Latar Belakang Pengangguran di Indonesia 1984-2008
Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah
pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2
menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat
pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya
mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas
lima provinsi terletak di Kawasan Barat Indonesia KBI, sementara provinsi lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia KTI. Pada tahun tersebut, provinsi
dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat 12,66 persen sedangkan yang terendah adalah Bali 3,31 persen. Dengan demikian selisih nilai
antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut
hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran antarprovinsi semakin besar.
Sumber: BPS 1984-2008, diolah
Gambar 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008
2 4
6 8
10 12
14
P er
sen
1984 2008
Selisih
Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai
dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara
1,23 tahun 1984 dan 3,34 Tahun 1984 dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar 2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya
kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode
2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku, Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah
Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah relatif kurang merata.
Sumber: BPS 2008, diolah
Sumber: BPS 1992-2008, diolah
Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008
Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan
bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan
periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran
cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala demikian disebut pengangguran yang persisten InterCAFE 2008.
82 84
86 88
90 92
94 96
98 100
1992 1993
1994 1995
1996 1997
1998 1999
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
P er
sen
Nasional Sumatra
Jawa Bali
Nusa Tenggara
Sumber: BPS 1984-2008, diolah
Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008
Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai 2007, pada periode
1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu.
Wu 2007 juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di China.