Jalur Tata Niaga Tata Niaga
Jerat dipasang disepanjang parit dengan jarak masing-masing sekitar 50 meter. Jerat berbentuk sangat sederhana namun cukup efektif untuk menjerat ular.
Penangkap di Pangkalan Banteng membuat jerat dari pelepah daun kelapa sawit, tali tampar kecil dan daun kelapa sawit. Penangkap hanya membawa golok,
lakban dan tali dari rumah. Kelengkapan lain untuk membuat jerat bisa dapatkan di kebun tersebut, bahkan kantong tempat ular bisa dengan mudah didapat di
kebun. Penangkap di Anjir menggunakan bambu dan ranting kecil untuk memasang jerat. Penangkap memeriksa jeratnya setiap pagi untuk melihat apakah
ada ular yang tertangkap atau tidak dan memeriksa keadaan jerat. Hujan yang sangat besar akan mengahanyutkan jerat yang mereka buat, maka setelah hujan
besar biasanya mereka juga akan memeriksa jerat yang mereka buat. Selain dengan jerat, ada pula yang menggunakan jaring, namun umumnya
ini tidak disukai oleh penangkap profesional karena akan menimbulkan banyak luka dan sisik ular banyak yang terkelupas sehingga kualitas kulit yang dihasilkan
kurang baik. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap harga jual kulit nantinya. Apabila menggunakan jerat, kulit yang terluka biasanya hanya ada di bagian leher.
2. Menangkap Langsung
Teknik ini digunakan oleh penangkap bukan profesional dan penangkap profesional di Pangkalan Banteng. Penangkap bukan profesional biasanya
menangkap langsung ular yang ditemukan. Caranya bisa dengan memukul ular sampai ular tersebut tidak berbahaya bila ditangkap, membunuh ular ataupun
langsung menangkap tanpa melukai bila penangkap tersebut berani melakukannya. Umumnya penangkapan yang dilakukan langsung oleh penangkap
bukan profesional akan melukai ular dan membuat kulit yang dihasilkannya berkualitas kurang baik.
Penangkap profesional di Pangkalan Banteng menggunakan teknik penangkapan langsung pada bulan Juni-September. Teknik ini digunakan karena
ular langsung ditangkap dari sarangnya. Pada bulan tersebut, ular mulai bertelur dan mengerami sehingga mereka cukup mencari sarang dan bisa mendapatkan
cukup banyak ular dalam ukuran besar. Penangkap biasanya mencari dibawah jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan yang banyak terdapat di kebun
sawit. Istilah yang di gunakan adalah “nyuluh”, merupakan istilah bahasa Jawa
yang artinya mencari sesuatu dengan menggunakan obor atau alat penerangan lain. Penangkap menggunakan senter untuk melihat ada atau tidak ada ular
dilubang dan menggunakan pelepah daun kelapa sawit untuk memasukkan tali ke kepala ular dan selanjutnya menarik ular keluar dari sarang.
b Teknik Pengulitan
Pengulitan diawali dengan penggelontoran air setelah sebelumnya bagian atas kloaka diikat agar air tidak keluar. Penggelontoran air dilakukan untuk
membuat kulit ular lebih mengembang dan menghasilkan kulit yang lebih lebar dari aslinya. Jumlah air tidak boleh terlalu banyak karena bisa menyebabkan kulit
pecah. Setelah digelontor air, bagian leher diikat agar air tidak keluar lagi melalui mulut. Ular dibiarkan selama beberapa jam maksimal 12 jam agar kulit ular
membesar Gambar 9. Apabila terlalu lama dalam keadaan seperti itu, ular akan membusuk dan kulitnya pecah.
a b
Gambar 9 Proses pemasukan air a dan pembesaran kulit b. Proses selanjutnya adalah pengulitan. Air dikeluarkan terlebih dahulu dari
tubuh ular, selanjutnya kulit disayat pada bagian leher untuk memutuskan antara leher dan kepala serta pada bagian perut atau punggung, namun umumnya pada
bagian perut kecuali punggungnya rusak parah atau sesuai permintaan pembeli mulai dari leher sampai kloaka dengan rapi dan lurus. Setelah itu, ular digantung
dan mulai dikuliti dengan cara menarik kulit dari leher ke bawah dengan hati-hati Gambar 10.
a b
Gambar 10 Pembelahan kulit perut a dan pengelupasan kulit b pada proses pengulitan.
Kulit dibersihkan dan daging dibuang setelah proses pengelupasan kulit selesai. Pembersihan dilakukan untuk membersihkan kulit dari sisa-sisa daging
yang masih menempel. Daging yang masih menempel ketika dijemur akan menyebabkan penjemuran menjadi lebih lama dan bisa terjadi kemungkinan kulit
menjadi busuk. Pembersihan dilakukan dengan cara membuang sisa daging di kulit menggunakan lempengan besi dan dicuci dengan air bersih Gambar 11.
a b
Gambar 11 Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok a dan pencucian dengan menggunakan air b.
Bagian terakhir dari proses pengulitan adalah penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan cara membentangkannya pada papan kayu dengan posisi bagian
dalam kulit berada di atas. Proses penjemuran ini sekaligus juga proses pembentukan agar ukuran kulit yang dihasilkan sesuai standar. Kulit diletakkan di
papan dan ditarik ujung-ujungnya sampai maksimal kemudian dipaku pada ujung-
ujungnya, selanjutnya sisi kanan dan kiri juga ditarik agar melebar sampai maksimal dan dipaku. Jarak satu paku dengan paku lainnya sekitar 1-2 cm agar
terbentuk kulit yang ukuran dan bentuknya bagus Gambar 12. Kulit ular kering berukuran lebih panjang dari ular hidup karena ada pertambahan panjang ± 40 cm
permeter kulit. Kulit bisa kering dalam waktu 6 jam pada saat matahari bersinar penuh. Apabila tidak bisa kering karena cuaca mendung, penjemuran bisa
dilanjutkan keesokan harinya asalkan kulit tidak terkena air hujan. Kulit yang terkena air hujan akan mudah rusak karena busuk dan sisik mengelupas.
Ular yang sedang berganti kulit tidak bisa langsung dikuliti, namun ditunggu sampai proses ganti kulit selesai dengan sempurna kecuali bila ular
sudah terlanjur mati. Pengulitan ular yang sedang berganti kulit akan menghasilkan kulit dengan kualitas yang sangat buruk, yaitu mudah sobek saat
proses pengulitan dan penjemuran dan sisik akan mengelupas. Proses pengulitan yang hati-hati juga dilakukan pada kulit ular yang ditangkap ketika sedang
mengerami. Kulit ular yang sedang mengerami lebih mudah sobek ketika dikuliti dan diregangkan, hal ini mungkin terjadi karena ular yang sedang mengerami
mempunyai kulit yang lebih tipis karena selama mengerami ular tidak makan.
a b
Gambar 12 Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi sambil ditarik a dan kulit dijemur dibawah matahari langsung b.
Yuwono 1998 menyatakan bahwa Python reticulatus banyak ditangkap untuk tata niaga disekitar perairan. Penangkapan Python reticulatus di Sumatera
biasanya dilakukan dengan menggunakan jerat yang sengaja dipasang pada
permukaan air yang menjadi jalur pergerakan ular dan juga ditangkap secara tidak sengaja ketika penangkap tersebut sedang melakukan aktivitas lainnya seperti
bekerja di ladang, perkebunan atau hutan Shine 1999. Abel 1998 juga menyatakan bahwa Python reticulatus di Sumatera Utara ditangkap dengan
menggunakan simpul jerat. Siregar 2012 menyebutkan bahwa teknik penangkapan Python reticulatus di Sumatera Utara adalah dengan menggunakan
jerat oleh penangkap profesional dan tanpa teknik khusus oleh penangkap amatir. Sedangkan menurut Riquier 1998, penangkapan di Kalimantan Barat
juga menggunakan jerat, penggunaan jaring tidak efektif karena lebih sedikit yang tertangkap dibandingkan jerat. Secara umum, penggunaan jerat tampaknya lebih
banyak digunakan diberbagai lokasi penangkapan dibandingkan menggunakan jaring atau menangkap langsung.
Penggunaan jerat lebih disukai karena hasilnya lebih efektif dibandingkan jaring atau penangkapan langsung. Jerat hanya akan melukai bagian tubuh yang
terkena jerat sebagian besar leher sehingga kualitas kulit yang nantinya dihasilkan lebih bagus karena tidak rusak. Jaring akan mengakibatkan banyak luka
disekujur tubuh karena seluruh tubuh langsung bersentuhan dengan jaring dan akan terjadi banyak luka ketika ular meronta terkena jaring, hal ini akan
menyebabkan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang bagus. Menangkap langsung biasanya dilakukan dengan cara melukai atau membunuh
ular untuk menghindari bahaya dari ular tersebut, hal ini akan membuat luka pada kulit dan berakibat mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan.
Teknik menangkap langsung yang dilakukan oleh penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menyebabkan luka pada ular. Sebenarnya
dalam penangkapan langsung ini juga tetap menggunakan jerat. Ular dipancing agar mengeluarkan kepalanya dan selanjutnya dijerat dengan menggunakan tali,
namun jerat tidak dipasang sebagai perangkap sebagaimana jerat yang dijelaskan diatas.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 Sekditjen PHKA 2007c pasal 27 4 jelas menyebutkan bahwa penangkapan harus
memperhatikan kesejahteraan satwa animal welfare yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan dan menyebabkan stres pada individu yang tertangkap