Sifat Alergenisitas a. Respon Antigenik Isolat Protein Terglikasi

27 tanpa gula pereduksi namun terjadi penurunan reaktivitas pada sampel yang terglikasi dengan penambahan gula pereduksi. Kedelai GMO kontrol GMO 1:4 GMO 1:30 GMO 1:74 Gambar 11 Profil protein alergen kacang kedelai GMO sebelum dan sesudah glikasi Setelah glikasi pada kedua protein kedelai ditemukan 2 pita protein alergen dengan berat molekul berbeda. Pada kedelai GMO protein yang masih dapat berikatan dengan serum adalah protein dengan berat molekul 19.1 kDa dan 126.1 kDa. Alergen 19.1 kDa Amnuaycheewa dan Elvira et al. 2010 merupakan fraksi whey pada protein kedelai sedangkan protein dengan 126.1 kDa merupakan protein yang memiliki berat molekul 70 kDa namun memiliki sisi protein yang dapat dikenali oleh antibodi. Protein ini sama seperti protein alergen yang masih terdeteksi pada protein kedelai non-GMO yang telah terglikasi yaitu 103.3 kDa. Protein lainnya yang juga terdeteksi pada protein kedelai non-GMO yang telah terglikasi adalah dengan berat molekul 10.3 kDa yang merupakan protein alergen dengan kandungan metionin yang tinggi Amnuaycheewa dan Elvira 2010. Glikasi dengan perlakuan pengolahan panas seperti perebusan, pengukusan, pemanggangan dan penyangraian yang dilakukan Sitorus 2014 menunjukkan bahwa perlakuan yang dilakukan dapat menghilangkan seluruh protein alergen yang terdapat pada kacang kedelai. Hal ini terbukti dengan tidak terdeteksi satupun pita protein alergen pada pengujian immunoblotting untuk semua perlakuan. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian terhadap perubahan struktur epitop pada protein kedelai yang terjadi selama glikasi, untuk itu masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat dilihat perubahan yang terjadi pada struktur epitop akibat glikasi. 28 Kedelai non-GMO kontrol non-GMO 1:4 non-GMO 1:30 non-GMO 1:74 Gambar 12 Profil protein alergen kacang kedelai non-GMO sebelum dan sesudah glikasi Protein yang masih terdeteksi setelah dikonjugasi dengan FOS menunjukkan bahwa protein ini merupakan jenis protein yang stabil terhadap pengolahan sehingga protein tersebut masih dapat menimbulkan reaksi alergi. Wilson et al. 2005 menyebutkan bahwa denaturasi, hidrolisis atau konjugasi dapat menurunkan alergenisitas kedelai secara keseluruhan terutama alergen P34 pada kedelai. Namun, tidak ada satupun perlakuan tunggal yang benar-benar dapat menghilangkan alergenisitas P34, tetapi kombinasi perlakuan mungkin dapat menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada hanya satu perlakuan. Diduga bahwa gabungan perlakuan dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pada perlakuan tunggal. Salah satu contoh pengolahan yang dapat dikombinasikan dengan glikasi adalah high hydrostatic pressure HHP. HHP merupakan teknik pengolahan pangan yang dapat menginaktivasi mikroorganisme dengan tetap menjaga karakteristik bahan pangan. Li et al. 2012 menggunakan teknik pengolahan HHP dalam pembuatan susu formula berbasis isolat protein kedelai. Susu formula berbasis isolat protein kedelai ini diproduksi bagi konsumen yang menderita alergi susu sapi, namun 17-47 penderita alergi susu sapi juga memiliki alergi terhadap kacang kedelai El-Agamy 2007. Untuk itu perlu dilakukan pengolahan yang dapat menurunkan alergenisitas kacang kedelai. Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan HHP pada 300 MPa selama 15 menit dapat mengurangi alergenisitas susu formula berbasis isolat protein kedelai sebanyak 48.6.

b. Reaktivitas Imunologi Kacang Kedelai berdasarkan Uji ELISA

Pada penelitian ini dapat dilihat perbedaan reaksi IgE terhadap kedelai GMO dan non-GMO Gambar 13 karena adanya perbedaan OD optical Density antara keduanya. Kedelai GMO memiliki OD yang lebih tinggi dibandingkan kedelai non-GMO. Hal ini menunjukkan kedelai GMO memiliki pengikatan IgE spesifik terhadap alergen yang lebih tinggi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa produk GMO dapat meningkatkan alergenisitas. Kacang polong GMO 29 dikembangkan dengan memasukkan gen dari kacang merah menciptakan protein yang bertindak sebagai pestisida yang bersifat alergen pada tikus. Pengamatan ini menunjukkan bahwa reaksi alergi yang sama mungkin terjadi pada orang yang mengkonsumsi produk GMO ini Mahgoub 2015. Perbedaan ini belum dapat membuktikan bahwa kedelai GMO memiliki alergenisitas yang lebih tinggi daripada kedelai non-GMO karena sampel yang digunakan pada penelitian bukan merupakan kedelai yang memiliki varietas yang sama, sehingga perbedaan ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan varietas dari sampel yang digunakan. Pada penelitian dilakukan pendekatan dengan menggunakan sampel kedelai yang banyak beredar di pasaran dikarenakan sulit mendapatkan sampel kedelai GMO dan non-GMO dengan varietas yang sama. Dari hasil pengujian Elisa juga dapat dilihat bahwa perlakuan FOS dapat menurunkan tingkat alergenisitas kedua sampel protein kedelai namun tidak dapat menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini karena OD sampel yang terglikasi lebih tinggi dibandingkan OD serum kontrol negatif atau serum bukan penderita alergi. Pada Gambar 13 dapat dilihat juga bahwa peningkatan FOS yang diberikan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata p0.05 baik untuk protein kedelai GMO maupun non-GMO, hasil ini sesuai dengan pengujian immunoblotting yang menunjukkan pita alergi yang sama pada semua perlakuan. Bielikowicz et al. 2010 melakukan konjugasi protein gandum dan glukosa dengan penyimpanan selama tiga hari pada suhu 60 °C menunjukkan imunoreaktivitas yang lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol yaitu dengan perlakuan penyimpanan yang sama namun tanpa glukosa. Faktor pemanasan saja kontrol pada penelitian tersebut justru menaikkan imunoreaktivitas dari protein gandum mentah. Hal ini disebabkan sebagian besar protein alergen yang ada memiliki epitop linear yang justru akan terekspos akibat proses pemanasan. Pengujian alergi produk GMO merupakan kunci dalam pengujian keamanan untuk produk GMO Fernandez et al. 2013. Telah banyak penelitian baik secara in vivo maupun in vitro yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan alergenisitas antara produk GMO dan non-GMO. Brake dan Evenson 2004 melakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus terhadap efek glikofosfat toleran pada kedelai menunjukkan bahwa tidak ada dampak kedelai GMO terhadap tikus. Pengujian in vitro dilakukan oleh Kim et al. 2006 pada kedelai GMO yang memiliki transgen EPSPS 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase yaitu kedelai yang resisten terhadap herbisida menunjukkan bahwa ekspresi gen penyandi EPSPS tersebut tidak memengaruhi alergenisitas dari kedelai.