tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi
dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada tahap ketiga, pengeringan penguapan air tidak hanya berlangsung melalui
permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan.
Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering artificial drying, atau dengan penjemuran sun drying yaitu pengeringan dengan
menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan artificial drying mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur
sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan, dan kebersihan dapat diawasi Winarno dan Fardiaz 1973. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan suatu bahan pangan menurut Buckle et al. 1985 adalah sebagai berikut:
1 Sifat fisik dan kimia dari produk bentuk, ukuran, komposisi, kadar air
2 Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau
media perantara pemindah panas seperti nampan untuk pengeringan 3
Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering suhu, kelembaban, dan kecepatan udara
4 Karakteristik alat pengering efisiensi pemindahan panas
2.3 Penurunan Mutu
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan karena adanya serangan mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan ini sangat dipengaruhi
oleh kandungan aktivitas air a
w
dalam produk tersebut. Kerusakan lain yang dapat terjadi pada produk pangan adalah reaksi oksidasi. Laju reaksi oksidasi
sangat dipengaruhi oleh aktivitas air a
w
. Enzim lipoksidase mulai mengkatalis reaksi oksidasi pada lemak tak jenuh saat nilai a
w
bahan pangan sebesar 0,3, dan laju reaksi oksidasi meningkat secara cepat seiring dengan peningkatan nilai a
w
pada bahan pangan Steele 2004. Pada produk pangan kering dengan nilai a
w
kurang dari 0,1 oksidasi dapat terjadi dengan cepat, saat nilai a
w
meningkat sekitar
0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai a
w
mengalami kenaikan menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali Nawar 1977.
Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid
dalam bentuk malonaldehid Nawar 1977. Reaksi oksidasi akan meningkat secara langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar
oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat
suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam
lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada
isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah
pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan Nawar 1977.
2.4 Umur Simpan
The Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana
produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sedangkan National Food Processor Association
mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima
untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan Arpah 2001.
Menurut Syarief
et al. 1989, faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:
1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume.
3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies ESS dan Accelerated Storage
Studies ASS. ESS atau yang biasanya disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada
kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat,
namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak. Sedangkan ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat
reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ASS ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang
tinggi. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan
untuk produk-produk pangan tertentu. Produk-produk tersebut ditentukan mekanisme dan kriteria kadaluwarsanya. Adapun mekanisme penurunan mutu dan
kriteria kadaluwarsa produk pangan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Mekanisme penurunan mutu dan kriteria kadaluwarsa produk pangan
Produk Mekanisme penurunan mutu
Kriteria kadaluwarsa
Teh kering Penyerapan uap air
Peningkatan kadar air Susu bubuk
Penyerapan uap air Pencoklatan
Susu bubuk Oksidasi
Laju konsumsi O2 Makanan laut kering
beku Oksidasi dan fotodegradasi
Aktivitas air Makanan bayi
Penyerapan uap air Konsentrasi asam
askorbat Makanan kering
Penyerapan uap air -
Sayuran kering Penyerapan uap air
Off flavor-perubahan warna
Kol kering Penyerapan uap air
Pencoklatan Tepung biji kapas
Penyerapan uap air Pencoklatan
Tepung tomat Penyerapan uap air
Konsentrasi asam askorbat
Biji-bijian Penyerapan uap
air Peningkatan kadar air
Keju Penyerapan uap
air Tekstur
Bawang kering Penyerapan uap air
Pencoklatan Buncis hijau
Penyerapan uap air Konsentrasi klorofil
Keripik kentang Penyerapan uap air dan oksidasi
Laju oksidasi Keripik kentang
Oksidasi Laju konsumsi O2
Ebi beku Oksidasi
Konsentrasi karoten dan laju konsentrasi O2
Tepung gandum Penyerapan uap air dan oksidasi
Konsentrasi asam askorbat
Minuman kering Pelepasan CO2
Perubahan tekanan
Sumber: Floros dan Gnanasekharan 1993 dalam Herawati 2008
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Peningkatan suhu sebesar 10
°C dapat mempercepat proses penurunan mutu sebesar dua kali lipat Arpah 2001. Pendugaan umur simpan dihitung
menggunakan pendekatan Arrhenius Labuza 1982 dalam Arpah 2001 Persamaan Arrhenius:
k = k
o
. e
-EaRT
atau dalam bentuk logaritma ln k = ln k
o
+ -EaR 1T atau bentuk persamaan linear
y = b + ax dimana: y=ln k ; x=1T
Keterangan: t = prediksi umur simpan hari
A
o
= nilai mutu awal A
t
= nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t k
= konstanta penurunan mutu k
o
= konstanta
tidak tergantung suhu Ea = Energi aktivasi
T = suhu mutlak K
R = konstanta fas 1.986 kalmol K Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan
ke dalam persamaan reaksi Ordo nol atau satu. Menurut Labuza 1982, reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi Ordo nol dan satu,
sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain. 1. Reaksi Ordo Nol
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi Labuza
1982. Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan
digambarkan dengan persamaan:
2. Reaksi Ordo Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo satu
meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor penyimpangan flavor oleh mikroba pada daging, ikan, dan unggas, kerusakan vitamin,
penurunan mutu protein, dan sebagainya Labuza 1982. Persamaan reaksi Ordo satu adalah:
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat