Pengujian Reaktivitas Imunologi menggunakan ELISA Rupa et al. 2008

18 Pembuatan blanko Sebanyak 200 L BSA 3 dalam PBS dilapiskan ke dalam lempeng mikrotiter dan diinkubasi selama 1.5 jam pada 37°C. Selanjutnya lempeng mikrotiter dicuci 3 kali dengan PBST PBS yang mengandung 0.05 tween-20 sebanyak 200 Lsumur, lalu ditambah IgG tikus anti IgE manusia yang berlabel HRP sebanyak 100 Lsumur yang sebelumnya telah diencerkan 1μ3000 dalam PBS pH 7.2. Inkubasi dilakukan selama 1 jam pada 37°C, lalu lempeng mikrotiter dicuci dengan PBST 200 Lsumur sebanyak 3 kali, kemudian ditambah substrat DAB sebanyak 100 Lsumur, dan diinkubasi lagi selama 20 menit pada 37°C. OD diukur dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Penentuan sifat alergenisitas isolat protein kedelai Sebanyak 100 Lsumur protein sampel 100 gmL dilapiskan pada lempeng mikrotiter, kemudian diinkubasi pada suhu 4°C selama 18 jam dan dicuci 3 kali dengan PBST sebanyak 200 Lsumur. Selanjutnya, lempeng mikrotiter diblok dengan larutan BSA 3 dalam PBS sebanyak 200 Lsumur, dan diinkubasi selama 1.5 jam pada suhu 37°C. Setelah itu, lempeng mikrotiter dicuci dengan PBST 200 Lsumur sebanyak 3 kali. Serum antibodi primer yang telah diencerkan 1:5 dalam PBS ditambahkan pada lempeng mikrotiter sebanyak 100 Lsumur, selanjutnya diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37°C. Setelah inkubasi, lempeng mikrotiter dicuci dengan PBST 200 Lsumur sebanyak 3 kali. Penambahan antibodi sekunder IgG tikus anti IgE manusia yang berlabel HRP dilakukan setelah mengencerkannya 1:3000 dalam PBS pH 7.2. Antibodi sekunder yang ditambahkan ke dalam lempeng mikrotiter sebanyak 100 Lsumur, lalu diinkubasi selama 1 jam pada 37°C, kemudian dicuci dengan PBST 200 Lsumur sebanyak 3 kali dan ditambah substrat DAB sebanyak 100 Lsumur. Selanjutnya lempeng mikrotiter diinkubasi lagi selama 20 menit pada suhu 37°C. Hasil positif ditandai dengan timbulnya warna biru. Reaksi dihentikan dengan menggunakan H 2 SO 4 2 M sebanyak 50 µLsumur sehingga larutan akan berubah warna menjadi kuning. OD diukur dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Persen penurunan reaktivitas digitung dengan rumus berikut Frias et al. 2008: � = � − � � 100 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolat Protein Kacang Kedelai

Isolasi protein sampel kacang kedelai GMO dan non-GMO dilakukan menggunakan metode pengaturan pH. Sebelum proses isolasi, dilakukan penghilangan lemak pada kacang kedelai menggunakan heksana agar lemak yang terdapat dalam kacang kedelai tidak mengganggu proses isolasi protein. Rendemen isolat protein kacang kedelai GMO dan non-GMO dari proses isolasi adalah 18.51 dan 20.74. Rendemen isolat protein didapatkan berdasarkan berat kedelai awal dengan berat akhir isolat yang diperoleh. Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil pengujian terhadap kadar protein pada sampel dan isolat protein kedelai. Isolat protein kedelai adalah produk protein kedelai yang memiliki protein lebih dari 90 berat kering. Isolat protein kedelai telah banyak diterapkan di industri pangan karena memiliki nilai gizi dan sifat fungsional yang diinginkan Chen et al. 2011. Kadar protein isolat protein kedelai IPK GMO dan non- GMO yang diperoleh berturut-turut sebesar 90.13 dan 90.37. Isolat protein kedelai yang diperoleh pada penelitian ini dapat dikategorikan sebagai isolat protein karena mengandung lebih dari 90 kadar protein di dalamnya. Wu et al. 2009 melakukan isolasi protein kacang tanah dengan beberapa cara presipitasi yang berbeda. Dari penelitian tersebut ditunjukkan bahwa gabungan alkali dan isoelektrik presipitasi menghasilkan kadar protein yang tinggi serta memiliki kelarutan protein, kapasipas pembuat busa dan stabilitas protein yang baik. Tabel 4 Rendemen dan kadar protein isolat protein kedelai Parameter Kedelai GMO Kedelai non-GMO Rendemen Isolat Protein 18.51±1.19a 20.74±1.02b Kadar protein kedelai BK 36.06±0.89a 39.71±0.39b Kadar protein isolat BK 90.13±0.13a 90.37±0.18a a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada p0.05

4.2 Karakteristik Isolat Protein Kacang Kedelai a. Derajat Glikasi

Alergenisitas protein kedelai dapat diturunkan dengan melakukan beberapa proses untuk mengubah struktur alergen dan membuat alergen lebih tidak dikenali antibodi. Perlakuan panas, fermentasi, hidrolisis enzimatik, modifikasi genetik, ekstrusi dan konjugasi gula telah dipelajari sebagai strategi untuk menurunkan alergenitas protein kedelai Wilson et al. 2005. Reaksi glikasi atau Maillard dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu awal, menengah dan tahap akhir. Pada tahap awal, gula pereduksi seperti glukosa, berkonjugasi dengan senyawa tertentu yang memiliki kelompok amino bebas asam amino atau protein terutama kelompok ε-amino lisin, tetapi juga kelompok α-amino dari asam amino terminal untuk membentuk Basa Schiff dengan melepaskan air Liu et al. 2012. Diharapkan pada tahap ini 20 gula yang berikatan dengan asam amino dapat merubah struktur epitop dari protein alergen sehingga dapat menurunkan sisi pengenalan IgE. Penurunan inilah yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan sifat alergen protein kacang kedelai. Gambar 6 Derajat glikasi isolat protein kedelai GMO dan non-GMO setelah ditambahkan FOS. a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada p0.05 pada jenis kedelai yang sama. Reaksi glikasi yang terjadi dengan FOS dapat dilihat pada Gambar 7. Lisin digunakan karena lisin merupakan asam amino pembatas dan memiliki dua amino grup selain histidin dan arginin sehingga dapat beraksi lebih cepat serta banyak terdapat pada kacang-kacangan. Pada Gambar 6 dapat dilihat hasil pengukuran besaran glikasi yang terjadi. Pada perlakuan terendah yaitu rasio 1:4 derajat glikasi yang dihasilkan adalah 56.82 pada IPK non-GMO dan 51.42 pada IPK GMO. Pada perlakuan tertinggi dengan rasio 1:74 didapat nilai 75.03 dan 73.50 masing-masing untuk IPK GMO dan non-GMO. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa penambahan rasio FOS berbanding lurus dengan derajat glikasi yang diperoleh, karena jumlah gula pereduksi yang dapat digunakan semakin banyak. Apabila telah mencapai titik tertentu maka peningkatan tersebut akan berhenti Van de Lagemaat et al. 2007. Bu et al. 2010 melakukan glikasi pada konjugasi β-lactoglobulin dan glukosa dengan mengukur perubahan warna pada panjang gelombang 420 nm. Peningkatan warna coklat dapat dilihat dengan bertambahnya suhu, lama reaksi dan banyaknya glukosa yang ditambahkan. Peningkatan warna coklat menunjukkan bahwa reaksi glikasi yang terjadi semakin tinggi. Pengikatan atau konjugasi protein dengan gula pereduksi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat alergenisitas suatu produk pangan. Bielikowicz et al. 2010 melaporkan bahwa glikasi pada protein gandum dapat menurunkan tingkat reaktivitas terhadap IgE dan IgG. Terjadinya glikasi akan merubah struktur epitop pada protein alergen kacang kedelai sehingga dapat menurunkan alergenisitasnya. d 56,82 c 61,80 b 69,85 a 72,31 a 73,50 d 51,42 c 56,84 b 67,80 a 73,34 a 75,03 10 20 30 40 50 60 70 80 1:04 1:14 1:30 1:52 1:74 D e ra ja t gl ik a si Perbandingan isolat kedelai dan FOS Non-GMO GMO