl (Dipiro, 2008).

3.7Langkah Penelitian

Langkah penelitian yang dilaksanakan:

a. meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.


(15)

b. meminta izin Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas.

c. melakukan penelitian di bagian Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, dengan mengambil data rekam medis pasien hipertensi dan diabetes melitus pada periode Januari 2014 - Juni 2014.

d. menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.


(16)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Karakteristik Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dari data rekam medis pasien hipertensi dan diabetes melitus rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) periode Januari 2014 - Juni 2014 diperoleh data seluruh pasien yang menjalani perawatan adalah sebanyak 246 pasien, yaituterdiri dari 132 pasien hipertensi dan 114 pasien diabetes melitus. Data yang didapatkan dari rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 92 pasien, yaitu terdiri dari 56 pasien hipertensi dan 36 pasien diabetes melitus. Data hasil penelitian kemudian diolah dengan analisis farmakoekonomi sehingga didapatkan kelompok yang paling cost-effective.

Karakteristik pasien hipertensi dikelompokan berdasarkan jenis kelamin,lama rawat inap, terapi obat dan usia, tercantum pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Pasien Hipertensi

No Karakteristik Subjek Jumlah Persentase ( % )

1 Jenis Kelamin

Laki-Laki 25 44,6

Perempuan 31 55,4

2 Lama Rawat

≤ 4 hari 17 30,4

≥ 5 hari 39 69,6

3 Terapi Antihipertensi

Monoterapi 31 55,4

Kombinasi 25 44,6

4 Kelompok Usia

31 - 40 tahun 1 1,8

41 - 50 tahun 7 12,5

51- 60 tahun 19 33,9

61 - 70 tahun 15 26,8

71 - 80 tahun 11 19,6


(17)

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien hipertensi rawat inap RSUP H. Adam Malik pada periode Januari 2014 – Juni 2014 adalah 56 orang. Berdasarkan jenis kelamin, bahwa jumlah pasien perempuan 31 orang (55,4%)dan jumlah pasien laki-laki 25 orang (44,6%).

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh bahwa prevalensi perempuan dengan hipertensi lebih tinggi daripada laki-laki.Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan hormon, salah satunya yaitu kejadian menopause pada wanita, dimana rata-rata umur wanita mengalami menopause sekitar 50 tahun (Santoso, 2004).Hasil ini sesuai dengan penelitian Timur (2012) yang melaporkan bahwa perempuan beresiko lebih tinggi mengidap hipertensi dibandingkan dengan laki-laki.

Lamarawat inap adalah waktu yang dibutuhkan pasien pada pengobatan hipertensi dan diabetes meletus sampai pasien dinyatakan sembuh oleh dokter dan diizinkan pulang.Pada hipertensi berdasarkan lama rawat inap lebih kecil dari sama dengan 4 hari sebanyak 17 orang (30,4%) dan pada kategori dengan lama rawat inap lebih besar dari sama dengan 5 hari sebanyak 39 orang (69,6%).

Berdasarkan terapi antihipertensi yang digunakan pada pasien ini adalah bentuk monoterapi dan kombinasi. Pada antihipertensi pasien yang menerima monoterapi adalah sebanyak 31 orang (55,4%) dan yang menerima terapi kombinasi sebanyak 25 orang (44,6%).

Terapiantihipertensi bentuk monoterapi banyak digunakan karena biaya yang lebih murah dan pada beberapa kasus efek samping yang timbul lebih sedikit.Namun demikian, kebanyakan pasien hipertensi membutuhkan dua atau lebih obat kombinasi, yang masing-masing bekerja dengan mekanisme yang


(18)

berbeda (polifarmasi).Dasar pemikiran polifarmasi adalah tiap-tiap obat bekerja pada salah satu dari serangkaian mekanisme regulasi yang saling mengkompensasi untuk mengendalikan tekanan darah (Benowitz, 2010).

Tujuan pengobatan secara keseluruhan adalah menurunkan tekanan darah serendah mungkin dengan efek samping yang minimal, mengembalikan segala ketidaknormalan yang terkait dengan hipertensi, memperpanjang masa hidup dan memelihara mutu kehidupan penderita, sehingga obat harus diketahui untuk menentukan dan menyesuaikan aturan obat terpilih (Benowit, 2010).

Berdasarkan usia dikelompokan menjadi 6 kelompok, yaitu pasien hipertensi yang terbanyak pada kelompok 51 - 60 tahun sebanyak 19 orang (33,9%), pada kelompok 61-70 tahun sebanyak 15 orang (26,8%) merupakan tingkat kedua, pada kelompok 71-80 tahun 11 orang (19,6%), pada kelompok 41-50 tahun sebanyak 7 orang (12,5%), pada kelompok 81-90 tahun sebanyak 3 orang (5,4%) dan yang terkecil pada kelompok 31-40 tahun sebanyak 1 orang (1,8%).

Berdasarkan penelitian terlebih dahulu diperoleh bahwa prevalensi 51 - 60 tahun merupakan hasil terbanyak (Ambarrani, 2015). Dikarenakan angka kejadian hipertensi meningkat pada usia diatas 40 tahun, dengan bertambahnya usia tekanan darah semakin meningkat akibat bertambahnya pengapuran dindingpembuluh yang menyebabkan elastisitas dinding pembuluh bertambah. Hal inilah yang dapat mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi (Tjay& Rahardja, 2002).

Karakteristik pasien diabetes melitus dikelompokan berdasarkan jenis kelamin,lama rawat inap, terapi obat dan usia, tercantum pada Tabel 4.2.


(19)

Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Pasien Diabetes Melitus

No Karakteristik Subjek Jumlah Persentase ( % ) 1 Jenis Kelamin

Laki-Laki 20 55,6

Perempuan 16 44,4

2 Lama Rawat

≤ 4 hari 8 22,2

≥ 5 hari 28 77,8

3 Terapi Antidiabetes

Monoterapi 29 80,6

Kombinasi 7 19,4

4 Kelompok Usia

31 - 40 tahun 1 2,8

41 - 50 tahun 6 16,7

51 - 60 tahun 18 50,0

61 - 70 tahun 7 19,4

71 - 80 tahun 4 11,1

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah pasien diabetes melitus diperoleh pada pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan yaitu diperoleh pasien laki-laki sebanyak 20 orang (55,6%) dan pasien perempuan sebanyak 16 orang (44,4%).

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh bahwa prevalensi laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (Aristika, 2014).Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki resiko diabetes meningkat lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.Para ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia menyatakan hal tersebut, setelah mengamati sebanyak 51.920 laki-laki dan 43.137 perempuan.

Penyebab lebih tingginya pada laki-laki yang menderita diabetes melitus dikarenakan pola hidup yang kurang sehat (merokok, komsumsi alkohol, kopi) yang mana dapat memicu stress oksidatif jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan(Nolte, 2010).


(20)

Berdasarkan lama rawat inap pada pasien diabetes melitus, dengan lama rawat inap kecil dari sama dengan 4 hari sebanyak 8 orang (22,2%) dan pada kategori dengan lama rawat inap besar dari sama dengan 5 hari sebanyak 28 orang (77,8%).

Berdasarkan terapi antidiabetik pasien yang menerima bentuk monoterapi sebanyak 29 orang (80,6%) dan yang menerima terapi kombinasi sebanyak 7 orang (19,4%).

Pemberian terapi antidiabetik bentuk kombinasi dengan insulin pada waktu sebelum tidur dianjurkan sebagai terapi tambahan untuk antidiabetik orat pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak berespon dengan terapi oral secara maksimal. Praktek klinis kini mencakup pemberian sulfonylurea misalnya tolbutamid (Nolte, 2010).

Berdasarkan usia pada pasien diabetes melitus yang terbanyak pada kelompok 51-60 tahun sebanyak 18 orang (50%), pada kelompok 61-70 tahun sebanyak 7 orang (19,4%) merupakan tingkat kedua, pada kelompok 41-50 tahun sebanyak 6 orang (16,7%), pada kelompok 71-80 tahun sebanyak 4 orang (11,1%) dan yang terkecil pada kelompok 31-40 tahun sebanyak 1 orang (2,8%).

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh bahwa prevalensi terbanyak yaitu pada kelompok usia 51 - 60 tahun (Aristika, 2014). Hal ini menggambarkan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa mulai pada usia dari 45 tahun keatas akan menjadi faktor resiko diabetes melitus (Goldberg dan Coon, 2006).


(21)

4.2Regimen Terapi

Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan menggunakan rekam medis pasien, terapi antihipertensi rawat inap RSUP H. Adam Malik dikelompokkan menjadi 7 regimen terapi.Dan terapi antidiabetik dikelompokan menjadi 3 regimen terapi.Dalam hal ini regimen terapi antihipertensi dan antidiabetik adalah kelompok monoterapi dan kombinasi yang digunakan pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit sampai pasien dinyatakan sembuh oleh dokter dan diizinkan pulang, dirujuk pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Regimen Terapi Antihipertensi

No Regimen Terapi Jumlah Pasien Persentase (%)

1 Amlodipin 10 17,86

2 Captopril 17 30,36

3 Valsartan 4 7,14

4 Amlodipin+Captopril 11 19,65

5 Amlodipin+Valsartan 6 10,71

6 Captopil + Valsartan 4 7,14

7 Amlodipin+Captopril+Valsartan 4 7,14

Berdasarkan Tabel 4.3 regimen terapi antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah regimen terapi captopril yaitu sebanyak 17 orang (30,36%). Kemudian terbanyak kedua pada regimen terapi kombinasi amlodipin+captopril yaitu sebanyak 11 orang (19,65%), berikutnya pada regimenterapi amlodipin yaitu sebanyak 10 orang (17,86%), berikutnya regimen terapi kombinasi amlodipin+valsartan yaitu sebanyak 6 orang (10,71%) dan ada 3 regimen terapi yang masing-masing regimen terapinya terdiri dari 4 orang (7,14%) yaitu regimen terapi valsartan, kombinasi captopril+valsartan dan kombinasi amlodipin+captopril+valsartan.

Regimen terapi antidiabetik yang digunakan sampai pasien dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter, dirujuk pada Tabel 4.4.


(22)

Tabel 4.4Regimen Terapi Antidiabetik

No Regimen Terapi Jumlah Pasien Persentase (%)

1 Analog Insulin 22 61,0

2 Metformin 7 19,5

3 Analog Insulin+Metformin 7 19,5

Berdasarkan Tabel 4.4 regimen terapi antidiabetik yang paling banyak digunakan regimen terapi analog insulin sebanyak 22 orang (61%) dan 2 regimen terapi yang masing-masing regimen terapinyaterdiri dari 7 orang (19,5%) yaitu regimen terapi metformin dan kombinasi analog insulin+metformin.

4.3 Analisis Efektivitas Biaya

Analisis efektivitas biaya digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek yang berbeda (Rascati, 2009).Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobataan (outcome). Kenyatannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas

(utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan yang diberikan (Kemenkes RI, 2013).

Pembahasan tentang persentase outcome pasien hipertensi dan diabetes melitus yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.Pada penelitian ini outcome dinilai berdasarkan lamanya hari rawat inap hingga pasien dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang oleh dokter, dirujuk pada Tabel 4.5.


(23)

Tabel 4.5Outcome Pasien Hipertensi

No Regimen Terapi Jumlah

Pasien Pasien Yang Mencapai Tekanan Darah Target (%) Outcome

1 Amlodipin 10 8 80

2 Captopril 17 14 82

3 Valsartan 4 3 75

4 Amlodipin+Captopril 11 9 81

5 Amlodipin+Valsartan 6 5 83

6 Captopil + Valsartan 4 3 75

7 Amlodipin+Captopril+Valsartan 4 3 75 Berdasarkan hasil dari Tabel 4.5 menunjukkan bahwa 4 regimen terapi yaitu amlodipin, captopril, amlodipin+captopril, amlodipin+valsartan menghasilkan outcome yang berbeda maka akan dianalisis dengan metode analisis efektivitas biaya. Tetapi ada 3 regimen terapi yang menghasilkan outcome yang sama sehingga tidak dapat dianalisis dengan metode analisis efektivitas biaya (CEA).

Outcome yang dihasilkan pada pasien diabetes melitus, dirujuk pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Outcome Pasien Diabetes Melitus

No Regimen Terapi Jumlah

Pasien Pasien Yang Mencapai Kadar Gula Darah Target (%) Outcome

1 Analog Insulin 22 15 68

2 Metformin 7 5 71

3 Analog Insulin+Metformin 7 6 86

Berdasarkan hasil dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa seluruh regimen terapi menghasilkanoutcome yang berbeda maka akan dianalisis dengan metode analisis efektivitas biaya (CEA).


(24)

4.3.1 Biaya Langsung Medis

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikelurkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan dan lama perawatan (Vogenberg, 2001).Data biaya langsung medis yang digunakan dalam penelitian ini hanya biaya obat antihipertensi atau antidiabetes dan biaya rawat inap. Biaya lain seperti konsultasi dokter, pemeriksaan laboratorium tidak termasuk ke dalam biaya langsung medis dikarenakan setiap pasien memiliki biaya yang berbeda-beda, dirujuk pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Distribusi Biaya Penggunaan Antihipertensi No Regimen Terapi Jumlah

Obat (unit) Jumlah Pasien Total Biaya Obat (Rp) Biaya Obat (100 Orang) (Rp)

1 Amlodipin 160 10 165.600 1.656.000

2 Captopril 223 17 24.530 144.294

3 Valsartan 21 4 102.900 2.572.500

4 Amlodipin+Captopril 255 11 80.775 734.318 5 Amlodipin+Valsartan 75 6 209.035 3.483.917 6 Captopil + Valsartan 70 4 132.240 3.306.000 7 Amlodipin+Captopril+

Valsartan

156 4 154.420 3.860.500

Berdasarkan distribusi biaya penggunaan antihipertensi yang telah dikonversikan 100 orang, diperoleh bahwa biaya obat yang paling tinggi adalah golongan ARB yaitu valsartan sebesar Rp 2.572.500,-. Biaya obat yang paling rendah adalah golonganACEI yaitu captopril sebesar Rp144.294,-.

Pada kombinasi 2 golongan antihipertensi, biaya yang paling tinggi adalah golongan CCB dan ARB yaitu kombinasiamlodipin+valsartan dengan biaya obat Rp 3.483.917,-. Biaya yang paling rendah adalah golongan CCB dan ACEI yaitu kombinasi amlodipin+captopril dengan total harga Rp 734.318,-.


(25)

Pada kombinasi 3 golongan antihipertensi adalah golongan CCB, ACEI dan ARB yaitu kombinasi amlodipin+kaptopril+valsartan dengan total harga Rp 3.860.500,- dan merupakan biaya tertinggi dari seluruh regimen terapi antihipertensi.

Distribusi biaya penggunaan antidiabetik, dirujuk pada Tabel 4.8. Tabel 4.8Distribusi Biaya Penggunaan Antidiabetik

No Regimen Terapi Jumlah Obat (unit) Jumlah Pasien Total Biaya Obat (Rp) Biaya Obat (100 Orang) (Rp) 1 Analog Insulin 31 22 3.645.600 16.570.909

2 Metformin 106 7 21.836 311.943

3 Analog Insulin +Metformin

192 7 1.096.098 15.658.543

Berdasarkan distribusi biaya penggunaan antidiabetikyang telah dikonversikan 100 orang, diperoleh bahwa biaya antidiabetes paling tinggi adalah analog insulin sebesar Rp 16.570.909,-. Biaya yang paling rendah adalah golongan biguanida yaitu metformin sebesar Rp 311.943,-.

Biaya rawat inap perhari adalah Rp 45.000,- maka biaya rawat inap pasien hipertensi dihitung sebagai berikut, dirujuk pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Distribusi Biaya Rawat Inap Pasien Hipertensi No Kelompok

Pasien Dengan Terapi Rata-Rata Lama Rawat Inap (hari) Jumlah Pasien Biaya Rawat Inap (Rp) Biaya Rawat Inap (100 Orang) (Rp)

1 Amlodipin 11,00 10 4.950.000 49.500.000

2 Captopril 6,50 17 4.995.000 29.382.353

3 Valsartan 4,25 4 765.000 19.125.000

4 Amlodipin+

Captopril

5,54 11 2.745.000 24.954.546

5 Amlodipin+

Valsartan

6,00 6 1.620.000 27.000.000

6 Captopil+

Valsartan

9,75 4 1.755.000 43.875.000

7 Amlodipin+

Captopril+ Valsartan


(26)

Berdasarkan Tabel 4.9 distribusi biaya rawat inap pasien hipertensi yang telah dikonversikan 100 orang, biayatertinggi adalah pada regimen terapi amlodipin+captopril+valsartan sebesar Rp. 57.375.000,- dengan rata-rata lama rawat inap selama 12,75 hari dan jumlah pasien 4 orang. Sedangkan biaya terendah adalah pada regimen terapi valsartan sebesar Rp. 19.125.000,- dengan rata-rata lama rawat inap 4,25 hari dan jumlah pasien 4 orang.

Distribusi biaya rawat inap pasien diabetes melitus, pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Distribusi Biaya Rawat Inap Pasien Diabetes Melitus

No Kelompok Pasien Dengan Terapi Rata-Rata Lama Rawat Inap (hari) Jumlah Pasien Biaya Rawat Inap (Rp) Biaya Rawat Inap (100 Orang) (Rp) 1 Analog Insulin 11,73 22 11.610.000 52.772.727 2 Metformin 6,14 7 1.935.000 27.642.857 3 Analog insulin

+ Metformin

16,43 7 5.175.000 73.928.571

Berdasarkan Tabel 4.10 distribusi biaya rawat inap pasien diabetes melitus yang telah dikonversikan 100 orang, biayatertinggi adalah pada regimen terapi analog insulin+metformin sebesar Rp. 73.928.571,- dengan rata-rata rawat inap selama 16,43 hari dan jumlah pasien 7 orang. Sedangkan biaya terendah adalah pada regimen terapi metformin sebesar Rp. 27.642.857,- dengan rata-rata lama rawat inap 6,14 hari dan jumlah pasien 7 orang.

4.3.2 Total Biaya Langsung

Total biaya langsung yang dihitung dalam penelitian ini hanya biaya obat dan biaya rawat inap selama pasien dirawat di rumah sakit, sebagai berikut pada Tabel 4.11.


(27)

Tabel 4.11 Total Biaya LangsungUntuk 100 Pasien Hipertensi

No Kelompok Pasien Dengan Terapi

Biaya Langsung Total Biaya Langsung (Rp) Biaya Obat (Rp) Biaya Rawat Inap (Rp)

1 Amlodipin 1.656.000 49.500.000 51.156.000 2 Captopril 144.294 29.382.353 29.526.647 3 Valsartan 2.572.500 19.125.000 21.697.500 4 Amlodipin+ Captopril 734.318 24.954.546 25.688.864 5 Amlodipin+ Valsartan 3.483.917 27.000.000 30.483.917 6 Captopil+ Valsartan 3.306.000 43.875.000 47.181.000 7 Amlodipin+ Captopril+

Valsartan

3.860.500 57.375.000 61.235.500

Berdasarkan Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa total biaya langsung pasien yang paling tinggi adalah regimen terapi amlodipin+captopril+valsartan dengan total biaya Rp 61.235.500,- dan total biaya langsung paling rendah adalah regimen terapi valsartan dengan total biaya Rp21.697.500,-.

Total biaya langsung untuk pasien diabetes melitus, pada Tabel 4.12. Tabel 4.12 Total Biaya LangsungUntuk 100 Pasien Diabetes Melitus

No

Kelompok Pasien Dengan Terapi

Biaya Langsung Total Biaya Langsung (Rp) Biaya Obat (Rp) Biaya Raway Inap (Rp)

1 Analog Insulin 16.570.909 52.772.727 69.343.636 2 Metformin 311.943 27.642.857 27.954.800 3 Analog Insulin+Metformin 15.658.543 73.928.571 89.587.114

Berdasarkan Tabel 4.12 dapat dilihat bahwa total biaya langsung pasien yang paling tinggi adalah regimen terapi analog insulin+metformin dengan total biaya Rp 89.587.114,- dan total biaya langsung paling rendah adalah regimen terapi metformin dengan total biaya Rp27.954.800,-.


(28)

4.4 Perhitungan Cost EffectivenessRatio(CER)

Hasil dari CER pada umumnya digambarkan sebagai rasio biaya/efektivitas (C/E ratio), pembilang dari rasio menunjukan total biaya dan penyebut dari rasio merupakan variabel outcome (Andayani, 2013). Yang mana semakin rendah nilai CER, maka semakin cost-effective karena dengan biaya perawatan kesehatan yang rendah mampu memberikan hasil terapi yang lebih tinggi (Dipiro, 2005).Dicantum pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Perhitungan CER Pada Terapi Pasien Hipertensi No Regimen

Terapi

Total Biaya Langsung (100 Orang)

(Rp)(C)

(%) Outcome

(E)

CER (C)/(E) (Rp/mmHg)

1 Amlodipin 51.156.000 80 639.450

2 Captopril 29.526.647 82 360.081

3 Amlodipin+ Captopril

25.688.863 81 317.146

4 Amlodipin+ Valsartan

30.483.916 83 367.276

Berdasarkan Tabel 4.13 pilihan regimen terapi yang paling cost-effective

berdasarkan perhitungan CER adalah amlodipin+captopril sebesar Rp 317.146,- per persentase outcome. Penggunaan terapi yang paling tidakcost-effective adalah amlodipin sebesar Rp 639.450,- perpersentase outcome merupakan nilai CER yang paling tinggi.


(29)

Tabel 4.14 Perhitungan CER Pada Terapi Pasien Diabetes Melitus No Regimen Terapi Total Biaya Langsung (100 Orang) (Rp)(C) (%) Outcome (E) CER (C)/(E) (Rp/mg/dl) 1 Analog Insulin 69.343.636 68 1.019.759

2 Metformin 27.954.800 71 393.729

3 Analog insulin + Metformin

89.587.114 86 1.041.710

Berdasarkan Tabel 4.14 pilihan regimen terapi yang paling cost-effective

berdasarkan CER adalah metformin sebesar Rp 393.729,-per persentase outcome. Penggunaan terapi yang paling tidak cost-effective adalah analog insulin+metformin sebesar Rp 1.041.710,-per persentase outcome, merupakan nilai CER yang paling tinggi.

4.5 Perhitungan Incremental Cost Effectiveness Ratio(ICER)

Incremental Cost Effectiveness Ratio(ICER) berfungsi sebagai rasio perbedaan antara biaya dari 2 alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif dengan menentukan keputusan dari sudut pandang dana dengan efektif yang lebih baik (Drummond, 1997). Dicantum pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Perhitungan ICER Pada Terapi Pasien Hipertensi

N o Regimen Terapi Total Biaya Langsung (100 Orang) (Rp)(C) (%) Outcome

(E) ΔC

ΔE ICER

(ΔC/ ΔE) 1

Amlodipin 51.156.000 80

-25.467.137 1 -25.467.137 Amlodipi+

Captopril

25.688.863 81

2

Amlodipi+ Captopril

25.688.863 81

3.837.784 1 3.837.784

Captopril 29.526.647 82

3

Captopril 29.526.647 82

957.269 1 957.269

Amlodipi+ Valsartan


(30)

Berdasarkan Tabel 4.15 dari perhitungan nilai ICER regimen terapi yang paling cost-effectiveadalah amlodipin+captopril dengan nilai ICER terendah Rp. -25.467.137,-dan regimen terapi yang tidak cost-effective adalah captopril dengan nilai ICER tertinggi Rp.3.837.784,-.

Perhitungan ICER pada terapi diabetes melitus, dicantum pada Tabel 4.16. Tabel 4.16 Perhitungan ICER Pada Terapi Pasien Diabetes Melitus

N o Regimen Terapi Total Biaya Langsung (100 Orang) (Rp)(C) (%) Outcome

(E) ΔC

ΔE ICER

(ΔC/ ΔE)

1

Analog Insulin

69.343.636 68

-41.388.833 3 -13.796.278 Metformin 27.954.800 71

2

Metformin 27.954.800 71

61.632.314 15 4.108.821 Analog

Insulin + Metformin

89.587.114 86

Berdasarkan Tabel 4.16 dari perhitungan nilai ICER regimen terapi yang paling cost-effective adalah metformin dengan nilai ICER terendahRp. -13.796.278,-dan regimen terapi yang tidak cost-effective adalah analog insulin+metformin dengan nilai ICER tertinggi Rp. 4.108.821,-.

Gambar 4.1Cost-effectiveness Plane (Bootman, et al., 2009) Kuadran IV

Lebih mahal, kurang efektif

Kuadran I

Lebih mahal, lebih efektif Kuadran III

Lebih murah, kurang efektif

Kuadran II

Lebih murah, lebih efektif BIAYA (y)


(31)

Poin pada plane dimana pertemuan garis X dan garis Y menunjukan poin awal dari biaya dan efektivitas pembanding standar. Poin dalam plane untuk alternatif yang dibandingkan dengan standar, menunjukan seberapa besar selisih biaya dibandingkan poin awal Y dan seberapa besar selisih efektivitas dibanding poin awal X. Jika suatu alternatif lebih mahal dan lebih efektif dibandingkan pembanding standar, maka poin berasa di kuadran I. Jika suatu alternatif lebih murah dan lebih efektif, poin akan berada pada kuadran II. Jika suatu alternatif lebih murah dan kurang efektif, poin akan berada pada kuadran III. Jika suatu alternatif lebih mahal dan kurang efektif, maka poin akan berada pada kuadran IV.

Pada regimen terapi antihipertensi, berdasarkan perhitungan CER danICER yang paling cost-effective adalah regimen terapi amodipin+captopril merupakan nilai CER dan ICER terendah.Intervensi nilai yang paling cost-effective ialah dilihat dari nilai CER dan ICER terendah (Philips, 2009). Dengan harga lebih murah dan memberikan efektivitas yang lebih baik yang mana terletak pada kuadran II

Pada regimen terapi antidiabetes, berdasarkan perhitungan CER dan ICER yang paling cost-effective adalah regimen terapi metformin yang mana dengan harga lebih murah dan memberikan efektivitas yang lebih baik sehingga terletak pada kuadran II.


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

a. Berdasarkan analisis cost-effectiveness:

i. Pada pasien hipertensi, biaya regimen terapi yang paling efektif

adalah regimen terapi amlodipin+captopril dengan nilai CER Rp. 317.146,- dan nilai ICER Rp. -25.467.137,-.

ii. Pada pasien diabetes melitus, biaya regimen terapi yang paling

efektif adalah regimen terapi metformin dengan nilai CER Rp. 393.729,- dan nilai ICER Rp. -13.796.278,-.

b.Berdasarkan demografi pasien:

i. Pada pasien hipertensi, berdasarkan jenis kelamin pasien laki-laki

sebanyak 23 orang (44,6%) dan pasien perempuan sebanyak 31 orang (55,4%). Berdasarkan lama rawat inap, kecil dari sama dengan 4 hari sebanyak 17 orang (30,4%) dan lama rawat inap besar dari sama dengan 5 hari sebanyak 39 orang (69,6%). Berdasarkan terapi antihipertensi, terapi monoterapi sebanyak 31 orang (55,4%) dan terapi kombinasi sebanyak 25 orang (44,6%). Berdasarkan kelompok usia yang paling banyak adalah pada usia 51-60 tahun sebanyak 19 orang (33,9%).

ii. Pada pasien diabetes melitus, bedasarkan jenis kelamin pasien

laki-laki sebanyak 20 orang (55,6%) dan pasien perempuan sebanyak 16 orang (44,4%). Bedasarkan lama rawat inap kecil dari sama dengan 4 hari sebanyak 8 orang (22,2%) dan lama


(33)

rawat inap besar dari sama dengan 5 hari sebanyak 28 orang (77,8%). Berdasarkan terapi antidiabetes, terapi monoterapi sebanyak 29 orang (80,6%) dan terapi kombinasi sebanyak 7 orang (19,4%). Berdasarkan kelompok usia yang paling banyak adalah pada usia 51-60 tahun sebanyak 18 orang (50%).

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang diberikan antara lain:

a. Untuk pihak rumah sakit setelah mengetahui hasil penelitian ini

diharapkan:

i. Pada penyakit hipertensi diharapkan menggunakan regimen terapi

kombinasi amlodipin + captopril menjadi terapi pilihan utama karena telah terbukti secara farmakoekonomi.

ii. Pada penyakit diabetes melitus diharapkan menggunakan regimen

terapi metformin menjadi terapi pilihan utama karena telah terbukti secara farmakoekonomi.

b. Untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian analisis


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

Menurut American Heart Association (AHA),hipertensi didefinisikan sebagai meningkatnya tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg.Menurut The Eighth Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII)hipertensi merupakan keadaan yang paling sering ditemukan pada pelayanan kesehatan dan selanjutnya mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal ginjal dan kematian bila tidak dideteksi dan diterapi secepat mungkin.

2.2 Klasifikasi Hipertensi

Tabel 2.1Klasifikasi tekanan darah menurut ESH/ESC (2013)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal <120 Dan < 80

Normal 120-129 Atau 80-84

Prehipertensi 130-139 Atau 85-89

Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99 Hipertensi tahap II 160-179 Atau 100-109

Hipertensi tahap III ≥180 Dan ≥ 110

2.3 Etiologi

Hipertensi dapat terjadi akibat proses penyakit lain, seperti penyakit diabetes melitus, gagal ginjal dan lain sebagainya, tetapi lebih dari 90% pasien menderita hipertensi esensial, suatu penyakit yang mana meningkatnya tekanan darah tanpa diketahui penyebabnya. Riwayat hipertensi dalam keluarga


(35)

meningkatkan kemungkinan seseorang menderita penyakit hipertensi. Hipertensi esensial terjadi empat kali lebih banyak dibandingkan hipertensi sekunder (hipertensi yang disebabkan adanya penyakit lain). Faktor-faktor lingkungan seperti cara hidup dengan stress, diet tinggi natrium, kegemukan dan merokok (Mycek, 2001).

2.4 Faktor Risiko

Risiko pada hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik/keturunan dan usia. Faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas, nutrisi dan merokok (Yogiantoro, 2006).

a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi i. Genetik/keturunan

Riwayat keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lebih besar, terutama pada hipertensi primer. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan lebih besar kemungkinan untuk menderita hipertensi jika orangtuanya menderita hipertensi.Jika salah satu dari orangtua kita menderita hipertensi, maka 25% kemungkinan kita akan menderita hipertensi. Jika kedua orangtua kita menderita hipertensi, kemungkinan kita akan menderita penyakit tersebut 60% (Yogiantoro, 2006).

ii. Usia

Hipertensi erat kaitannya dengan usia, semakin bertambahnya usia seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Pertambahan usia


(36)

mengakibatkan berkurangnya elastisitas arteri, sehingga risiko terkena hipertensi lebih besar, oleh karena ituprevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas usia 60 tahun. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi(Yogiantoro, 2006).

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi i. Stres

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takutdan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organ atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Yogiantoro, 2006).

ii. Obesitas

Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh >25 (berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter), juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Curah jantung dan volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari


(37)

penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Penelitian epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi(Yogiantoro, 2006).

iii. Nutrisi

Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam tersebut sehingga akan kembali pada keadaan hemodinamik yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh (Yogiantoro, 2006).

Kebiasaan konsumsi lemak jenuh juga erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh yang berasal


(38)

dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah(Yogiantoro, 2006).

iv. Merokok

Hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko kardiovaskular telah banyak dibuktikan. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Tekanan darah akan tetap tinggi sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan (Yogiantoro, 2006).

2.5 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensinI oleh angiotensin converting enzyme (ACE).Angiotensin converting enzyme memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.Mula-mula, renin (diproduksi oleh ginjal) akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah


(39)

menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH).Antidiuretik diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Sherwood, 2001).

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang


(40)

lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat (Sherwood, 2001).


(41)

2.6 Farmakoterapi Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensimenurut JNC VIII pada Gambar 2.1.

Dewasa usia ≥ 18 tahun dengan hipertensi

Melakukan perubahan gaya hidup

Menetapkan target tekanan darah dan memulai terapi penurun tekanan darah berdasarkan usia, diabetes dan Chronic Kidney

Disease (CKD)

Usia ≥ 60 tahun

Usia < 60 tahun

Semua usia Diabetes Tanpa CKD

Semua usia CKD dengan atau tanpa diabetes

Target TD SBP <150 mmHg

DBP <90 mmHg

Target TD SBP <140 mmHg

DBP <90 mmHg

Target TD SBP <140 mmHg

DBP <90 mmHg

Target TD SBP <140 mmHg

DBP <90 mmHg

Memulai terapi dengan diuretik thiazide atau ACEI atau ARB atau CCB, tunggal atau kombinasi

Memulai terapi dengan diuretik thiazide atau CCB, tunggal atau kombinasi

Memulai terapi ACEI atau ARB, tunggal atau kombinasi dengan obat kelas lain

Pilihan strategi titrasi terapi obat

a. Maksimalkan terapi pertama sebelum menambahkan yang kedua atau b. Menambahkan terapi kedua sebelum mencapai dosis maksimum dari terapi

pertama atau


(42)

2.6.1 Angiotensin Converting EnzymeInhibitor(ACEI)

Angiotensin Converting Enzymemembantu produksi angiotensin II berperan dalam pengaturan tekanan darah.Angiotensin Converting Enzyme

didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.Tempat utama produksi angiotensin II adalah pada pembuluh darah bukan ginjal (Sukandar, 2009).

Angiotensin Converting EnzymeInhibitormenurunkan produksi angiotensin II (mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiostensin II), meningkatkan kadar bradikinin dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah, contoh dari ACEI ialah captopril dan enalapril (Fauci, 2008).

2.6.2 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Angiotensin Receptor Blocker bekerja dengan cara menghambat secara langsung pada reseptor angiotensin II yang terdapat pada jaringan. Obat-obat golongan ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin dibandingkan dengan ACEI, sebab terdapat enzim-enzim lain ACE yang dapat menghasilkan angiotensin II.Obat ARB menimbulkan keuntungan yang serupa dengan ACEI pada pasien yang menderita gagal jantung dan ginjal kronik.Efek sampingnya mirip juga dengan efek samping ACEI, termasuk risiko pada kehamilan.Batuk dan angioedema dapat terjadi namun lebih jarang pada pengguna ARB dibandingkan pada pengguna ACEI, contoh ARB ialah valsartan dan losartan (Benowitz, 2010).


(43)

2.6.3 Calcium Channel Blocker (CCB)

Calcium Channel Blokermenyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah.Antagonis kanal kalsium pada hidropiridin dapat menyebabkan aktifasi refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik negatif (Sukandar, 2009).Mekanisme kerjanya dalam hipertensi adalah menghambat influks kalsium ke dalam sel otot polos arteri, contoh CCB ialah amlodipin dan nifedipin (Benowitz, 2010).

2.6.4 Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara membuang kelebihan air dan natrium di dalam tubuh melalui pengeluaran urin. Berkurangnya air dalam darah mengakibatkan volume darah dan curah jantung menurun, sehingga pekerjaan jantung ringan.Menurunnya tekanan darah dapat dilihat dengan terjdinya diuresis.Natrium diduga berperan dalam tahanan vaskular dengan meningkatnya kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf, kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraseluler.Efek-efek tersebut dilawan oleh diuretik atau oleh pembatasan natrium (Benowitz, 2010).

Diuretik efektif menurunkan tekanan darah sebesar 10-15 mmHg pada sebagian besar penderita dan diuretik sering memberikan efek pengobatan yang memadai bagi hipertensi esensial ringan dan sedang.Untuk hipertensi yang lebih berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan obat vasodilator untuk


(44)

mengontrol kecenderungan terjadinya retensi natrium yang disebabkan oleh obat-obat tersebut.Respon vaskular yaitu kemampuan untuk konstriksi atau dilatasi dikurangi oleh obat-obat simpatologik dan vasodilator, sehingga pembuluh darah berlaku seperti suatu tabung yang tidak fleksibel.Sebagai akibatnya, tekanan darah menjadi sangat peka terhadap volume darah. Pada hipertensi berat banyak menggunakan obat kombinasi, sehingga tekanan darah bisa dikontrol dengan baik bila volume darah adalah 95% dari normal tetapi sukar dikontrol bila volume darah adalah 105% dari normal, contoh diuretik tiazid ialah klorotiazid dan hidroklorotiazid (Benowitz, 2010).

2.6.5 Penghambat Reseptor Beta(β Bloker)

Βeta bloker menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas.Mekanisme utama β bloker adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif dan penghambat β non selektif.Penghambat β selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok β2.Penghambat β non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2.Adrenoseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu.Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, sedangkan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas dan otot halus arteri.Perangsangan reseptor β1 menaikan denyut jantung, kontraktilitas dan pelepasan renin.Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi. Atenolol, βxolol, bisoprolol dan metoprolol adalah penyekat kardio selektif, jadi lebih aman penggunaannya daripada penyekat yang non selektif seperti


(45)

propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, penyakit arteri perifer dan diabetes melitus(Depkes,RI., 2006).

2.7Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer, dkk.,2000). Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011), seseorang dapat didiagnosis sebagai penderita diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi serta dengankadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126mg/dl.

2.8Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes melitusmenjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe I, diabetes melitus tipe II, diabetes gestational dan diabetes melitus tipe khusus (Price dan Wilson, 2005).

1) Diabetes Tipe I

Diabetes tipe I (insulin-dependent diabetes mellitus atau IDDM) merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune T- Cell attack) yang menghancurkan selβpankreas 80-90%, yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Pasien dengan diabetes tipe I membutuhkan penyuntikan insulin langsung untuk mengendalikan kadar glukosa darah. (Smeltzer dan Bare, 2001).


(46)

2) Diabetes Tipe II

Diabetes melitus tipe II(non-insulin-dependent diabetes mellitus atau NIDDM) adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin.Diabetes melitus ini terjadi karena sel β pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup dan tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes melitus tipe II dapat terjadi pada usia pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan (Smeltzer dan Bare, 2001).

3) Diabetes Gestastional (Diabetes Kehamilan)

Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes gestastional dapat hilang setelah proses persalinan selesai (Smeltzer dan Bare, 2001).

4) Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes melitus tipe lain merupakan diabetes yang terjadi karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta mengganggu sel β pankreas sehingga mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (Smeltzer dan Bare, 2001).

2.9 Etiologi

Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes melitus tipe I, namun yang pasti penyebab utamanya adalah faktor genetik atau


(47)

ketururnan oleh orangtua kepada anak.beberapa faktor pendukung yang lain di lingkungan dapat memicu sistem imun untuk mengganggu produksi hormone insulin.

Menurut Smeltzer danBare(2002) DM tipe II disebabkan sel β tidak cukup menghasilkan insulin dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.Sel βtidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Dengan demikian, sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

2.10 Faktor Risiko

Diabetes melitus tipe I tidak bisa menular melainkan diturunkan oleh orangtua kepada anak.Anggota keluarga yang menderita DM tipe I memiliki kemungkinan lebih besar terserang DM dibandingkan dengan keluarga yang tidak pernah terserang DM.

Diabetes melitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor risiko diabetes melitus tipe II antara lain gaya hidup, usia, ras atau suku bangsa, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe II dan obesitas(Soegondo, 2004).

a. Gaya Hidup

Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes melitus.Diet dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya


(48)

diabetes melitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

b. Usia

Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting. Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.

c. Ras atau suku bangsa

Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai, dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

d. Riwayat keluarga

Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes akan meningkat. Ada empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal autosomal.Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20 keluarga.Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes.Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100%.Risiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIDDM lebih tinggi dibanding diabetes tipe I. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga


(49)

keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas.

e. Obesitas

Overweight atau obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan.Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi, dislipidemia, stroke, diabetes tipe II, disfungsi pernafasan, gout, osteoartritis dan jenis kanker tertentu.Penyakit kronik yang paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi dan hiperkolesterolemia (Soegondo, 2004).

2.11 Patofisiologi

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel β pankreas.Insulin yang dikeluarkan oleh sel β ini dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme menjadi energi. Bila insulin tidak ada, maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak ada sumber energi (Soegondo, 2004).

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor risiko seperti yang dijelaskan sebelumnya diduga berperan penting dalam terjadinya resistensi insulin.Pada DM tipe II jumlah sel β berkurang sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat (Soegondo, 2004).


(50)

2.12Farmakoterapi Diabetes Melitus 2.12.1 Insulin

Insulin adalah salah satu hormon didalam tubuh manusia yang dihasilkan atau diproduksi oleh sel β pulau langerhans di dalam kelenjar pankreas.Insulin bekerja dengan membuka pintu sel jaringan seperti otot dan jaringan lemak, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel (Soegondo, 2004).

Adapun insulin yang digunakan, yaitu: a. Insulin yang bekerja cepat (rapid-acting)

Tiga analog insulin injeksi yang bekerja cepat yaitu insulin lispro, insulin aspart dan insulin glulisin yang memungkinkan menggantikan insulin pada waktu makan secara lebih fisiologis karena kerjanya yang cepat dan puncak kerjanya yang segera tercapai lebih menyerupai sekresi insulin endogen normal dibandingkan insulin reguler dan memiliki keuntungan lain karena insulin dapat diberikan segera sebelum makan tanpa mengganggu kontrol glukosa.

b. Insulin yang bekerja singkat (short-acting)

Insulin regular adalah suatu insulin yang bekerja singkat serta dibuat melalui teknik DNA rekombinan untuk memproduksi suatu molekul yang identik dengan insulin manusia. Secara spesifik bila insulin regular diberikan pada waktu makan, kadar glukosa darah meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan kadar insulin sehingga menyebabkan hiperglikemia postprandial pada awalnya dan peningkatan risiko terjadinya hipoglikemia postprandial selanjutnya. Insulin regular harus disuntikkan 30-45 menit atau lebih lama sebelum makan untuk meminimalkan ketidaksesuaian tersebut (Nolte, 2010).


(51)

c. Insulin dengan masa kerja sedang

Insulin NPH (neutral protamine hagedorn) atau isofan adalah insulin yang dengan masa kerja sedang serta absorpsinya dan mula kerja yang lambat dibuat dengan menggabungkan insulin dan protamin dalam jumlah yang sesuai sehingga kedua zat tersebut tidak ada yang tidak membentuk kompleks “isofan”. Dosis akan mengatur profil kerja insulin tersebut, secara spesifik dalam dosis kecil, insulin ini memiliki puncak kerja yang lebih rendah dan lebih awal serta lama kerja yang pendek, hal yang sebaliknya akan terjadi pada dosis besar.

d. Insulin dengan masa kerja sangat lama (ultra–long-acting)

Insulin glargin adalah insulin yang masa kerjanya sangat lama dan “tidakberpuncak” (memiliki plateau konsentrasi plasma yang lebar).Insulin ini dirancang sebagai pengganti insulin basal.Insulin glargin adalah analog insulin yang larut dalam larutan asam namun terpresipitasi pada pH tubuh yang lebih netral setelah disuntikkan secara subkutan. Masing-masing molekul insulin perlahan-lahan larut dari depot kristalin dan menyebabkan tercapainya kadar insulin sirkulasi yang rendah dan berkesinambungan. Insulin glargin biasanya diberikan sekali sehari (Nolte, 2010).

2.12.2 Sulfonilurea

Mekanisme kerja obat ini yaitu merangsang pelepasan insulin dari sel β pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor. Golongan obat ini yang utama digunakan adalah tolbutamid, turunan generasi kedua gliburid dan glipizid.Diberikan peroral, obat-obat ini terikat pada protein serum, dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh hati atau ginjal.Kontraindikasi


(52)

pemakaian obat golongan ini adalah pada pasien insufisiensi hati atau ginjal karena ekskresi obat-obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia.Sulfonilurea dapat menembus plasenta dan dapat mengosongkan insulin dari pankreas janin, karena itu pada perempuan hamil seharusnya pengobatan dengan insulin (Mycek, 2001).

2.12.3 Biguanida

Dari turunan ini hanya metformin yang masih tersedia.Selain metformin harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian sediaan tersebut, khususnya pada pasien penderita insufisiensi ginjal. Setelah pemberian metformin secara oral pada penderita diabetes melitus, kadar gula darah menurun sesuai dosis yang diberikan. Pembebasan insulin dari sel β tidak terjadi, maka efek hipoglikemik tidak perlu ditakutkan. Metformin diindikasikan pada penderita diabetes dewasa yang tidak tertolong dengan diet (Mutschler, 1999).

2.12.4 Tiazolidindion

Tiazolidindion meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati dan jaringan lemak dan menghambat glukoneogenesis dan menurunkan resistensi insulin. Kerja farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Akibatnya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan oto meningkat. Dua tiazolidendion kini tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon.Suatu senyawa yang sempat ada dipasaran yaitu troglitazon telah ditarik karena menimbulkan toksisitas hati (Nolte, 2010).


(53)

2.12.5 Penghambat alfa glukosidase

Akarbose bekerja dengan cara menghambat alfa-glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan kerbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Akarbose dimetabolisme di saluran cerna oleh bakteri intestinal dan enzim pencernaan.Fraksi metabolit ini diabsorbsi dan dieksresikan melalui urin. Efeknya adalah menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Penghambat alfa glukosidase dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien usia lanjut atau pada pasien dengan didominasi hiperglikemia postprandial. Obat ini harus diberikan diawal saat makan (Sukandar, 2009).

2.13 Farmakoekonomi

Farmakoekonomi didefinisikan sebagai analisis biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik, studi farmakoekonomi adalah proses identifikasi, pengukuran dan membandingkan biaya, resiko dan manfaat dari program pelayanan atau program terapi dan menentukan alternatif yang memberikan outcame kesehatan terbaik untuk sumber daya yang digunakan. Farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur dan membandingkan biaya sumber daya yang digunakan dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistik) dari produk dan pelayanan farmasi.Bagi praktisi, digunakan sebagai pertimbangan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan produk atau pelayanan farmasi dibandingkan dengan konsekuensi (outcame) yang diperoleh untuk menetapkan alternatif mana yang memberikan keluaran optimal per rupiah yang dikeluarkan.Informasi ini dapat membantu pengambilan keputusan klinik dalam memilih terapi yang paling cost-effective.Biaya didefinisikan sebagai nilai dari


(54)

sumber daya yang digunakan dalam suatu program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan sebagai efek, output atau outcame dari suatu program atau terapi obat (Andayani, 2013).

Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien. Informasi farmakoekonomi pada saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan (Trisna, 2010).

2.14 Tipe Farmakoekonomi

Tipe farmakoekonomi meliputi Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), Cost-Utility Analysis (CUA),Cost of Illness (COI), Cost-consequence dan teknik analisis ekonomi lain yang memberikan informasi yang penting bagi pembuat keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Setiap metode, mengukur biaya dalam rupiah tetapi berbeda dalam mengukur dan membandingkan outcome kesehatan (Vogenberg, 2001).


(55)

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Cost-minimization analysisadalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh (Orion, 1997).Cost-minimization analysismempunyai kelebihan yaitu analisis yang sederhana karena autcome yang diasumsikan ekivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi yang dibandingkan (Andayani, 2013).

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Cost-effectiveness analysis adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, yang berpengaruh terhadap hasil perawatan kesehatan.Cost-effectiveness analysismerupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost

dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai

discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).

Cost-effectiveness analysismengukur outcome dalam unit natural (misalnya mmHg, kadar kolesterol, hari bebas gejala). Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah outcome lebih mudah diukur jika dibandingan dengan cost-utility analysisi (CUA) atau cost-benefit analysis (CBA) dan klinisi lebih familiar dengan mengukur outcometersebut selalu dicatat dan dievaluasi dalam uji klinik maupun praktek klinik (Andayani, 2013).


(56)

Hasil akhir perhitungan CEA dapat juga berupa cost-effectiveness ratio

(CER) yaitu rasio perkiraan biaya program atau kegiatan tertentu dengan jumlah efek atau hasil (output). Jadi keputusan akhir dalam memilih antara alternatif kegiatan adalah dengan membandingkan cost-effectiveness ratio dari tiap-tiap kegiatan dan dihitung menggunakan rumus berikut:

CER =

������������������� ���������������������������

Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) didefinisikan sebagai rasio perbedaan antara biaya dari dua alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif dan dihitung berdasarkan persamaan berikut:

ICER =

���������� −���������� ���������������� −����������������

c. Cost-Benefit Analysis (CBA)

Cost-benefit analysismerupakan alternatif yang dipilih tidak mempunyai

outcome yang sama. Baik outcome maupun biaya yang terjadi dihitung dan diukur dengan menggunakaan satuan uang.Cost-benefit analysisdihitung dengan membedakan alternatif mana yang mempunyai keuntungan relatif lebih besar dibandingkan dengan antara biaya yang terjadi. Penelitian CBA dilakukan bila sumber daya terbatas dan pilihan harus dilakukan terhadap beberapa alternatif yang paling menguntungkan (Vogenberg, 2001).Kelebihan dari CBA adalah beberapa outcome yang berbeda dapat dibandingkan, dimana outcome diukur dalam nilai mata uang (Andayani, 2013).


(57)

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

Cost-utility analysisdisebut juga Analisis Biaya Kegunaan. Penetapan

output dalam bentuk outcome, yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti CEA, cost-utility analysis (CUA) membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversikan kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup, kekurangannya bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

Kelebihan CUA adalah outcome kesehatan yang berbeda dan penyakit dengan beberapa outcome dapat dibandingkan dengan menggunakan satu unit pengukuran, yaitu QALYs.Pada analisis CUA yaitu menggabungan morbiditas dan mortalitas kedalam satu unit pengukuran tanpa perlu mengukur nilai moneter dari suatu outcome kesehatan (Andayani, 2013).

2.15Kategori Biaya

Kategori biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori (Bootman, 2005).

a. Biaya Langsung Medis (Direct Medical Cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan biaya yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi kepada


(58)

pasien.Misalnya biaya obat, test diagnostik, kunjungan dokter, jasa perawat atau biaya kamar rawat inap.

b. Biaya Langsung Non-Medis (Direct Non-Medical Cost)

Biaya langsung non-medis adalah biaya untuk pasien atau keluarga pasien yang terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak terkait langsung dengan terapi.Contoh dari biaya langsung non-medis ialah transportasi dari rumah ke rumah sakit, jasa pelayanan anak-anak pasien atau penginapan dan makanan yang dibutuhkan keluarga selama terapi berlangsung.

c. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan waktu pasien tidak bisa bekerja untuk mendapatkan terapi atau produktivitas yang berkurang karena pengaruh penyakit atau terapi yang diterima.Sebagai contoh pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan nafkah pada keluarganya atau pendapatan berkurang karena kematian yang cepat.

d. Biaya Tidak Terduga (Intangible Cost)

Biaya tidak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan karena efek samping penyakit atau efek samping dari terapi. Antara lain seperti biaya untuk nyeri atau cacat, kehilangan kebebasan dan efek samping.


(59)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan silent killer yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum.Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara di dunia (Depkes,RI., 2006).

Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui.Penyebab tekanan darah terjadinya peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah tepi dan peningkatan volume aliran darah (Kurniawan, 2002).

Menurut JNC-VII, perkiraan prevalensi di seluruh dunia untuk hipertensi mungkin mencapai 1 miliar orang dan kira-kira 7,1 juta kematian setiap tahun berkaitan dengan hipertensi.World Health Organization(WHO) melaporkan bahwa tekanan darah yang suboptimal (tekanan darah sistolik >115 mmHg) berkaitan dengan 62% dari penyakit serebrovaskuler dan 49% dari penyakit jantung, dengan sedikit variasi atas dasar jenis kelamin. Tekanan darah yang suboptimal merupakan risiko nomor satu yang berkaitan dengan kematian di seluruh dunia (Chobanian, et al., 2003).Angka kejadian hipertensi di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2001, penduduk menderita hipertensi sebanyak


(60)

8,3% kemudian pada tahun 2004, penduduk Indonesia menderita hipertensi meningkat menjadi 27,5% (Rahajeng, 2009).

Penyakit diabetes melitus adalah suatu gejala klinik yang ditandai oleh keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi dan disertai dengan peningkatan glukosa darah,ditandai dengan meningkatnyakonsentrasi glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl. Bila diabetes tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein serta meningkatkan risiko timbulnya gangguan mikrovaskular atau makrovaskular (Suherman, 2007).

Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar.Data dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita diabetes pada tahun 2011 mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030. Diabetes telah menjadi penyebab dari 4,6 juta kematian. Selain itu pengeluaran biaya kesehatan untuk diabetes telah mencapai 465 miliar USD.Dan dipekirakan sebanyak 185 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap diabetes.Sebesar 80% penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.Terdapat 50 juta orang menderita diabetes di Asia Tenggara. Jumlah penderita diabetes terbesar berusia antara 40-59 tahun (IDF, 2011)

Kriteria diagnosis seseorang menderita DM menurut ADA (American Diabetes Association)

a. Pemeriksaan HbA1C dengan nilai ≥6,5%

b. Kadar glukosa puasa (fasting plasma glucose) ≥126 mg/dl (70 mmol/l). c. Kadar glukosa setelah 2 jam makan ≥200 mg/dl (11.1 mmol/l).


(1)

vi

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGOBATAN

HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

PADA PERIODE JANUARI 2014 -JUNI 2014.

ABSTRAK

Hipertensiadalahkeadaandimanamenigkatnyatekanandarah diatas

normal(

140/90 mmHg).Prevalensinya di Indonesia 32,2% danhanya 24,2%

daripasienhipertensitersebut yang didiagnosisdanmendapatkanperawatan.

Diabetes melitus (DM) adalahpenyakitgangguanmetabolisme yang

ditandaidengankadarglukosadarahmelebihinilai normal atauhiperglikemia (

≥200

mg/dl). Data daririsetkesehatandasar2013, prevalensi DM sebayak2,1%

danhanya50% yang sadar (diantaranya 30% yang mauberobatteratur).

Analisisefektivitasbiayadigunakan agar

dapatmembantudalammengambilkeputusanpemilihanobat yang

efektifsecaramanfaatdanbiaya.

Tujuanpenelitianiniadalahuntukmengevaluasiefektivitasbiayaantihipertensi

dananti diabetic padapasien yang dirawatinap di RumahSakitUmumPusat (RSUP)

Haji Adam Malik Medan.

Penelitianinibersifat

non-eksperimental

denganmenggunakan data yang

diambildarirekammedispasiensecararetrospektifperiodeJanuari 2014 - Juni 2014.

Metodeanalisisbiaya yang digunakanadalah

Cost Effectiveness Analysis

(CEA)

.

Metode

Cost Effectiveness Average Ratio

(CEA Ratio) dan

Incremental

Cost Effectiveness Ratio

(ICER)

digunakanuntukmenganalisisantihipertensidanantidiabetik yang paling

cost-effective.

Hasilpenelitianmenunjukkanregimenterapiantihipertensi yang

digunakanialahamlodipin, captopril, valsartan, amlodipin+ captopril, amlodipin+

valsartan, captoril+ valsartan danamlodipin+ captopril+

valsartan.Padaregimenterapiantidiabetik yang digunakanialah analog insulin,

metformin dan analog insulin+ metformin.

Antihipertensi yang paling

cost-effective

berdasarkan CEAdan ICER

adalahamlodipin+ captopril danantidiabetik yang paling

cost-effective

berdasarkan

CEAdan ICER adalah metformin.

Kata kunci:

Hipertensidan Diabetes Melitus, AntihipertensidanAntidiabetik,

AnalisisEfektivitasBiaya, RSUP H. Adam Malik Medan.


(2)

vii

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS OF HYPERTENSION

AND DIABETES MELLITUS TREATMENT

IN HAJI ADAM MALIK PUBLIC HOSPITAL

PERIOD JANUARY 2014 - JUNE 2014

ABSTRACT

Hypertension is a condition where increased blood pressure levels

exceeds the normal value(

140/90 mmHg). Prevalence in Indonesia 32.2% and

only 24.4% of patients with hypertension are diagnosed and get

treatment.Diabetes mellitus (DM) is a chronic metabolic disorder characterized by

blood glucose levels exceeded the normal value or hyperglycemia(

≥200 mg/dl)

.

Data from basic health research 2013, prevalence DM 2.1% and only 50% were

aware (including 30% were treated regulary).Health financing in Indonesia has

increased,

cost-effectiveness analysis

is needed to assist in decision these

medicines are effective in benefit and costs.

This study aimed was to evaluate cost effectivenessof antihypertensive

and antidiabetic provided to inpatients in Haji Adam Malik Public Hospital of

Medan.

This research was a non-eksperimental and used retrospective method.

This study was undertaken using medical record of patients at period of January

2014 - June 2014. The evaluation was conducted using

Cost-Effectiveness

Analysis

(CEA) method. Cost Effectiveness Average Ratio (CEA Ratio) and

Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER) methods were used to analyze

model of antihypertensive andantidiabetic therapy which is the most cost-effective

one.

The result of this study showed thatantihypertensive treatment

areamlodipin, captopril, valsartan, amlodipin+ captopril, amlodipin+ valsartan,

captoril+ valsartan danamlodipin+ captopril+ valsartan.

Antidiabetictreatmentareanalog insulin, metforminand analog insulin+ metformin.

Antihypertensive therapy which is the most cost-effective based CEA and

ICER is amlodipin+ captopril andantidiabetictherapy which is the most

cost-effective based CEA and ICER is metformin.

Keywords:

Hypertension and Diabetes Mellitus, Antihypertensive and

Antidiabetic, Cost Effectiveness Analysis,RSUP H. Adam Malik

Medan.


(3)

viii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Masalah ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1Hipertensi ... 7

2.2Klasifikasi Hipertensi ... 7

2.3Etiologi ... 7

2.4Faktor Resiko ... 8


(4)

ix

2.6Farmakoterapi Hipertensi ... 14

2.6.1 Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE) ... 15

2.6.2Angiotensin Renin Blocker (ARB) ... 15

2.6.3Calcium Channel Blocker (CCB) ... 16

2.6.4Diuretik ... 16

2.2.5 Penghambat Reseptor Beta (Beta Bloker) ... 17

2.7Diabetes Melitus ... 18

2.8Klasifikasi Diabetes Melitus ... 18

2.9Etiologi ... 19

2.10Faktor Resiko ... 20

2.11Patofisiologi ... 22

2.12Farmakoterapi Diabetes Melitus ... 23

2.12.1 Insulin ... 23

2.12.2 Sulfonilurea ... 24

2.12.3 Biguanida 25 2.12.4 Tiazolidindion ... 25

2.12.5 Penghambat Alfa Glukosidase ... 26

2.13Farmakoekonomi ... 26

2.14 Tipe Farmakoekonomi ... 27

2.15Kategori Biaya ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1Jenis Penelitian ... 32

3.2 Populasi dan Sampel ... 32

3.2.1 Populasi ... 32

3.2.2 Sampel ... 32

3.3Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33


(5)

x

3.3.2 Waktu Penelitian ... 33

3.4Rancangan Penelitian ... 33

3.4.1Pengumpulan Data ... 33

3.4.2 Pengolahan Data ... 34

3.5 Analisis Data ... 34

3.6 Defenisi Operasional ... 35

3.7Langkah Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 37

4.2 Regimen Terapi ... 42

4.3 Analisis Efektivitas Biaya ... 43

4.3.1Biaya Langsung Medis ... 45

4.3.2Total Biaya Langsung ... 47

4.4Perhitungan Cost Effectiviness Ratio ... 49

4.5Perhitungan Incremental Cost Effectiviness Ratio ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

Kesimpulan ... 53

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut ESH/ESC (2013) ... 7

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Pasien Hipertensi... 37

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Pasien Diabetes Melitus ... 40

4.3 Regimen Terapi Antihipertensi ... 42

4.4 Regimen Terapi Antidiabetik ... 43

4.5 Outcome Pasien Hipertensi ... 44

4.6 Outcome Pasien Diabetes Melitus ... 44

4.7 Distribusi Biaya Penggunaan Antihipertensi ... 45

4.8 Distribusi Biaya Penggunaan Antidiabetik ... 46

4.9 Distribsi Biaya Rawat Inap Pasien Hipertensi ... 46

4.10 Distribusi Biaya Rawat Inap Pasien Diabetes Melitus... 47

4.11 Total Biaya Langsung Untuk 100 Pasien Hipertensi ... 48

4.12 Total Biaya Langsung Untuk 100 Pasien Diabetes Melitus ... 48

4.13 Perhitungan CEA Berdasarkan Total Biaya Langsung Dan Outcome Pada Terapi PasienDiabetes Hipertensi ... 49

4.14 Perhitungan CEA Berdasarkan Total Biaya Langsung Dan OutcomePada Terapi PasienDiabetes Melitus ... 50

4.15 Perhitungan ICER Berdasarkan Total Biaya Langsung Dan OutcomePada Terapi Pasien Hipertensi ... 50

4.16 Perhitungan ICER Berdasarkan Total Biaya Langsung Dan OutcomePada Terapi PasienDiabetes Melitus ... 51