Hasil Penelitian Empirik Terdahulu
Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu 2003 ‘The
Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum
muda total dan youth unemployment, tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga
esensi penting. Pertama, pengangguran total lebih persisten daripada pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat
pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari
persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh
high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective
sector maka pengangguran regional semakin persisten. Riset yang dilakukan Ledesma 2000 bertujuan untuk mengetahui apakah
terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk
mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang dilakukan oleh Blanchard dan Summers 1986 yang menemukan bahwa derajat
persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di
Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa.
Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan oleh Filiztekin 2007 di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi
pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber
persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran
adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia muda, dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi.
Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang
berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand
yang dominan di wilayah tersebut. Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai 2007 The Sources of Taiwan
Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu,
tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu. Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor
yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar regional adalah komposisi demografi pangsa dari populasi usia muda,
karakteristik keluarga pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi perempuan yang telah menikah, struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan
mobilitas tenaga kerja migrasi keluar. InterCAFE 2008 melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di
Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’.
Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov
1993. Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini
menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di Indonesia termasuk kategori disequiliubrium persistent unemployment without self
correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis
untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian
lapangan kerja job search, dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja.
Sugema 2009, menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis
menunjukkan beberapa temuan yang cukup menarik. Pertama, terdapat
kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan
ketidakpastian untuk migrasi pindah antarprovinsi. Di samping itu, tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu
waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya
pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat
upah antarprovinsi tidak bisa diharapkan untuk mengatasi disparitas pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur
untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi
juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’
perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa
sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran
struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor
ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk
mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial seperti faktor keluarga.