permukaan air yang menjadi jalur pergerakan ular dan juga ditangkap secara tidak sengaja ketika penangkap tersebut sedang melakukan aktivitas lainnya seperti
bekerja di ladang, perkebunan atau hutan Shine 1999. Abel 1998 juga menyatakan bahwa Python reticulatus di Sumatera Utara ditangkap dengan
menggunakan simpul jerat. Siregar 2012 menyebutkan bahwa teknik penangkapan Python reticulatus di Sumatera Utara adalah dengan menggunakan
jerat oleh penangkap profesional dan tanpa teknik khusus oleh penangkap amatir. Sedangkan menurut Riquier 1998, penangkapan di Kalimantan Barat
juga menggunakan jerat, penggunaan jaring tidak efektif karena lebih sedikit yang tertangkap dibandingkan jerat. Secara umum, penggunaan jerat tampaknya lebih
banyak digunakan diberbagai lokasi penangkapan dibandingkan menggunakan jaring atau menangkap langsung.
Penggunaan jerat lebih disukai karena hasilnya lebih efektif dibandingkan jaring atau penangkapan langsung. Jerat hanya akan melukai bagian tubuh yang
terkena jerat sebagian besar leher sehingga kualitas kulit yang nantinya dihasilkan lebih bagus karena tidak rusak. Jaring akan mengakibatkan banyak luka
disekujur tubuh karena seluruh tubuh langsung bersentuhan dengan jaring dan akan terjadi banyak luka ketika ular meronta terkena jaring, hal ini akan
menyebabkan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang bagus. Menangkap langsung biasanya dilakukan dengan cara melukai atau membunuh
ular untuk menghindari bahaya dari ular tersebut, hal ini akan membuat luka pada kulit dan berakibat mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan.
Teknik menangkap langsung yang dilakukan oleh penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menyebabkan luka pada ular. Sebenarnya
dalam penangkapan langsung ini juga tetap menggunakan jerat. Ular dipancing agar mengeluarkan kepalanya dan selanjutnya dijerat dengan menggunakan tali,
namun jerat tidak dipasang sebagai perangkap sebagaimana jerat yang dijelaskan diatas.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 Sekditjen PHKA 2007c pasal 27 4 jelas menyebutkan bahwa penangkapan harus
memperhatikan kesejahteraan satwa animal welfare yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan dan menyebabkan stres pada individu yang tertangkap
ataupun kelompoknya. Dalam hal ini rupanya animal welfare masih kurang diperhatikan karena teknik penangkapannya masih berpotensi mengakibatkan
terjadinya kematian, luka atau stress pada individu yang tertangkap tersebut meskipun pada akhirnya akan dibunuh juga.
Menurut Shine 1999, Python reticulatus di Sumatera dibunuh untuk dikuliti dengan beberapa cara yaitu dipukul pada bagian kepala, dibuat mati
lemas, ditusuk dengan kawat sampai menembus otak dan digantung pada kepalanya. Dalam beberapa kejadian, ular betina yang sedang hamil tidak
langsung dibunuh ketika ditangkap, betina tersebut dibiarkan hidup sampai bertelur kemudian baru dibunuh untuk dikuliti. Telur ditetaskan dan anakannya
dijual untuk pet. Menurut penangkap di Kalimantan Tengah, cara membunuh ular yang paling cepat adalah dengan menusuk hidungnya dengan kawat atau paku
sampai menembus otaknya. Setelah mati, tubuh ular digelontor dengan air untuk menambah ukuran tubuh dan mempermudah pengulitan. Siregar 2012 juga
mengatakan bahwa sebelum dikuliti, ular dibunuh terlebih dahulu dengan cara yang tidak mengakibatkan kerusakan pada kulit, selanjutnya digantung dan
digelontor air. Pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare
sebaiknya lebih diperketat oleh otoritas pengelola. Otoritas pengelola memiliki hak dan kewajiban penuh untuk melakukan pengawasan sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku Sekditjen PHKA 2007c. Mematikan ular dengan cepat seperti yang dilakukan di Sumatera Shine 1999; Siregar 2012
akan lebih memperhatikan animal welfare. Ular akan langsung mati ketika otaknya terkena kawat atau paku tersebut.
5.1.4 Ukuran dan Harga Python reticulatus yang diperdagangkan
Ukuran kulit yang dijual bervariasi dengan harga yang bervariasi menurut ukurannya Tabel 2. Pengumpul perantara di Anjir membeli dengan harga Rp200
000ekor apabila membeli dalam bentuk ular hidup. Pengumpul di Pangkalan Banteng membeli dengan harga Rp75 000meter untuk ular ukuran SVL minimal
250 cm. Untuk ular dengan panjang badan 200-245 cm dibeli dengan harga Rp50 000 per ekor. Keuntungan akan diperoleh dari dua sisi, yaitu penambahan
ukuran dari ular hidup menjadi kulit dan harga kulit permeter yang bisa jadi lebih tinggi dari harga ular hidup per meter apabila dalam proses pengulitannya bagus.
Harga ini cukup berbeda dengan harga jual di Banjarmasin. Kulit dengan ukuran standar bisa dihargai sampai Rp110 000 per meter, namun sortiran yang dilakukan
sangat ketat sehingga harga jual untuk kulit dengan ukuran dan kualitas sama justru bisa lebih rendah dibandingkan harga dari pengumpul di Katingan.
Pengumpul di Katingan tidak membeli kulit dengan ukuran dibawah 250 cm.
Tabel 2 Ukuran kulit Python reticulatus kering setelah disortir yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah
Ukuran kulit m Harga
panjang lebar perut
lebar ekor Penangkap ke
Pengumpul perantara Rplembar
Penangkap Pengumpul perantara ke
Pengumpul pengedar dalam negeri Rpm
3.5 0.32
0.12 75 000
80 000 3.0-3.45
0.32 0.12
50 000 50 000
2.5-2.95 0.32
0.12 25 000
70 000 2.5
0.32 0.12
25 000 40 000
Ket: harga dalam Rplembar
Harga produk satwaliar yang diperdagangkan dari satwa yang ditangkap dari alam, tidak bisa menggambarkan harga dari upaya melestarikan satwaliar
tersebut dialamnya Melisch 1998. Keberadaan satwaliar di alam sebenarnya jauh lebih berharga daripada nilai satwaliar tersebut dalam bentuk barang yang
diperdagangkan di pasar, baik hidup maupun mati. Menurut Arifin 1998, industri kulit di Indonesia meliputi industri barang dari kulit, industri kulit jadi
dan industri kulit setengah jadi. Industri kulit yang dihasilkan di Kalimantan Tengah masih berupa kulit mentah yang hanya berupa kulit yang sudah
dikeringkan tanpa diolah. Kisaran harga dan ukuran kulit yang dijual di Kalimantan Tengah dan
Sumatera Utara agak berbeda. Ukuran kulit dengan harga paling tinggi di Kalimantan Tengah adalah kulit dengan ukuran panjang 350 cm, lebar perut
32 cm dan lebar ekor 12 cm. Menurut Semiadi dan Sidik 2011, kulit dengan harga tertinggi di Sumatera Utara dan NAD adalah kulit dengan ukuran panjang ≥
215 cm Agen 1, ≥ 224 cm Agen 2 dan 220 cm Agen 3. Disini terjadi perbedaan ukuran antar agen. Sedangkan menurut Siregar 2012, kulit dengan
harga paling tinggi adalah kulit dengan ukuran 400 cm. Tabel 3 Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar
2012
Ukuran m
Kisaran harga beli
pengumpul kecil ke
penangkap dalam
keadaan hidup
Rpm Kisaran harga
beli pengumpul besar ke
pengumpul kecilpenangkap
Kisaran harga beli dari tingkat eksportir ke
pengumpul besar
Keterangan Dalam keadaan
ular utuh Rpm
Panjang kulit
setelah jadi kulit
kering m Kisaran
harga kulit setelah jadi
kulit kering Rpm
3 up 85 000
100 000 4 up
110 000 Dalam keadaan
kulit kering
terjadi penambahan
panjang kulit ± 30 cmm kulit
2.7-2.9 65 000
85 000 3.51-3.77
90 000 2.5-2.7
40 000 55 000
3.25-3.51 65 000
2.2-2.5 20 000
40 000 2.86-3.25
45 000 2-2.2
15 000 25 000
2.6-2.86 25 000
Sumber data: Siregar 2012
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 bisa diketahui bahwa di Kalimantan Tengah, untuk kulit dengan kualitas yang kurang baik akan dijual dalam ukuran
rupiahlembar sedangkan untuk kualitas bagus dijual dengan ukuran rupiahmeter kulit. Sedangkan di Sumatera Utara semua dihargai dalam ukuran rupiahmeter
kulit. Kisaran ukuran kulit yang dijual juga relatif berbeda. Ada empat kisaran ukuran yang berdasarkan pada panjang kulit, lebar perut dan lebar ekor di
Kalimantan Tengah sedangkan di Sumatera Utara hanya berdasarkan panjang kulit saja. Harga di Sumatera Utara terlihat lebih memberi keuntungan pada tiap
pelaku tata niaga daripada di Kalimantan Tengah. Selain berdasarkan ukuran kulit, dilakukan pula sortiran untuk kerusakan
kulit Gambar 13. Sortiran dilakukan pada kulit yang berlubang atau sobek. Panjang sobekan akan mengurangi panjang kulit total, namun bila sobekan atau
lubang sangat parah diseluruh kulit, meskipun ukurannya panjang, kulit akan masuk dalam kualitas paling rendah dan digargai perlembar. Pengumpul perantara
di Kapuas bahkan melakukan sortiran pada sisik yang mengelupas. Setiap sisik yang mengelupas akan mengurangi panjang total kulit. Siregar 2012 menyatakan
bahwa di Sumatera Utara, sortiran kondisi kulit dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu A untuk kulit tanpa cacat, B untuk kulit dengan cacat sedikit dan C untuk
kulit dengan cacat banyak. Cacat yang dimaksud adalah luka gores, luka kutu dan sebagainya. Secara umum, sortiran antara Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara
Siregar 2012 adalah sama.
Gambar 13 Proses penyortiran dan pengukuran kulit.
5.2 Karakteristik Habitat 5.2.1
Habitat Tangkap
Odum 1994 mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut.
Habitat menjadi sesuatu yang sangat penting karena merupakan lokasi dimana organism bisa hidup. Tanpa habitat, tidak akan ada organisme. Habitat tangkap
Python reticulatus di Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktivitas pertanian, khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan karet,
sedangkan di Palembang Sumatera Selatan adalah di rawa-rawa pasang surut Shine 1999. Habitat tangkap di Kalimantan Tengah, juga berada di lokasi
penggunaan intensif untuk pertanian, yaitu kebun kelapa sawit Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, kebun karet Kabupaten Pulang Pisau dan
rawa-rawa pasang surut Kabupaten Katingan. Keberadaan Python reticulatus di lokasi yang merupakan areal diluar
hutan dan bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia,
mengindikasikan bahwa Python reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap manusia. Hal ini berarti Python reticulatus bukan
merupakan satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan adanya manusia disekitar mereka. Gangguan hanya dirasakan bila terjadi ekploitasi terhadap satwa
tersebut. Hal ini bisa menjadi keuntungan namun juga kerugian. Keuntungannya adalah Python reticulatus tetap bisa bertahan dalam kondisi yang langsung
bersinggungan secara intensif dengan manusia. Kerugiannya adalah Python reticulatus menjadi semakin mudah ditemukan tingkat perjumpaannya dengan
manusia tinggi. Hal ini bisa menyebabkan semakin banyak tingkat eksploitasi karena manusia akan cenderung menangkapnya jika bertemu, baik karena nilai
ekonominya maupun karena rasa takut manusia itu sendiri. Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan di Kabupaten
Kotawaringin Barat dan Seruyan dengan tipe habitat kebun kelapa sawit. Penangkap yang menjadi narasumber dan melakukan penangkapan di kedua
kabupaten ini seluruhnya berasal dari Kotawaringin Barat. Pemilihan tipe habitat ini didasarkan pada banyaknya pemanenan yang dilakukan di kebun kelapa sawit.
Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena pada saat penelitian dilakukan, penangkap yang masih beraktifitas
menangkap ular secara rutin berada di kabupaten ini, di kabupaten lain yang sebelumnya ditentukan pula sebagai titik pengamatan, tidak dijumpai penangkap
yang mendapatkan ular pada saat penelitian ini dilakukan. Bagian yang diukur variabelnya adalah parit tempat jerat dipasang.
Hasil tes normalitas data habitat tangkap dengan menggunakan One- Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil
bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu air Asymp. sig 0.458 dan kelembaban udara Asymp. sig 0.305 sedangkan peubah lain mempunyai nilai
Asymp. sig. 0.05 yang berarti sebaran data tidak normal Lampiran 1. T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi
suhu air 0.211 dan kelembaban udara 0.131 Lampiran 2. Hal ini berarti bahwa suhu air dan kelembaban udara pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak
tertangkap tidak berbeda nyata.
Peubah lain selain suhu air dianalisis dengan menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov Lampiran 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh
nilai signifikansi 0.05 yang berarti peubah pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap mempunyai nilai rata-rata yang sama. Hal ini berarti
ketinggian tempat, suhu udara, pH air, kedalaman dan lebar parit pada kedua habitat tersebut tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil kedua analisis terhadap peubah yang diukur tersebut diatas, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara habitat ular
tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap. Dengan kata lain, tidak ada preferensi habitat oleh Python reticulatus pada lokasi penelitian dilakukan. Python
reticulatus bisa berada pada keadaan habitat seperti pada lokasi penelitian dilakukan. Tidak adanya ular yang tertangkap pada titik pengamatan mungkin
disebabkan karena pada saat itu tidak ada ular yang melintas pada titik tersebut. Namun kemungkinan pada waktu lain di titik tersebut bisa ditemukan ular.
Ketinggian tempat. Ketinggian tempat habitat tangkap berada antara 25-
51 m dpl Gambar 14. Ketinggian rata-rata adalah 35.45 m dpl.
a b
Gambar 14 Ketinggian tempat titik pengamatan a dan prosentase masing- masing tingkat ketinggian titik pengamatan b.
Menurut Stuebing Inger 1999 Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Kalimantan, yaitu di dataran
4 6
7 25
19 13
1 5
10 15
20 25
30
21-30 31-40 41-50 51-60 Ju
m lah
titi k
p en
g am
atan
rentang ketinggian tempat m dpl ditemukan ular
tidak ditemukan ular 23.5
35.3 41.2
0.0 43.1
32.8 22.4
1.7 0.0
5.0 10.0
15.0 20.0
25.0 30.0
35.0 40.0
45.0 50.0
21-30 31-40
41-50 51-60
P ro
sen tase
rentang ketinggian tempat m dpl ditemukan ular
tidak ditemukan ular
rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m dpl. Ini berarti bahwa Python reticulatus mempunyai penyebaran yang cukup luas. Daerah sebaran yang cukup luas
sebenarnya merupakan keuntungan bagi Python reticulatus karena dengan demikian berarti dia mempunyai wilayah yang cukup luas. Semakin luas wilayah
sebaran maka akan lebih baik untuk kelestarian daripada wilayah yang sempit Indrawan et al. 2007; Sinclair et al. 2006; Bennet Saunders 2010. Sebagian
besar wilayah Kalimantan Tengah berada pada ketinggian 25-100 m dpl 42.12 WWF 2008. Hal ini berarti bahwa wilayah sebaran Python reticulatus di
Kalimantan Tengah sebagian besar juga berada pada ketinggian dibawah 100 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian lokasi penelitian antara 8-51
m dpl, artinya ketinggian tempat lokasi penelitian tidak mempengaruhi ada atau tidak adanya Python reticulatus di lokasi penelitian karena masih berada dalam
rentang ketinggian yang bisa diterima. Keberadaan Python reticulatus pada ketinggian kurang dari 1 000 m dpl kemungkinan berhubungan dengan suhu
lingkungan dimana dia memerlukan suhu yang hangat untuk aktifitasnya. Ketinggian tempat sangat berhubungan dengan suhu. Semakin tinggi tempat
akan diiringi dengan semakin menurunnya suhu udara. Setiap kenaikan 100 m kondisi kering atau 200 m kondisi basah, akan terjadi perubahan suhu
sebanyak 1°C Danielson et al. 2002. Ketika terjadi kenaikan suhu yang melebihi
ambang batas bagi ular, maka akan terjadi migrasi pada daerah yang lebih tinggi untuk mendapatkan suhu yang bisa diterima. Pada kondisi dimana daerah tersebut
tidak memiliki variasi ketinggian, maka bisa menyebabkan terjadinya kematian pada ular karena tidak bisa bermigrasi pada lokasi yang memiliki suhu lebih
optimal.
Suhu udara.
Suhu udara pada titik pengamatan berkisar antara 27 – 30
°C, suhu udara rata-rata adalah 28.65 °C dan titik paling banyak mempunyai suhu udara 28 °C Gambar 15. Suhu udara cenderung lebih tinggi dari suhu air
pada titik pengamatan yang sama.