Analisis Determinasi Pengangguran Regional
keragaman variabel terikat tingkat pengangguran dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen.
Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti
minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam
fungsi. Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional
Variabel Koefisien
Probabilitas
Angkatan Kerja 15-24YOU 0,209217
0,0003 Angkatan Kerja High-educated HEDU
0,013130 0,0016
Angkatan Kerja Pria MALE 0,173306
0,0001 PDRB Perkapita PDRBK
-0,128572 0,0928
Dependency Ratio DEPEND -0,120253
0,0019 Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB
AGRI -0,035573
0,0074 Pangsa Sektor Manufaktur terhadap
PDRB MANU -0,055265
0,0199 Upah Minimum Provinsi UMP
1,842472 0,0002
Angkatan Kerja AK 1,545013
0,1404 Tingkat Kepemilikan Rumah OWN
-0,000329 0,9925
Sumber: Lampiran 7
Angkatan Kerja Usia Muda 15-24 Tahun
Variabel angkatan kerja usia muda 15-24 tahun berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan
satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan
tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE
2008 menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan
tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al 1997 menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan
merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional.
Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok usia tersebut. Pertama, BPS 2008 menyatakan bahwa kelompok usia muda
umumnya masih bersifat idealis termasuk dalam memilih pekerjaan misalnya sesuai keinginan, keahlian, hobi, standar gaji dan gengsi. Selain itu, kelompok
usia ini belum memiliki banyak beban tanggungan ekonomi keluarga dan masih ada jaring pengaman ekonomi baginya yaitu keluarga. Berdasarkan penelitian
Jones dan Supraptilah 1979 di Ujung Pandang dan Palembang ditemukan bahwa keluarga dengan kepala rumah tangga bekerja cenderung melindungi
pengangguran muda. Para penganggur tersebut cenderung bergantung hidup dari orang tuanya dan memilih untuk menganggur secara sukarela untuk mencari
pekerjaan yang lebih baik. Fenomena kedua, yaitu BPS 2008 menyatakan bahwa penduduk pada kelompok umur ini 15-24 tahun merupakan penduduk usia
sekolah yang selayaknya masih melakukan kegiatan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangi mengapa
kelompok usia muda itu ikut terjun ke pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah dan
terpaksa memasuki dunia kerja. Di lain pihak, sulitnya mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan serta kurangnya pengalaman dan keahlian
menyebabkan mereka ikut terjebak dalam kelompok pengangguran sehingga menambah akumulasi jumlah penganggur menjadi lebih banyak lagi.
Fenomena selanjutnya adalah efek ‘downskilling’, efek ini muncul ketika tenaga kerja dengan keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi high-skilled
belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan ia bersedia menerima pekerjaan yang bersifat low-skilled Collard et al. 2003. Fenomena ini
terjadi mayoritas pada kelompok usia muda, tanpa pengalaman, yang membutuhkan pekerjaan pertama sebagai on-the-job training. Setelah beberapa
saat, mereka akan pindah ke pekerjaan lain yang membutuhkan keahlian yang lebih tinggi dari sebelumnya temporary stop-gaps. Di sisi lain, perusahaan akan
merekrut high-skilled untuk posisi low-skilled, misalnya untuk menghindari biaya pelatihan atau karena mereka memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
Tabel 4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia Persen
Kategori Usia 1996
2000 2006
2008
Tingkat pengangguran usia muda usia 15-24 tahun
71,0 68,00
62,00 54,00
Tingkat pengangguran usia produktif 25-55
28,4 31,4
33,0 44,50
Tingkat pengangguran usia tua diatas 55 tahun
0,60 0,60
5,00 2,00
Sumber: BPS 1996-2008, diolah
Chuang dan Lai 2007 menyatakan bahwa tipikal penduduk Amerika usia muda rata-rata akan berganti pekerjaan hingga tujuh kali ketika memasuki
dunia kerja. Di Indonesia data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 pengangguran usia muda lebih besar dibandingkan pengangguran usia dewasa
walaupun nilai ini telah menurun pada tahun 2006 Tabel 4. Mutu dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pasar tenaga kerja dapat
ditingkatkan melalui sarana transformasi pendidikan. Kartasasmita 1996 menyatakan bahwa sistem pendidikan yang terbangun selama ini tampaknya
masih menghasilkan angkatan kerja usia muda dengan pengetahuan yang terlalu umum dan kemampuan yang terbatas lack of skill karena minim praktek.
Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pengalaman lack of experience angkatan kerja usia tersebut.
Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi
Variabel pangsa angkatan kerja yang berpendidikan tinggi berpengaruh nyata terhadap pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan
satu persen jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,013 persen. Menurut definisi BPS
kelompok berpendidikan tinggi merupakan seseorang yang berpendidikan tingkat atas SLTA dan yang setara ditambah dengan yang memiliki latar belakang
pendidikan tinggi perguruan tinggi atau universitas. Data menunjukkan bahwa angkatan kerja berpendidikan rendah
merupakan mayoritas dari total angkatan kerja yaitu mencapai 70 persen
Gambar 9 yang seharusnya berimplikasi pada tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja kelompok tersebut.
Sumber: BPS 2008, diolah
Gambar 9 Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah Hasil ini tampaknya bertentangan dengan teori yang dinyatakan oleh
Elhorst 2003 bahwa semakin tinggi pendidikan angkatan kerja akan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan
karena pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap PHK dan
menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan
yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang serta cenderung lebih kompetitif.
Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama mayoritas tenaga kerja lebih dari 70 persen yang terserap di berbagai bidang pekerjaan termasuk
ke dalam kategori berpendidikan rendah Gambar 10. Tingginya tingkat pengangguran pendidikan tinggi Tabel 5 dibandingkan dengan yang
berpendidikan lebih rendah menunjukkan terbatasnya penyediaan kesempatan kerja di sektor formal yang hanya mencapai sekitar 30 persen. Sementara itu,
tingkat pengangguran pendidikan yang lebih rendah menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja informal lebih banyak. Hal ini diperkuat dengan
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
P er
sen
Pendidikan Rendah Belum pernah sekolah-SMP Pendidikan Tinggi SMA
adanya fakta bahwa pendidikan rendah berasosiasi dengan kemiskinan sehingga mereka tidak bisa menanggung pengangguran too poor to be unemployed.
Dari total penganggur, 90 diantaranya merupakan angkatan kerja yang
Sumber: BPS 2008, diolah
Gambar 10 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Kedua, tingginya kelompok angkatan kerja berpendidikan kemungkinan
mencerminkan adanya proses mismatch. Mismatch ini merupakan indikasi bahwa sisi penawaran tenaga kerja kita tidak sesuai dengan kebutuhan permintaan
industri kita. Hal ini diakibatkan keterampilan tenaga kerja yang belum memenuhi kriteria yang dibutuhkan industri. Keterampilan yang dimaksud disini adalah
kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di industri dan tingkat kompetensi yang belum memenuhi kriteria industri. Berdasarkan survei yang dilakukan dunia
usaha bahwa perusahaan seringkali harus memerlukan pelatihan kembali training agar siap untuk bekerja.
Faktor lainnya mengapa tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak menganggur karena alasan dari tenaga kerja tersebut yang cenderung memilih
pekerjaan karena memiliki bargaining position yang tinggi sehingga mereka rela untuk menganggur demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Perbedaan keahlian,
upah, lokasi penempatan, industri dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan
. Kartasasmita 1996 menyatakan bahwa sekitar 40 persen dari tenaga kerja yang bekerja pada
perusahaan swasta tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan keahlian yang
79,41 78,54
77,70 78,00
78,00 77,00
76,00 76,00
76,00 74,88
20,59 21,46
22,30 22,00
22,00 23,00
24,00 24,00
24,00 25,12
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
P er
sen
TK Pendidikan Rendah TK Pendidikan Tinggi
diinginkan oleh perusahaan tersebut. Selayaknya pemerintah bekerjasama dengan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyesuaikan kurikulum pendidikan
standar pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Tabel 5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Persen
Pendidikan 1994
1996 1998
2000 2002
2004 2006
2008 SD atau Kurang
24,80 24,43 23,09
24,71 22,63 18,58 31,74 28,17
SMP 17,13
18,14 19,44 23,37
23,54 25,87 25,75 21,01 SLTA
49,62 48,15 48,98
43,98 45,95 47,46 36,44 40,58
AkademiDiploma Universitas
8,46 9,28
8,48 7,94
7,88 8,09
6,05 10,22 Sumber: BPS 1994-2008, diolah
Angkatan Kerja Pria
Variabel jumlah angkatan kerja
berjenis kelamin pria berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan
satu persen jumlah angkatan kerja berjenis kelamin laki-laki akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,17 persen. Hal ini disebabkan
karena jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita Gambar 11 sehingga menyebabkan tingkat pengangguran pria lebih tinggi dibandingkan
wanita Gambar 12.
Sumber: BPS, 2008
Gambar 11 Perbandingan Angkatan Kerja Pria dan Wanita
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 AK Pria
AK Wanita
Sumber: BPS 2008, diolah
Gambar 12 Struktur Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita
disebabkan adanya budaya di Indonesia bahwa pria mempunyai tanggung jawab dan tuntutan yang lebih tinggi di dalam menghidupi keluarga dibandingkan
wanita. Di sisi lain, banyaknya jumlah wanita yang keluar dari angkatan kerja setelah mereka menikah karena ingin tinggal di rumah dan mengurus anak juga
turut berkontribusi terhadap besarnya angkatan kerja pria.
PDRB Perkapita
Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita dapat didekati dengan PDRB per
kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan penduduk.
Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk
membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Variabel PDRB perkapita berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah
yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen PDRB per kapita akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal
ini sesuai dengan logika ekonomi bahwa semakin besar PDRB pada suatu wilayah
10 20
30 40
50 60
70
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 P
er sen
Pengangguran Pria Pengangguran Wanita
maka akan membutuhkan faktor-faktor produksi yang lebih banyak, termasuk tenaga kerja.
Dependency Ratio
Variabel dependency ratio berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen
dependency ratio akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal ini berarti bahwa beban tanggungan dalam suatu keluarga
orang tua dan anak-anak akan membuat seseorang yang termasuk dalam penduduk usia kerja 15-64 tahun di keluarga tersebut berusaha mencari
pekerjaan lebih intensif karena adanya tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Semakin tinggi rasio beban ketergantungan maka
semakin rendah tingkat pengangguran regional dalam suatu wilayah. Komposisi Industri
Tingkat pengangguran regional juga dipengaruhi oleh komposisi industri di wilayah tersebut.
Variabel pangsa sektor pertanian terhadap PDRB
berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap
kenaikan satu persen
pangsa sektor pertanian terhadap PDRB a
kan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,03 persen. V
ariabel pangsa sektor industri terhadap PDRB
berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen
pangsa sektor industri terhadap PDRB a
kan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,05 persen.
Data menunjukkan bahwa angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Penyerapan
tenaga kerja di sektor pertanian cukup besar, namun memiliki persentase penyerapan tenaga kerja yang terus mengalami penurunan Tabel 6. Hal ini juga
sejalan dengan menurunnya pangsa sektor pertanian terhadap PDB, namun penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB jauh lebih cepat dibanding
penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja. Persentase penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang relatif besar tersebut menunjukkan strategisnya sektor
tersebut dalam penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian pertumbuhan di sektor ini diharapkan mampu mengurangi masalah pengangguran regional.
Tabel 6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia
Tahun Pertanian
Industri Jasa
Pangsa PDB
Pangsa tenaga
kerja Pangsa
PDB Pangsa
tenaga kerja
Pangsa PDB
Pangsa tenaga
kerja 1980
25 55
43 13
32 32
1990 22
50 39
17 39
33 1995
17 44
42 18
41 38
2000 16
44 40
14 45
42 2003
15 46
39 13
46 41
2007 14
41 43
19 43
40 2008
14 42
42 18
44 40
Sumber: Statistik Indonesia 1980-2008, diolah
Tabel 6 tersebut juga menunjukkan bahwa pangsa sektor manufaktur terhadap PDB pada tahun 2008 mencapai 40 persen, namun persentase
penyerapan tenaga kerja di sektor ini hanya mencapai 18 persen. Pada periode 2000-2003 pangsa sektor industri terhadap penyerapan tenaga kerja sempat
mengalami penurunan dan meningkat lagi pada tahun 2007. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan orientasi pembangunan dari industri dengan orientasi
substitusi impor yang padat modal menjadi industri orientasi ekspor yang relatif lebih padat tenaga kerja. Di sisi lain kontribusi sektor jasa terhadap PDB dan
penyerapan tenaga kerja mencapai 40 persen, nilai yang cukup besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Namun, terdapat
hal yang menarik untuk dikaji. InterCAFE 2008 telah menghitung elastisitas sektoral penyerapan tenaga kerja suatu sektor sebagai akibat adanya 1 persen
pertumbuhan ekonomi sektor tersebut. Data yang digunakan mencakup data panel 26 provinsi pada periode 2000-2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa
penyerapan tenaga kerja tertinggi terjadi di sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak 0,61 persen untuk
setiap satu persen pertumbuhan PDB sektor tersebut. Sementara sektor jasa memiliki elastisitas yang paling rendah yaitu hanya mencapai 0,25 persen
Tabel 7. Implikasinya adalah semakin modern advanced struktur perekonomian suatu wilayah maka pengangguran di wilayah tersebut makin sulit
untuk diturunkan. Dengan demikian perlu reorientasi kebijakan dan inisiatif khusus bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya mampu menyerap
tenaga kerja lebih tinggi. Tabel 7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja
Sektor Nilai Elastisitas
R2 Pertanian
0,606 0.4649
Industri Manufaktur 0,406
0.7772 Jasa
0,253 0.9984
Catatan: signifikan pada taraf nyata 1 Sumber: InterCAFE 2008
Upah Minimum Provinsi
Dalam teori ekonomi neo-klasik, penawaran dan permintaan tenaga kerja menentukan tingkat upah yang berlaku, yang pada akhirnya menentukan tingkat
upah keseimbangan. Jika upah kaku maka mekanisme market clearing dalam pembentukan upah keseimbangan cenderung tidak berfungsi. Salah satu penyebab
kekakuan upah adanya pemberlakuan upah minimum provinsi. Tingkat produktivitas minimum pekerja bagi negara sedang berkembang
dipengaruhi oleh upah minimum. Hal ini dikarenakan upah minimum terkait dengan tingkat kebutuhan hidup minimum. Artinya jika kebutuhan hidup nutrisi
terpenuhi maka pekerja dapat bekerja dengan produktivitas yang diharapkan. Sedangkan bagi negara maju, upah minimum cenderung dijadikan proteksi atau
perlindungan untuk kesejahteraan pekerja Mankiw 2003. Variabel UMP berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif.
Artinya setiap kenaikan satu persen upah minimum provinsi akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 1,84 persen. Kebijakan upah
minimum sering dijadikan pokok permasalahan yang menyebabkan tingkat upah riil menjadi kaku bawah downward rigidity. Hal ini dikarenakan upah minimum
merupakan kewajiban legal dan harus diikuti oleh setiap perusahaan serta memiliki kekuatan hukum, dimana perusahaan tidak boleh memberikan upah di
bawah upah minimum. Selain itu, upah minimum sering dijadikan alasan bagi
serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum.
Semua perusahaan mempunyai tujuan untuk memaksimumkan laba. Perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan input yang
relatif lebih murah. Apabila upah tenaga kerja meningkat akibat upah minimum provinsi maka perusahaan akan berusaha mengganti dengan input lain yang lebih
murah atau mengurangi jumlah tenaga kerja agar keuntungan yang diperoleh maksimal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, upah dipengaruhi oleh struktur
biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja labor cost terhadap seluruh biaya produksi total cost. Pengusaha dapat memutuskan untuk meningkatkan
penggunaan tenaga kerja jika Marginal Productivity of Labor MPL wP atau upah riil, karena tambahan output masih lebih besar dari tambahan biaya tenaga
kerjanya. Sebaliknya jika MPL wP upah riil, maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, karena tambahan output menjadi lebih kecil
dibandingkan dengan tambahan biaya tenaga kerjanya. Perusahaan akan terus menambah tenaga kerja sampai pada titik dimana MPL = wP. Peningkatan
produktivitas tenaga kerja tidak bisa mengimbangi kenaikan upah riil Gambar 13. Sesuai dengan hipotesis, jika upah riil lebih cepat naik maka seharusnya
diimbangi dengan produktivitas.
Sumber: BPS 1998-2008, diolah Gambar 13 Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Riil
5 10
15 20
25
20 40
60 80
100 120
140
98 99
00 01
02 03
04 05
06 07
08
Up a
h Ri
il Ri
b u
Rp
P ro
d u
k tivi
ta s
Ju ta
Rp
Produktivitas Upah Riil
Studi tim Suryahadi 2001 menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja
yaitu menguntungkan sebagian kelompok kerja di satu pihak dan merugikan kelompok tenaga kerja pihak lainnya. Pengaruh negatif terutama terjadi pada
tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya pekerja dengan tingkat
pendidikan rendah, angkatan kerja berusia muda dan pekerja kasar. Sebaliknya, pekerja kerah putih adalah satu-satunya kategori pekerja yang mendapat
keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan
mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Studi ini juga menyatakan
bahwa dengan kebijakan upah minimum, pekerja yang malas dan rajin diberikan upah yang sama. Sehingga hal ini dapat menimbulkan disinsentif bagi pekerja
yang tingkat produktivitasnya tinggi.
Tabel 8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama
Status Pekerjaan Utama 2004 2006 Agst
2007 Agst 2008 Agst
2009 Feb 1
Berusaha Sendiri 18309288
19504632 20324527
20921567 20810300
2 Berusaha Dibantu Buruh
Tidak TetapBuruh Tidak Dibayar
21512405 19946732
21024297 21772994
21636761 3
Berusaha Dibantu Buruh TetapBuruh Dibayar
2965893 2850448
2883832 3015326
2968481 4
BuruhKaryawanPegawai 25459554
26821889 28042390
28183773 28913118
5 Pekerja Bebas di Pertanian
4449921 5541158
5917400 5991493
6346122 6
Pekerja Bebas di Non Pertanian
3732838 4618280
4458772 5292262
5151536 7
Pekerja KeluargaTak Dibayar
17292137 16173796
17278999 17375335
18659126 Total
93722036 95456935
99930217 102552750 104485444
Formal 30.33
31.08 30.95
30.42 30.51
Informal 69.67
68.92 69.05
69.58 69.49
Sumber: BPS 2008, diolah
Dilihat dari status pekerjaan, Tabel 8 menunjukkan bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal. Menurut
definisi BPS, secara umum terdapat empat kelompok yang dikategorikan sebagai pekerja informal, yaitu: a pengusaha mandiri, b pengusaha dibantu buruh tidak
tetapkeluarga, c pekerja tidak dibayar, dan d pekerja bebas di pertanian dan non pertanian. Dengan pengkategorian seperti itu, sekitar 68 persen dari pekerja
Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008 merupakan pekerja informal. Menurut Priyono 2002 pemahaman tentang struktur pekerja menurut status pekerjaan ini
penting untuk dikaitkan dengan kebijakan upah, khususnya upah minimum. Dalam teori maupun praktek, kebijakan upah minimum merupakan salah
satu upaya untuk memperbaiki nasib pekerja dengan status “4” buruhkaryawan. Akan tetapi di sisi lain, dengan asumsi bahwa kebijakan upah minimum
ditegakkan secara baik, dia akan menjadi beban bagi kelompok pekerja status “2” dan “3” pengusaha yang mempekerjakan buruh. Sementara itu, status “5,6,7”
pekerja tidak dibayar praktis tidak terpengaruh sama sekali dengan kebijakan tersebut.
Jelas bahwa kebijakan upah minimum dalam kondisi dimana proporsi buruhkaryawan terhadap total pekerja relatif kecil, tidak cukup untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan. Jika yang menjadi masalah adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan pekerja secara
keseluruhan bukan hanya buruhkaryawan, maka fokus utamanya seharusnya diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan pekerja informal yang merupakan
mayoritas dari pekerja di Indonesia. Upah minimum mengacu berdasarkan inflasi, namun survei InterCAFE
2008 menyatakan bahwa sekitar 74,8 persen responden bahkan mengalami kenaikan upah melebihi tingkat inflasi yang berlaku. Dengan demikian
seyogyanya Dewan Pengupahan Nasional DPN melakukan kajian sistem upah yang layak bagi pekerja sebelum memberikan rekomendasi penetapan upah
minimum. Kekakuan upah ke bawah merupakan social fact of life InterCAFE 2008, sebuah kenyataan hidup yang tidak terbantahkan dan umum terjadi di mana
pun. Ada dua hal yang menyebabkan kekakuan upah ke bawah merupakan social facts of life, yaitu:
1. Rasa keadilan fairness. Di mana pun adalah dipandang tidak adil secara sosial jika perusahaan menurunkan upah dan karenanya pekerja bereaksi
sangat negatif terhadap penurunan upah tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pemogokan, penurunan produktivitas dan bagi pekerja yang produktif
keluar dari perusahaan. Demonstrasi yang dilakukan pekerja kemungkinan besar biayanya lebih besar daripada gain yang akan diterima perusahaan
dengan melakukan penurunan upah. Biaya yang harus ditanggung perusahaan jika terjadi demonstrasi adalah: a banyak waktu hilang b jika tuntutan
yang diajukan berlarut-larut, pekerja akan lebih melibatkan faktor emosional dan jika tidak bisa dikelola dengan baik maka akan memicu pekerja untuk
menuntut hal lain di luar upah seperti tunjangan, dan insentif transportasi sehingga biaya yang harus ditanggung perusahaan akan bertambah besar c
menyebabkan terjadinya gangguan produksi sehingga pesanan pelanggan tidak terpenuhi dan d citra perusahaan memburuk di mata konsumen karena
biasanya perusahaan tidak hanya menjual produk tapi juga image perusahaan. Dengan demikian oportunity cost perusahaan lebih tinggi jika menurunkan
upah. 2. Upah relatif yaitu upah rata-rata perusahaan lain yang sejenis. Artinya
perusahaan takut jika perusahaan lain tidak ikut menurunkan upah. Bisa jadi perusahaan tidak takut. tetapi pekerja yang produktif akan keluar dan
perusahaan akan rugi. Perbedaan upah minimum antarprovinsi seharusnya bisa memicu adanya
migrasi. Namun, keputusan untuk melakukan migrasi bagi penduduk tidaklah mudah Bellante dan Jackson 2000. Di sisi lain, data migrasi yang ditunjukkan
oleh BPS 2008 menunjukkan peningkatan migrasi dari tahun ke tahun. Apabila data migrasi neto dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja tiap provinsi maka
pangsa migrasi mencapai rata-rata 21 persen dari total angkatan kerja. BPS 2008 menyatakan bahwa gejala migrasi antarprovinsi di Indonesia meningkat pesat
dalam dua dasarwarsa terakhir sebagai konsekuensi logis dari perubahan besar dalam bidang sosial dan ekonomi. Selain itu mobilitas terjadi karena ada
perbaikan sarana transportasi ekonomi. Namun dari data migrasi pada Lampiran 8 tersebut, terdapat hal yang menarik untuk dikaji.
Menurut Murillo 2005 untuk mengurangi tingkat pengangguran suatu wilayah maka mobilitas seharusnya diarahkan menuju wilayah yang mempunyai
tingkat pengangguran yang rendah. Namun, data pada tahun 2005 menunjukkan bahwa migrasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena adanya teori
kutub pertumbuhan growth pole theory dimana pemusatan ekonomi suatu wilayah akan menjadi faktor penarik orang yang tinggal di luar wilayah tersebut
untuk bekerja di sentra perekonomian. Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa migrasi masuk merupakan mobilitas yang dominan di provinsi DKI Jakarta. Hal
ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa seharusnya mobilitas yang dominan adalah migrasi keluar mengingat tingginya tingkat pengangguran
di provinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada provinsi Jawa Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sebaliknya data menunjukkan
bahwa migrasi keluar merupakan mobilitas yang dominan di provinsi NTB dan NTT, mengingat kedua provinsi tersebut memiliki tingkat pengangguran yang
cukup rendah maka mobilitas yang seharusnya dominan adalah migrasi masuk. Hal ini akan semakin memperparah tingkat pengangguran karena akan terjadi
penumpukan angkatan kerja pada wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi. Dari uraian tersebut kemungkinan migrasi belum berperan sebagai equilibrating
mechanism, namun untuk memastikan apakah migrasi sudah berperan ssebagai equilibrating mechanism maka variabel migrasi perlu diregresikan ke dalam
model, namun hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini dikarenakan keterbatasan data yang dimiliki oleh BPS.
Berdasarkan pembahasan faktor penyebab pengangguran regional di atas maka perlu mengintegrasikan berbagai temuan interpretasi variabel yang telah
dibahas sebelumnya. Analsis menunjukkan bahwa pengangguran provinsi di Indonesia tergolong persisten. Hal ini berarti bahwa mengidentifikasi faktor
penyebab pengangguran regional berarti mengidentifikasi faktor penyebab persisten. Di samping itu, berbagai faktor yang berpengaruh positif terhadap
pengangguran regional tersebut secara simultan mengarah kepada kondisi pencarian kerja yang lebih panjang serta kekakuan upah yang berkepanjangan
sehingga berimplikasi terjadinya persistensi. Pertama, karena adanya kekakuan upah. InterCAFE 2008 menyatakan bahwa kekakuan upah sering dipandang
sebagai penyebab utama kenaikan tingkat pengangguran secara berkepanjangan.
Kekakuan upah menjadi lebih kompleks ketika upah minimum diindeksasi terhadap inflasi bahkan sering melebihi tingkat inflasi.
Faktor kedua penyebab persistensi pengangguran adalah pencarian kerja. Tingkat pengangguran semakin sulit diturunkan jika waktu yang dibutuhkan
untuk pencarian kerja menjadi lebih lama. Pencarian kerja ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti migrasi akibat growth pole berimplikasi pada
penumpukan angkatan kerja, pengangguran friksional bersumber dari angkatan kerja muda 15-24 Tahun, dan tingginya angkatan kerja berpendidikan tinggi.