Manfaat Penelitian Glikasi Isolat Protein Kedelai Gmo Dan Non-Gmo Secara In Vitro Dan Pengujian Sifat Alergenisitasnya.

4 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kacang Kedelai dan Isolat Protein Kedelai

Kedelai Glycine max adalah tanaman kaya protein yang dikonsumsi di dunia. Di Indonesia, kedelai merupakan komoditas strategis ketiga berdasarkan tingkat konsumsinya setelah padi dan jagung, karena setiap hari dikonsumsi oleh hampir sebagian masyarakat dengan tingkat konsumsi rata-rata 8.12 kgkapitatahun. Kedelai sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk produk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco, tauge dan susu kedelai Harsono 2008. Kedelai merupakan sumber protein, lemak dan nutrisi lainnya. Protein kedelai dapat digunakan sebagai pengganti protein hewani karena kedelai memiliki kandungan protein yang baik sekitar 34-43 Ginting et al. 2009. Keuntungan protein kedelai adalah memiliki keseimbangan komposisi asam amino yang baik, karena mengandung asam amino esensial. Kedelai memiliki komponen yang menguntungkan secara fisiologis, karena terbukti dapat menurunkan kolesterol sehingga dapat mengurangi risiko hiperlipidemia dan penyakit kardiovaskuler. Kedelai juga memiliki keunggulan dalam membentuk gel, mengemulsi, serta kemampuan mengikat air dan minyak yang bermanfaat pada pengolahan pangan Nishinari et al. 2014. Selain jagung, canola, kentang dan tomat, kedelai merupakan salah satu tanaman yang banyak dikembangkan menggunakan teknologi GMO genetically modified organism . Tanaman direkayasa secara genetik guna merubah komposisi genetik untuk memperoleh karakteristik baru, seperti toleransi terhadap herbisida, resistensi terhadap serangga, meningkatkan umur simpan atau memodifikasi komposisi gizi Arun 2013. Disamping itu, tanaman GMO ini dikhawatirkan dapat merubah dan meningkatkan senyawa endogen yang berdampak negatif salah satunya adalah alergen Fernandez et al. 2013. Keamanan produk GMO ini telah banyak diteliti, namun pro dan kontra terhadap produk ini masih terus terjadi. Mishra et al. 2012 menguji secara in silico yaitu simulasi menggunakan komputer terhadap potensi alergenisitas transgen yang digunakan dalam pengembangan tanaman pangan GMO, bahwa terdapat potensi alergi dari beberapa gen, seperti Pers a 1 dan Hev b 11 yang dapat berikatan dengan 7 dari 75 serum pasien alergi pangan selain kedelai. Gen Ole e 9, Cla h 10 dan Alt a 10 memiliki alergen yang homolog dengan gandum. Hasil ini diharapkan dapat berfungsi sebagai panduan untuk pemilihan transgen dalam mengembangkan tanaman GMO. Fernandez et al. 2013 juga menyampaikan panduan yang dikeluarkan oleh EFSA European Food Safety Authority tahun 2011 bahwa pengujian alergenisitas terhadap tanaman GMO mencakup dua hal, yaitu pengujian protein baru yang terekspresikan dan pengujian terhadap keseluruhan tanaman GMO tersebut. Salah satu aspek dalam penilaian alergenisitas keseluruhan tanaman GMO adalah untuk memastikan bahwa modifikasi genetik tidak memengaruhi tingkat atau karakteristik senyawa endogen yang akan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia maupun hewan. Para peneliti telah banyak mengungkapkan keamanan dan kandungan alergen pada tanaman GMO ini, namun isu mengenai keamanan GMO masih terus berkembang. Penting untuk memastikan bahwa tidak ada senyawa toksik, 5 antinutrisi, alergen, atau zat bioaktif baru yang secara tidak sengaja terekspresikan. Diperlukan studi untuk memastikan bahwa transformasi yang terjadi tidak mengekspresikankan senyawa baru yang mengakibatkan perubahan negatif yang dapat memengaruhi kesehatan manusia Kőnig et al. 2004. Kacang kedelai dapat diolah langsung menjadi produk pangan atau diolah menjadi produk antara atau disebut dengan produk intermediet seperti tepung kedelai, protein hidrolisat, konsentrat protein dan isolat protein kedelai Nishinari et al. 2014. Produk intermediet ini dapat digunakan sebagai ingredien pangan sebagai pengental, campuran daging hingga sebagai emulsifier. Dikarenakan sifat fungsionalnya yang baik isolat protein kedelai banyak digunakan dalam industri sebagai bahan formulasi berbagai pangan Manohar et al. 20011. Isolat protein kedelai IPK adalah bentuk murni dari bubuk protein kedelai yang tersedia secara komersial, mengandung 90 protein, dan memiliki beberapa fungsi yang diinginkan seperti kemampuan sebagai pengemulsi. Protein kedelai menjadi bahan pangan yang banyak digunakan dalam formulasi pangan berbasis protein, karena memiliki protein tinggi dan kemampuan yang baik untuk meningkatkan kualitas pangan. Aplikasi yang paling penting dari IPK salah satunya adalah digunakan sebagai emulsifier dalam pembuatan pangan, seperti produk daging Chen et al. 2013. Terdapat berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi protein diantaranya adalah isoelectric precipitation, alcohol precipitation, isoelectric precipitation combined with alcohol precipitation, serta alkali solution with isoelectric precipitation Wu et al. 2009. Konsumsi pangan berbasis kedelai telah meningkat sejak Food and Drug Administration FDA memutuskan untuk menerima klaim kesehatan terhadap protein kedelai. Klaim ini menghubungkan asupan produk kaya protein kedelai terhadap potensi yang bermanfaat bagi kesehatan Dolores et al. 2012. Disamping manfaatnya tersebut, kedelai memiliki potensi sebagai alergen karena mengandung protein yang dapat memicu alergi. Alergen pada kedelai adalah protein dengan berat molekul rendah atau peptida yang umumnya merupakan golongan glikoprotein Ballmer-Weber et al. 2007.

2.2 Alergi Pangan

Alergi pangan secara signifikan memengaruhi morbiditas dan mortalitas hingga 2.5 dari populasi orang dewasa dan 6-8 dari anak-anak kurang dari 3 tahun Sampson 1999. Menurut laporan AS terbaru menunjukkan bahwa tingkat kejadian anafilaksis meningkat menjadi 49.8 dalam 100.000 orang per tahun. Pangan merupakan penyebab utama anafilaksis, sehingga pasien karena anafilaksis yang diinduksi pangan dilaporkan telah meningkat sebesar 350 selama dekade terakhir Ben-Shoshan 2010. Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada manusia digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi tipe I immediate hypersensitivity terjadi dalam waktu yang relatif cepat, dimana pengikatan antigen dan respon IgE menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh sel mastosit yang mengakibatkan inflamasi. Reaksi tipe II antibody-dependent cytotoxic hypersensitivity merupakan reaksi hipersensitivitas yang bersifat sitotoksik dan tergantung pada peranan antibodi. Reaksi ini dapat terjadi dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam, dimana antibodi IgG atau IgM melawan antigen yang muncul pada