Shine et al. 1998a menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di Sumatera menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan, 18 diantaranya
adalah jantan muda, sedangkan pada betina 49. Pada penelitiannya di Sumatera Utara, Shine et al. 1998a juga menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan,
sebagian besar adalah jantan dewasa sedangkan pada betina, sebagian besar adalah betina muda. Shine et al. 1999, 1998b menyatakan bahwa banyak Python
reticulatus betina muda yang tertangkap berukuran sama dengan jantan dewasa yang tertangkap. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran
minimal dimana pada ukuran tersebut betina masih berusia remaja namun jantan sudah mencapai dewasa.
Mengenali struktur umur Python reticulatus di alam secara teknis sangatlah sulit. Pada ular anakan mungkin bisa dibedakan dari kelas umur lain.
Namun ketika sudah bukan anakan lagi, maka akan sulit membedakan kelas umurnya. Apalagi belum ada patokan yang pasti mengenai ukuran SVL untuk
mengetahui umur. Shine et al. 1999 mendapatkan ukuran untuk membedakan antara kelas umur remaja dan dewasa dengan pendekatan kematangan organ
reproduksi dan selanjutnya diukur panjangnya hingga akhirnya mendapatkan ukuran tersebut.
Struktur Jenis Kelamin. Selain distribusi individu menurut kelas umur,
ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin, yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi yang biasanya
dinyatakan dalam jumlah jantan terhadap 100 ekor betina Indriyanto 2010. Keseimbangan jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin
keberlangsungan populasi tersebut. Kerapatan populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi jantan dan
betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi, kerapatannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka kemungkinan
populasi tersebut untuk menurun akan lebih besar. Terlalu banyak jantan bisa menyebabkan persaingan yang besar dalam memperebutkan betina. Sebaliknya,
apabila terlalu banyak betina maka akan ada betina produktif yang mungkin menjadi tidak produktif karena tidak dibuahi. Keseimbangan jumlah jantan dan
betina bukan berarti harus sama jumlahnya, namun seimbang jumlahnya. Pada
jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Sedangkan pada yang poligini, akan seimbang
jika jantan lebih banyak dari betina. Menurut Duval et al. 1993, system perkawinan ular bisa poligami,
poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Pada kondisi sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak
dari betina untuk mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Ular betina akan memilih jantan melalui kompetisi sperma potensial. Shine et al. 1999
menyatakan bahwa Python reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian dilakukan, sebagian besar adalah jantan 52, dan 89 dari jantan
yang ditangkap adalah jantan dewasa. Menurut Shine et al. 1999, kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jantan lebih banyak jumlahnya dibandingkan
betina. Shine et al. 1999 menyatakan bahwa pada Python reticulatus yang
pernah diteliti di Sumatera, ukuran betina lebih besar dari jantan. Shine 1998 menyatakan bahwa ukuran jantan dan betina juga tergantung pada sistem
perkawinannya. Jantan yang memperebutkan betina untuk kawin, biasanya berkuran lebih besar dari betina. Sering terlihat bahwa pada Python reticulatus,
jantan bersama-sama mengawini satu betina poligini dan ukuran jantan lebih kecil dari betina.
Membedakan jenis kelamin jika hanya berdasarkan ukuran tubuh sangat sulit dilakukan. Barker DG dan Barker TM 1994 mengatakan bahwa untuk
menentukan jenis kelamin ular, bisa dilihat dari kloakanya. Pada ular jantan, apabila kloaka ditekan ke arah luar, maka akan keluar hemipenis. Apabila masih
ragu, bisa dilakukan dengan mengecek kedalaman kloaka probe. Ular jantan mempunyai kloaka lebih dalam dibanding ular betina. Kedalaman dua kloaka
jantan biasanya sama, sedangkan pada betina biasanya berbeda antara kanan dan kiri. Namun ini bukan cara yang disarankan secara ginekologi.
2.2.2. Habitat
Odum 1994 mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut.
Alikodra 2002 mendeskripsikan habitat sebagai kawasan yang terdiri dari
beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak bagi satwaliar. Faktor
fisik bisa berupa air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Faktor biotik terdiri dari komponen vegetasi, mikro dan makro fauna dan manusia. Habitat harus bisa
menjamin kebutuhan pokok satwaliar seperti makanan, minuman, tempat berlindung dan berkembangbiak.
Sejumlah faktor lingkungan, mempengaruhi habitat satwaliar Bailey 1984. Faktor-faktor ini bervariasi menurut waktu dan tempat dan berinteraksi
secara komplek untuk membantu atau mengganggu satwaliar. Faktor lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu 1 biotik: jumlah dan kualitas makanan,
predasi, penyakit dll.; 2 fisik: suhu, curah hujan, karakteristik salju, kelembaban dll.; dan 3 edafik tanah: kedalaman, kelembaban, tekstur, kimia dll. Alikodra
2002 menyebutkan sejumlah faktor yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar, yaitu 1 faktor fisik: air, radiasi surya, temperatur, panjang hari, aliran
dan tekanan udara dan tanah; dan 2 faktor biotik: makanan, energi, vegetasi, suksesi dan perilaku satwaliar.
Reinert 1993 menyatakan bahwa faktor habitat atau variabel yang bertanggung jawab pada habitat biasanya berupa faktor fisik dan kimia seperti
tetapi tidak terbatas pada ketinggian, kepadatan kanopi, komunitas tumbuhan, kelembaban tanah dan pH. Perbedaan habitat sering kali dihubungkan pada
prinsip persaingan antar spesies yang sama agar bisa tetap mempertahankan eksistensinya.
Habitat sering kali dikaburkan dengan relung niche spesies Reinert 1993. Meskipun mempunyai persamaan dalam persyaratan multidimensionalnya,
namun keduanya merupakan hal yang berbeda. Relung merupakan karakteristik dari suatu spesies, sebaliknya habitat merupakan kondisi aktual fisik suatu tempat
yang bisa dilihat. Kadang-kadang, persyaratan mikrohabitat digunakan untuk menunjukkan lokasi spesifik suatu organisme dalam habitatnya atau faktor yang
menunjukkan struktur atau pola internal dari variasi habitat dalam sebuah komunitas. Odum 1994 mendefinisikan relung niche ekologi diartikan sebagai
istilah yang lebih luas lagi, tidak hanya ruang fisik yang diduduki namun juga peranannya dalam masyarakatnya dan posisinya dalam lingkungan fisik. Ketiga
aspek relung ekologi tersebut dapat dikatakan sebagai ruangan atau relung habitat, relung trofik dan relung multidimensi hypervolume.
Menurut Reinert 1993, suatu tipe habitat umumnya digunakan oleh suatu spesies tertentu. Alikodra 2002 menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi
suatu spesies belum tentu cocok bagi spesies lain. Berarti dalam hal ini ada pemilihan suatu karakteristik tertentu pada suatu habitat oleh spesies. Habitat
berada dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan organisme yang menghuninya Soemarwoto 2004. Batas bawah disebut titik minimum, batas atas
disebut titik maksimum dan diantara keduanya ada titik optimum. Bila sifat habitat berubah diluar titik minimum atau maksimumnya, penghuninya harus
pindah atau dia akan mati. Organisme selalu mempunyai insting untuk mencari tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya.
Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Kalimantan Stuebing Inger 1999. Python reticulatus
merupakan jenis ular terrestrial hidup di daratan. Di Kalimantan, Python reticulatus bisa ditemukan di dataran rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m
diatas permukaan laut dpl. Meskipun termasuk ular terrestrial, namun di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang tinggal dalam lubang tanah.
Python reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar Tweedie 1983; Stuebing
Inger 1999. Sedangkan sarang biasanya berada diantara serasah Shine 1998; Stuebing Inger 1999.
Sebagai ular terrestrial daerah tropis, Python reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 31
C Stuebing Inger 1999. Suhu lingkungan yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah 29
– 31
C. Untuk menjaga suhu badannya tetap stabil, Python reticulatus selalu berjemur dibawah sinar matahari. Suhu lingkungan atau sarang yang paling cocok
untuk telur adalah 29 C
– 31 C dengan kelembaban sekitar 70. Pada suhu diluar
itu, telur bisa gagal menetas, pertumbuhan tidak sempurna dan sex rasio yang tidak seimbang. Namun Shine 1998 mengatakan bahwa ular yang hidup di
daerah tropishangat, telurnya cenderung lebih tahan dan bisa menetas pada area yang dingin.
Python reticulatus selalu mengerami telurnya dengan melingkarkan tubuhnya disekitar telur untuk menjaga suhu dan meninggalkannya hanya untuk
berjemur atau minum Shine 1998. Selama mengerami, Python reticulatus tahan untuk tidak makan sama sekali. Pada iklim tropis yang hangat, ular betina bisa
bereproduksi setiap tahun, sedangkan pada iklim yang dingin biasanya betina akan bereproduksi beberapa tahun sekali Stuebing Inger 1999.
Makanan merupakan salah satu faktor penentu bagi ular dalam memilih habitatnya. Ketika pada suatu tempat terdapat banyak makanan, maka biasanya
akan ditemukan Python reticulatus di lokasi tersebut. Python reticulatus merupakan satwa karnivora, makanan utamanya adalah jenis-jenis burung dan
mamalia Tweedie 1983. Penangkap Python reticulatus biasanya menangkapnya dengan menggunakan jaring di perairan tawar pada malam hari. Kemungkinan ini
terjadi karena Python reticulatus merupakan satwa nokturnal yang mencari makan malam hari Stuebing Inger 1999. Ular ini bisa makan makanan yang
ukurannya lebih besar dari diameter tubuhnya dan bukan termasuk ular yang berbisa, namun sangat berbahaya karena dapat menyerang mangsanya dengan
belitan yang kuat Hoesel 1959. Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat
pada habitat terestrial untuk ampibi adalah 1 lokasi penangkapan yang ditulis secara spesifik, 2 tipe habitat, 3 vegetasi yang dominan, 4 koordinat lokasi,
5 ketinggian, 5 deskripsi data klimatologi suhu, kelembaban, pH, 6 indikasi adanya gangguan dan 7 faktor habitat lain tipe tanah, kapasitas menahan air,
frekuensi banjir Kusrini 2009. Sedangkan untuk habitat perairan, data yang perlu dikumpulkan adalah 1 tipe habitat sungai besar, sungai kecil, anak sungai,
danau, rawa, 2 indikasi durasi relative habitat permanen, mengalir sepanjang tahun, musiman , 3 lebar dan kedalaman, 4 indikasi laju kecepatan air, 5
kondisi vegetasi dipinggiran, dan 6 substrat dasar lumpur, batu, pasir. Dengan merujuk pada Bailey 1984, Reinert 1993 dan Alikodra 2002, data yang perlu
dikumpulkan untuk menggambarkan karakteristik habitat ular bisa disamakan mirip dengan ampibi.
Python reticulatus mempunyai pola sebaran patchy atau mengelompok TPBC 1998, ini menjadi suatu permasalahan yang mungkin dihadapi dalam
melakukan penelitian mengenai habitat. Tidak semua lokasi ditemukan Python reticulatus, namun hanya pada tempat tertentu. Mengamati tipe habitat
preferensial juga tidak mungkin dilakukan dengan mengikuti ular tersebut sepanjang hari dan mencatat habitat yang paling banyak digunakan oleh Python
reticulatus. Bahkan ketika menangkap Python reticulatus di lokasi tertentu, mungkin belum bisa menggambarkan habitat yang sesungguhnya. Habitat tersebut
mungkin hanya merupakan lokasi jalurnya mencari makan atau beraktifitas lain. Bahkan sebagai ular terestrial, Python reticulatus justru banyak ditangkap di
daerah perairan pada malam hari. Python reticulatus merupakan satwa nocturnal sehingga banyak ditemukan pada malam hari.
Pendekatan mengenai habitat yang tepat mungkin bisa dilakukan dengan mengetahui keadaan pada sarang dan pada lokasi terestrial didekat perairan
dimana Python reticulatus ditangkap. Asumsinya adalah habitat sarang sudah dipilih oleh Python reticulatus dengan selektif dan sesuai dengan faktor biotik dan
abiotik yang dibutuhkan, sedangkan habitat di dekat perairan dimana ular ini ditangkap mungkin merupakan habitat tempat tinggalnya.
2.3. Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia
Pemanfaatan satwaliar di Indonesia diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 UU No. 51990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 PP
No. 81999. Menurut UU No. 51990, sumberdaya alam hayati Indonesi harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari Sekditjen PHKA 2007a. Sedangkan PP
No. 81999 menyatakan bahwa satwaliar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pemanfaataannya dilakukan dengan memperhatikan
kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragamannya Sekditjen PHKA 2007b. Bahkan pemanfaatan satwaliar ditujukan agar satwaliar tersebut bisa tetap
lestari. Pemanfaatan satwaliar di Indonesia dilakukan untuk kegiatan komersial
dan non komersial. Menurut PP No. 81999, pemanfaatan satwaliar bisa dilakukan dalam bentuk 1 pengkajian, penelitian dan pengembangan; 2 penangkaran; 2
perburuan; 4 perdagangantata niaga; 5 peragaan; 6 pertukaran; dan 7 pemeliharaan untuk kesenangan Sekditjen PHKA 2007b.
Pemanfaatan TSL untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan UU No. 51990 yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah
untuk perdagangan tata niaga Sekditjen PHKA 2007a. Dalam PP No. 81999 juga disebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang
salah satunya adalah perdagangan tata niaga Sekditjen PHKA 2007b. Lebih lanjut dalam SK Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 disebutkan bahwa TSL
yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam Sekditjen PHKA 2007c.
Pemanfaatan untuk tata niaga dilaksanakan dengan sistem kuota. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003, kuota didefinisikan sebagai batas
maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim. Kuota pengambilan di alam
ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan LIPI untuk kurun waktu satu tahun takwim dari tanggal 1 Januari
sampai 31 Desember Sekditjen PHKA 2007c. Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan
dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan. Kuota pengambilan dari alam selanjutnya menjadi dasar bagi kuota ekspor dan
pemanfaatan lainnya penangkaran, penelitian, pasar dalam negeri. Kuota ekspor tidak akan melebihi kuota pengambilan dari alam.
Kuota ditetapkan oleh Ditjen PHKA sebagai Otoritas Pengelola dengan berdasarkan pada rekomendasi LIPI sebagai Otoritas Keilmuan CITES di
Indonesia. LIPI memberikan rekomendasi berdasakan peta data dan informasi ilmiah hasil monitoring populasi Sekditjen PHKA 2007c. Namun bila data
dimaksud tidak tersedia, kuota dapat diperoleh atas dasar 1 kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan; 2 informasi ilmiah dan teknis lainnya tentang
populasi dan habitat; 3 realisasi pegambilan tahun sebelumnya; dan 4 kearifan tradisional.
Kuota pengambilan dari alam ditetapkan untuk jenis TSL yang termasuk maupun tidak termasuk dalam Appendix CITES, baik dilindungi maupun tidak
dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang- undang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus
ditetapkan sebagai satwa buru Sekditjen PHKA 2007c. Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk
pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat
untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada
kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA Sekditjen PHKA 2007c. Seluruh kegiatan pemanfaatan satwaliar, baik untuk komersial maupun
non komersial, harus dengan ijin dari Otoritas Pengelola. Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus
dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat- sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan
harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat
Sekditjen PHKA 2007c.
2.4. Tata Niaga Satwaliar
Tata niaga satwa liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies Indrawan et al. 2007. Pemanfaatan
satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan
terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Peres 2010 menyatakan bahwa eksploitasi satwaliar yang
berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi. Tata niaga satwaliar internasional sudah diatur dalam CITES Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Wasington DC dan mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 1975 Dit. KKH 2010. Indonesia telah menjadi anggota CITES yang ke 48 pada tanggal 28 Desember 1978 www.cites.org 2012 dan
meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978 tentang