Pendugaan Sisa Umur Simpan Minuman Jelly Di Pasaran

(1)

PENDUGAAN SISA UMUR SIMPAN

MINUMAN

JELLY DI PASARAN

Oleh

DHODI PRANAJAYA F34102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PENDUGAAN SISA UMUR SIMPAN

MINUMAN

JELLY DI PASARAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

DHODI PRANAJAYA F34102076

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENDUGAAN SISA UMUR SIMPAN MINUMANJELLY DI PASARAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Dhodi Pranajaya

F34102076

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 1984 Tanggal lulus :

Disetujui,

Dr. Ir. Krisnani Setyowati Dosen Pembimbing I

Ir. Sugiarto, MSi Dosen Pembimbing II


(4)

Dhodi Pranajaya.F 34102076. Pendugaan Sisa Umur Simpan MinumanJelly di Pasaran. Di bawah Bimbingan Krisnani Setyowati dan Sugiarto. 2007.

RINGKASAN

Saat ini, terdapat banyak jenis minuman siap konsumsi yang beredar di pasaran, salah satunya adalah jenis minuman jelly. Minuman jelly dapat dengan mudah ditemukan di tingkat pengecer partai besar, seperti supermarket, sampai dengan pengecer partai kecil, seperti warung-warung dan pedagang minuman keliling. Pada tingkat pengecer kecil, sering kali minuman jelly mengalami berbagai macam kondisi penyimpanan, seperti tersimpan dalam lemari pendingin, di simpan pada kondisi penyimpanan terpapar sinar matahari langsung, ataupun pada dua kondisi tersebut secara bergantian. Perbedaan dan perubahan kondisi penyimpanan dapat mengakibatkan perbedaan penurunan mutu produk yang dipasarkan, sehingga memungkinkan perbedaan umur simpan dari yang tertera pada kemasan minumanjelly yang dicantumkan oleh produsen.

Studi ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) mengetahui karakteristik awal produk minuman jelly; (2) mengetahui tingkat perubahan mutu produk minumanjelly selama masa penyimpanan; dan (3) menentukan parameter dan titik kritis mutu produk dan menduga umur simpan produk minuman jelly dengan menggunakan metode Arrhenius berdasarkan parameter kritisnya.

Minuman jelly rasa jeruk disimulasikan dengan menggunakan metode akselerasi dalam tiga kondisi penyimpanan pada inkubator (10oC, 25oC, dan 30oC), serta diberi perlakuan penjemuran (1 jam, 3 jam dan 5 jam). Parameter yang diamati selama proses penyimpanan ini adalah pH, derajat warna, total asam, efek sineresis, kadar vitamin C, dan kadar gula. Selama proses penyimpanan, parameter warna mengalami perubahan yang sangat signifikan, sehingga dalam perhitungan umur simpan, parameter warna digunakan sebagai parameter kritis. Perubahan parameter warna ditandai dengan perubahan warna dari kuning kemerahan menjadi kuning terang sampai pada kondisi warna kuning yang terkandung hilang. Dari hasil pengukuran sebelum proses penyimpanan, didapat data awal sebagai berikut: nilai derajat warna L = 25,44, a = 30,57, b = 71,45; sineresis sebesar 6,96%; nilai total asam sebesar 0,14 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel; nilai total padatan terlarut = 4,20o Brix; pH = 4,75; kadar vitamin C = 1,32 mg/100 g sampel. Pada akhir periode uji didapat data sebagai berikut: nilai derajat warna L = 28,23, a = 31,99, b = 76,26; sineresis sebesar 17,12%; nilai total asam sebesar 0,14 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel; nilai total padatan terlarut = 4,90oBrix; pH = 4,98; kadar vitamin C = 0,83 mg/100 g sampel.

Masa kadaluarsa yang tercantum pada kemasan adalah 1 tahun terhitung sejak produk diproduksi. Akan tetapi, setelah dilakukan simulasi umur simpan dengan kombinasi suhu penyimpanan 10oC, 25oC, dan 30oC; serta kombinasi waktu penjemuran 1, 3 dan 5 jam, umur simpan produk tidak mencapai masa kadaluarasa yang tercantum pada kemasan. Dari hasil perhitungan, sampel yang memiliki umur simpan paling pendek adalah produk dengan perlakukan suhu 30oC dengan waktu penjemuran 5 jam. Umur simpan produk dengan perlakuan tersebut adalah 7 hari. Produk dengan umur simpan paling lama adalah produk dengan perlakuan suhu 10oC dengan waktu penjemuran 1 jam. Umur simpan produk dengan perlakukan tersebut adalah 112 hari.


(5)

Dhodi Pranajaya. F 34102076. Shelf Life Estimation of Marketed Jelly Drink. Supervised by Krisnani Setyowati dan Sugiarto. 2007.

SUMMARY

Nowadays, various kinds of ready-to-drink beverages are provided in the market, without the exception of jelly drink. The consumers could easily found the jelly drink product from a big retailer level, such as supermarket, to the small retailer level, such as small shop and beverages peddler. At the small retailer level, the seller so often put the product in various conditions, whether in a cooler box/refrigerator, in a place with direct exposure of sun light, or by turns in both conditions. The different and the changing condition of storage can cause a distinction in quality decrease of the product. There is a possibility that the distinction of quality decrease, could make a differences in product shelf life from the expiration date that printed by the manufacturer.

The objectives of this study are: (1) to obtain the initial characteristic of the jelly drink; (2) to obtain the level of quality changes during the storing period; and (3) to determine the parameter and critical point of product quality and to estimate the shelf life of jelly drink product using the Arrhenius method based on the critical parameter.

The orange flavored jelly drink, was simulated by using acceleration method in three storage condition at the incubator (10oC, 25oC and 30oC) and three treatment of sunlight exposure (1 hour, 3 hours and 5 hours). During the storage process, some parameters were analyzed. The parameters are pH, color degree, total acid, syneresis effect, vitamin C content, and sugar content. During the storing process, the color parameter was significantly changing, so for the shelf life estimation, the color parameter was used as a critical parameter. The changes of the color parameter signify by the change of product color from reddish yellow to light yellow to a condition where the yellow color was all gone. The initial characteristics of the product were: the color degree of L = 25,44, a = 30,57, b = 71,45; syneresis of 6,96%; total acid of 0,14 ml NaOH 0,1 N/100 g sample; total solved solid of 4,20oBrix; pH of 4,75; and vitamin C content of 1,32 mg/100 g sample. At the end of testing period, the product characteristics were the color degree of L = 28,23, a = 31,99, b = 76,26; syneresis of 17,12%; total acid of 0,14 ml NaOH 0,1 N/100 g sample; total solved solid of 4,90oBrix; pH of 4,98; and vitamin C content of 0,83 mg/100 g sample.

The expiration date printed by the manufacturer is one year from the production date. But, after the shelf life simulation with three temperature treatment (10oC, 25oC and 30oC); and the sunlight exposure time combination (1 hour, 3 hours and 5 hours), the shelf life of the jelly drink product was not the same as the expiration date that printed by the manufacturer. Sample with the shortest shelf life was the product with 30oC temperature treatment and sunlight exposure time of 5 hours. The shelf life of the product was 7 days. While, sample with the longest shelf life was the product with 10oC temperature treatment and sunlight exposure time of 1 hour. The shelf life of the product was 112 days.


(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang bejudul “Pendugaan Sisa Umur Simpan Minuman Jelly di Pasaran”adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, Agustus 2007 Yang Membuat Pernyataan

Nama : Dhodi Pranajaya NRP : F34102076


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 21 Oktober 1984. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Maulana Djaya dan Yayat Dewi Karyawati. Pada tahun 1996, penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 07 Pagi Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan pada SLTPN 115 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 26 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan tingginya pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapangan (PL) di PT Nagasakti Paramashoes Industry Tangerang dengan judul “ Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Dan Pengendalian Mutu Produk Karet Sol Sepatu di PT. Nagasakti Paramashoes Industry - Tangerang”. Sebagai pelaksanaan tugas akhir, penulis melakukan penelitian berjudul “Pendugaan Sisa Umur Simpan Minuman Jelly di Pasaran” di Laboratorium Pengemasan Departemen Teknologi Industi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini digunakan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Krisnani Setyowati selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian. 2. Bapak Ir. Sugiarto MSi., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian.

3. Ibu Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT., selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran dalam penyempurnaan skripsi.

4. Papah, Mamah, Andri, Novi dan seluruh keluarga yang selalu membantu dan memberikan dukungan kepada penulis baik moril maupun materil selama melaksanakan penelitian.

5. Keluarga besar Bapak Karnaen, yang memberikan dukungan baik moril maupun materil.

6. Bapak Sugiardi, Bapak Edi Sumantri, Pak Gun, Ibu Ega, Teh Pepi, Pak Mulya, yang telah memberikan banyak informasi dan pengarahan kepada penulis dalam pengumpulan data dan penelitian di laboratorium.

7. Keluarga Bapak Endang yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini. 8. Vera Intan Anggraeni yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

9. Atih kurniasih beserta keluarga atas dukungannya kepada penulis.

10. Ali, Abay, Darma, Dina, Hendra, Dani, Heri, Tatang, Abdul, Prama, Chakil dan semua official members of SNIPER yang telah menyemangati dan memberikan masukan disaat ada kesulitan.


(9)

11. Ka Deni, Rifqi, Dewi, Ratih, Kurnia, Anto, Chery, Yuli, Tya, Evi, Ari, Eva, Fifi, Morwanti, Fitriati, Fariz, Adrin, Candra, Yanita, Arin, Anastasia yang telah menemani dan menyemangati disaat ada kesulitan.

12. Ahmad Arban Khoiri yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi.

13. Hari, Tarwin dan Igma yang telah bersedia memberi penginapan semalam sewaktu menjelang seminar dan ujian sidang.

14. Teman-teman TINers 39 dan 40 atas dukungannnya sebelum dan pada saat pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

15. Seluruh pengajar, karyawan, dan tenaga penunjang di Departemen TIN.

16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis merasa skripsi ini belum sempurna, sehingga saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan sebagai instropeksi dan evaluasi untuk penulis guna menuju kebenaran. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. RUANG LINGKUP ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. MINUMANJELLY ... 3

B. PENGEMASAN ... 12

C. UMUR SIMPAN ... 12

III. METODOLOGI ... 16

A. ALAT DAN BAHAN ... 16

1. Alat ... 16

2. Bahan ... 16

B. METODE PENELITIAN ... 16

1. Analisa Proksimat Produk dan Penentuan Nilai Kritis Parameter .... 16

2. Simulasi Penyimpanan ... 17

3. Pendugaan Umur Simpan ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

A. KARAKTERISTIK PRODUK ... 19

B. PERUBAHAN KARAKTERISTIK MINUMANJELLY SELAMA PENYIMPANAN ... 20

1. Sineresis ... 20

2. pH ... 23

3. Total Asam Tertitrasi ... 25


(11)

PENGHILANGAN EMISI GAS BAU

DARI TEMPAT PENUMPUKAN LEUM INDUSTRI KARET

REMAH DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOFILTER

DERIN PAHLEVI

F34103038

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PENGHILANGAN EMISI GAS BAU

DARI TEMPAT PENUMPUKAN LEUM INDUSTRI KARET

REMAH DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOFILTER

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DERIN PAHLEVI F34103038

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGHILANGAN EMISI GAS BAU

DARI TEMPAT PENUMPUKAN LEUM INDUSTRI KARET

REMAH DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOFILTER

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Derin Pahlevi F34103038

Dilahirkan pada tanggal 10 Nopember 1984 Di Baturaja

Tanggal Lulus : 24 Agustus 2007 Bogor, Agustus 2007

Menyetujui,

Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng. Drs. Purwoko, MS Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(14)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi dengan judul ” Penghilangan Emisi Gas Bau dari Tempat Penumpukan Leum Industri Karet Remah dengan Menggunakan Teknik Biofilter” merupakan karya tulis saya pribadi dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebutkan rujukannya.

Bogor, Agustus 2007 Yang Membuat Pernyataan

Nama : Derin Pahlevi NIM : F34103038


(15)

BIODATA PENULIS

Derin Pahlevi dilahirkan di Baturaja pada tanggal 10 November 1984 dari bapak Thamrin Usman dan ibu Ademi. Putra pertama dari empat bersaudara ini menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 18 Baturaja tahun 1991-1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP 2 Baturaja tahun 1997-2000 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Baturaja tahun 2000-2003.

Pada tahun 2003, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penulis diberikan kesempatan untuk melakukan praktikum lapang di PT. Tanjungenim Lestari Pulp and Paper, Kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan tahun 2006. Pada bulan Agustus 2007, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Penghilangan Emisi Gas Bau dari Tempat Penumpukan Leum Industri Karet Remah dengan Menggunakan Teknik Biofilter”.


(16)

Derin Pahlevi (F34103038). Penghilangan Emisi Gas Bau dari Tempat Penumpukan Leum Industri Karet Remah dengan Menggunakan Teknik Biofilter. Di bawah bimbingan Mohamad Yani dan Purwoko. 2007.

RINGKASAN

Perkembangan dalam bidang teknologi dan industri di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, menimbulkan masalah baru yang cukup serius bagi lingkungan sekitar berupa pencemaran udara. Emisi gas penyebab bau banyak ditimbulkan oleh industri, salah satunya adalah industri karet remah. Efek yang ditimbulkan oleh gas tersebut meliputi berbagai segi antara lain mengganggu kenyamanan, masalah estetika serta munculnya masalah terhadap kesehatan manusia. Salah satu sumber gas penyebab bau pada industri karet berasal dari tempat penumpukan leum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan biofilter dalam mengatasi masalah emisi gas penyebab bau yang terdapat pada tempat penumpukan leum di industri karet remah. Percobaan dilakukan menggunakan skala pilot dengan bahan pengisi utama tanah perkebunan karet, serta bahan tambahan yaitu serasah daun karet dan sludge. Parameter yang diukur adalah gas amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S). Kondisi bahan pengisi yang diukur meliputi pH, temperatur, kadar air, total N, total S, total C, nitrat, sulfat, dan mikroba. Analisis data menggunakan metode deskriptif dengan grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan.

Hasil pengukuran terhadap emisi gas pada tempat penumpukan leum menunjukkan bahwa konsentrasi inlet gas amoniak berada pada kisaran 4.1 – 20.1 ppm dan inlet gas hidrogen sulfida (H2S) pada kisaran 0 – 0.978 ppm. Efisiensi biofilter dalam mendegradasi NH3 berada pada kisaran 17 - 100 % dengan rata-rata diatas 85 – 99 %, sedangkan efisiensi biofilter dalam mendegradasi H2S berada pada kisaran 0.5 – 100 % dengan rata-rata diatas 66 – 71 %. Kemampuan biofilter yang berisi tanah perkebunan karet selama 30 hari menunjukkan nilai kapasitas penyerapan amoniak dari 28.88 – 67.29 g-N/kg-media-kering/hari sedangkan untuk kapasitas penghilangan hidrogen sulfida 0.15 – 2.56 g-S/kg-media-kering/hari. Berdasarkan efisiensi penghilangan gas polutan amoniak dan hidrogen sulfida, biofilter yang terbaik adalah biofilter 3 dengan bahan pengisi tanah dan sludge.


(17)

Derin Pahlevi (F34103038). The Loosing of Odorous Gas Emission at The Industry Crump Rubber Leum Storage by Biofilter Technique . Supervised byMohamad Yani dan Purwoko. 2007.

SUMMARY

Technological and industrial development have bought air pollution as one of the most serious problem to the environment. Gas emission as the source of odor is produced by industries, such as crump rubber industry. This gas emission has influenced lots of aspect in human life, like disturbing our favourable environment, and it also influenced human health and causing aesthetic problems. One of the source of gas that cause odor at rubber industry comes from leum storage.

The objection of this research is to find the ability of biofilter to solve odorous gas emission problem at the leum storage. The research was conducted in pilot scale, using soil from rubber plantation as the primary packaging material and addition substances that are the litter of Hevea brasiliensis and sludge. Parameters of the research are ammonia gas (NH3) and hydrogen sulfide (H2S). Condition of packaging material were measured for pH, temperature, water content, total N, total S, total C, nitrate, sulfate, and microorganism. Data was analyzed by descriptive methods that would describe all of parameter condition during the research.

Result of gas emission at the leum storage showed that the concentration of ammonia inlet gas was in range of 4.1 – 20.1 ppm while the range of the concentration of hydrogen sulfide inlet gas is 0 – 0.978 ppm. Biofilter efficiency in NH3 degradation is 17 – 100 % with the average is more than 85 – 99 %, where as the efficiency of biofilter in H2S degradation is in range of 0.5 – 100 % with the average is more than 66 – 71 %. The ability of biofilter that is filled by soil of rubber plantation with in 30 days showed the rate of ammonia absorption capacity from 28.88 to 67.29 g-N/kg-dry-material/day while for the hydrogen sulfide loosing capacity is 0.15 – 2.56 g-S/kg-dry-material/day. Based of the efficiency of ammonia and hydrogen sulfide removal, it was known that combination of soil from rubber plantation and sludge is the best combination for biofilter.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur selalu terpanjat kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai nikmatnya sehingga saya dapat menulis Skripsi ini. Skripsi yang berjudul Penghilangan Emisi Gas Bau dari Tempat Penumpukan Leum Industri Karet Remah dengan Menggunakan Teknik Biofilter.

Melalui Skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng, sebagai dosen pembimbing 1 yang telah banyak memberikan bimbingan selama ini.

2. Drs. Purwoko, MS sebagai dosen pembimbing 2 yang telah banyak memberikan bimbingan selama penyelesaian tugas akhir.

3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si penguji yang telah memberikan saran dan kritik.

4. Papa, mama, serta adik-adikku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan doa.

5. Pimpinan dan staf pabrik karet PT.PN VIII kebun Sukamaju, Cibadak, Sukabumi.

6. Seluruh staf dan karyawan jurusan Teknologi Industri Pertanian atas semua bantuannya selama ini.

7. Puji Rahmawati N yang telah memberikan bantuan dan dorongannya selama penelitian.

8. Ririn Herningrum yang memberikan perhatian dan kasih sayang selama ini. 9. Rekan-rekan TIN ’40 yang telah memberikan semangat serta bantuan

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang seluasnya di kemudian hari dan mendapatkan ridho Allah SWT.

Bogor, Agustus 2007


(19)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUANG LINGKUP ... 3

C. TUJUAN PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. INDUSTRI KARET... 4

B. GETAH KARET BEKU ATAU LEUM... 5

C. EMISI GAS BAU PADA INDUSTRI KARET ... 6

D. BIOFILTER ... 9

E. BAKTERI PENGOKSIDASI AMONIAK (NH3) ... 14

F. BAKTERI PENGOKSIDASI SENYAWA SULFUR ... 15

G. BAKTERI HETEROTROF ... 16

III. METODE PENELITIAN... 18

A. BAHAN DAN ALAT ... 18

B. LOKASI PENELITIAN... 19

C. PENELITIAN UTAMA... 19

D. ANALISA DATA ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 21

A. INDUSTRI KARET REMAH PT. PN VIII DI PABRIK SUKAMAJU ... 21

B. KARAKTERISTIK BAHAN PENGISI BIOFILTER... 23

C. INLET NH3 DAN H2S ... 25

D. KINERJA BIOFILTER 1... 28

E. KINERJA BIOFILTER 2... 38

F. KINERJA BIOFILTER 3... 47


(20)

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 56

A. KESIMPULAN ... 56

B. SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA... 57

LAMPIRAN... 61


(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pertumbuhan Luas Areal Karet di Indonesia ... 4

Tabel 2. Klasifikasi Dampak Amoniak ... 6

Tabel 3. Pengaruh Amoniak Melalui Pernapasan Terhadap Kesehatan Manusia ... 7

Tabel 4. Dampak Menghirup H2S ... 8

Tabel 5. Kapasitas Penghilangan Maksimum dari Beberapa Senyawa Polutan ... 10

Tabel 6. Bakteri-bakteri Pengoksidasi Amoniak dan Nitrit ... 14

Tabel 7. Bakteri Heterotrof Pengoksidasi Senyawa Sulfur... 17

Tabel 8. Bakteri Heterotrof Pengoksidasi Senyawa Nitrogen... 17

Tabel 9. Komposisi dan Karakteristik Kimia Bahan Pengisi Biofilter ... 23

Tabel10. Perbandingan Konsentrasi Gas Polutan di Beberapa Pabrik Karet pada PT.PN VIII ... 25


(22)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Sulfur Secara Biologi ... 8 Gambar 2. Transpormasi Nitrogen yang Terjadi dalam Biofilter... 11 Gambar 3. Nitrosomonas sp... 15

Gambar 4. Diagram Kolom Biofilter ... 18 Gambar 5. Diagram Proses Pembuatan Karet Remah di Pabrik Sukamaju... 22 Gambar 6. Konsentrasi Inlet Gas Amoniak (NH3) Selama Penelitian... 26 Gambar 7. Konsentrasi Inlet Gas Hidrogen Sulfida (H2S) Selama

Penelitian... 27 Gambar 8. Kondisi dan Kinerja Penghilangan NH3 Biofilter 1 : (a) Inlet-

Outlet, dan Efisiensi (b) pH, (c) Jumlah Bakteri Pengoksidasi Amoniak, Bakteri Pengoksidasi Sulfur, dan Mikroba Heterotrof, dan (c) Kadar Air ... 29 Gambar 9. Kinerja Penghilangan H2S Biofilter 1 ... 32 Gambar10. Kandungan Beberapa Unsur dalam Biofilter 1 : (a) Nitrogen, (b)

Nitrat, (c) Sulfur, dan (d) Karbon... 34 Gambar11. Kapasitas Penyerapan N terhadap Beban yang Masuk ke dalam

Biofilter 1 ... 35 Gambar12. Kapasitas Penyerapan S terhadap Beban yang Masuk ke dalam

Biofilter 1 ... 36 Gambar13. Total Penghilangan N pada Biofilter 1... 37 Gambar14. Total Penghilangan S pada Biofilter 1 ... 38 Gambar15. Kondisi dan Kinerja Penghilangan NH3 Biofilter 2 : (a) Inlet-

Outlet, dan Efisiensi (b) pH, (c) Jumlah Bakteri Pengoksidasi Amoniak, Bakteri Pengoksidasi Sulfur, dan Mikroba Heterotrof, dan (c) Kadar Air ... 39 Gambar16. Kinerja Penghilangan H2S Biofilter 2 ... 41 Gambar17. Kandungan Beberapa Unsur dalam Biofilter 2 : (a) Nitrogen, (b)

Nitrat, (c) Sulfur, dan (d) Karbon... 42


(23)

Gambar18. Kapasitas Penyerapan N terhadap Beban yang Masuk ke dalam Biofilter 2 ... 44 Gambar19. Kapasitas Penyerapan S terhadap Beban yang Masuk ke dalam

Biofilter 2 ... 45 Gambar20. Total Penghilangan N pada Biofilter 2... 46 Gambar21. Total Penghilangan S pada Biofilter 2 ... 47 Gambar22. Kondisi dan Kinerja Penghilangan NH3 Biofilter 3 : (a) Inlet-

Outlet, dan Efisiensi (b) pH, (c) Jumlah Bakteri Pengoksidasi Amoniak, Bakteri Pengoksidasi Sulfur, dan Mikroba Heterotrof, dan (c) Kadar Air ... 48 Gambar23. Kinerja Penghilangan H2S Biofilter 3 ... 49 Gambar24. Kandungan Beberapa Unsur dalam Biofilter 3 : (a) Nitrogen, (b)

Nitrat, (c) Sulfur, dan (d) Karbon... 51 Gambar25. Kapasitas Penyerapan N terhadap Beban yang Masuk ke dalam

Biofilter 3 ... 53 Gambar26. Kapasitas Penyerapan S terhadap Beban yang Masuk ke dalam

Biofilter 3 ... 53 Gambar27. Total Penghilangan N pada Biofilter 3... 54 Gambar28. Total Penghilangan S pada Biofilter 3 ... 54


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1a. Kurva Standar NH3... 62 Lampiran 1b. Hasil Pengamatan NH3 Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 1 ... 63 Lampiran 1c. Hasil Pengamatan NH3 Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 2... 64 Lampiran 1d. Hasil Pengamatan NH3 Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 3... 65 Lampiran 2a. Kurva Standar H2S ... 66 Lampiran 2b. Hasil Pengamatan H2S Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 1... 67 Lampiran 2c. Hasil Pengamatan H2S Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 2... 68 Lampiran 2d. Hasil Pengamatan H2S Inlet, Outlet, beban, dan Efisiensi

pada Biofilter 3... 69 Lampiran 3. Metode Analisis Pengujian ... 70


(25)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Perkembangan dalam bidang teknologi dan industri di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, menimbulkan masalah baru yang cukup serius bagi lingkungan sekitar berupa pencemaran udara. Seperti kita ketahui bahwa kebutuhan akan udara bersih mutlak diperlukan, namun udara bersih saat ini sulit untuk didapatkan. Hal ini dikarenakan udara yang ada sekarang terkena polusi, terutama daerah perkotaan yang banyak industri dan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak bumi.

Masyarakat menginginkan lingkungan yang bersih dan bebas polusi. Keluhan-keluhan tentang bau busuk atau amis telah dilontarkan oleh sejumlah penduduk sekitar industri tertentu. Keluhan-keluhan ini terjadi, karena lokasi pemukiman yang dekat dengan industri. Polutan gas ini dapat bersifat sintetis ataupun senyawa alami. Klasifikasi pertama terutama meliputi emisi gas berbau dari proses industri, misalnya : perusahaan flavor sintetik, perusahaan cat dan zat warna, industri farmasi dan obat-obatan, industri pulp dan kertas, industri pengolahan karet alam, dan sebagainya. Emisi gas penyebab kebauan bersifat iritan pada paru-paru dan efek utamanya adalah melumpuhnya pusat pernafasan. Gejala yang ditimbulkan adalah hilangnya kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi selaput lendir mata, muntah, pusing, sakit kepala, dan pada konsentrasi bau yang tidak dapat ditolerir dapat menimbulkan kematian (Soemirat, 2002). Beberapa tahun terakhir ini emisi industri menjadi masalah penting, mengingat masyarakat mulai mengerti dan terganggu dengan adanya polusi udara.

Industri karet merupakan salah satu industri yang berkembang di Indonesia. Industri karet memberikan sumbangan yang nyata bagi perekonomian karena industri ini merupakan salah satu industri besar di Indonesia. Luas lahan karet di Indonesia berkisar antara 2.7 – 3.5 juta ha dengan produksi mencapai lebih dari 1.37 juta ton/tahun (BPS, 2002). Di satu sisi perkembangan industri karet memberikan dampak positif bagi perekonomian di Indonesia, tetapi di sisi lain terdapat kemungkinan dampak


(26)

negatif yang terjadi di dalam perkembangan kegiatan pengolahan karet, yaitu masalah emisi gas penyebab kebauan. Sumber emisi gas dari industri karet yang menyebabkan timbulnya bau berasal dari beberapa kegiatan, antara lain adalah kegiatan penyimpanan getah karet beku (leum), ruang pengolahan sheet (karet berbentuk lembaran), instalasi pengolahan limbah cair serta ruang pengasapan (Warintek-Progressio, 2000).

Leum yang dikumpulkan dalam gudang penyimpanan mengalami penumpukan selama berhari-hari, sehingga memicu reaksi anaerobik yang mengeluarkan gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat terutama amoniak, sulfida, serta senyawa organik lain yang mudah menguap (volatile organic compounds). Emisi gas penyebab kebauan yang berasal dari gudang penyimpanan leum sangat mengganggu dan yang lebih penting adalah gas ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, penurunan nilai estetika serta dampak negatif lainya.

PT. Perkebunan Nusantara VIII sebagai salah satu perusahaan yang mengolah komoditi karet di Indonesia yang memiliki luasan kebun karet sekitar 27.245,06 ha dengan kapasitas pertahun RSS : 6.624 ton, TPC : 1.620 ton, Lateks pekat : 3.979 ton, dan SIR : 8.098 ton (www.pn8.co.id). Dengan kapasitas yang begitu besar pertahunnya maka perusahaan ini berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya, seperti masalah emisi gas yang dihasilkan dari pabrik. Berbagai macam cara telah dilakukan oleh pihak perusahaan dalam hal ini fokus ke salah satu kebunnya yaitu Sukamaju, seperti dilakukannya perendaman, penambahan anti bakteri, serta dengan penambahan “deorub” yang merupakan bahan dari asap cair kelapa sawit. Semua kegiatan itu dilakukan untuk mengatasi masalah bau busuk yang keluar dari pabrik. Cara penghilangan bau busuk tersebut sudah cukup baik akan tetapi kegiatan ini menimbulkan masalah baru. Upaya penghilangan bau melalui perendaman menimbulkan masalah baru yaitu limbah cair, pada kegiatan penambahan anti bakteri terjadi pencemaran lahan lingkungan sekitar, dan penambahan “deorub” menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya gatal-gatal pada pekerja.


(27)

Metode biofilter merupakan salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan penghilangan emisi gas bau pada pabrik karet. Keuntungan dari pengolahan emisi dengan metode biofilter adalah metode ini melalui proses yang sederhana, menggunakan biaya investasi yang rendah, stabil pada penggunaan dalam waktu yang relatif lama (2-7 tahun), dan memiliki daya penguraian/pengolahan yang tinggi serta metode ini tidak menimbulkan masalah baru (Andrew dan Noah, 1995).

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penelitian ini adalah penghilangan emisi gas pada industri karet yaitu amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) melalui kolom biofilter yang berisi bahan pengisi berupa tanah, serasah, dan sludge. Efektivitas penghilangan gas NH3 dan H2S ditentukan berdasarkan efisiensi, kapasitas penghilangan, dan daya tahan dari masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan bahan pengisi biofilter terbaik berdasarkan kemampuannya menghilangkan emisi gas NH3 dan H2S.

2. Menentukan kapasitas penyerapan emisi gas pada masing-masing biofilter yang digunakan.


(28)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. INDUSTRI KARET

Karet merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting dalam lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian utama karena banyak menunjang perekonomian negara. Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand dan pengekspor berbagai bentuk produk olahan karet. Terdapat tiga jenis produk yang dihasilkan dalam pengolahan karet yaitu lateks pekat, sheet atau Ribbed Smoke Sheet (RSS) dan karet remah atau Standard Indonesia Rubber (SIR).

Selama lebih dari 35 tahun (1967-2003), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1.2 persen per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (1.5 % per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun (Tabel 1). Dengan luas sekitar 3.3 juta ha pada tahun 2003, mayoritas (85 %) perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (91 %) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288 ha (9 %) dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan.

Tabel 1. Pertumbuhan Luas Areal Karet di Indonesia (1967-2003)

Area (000 ha) Deskripsi

1967 % 2003 %

Pertumbuhan (%/thn)

Perkebunan Rakyat 1 617 76 2 797 85 1.58

Perkebunan Negara 223 10 221 7 - 0.15

Perkebunan Swasta 292 14 272 8 - 0.15

Total 2 132 100 3 290 100 1.26

Sumber : (www.yudis.info).

Lateks dapat diolah menjadi berbagai jenis produk barang jadi. Lateks (latex goods) dan karet padat (RSS, SIR) dapat dijadikan bahan baku untuk


(29)

berbagai jenis barang karet. Barang jadi dari karet terdiri dari berbagai jenis dan dapat diklasifikasikan menurut penggunaan akhir atau menurut saluran pemasaran. Pengelompokan yang umum dilakukan adalah menurut penggunaan akhir yakni: (1) ban dan produk terkait serta ban dalam, (2) barang jadi karet untuk industri, (3) kemiliteran, (4) alas kaki dan komponennya, (5) barang jadi karet untuk penggunaan umum dan (6) kesehatan dan farmasi. Jenis produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas, secara umum didominasi oleh produk primer (raw material) dan produk setengah jadi. Jika dibandingkan dengan negara-negara produsen utama karet alam lainnya, seperti Thailand dan Malaysia, ragam produk karet Indonesia lebih sedikit. Sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi "Standard Indonesian Rubber" (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk RSS dan lateks pekat (www.yudis.info).

B. GETAH KARET BEKU (LEUM)

Kegiatan pengolahan karet remah yang dimulai dengan penyadapan getah karet dari pohon hingga pengepakan. Leum adalah getah karet yang telah membeku dan tidak dapat diolah pada proses pengolahan getah karet cair. Leum masih dapat diolah menjadi bahan karet dengan teknologi yang memadai, seperti karet remah. Namun yang menjadi masalah adalah tidak semua pabrik atau industri karet mempunyai teknologi tersebut, sehingga leum harus dikirim ke pabrik lain untuk dilakukan pengolahan. Secara ekonomis pengiriman leum ke pabrik lain tidak dapat dilakukan setiap hari karena biaya transportasi yang tinggi. Dengan demikian leum yang dihasilkan setiap hari, dikumpulkan dalam suatu gudang hingga mencapai jumlah tertentu sebelum dikirim ke tempat lain untuk diolah (Warintek-Progressio, 2000).

Leum yang dikumpulkan dalam gudang penyimpanan di kebun atau di pabrik mengalami penumpukan selama berhari-hari. Kondisi ini menyebabkan keadaan tumpukan leum kekurangan oksigen, terutama pada timbunan bagian bawah. Dalam keadaan ini terjadi reaksi anaerobik yang memicu keluarnya gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat. Proses


(30)

degradasi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan bahan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari lepasan senyawa-senyawa amoniak, sulfida, karbon monoksida, karbon dioksida serta senyawa organik lain yang mudah menguap (volatile organic compounds) seperti metan, asam asatat, keton, aldehid dan sebagainya (Warintek-Progressio, 2000).

C. EMISI GAS BAU PADA INDUSTRI KARET 1. Amoniak (NH3)

Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3. Pada suhu dan tekanan standar amoniak berbentuk gas. Amoniak memiliki bau yang tajam, bersifat toksik, dan korosif untuk beberapa bahan. Amoniak tidak berwarna dan berbau menyengat. Amoniak dapat mencair pada suhu -33.7o C dan menjadi padat pada suhu-75o C berupa masa kristal putih (Wikipedia, 2002). Klasifikasi mengenai dampak amoniak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Dampak Amoniak

Konsentrasi dari berat Molaritas Klasifikasi Bahaya

5-10% 2.87 – 5.62 mol/L Iritasi

10-25% 5.62 – 13.29 mol/L Korosif

>25% >13.29 mol/L Berbahaya bagi

lingkungan Sumber : Wikipedia (2002).

Bau gas amoniak sangat menyengat, dapat menyebabkan iritasi serta sifat gas ini sangat korosif terhadap logam. Gas amoniak sangat berbahaya bagi manusia baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Pengaruh amoniak terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada Tabel 3.


(31)

Tabel 3. Pengaruh Amoniak Melalui Pernapasan terhadap Kesehatan Manusia.

Dampak Jangka Pendek ( ≤ 14 hari)

Kadar di Udara

(ppm) Jangka Waktu Gejala-gejala

0.5 Kadar minimal risk

50 Kurang dari 1 hari

Ringan, iritasi mata dan tenggorokan, dan rangsangan

batuk

500 30 menit

Menaikkan intake udara ke paru-paru, nyeri hidung, dan

tenggorokan.

5000 Kurang dari 30 menit Mati mendadak

Dampak Jangka Panjang ( > 14 hari)

Kadar di Udara

(ppm) Jangka Waktu Gejala-gejala

0.3 Kadar minimal risk

100 6 minggu Ringan, iritasi mata dan

tenggorokan. Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor.

2. Hidrogen Sulfida (H2S)

Hidrogen sulfida adalah gas tidak berwarna, toksik, mudah terbakar dan menyebabkan bau busuk. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan protein pada kondisi anaerob, seperti pada rawa dan saluran air (selokan). Hidrogen sulfida juga bisa terdapat dalam gas vulkanik, gas alam, dan beberapa mata air (Wikipedia, 2006).

Hidrogen sulfida merupakan polutan udara yang korosif dan beracun, serta dikategorikan berbau tidak sedap (Martin et al., 2004). Sulfur tereduksi dalam bentuk H2S juga terjadi pada biosfer sebagai hasil aktivitas vulkanik dan metabolisme mikrobial. H2S di alam hanya terkumpul dalam kondisi anaerobik, tapi akan teroksidasi secara spontan dan cepat dengan adanya oksigen. Hidrogen sulfida (H2S) mempunyai bau seperti telur busuk dan kadang lebih toksik daripada karbon monoksida (Turk et al.,1972). Dampak-dampak yang terjadi akibat menghirup H2S terdapat pada Tabel 4 berikut.


(32)

Tabel 4. Dampak Menghirup H2S

Konsentrasi Efek Bagi Manusia

0.03 ppm Bisa dibau, aman dihirup dalam 8 jam.

4 ppm Bisa menyebabkan iritasi mata, harus menggunakan masker karena bisa merusak metabolisme.

10 ppm Maksimum terhirup selama 10 menit. Bau membunuh dalam 3 sampai 15 menit. Menyebabkan gas mata dan luka pada tenggorokan. Bereaksi secara keras dengan campuran isi raksa gigi.

20 ppm Terhirup lebih dari satu menit menyebabkan beberapa kerusakan urat saraf mata.

30 ppm Hilang penciuman, kerusakan sampai darah ke otak diteruskan dengan kerusakan organ penciuman.

100 ppm Kelumpuhan pernafasan dalam 30 sampai 45 menit. Pingsan dalam waktu singkat (maksimal 15 menit).

200 ppm Kerusakan mata serius dan kerusakan mata sampai pada saraf. Melukai mata dan tenggorokan.

300 ppm Kehilangan keseimbangan dan fikiran. Kelumpuhan pernafasan dalam 30 sampai 45 menit.

500 ppm Menimbulkan kelumpuhan dalam 3 sampai 5 menit. Dibutuhkan segera penyadaran buatan.

700 ppm Akan menimbulkan terhentinya nafas dan kematian jika tidak segera ditolong. Kerusakan otak secara permanen jika tidak ada pertolongan cepat.

Sumber : AlkenMurray Corp (2002)

Penghilangan H2S diperlukan dengan alasan kesehatan, keamanan, dan korosi (Jensen dan Webb, 1995). Menurut Kleinjan (2005), siklus sulfur secara biologi dapat dilihat pada Gambar 1.


(33)

D. BIOFILTER

Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa cara metode penanganan yang digunakan untuk mengontrol emisi gas penyebab bau yang meliputi metode fisika, kimia, maupun biologi antara lain adalah sebagai berikut:

1. Metode pengontrolan langsung dari sumbernya,

2. Penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau, 3. Menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan), 4. Penambahan ozon (ozonisasi),

5. Teknologi plasma non thermal, dan 6. Penerapan metode biofiltrasi.

Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode no. 1 sampai no. 5 termasuk metode fisika kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya opersional cukup tinggi, sulit dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak ditinggalkan (Sun et al., 2000).

Metode no. 6 merupakan metode penanganan emisi gas penyebab bau dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al. (2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu biofilter, bioscrubber, dan biotricling filter (Ottengraf, 1986).

Menurut Chou dan Cheng (1997), biofilter adalah reaktor dengan material padat sebagai bahan pengisi dimana mikroba terjerat secara alami di dalamnya dengan membentuk biokatalik (lapisan tipis). Gas-gas yang melalui biofilter akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer dan akan diuraikan oleh mikroba yang ada (Ottengraf, 1986). Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang bau yang berupa tower dengan bahan pengisi di dalamnya (Devinny et al., 1999).

Kapasitas penghilangan senyawa N maksimum dari beberapa penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.


(34)

Tabel 5. Kapasitas Penghilangan Maksimum dari Beberapa Senyawa Polutan Senyawa Polutan Kapasitas Penghilangan Maksimum Sumber Hidrogen Sulfida

Metantiol

Dimetil disulfida Dimetil sulfida Ammonia

5.0 g-S/kg-gambut kering/hari 0.90 g/kg-gambut kering/hari 0.68 g/kg-gambut kering/hari 0.38 g/kg-gambut kering/hari 0.16 g-N/kg-gambut kering/hari 2.68 g-N/kg-media kering (tanah,sekam,sludge)/hari

67.03 g-N/kg-media kering (kompos, tanah, sekam, sludge)

/hari

68.53 g-N/kg- media kering (kompos, tanah, kulit kayu, sludge)/hari

1.16 g-N/kg-tanah/hari

Cho et al., 1991 Cho et al., 1991 Cho et al., 1991 Cho et al., 1991 Shoda, 1991 Indriasari, 2005

Saputra, 2006

Saputra, 2006

Nurcahyani, 2006

Mekanisme kerja biofilter ini adalah dengan melewatkan gas penyebab bau ke dalam kolom biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat bahan pengisi. Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat jenuh dengan gas maka penyerapan akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah membentuk lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh mikroorganisme yang hidup (Yani, 1999). Menurut Brady (1990) proses transformasi nitrogen yang terjadi pada biofilter (Gambar 2).

Gas NH3 yang masuk dari inlet ke dalam biofilter akan berada dalam kondisi berikut ini : (1) akan digunakan oleh mikroorganisme dalam membentuk bahan organik menjadi biomassa, (2) akan langsung keluar kembali tanpa ada perubahan bentuk, khususnya jika pH media menjadi tinggi/basa, dan (3) dengan kondisi oksigen yang cukup akan dioksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi.


(35)

Gambar 2. Transformasi Nitrogen yang Terjadi dalam Biofilter (Brady, 1990).

1. Bahan Pengisi Biofilter

Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operational suatu biofilter (Ottengraf, 1986). Pemilihan bahan pengisi biofilter yang tepat sangatlah penting untuk memaksimalkan efisiensi biofilter. Fungsi bahan pengisi selain sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme, juga harus mampu menjamin ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikoorganisme. Pada umumnya, bahan pengisi alami mengandung sejumlah nutrisi yang mencukupi untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga penambahan nutrisi dan mineral tidak diperlukan. Namun pemakaian biofilter dalam waktu relatif lebih lama (3

Amoniak (NH3) dari inlet Emisi

Biomassa mikroba Nitrit

(NO2-) Emisi :

NO N2O N2

Bahan Pengisi Amonium

(NH4+)

Nitrat (NO3-)

Leaching denitrifikasi

Nitrifikasi

absorpsi

mineralisasi

konsumsi desorbsi


(36)

bulan lebih) perlu ditambahkan sejumlah nutrisi tertentu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut.

Menurut Hirai et al. (2001), dalam metode biofilter pemilihan bahan pengisi sebagai media tempat tumbuh bakteri yang digunakan merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung kehidupan bakteri yang digunakan. Beberapa kriteria penentu pemilihan bahan pengisi adalah:

1. Mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi, 2. Mempunyai tingkat porositas yang tinggi,

3. Mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah,

4. Tidak mengalami penurunan kinerja walaupun kadar air menurun, 5. Tidak berubah dalam jangka panjang,

6. Murah,

7. Memiliki kemampuan untuk menyerap bau, 8. Mudah diperoleh, dan

9. Mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam.

Bahan pengisi dalam biofilter tergantung pada kemampuan hidup mikroorganisme dalam bahan tersebut. Bahan pengisi dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan sifat kimiawinya. Bahan pengisi pertama yaitu bahan pengisi yang berasal dari bahan organik, dan yang kedua berupa bahan anorganik.

a. Tanah

Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter karena murah, mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, dan mengandung populasi mikroba yang tinggi. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan memiliki kemampuan untuk menahan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan yang besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada media untuk aliran udara. Selain itu tanah juga memiliki permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat


(37)

bagus digunakan untuk open-bed biofilter (Devinny et al. 1999). Menurut Sutedjo et al. (1991), tanah yang normal tersusun dari unsur-unsur padat, cair, dan gas yang secara luas dapat dibagi dalam lima kelompok yaitu :

a. Partikel-pertikel mineral yang dapat berubah-ubah ukuran dan tingkatan hancuran mekanis dan kimiawinya. Partikel-partikel ini meliputi kelompok batu kerikil, pasir halus, lempung, dan lumpur. b. Sisa-sisa tanaman dan binatang yang terdiri dari daun-daunan segar

yang jatuh, tunggul, jerami, dan bagian-bagian tanaman yang tersisa serta berbagai bangkai binatang dan serangga yang membusuk dan hancur menyatu dengan partikel-partikel di atas. Residu atau sisa tanaman dapat berwujud humus atau bahan-bahan humus.

c. Sistem-sistem kehidupan termasuk berbagai kehidupan tanaman, dan sejumlah besar bentuk mahluk/binatang yang hidup dalam tanah seperti serangga, protozoa, cacing tanah, binatang mengerat, termasuk berbagai alga, fungi, aktinomisetes, dan bakteri.

d. Air merupakan bentuk-bentuk cairan yang terdiri dari air bebas dan air higroskopis yang mengandung berbagai konsentrasi larutan garam-garam anorganik dan campuran-campuran berbagai senyawa organik tertentu.

e. Berbagai gas yang terdiri dari karbondioksida, oksigen, nitrogen, dan sejumlah gas lainnya dalam konsentrasi terbatas.

Lapisan tanah bagian atas mengandung bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan lapisan tanah bagian bawah. Pada lapisan atas (top soil) terdapat akumulasi bahan organik yang berwarna gelap serta subur, yang sangat penting untuk kehidupan mahluk di dalamnya. Lapisan ini memiliki kedalaman sekitar 20 cm dan lapisan paling subur. Pada lapisan ini terdapat banyak unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang biak. Pada lapisan ini banyak sekali terjadi dekomposisi jasad-jasad mahluk hidup baik tumbuhan maupun binatang yang menghasilkan unsur-unsur hara.


(38)

2. Bahan Pengisi Tambahan

Bahan pengisi tambahan dalam media biofilter berfungsi untuk meningkatkan porositas biofilter. Menurut Buckman dan Brady (1982), bahwa bahan tambahan ini bisa menjadi sumber bahan organik bagi mikroorganisme karena jaringan asli seperti sisa akar, bagian atas dari tumbuhan seperti daun dan kulit batang diuraikan organisme tanah. Hasil dari penguraian ini lebih kokoh dan memiliki sifat seperti agar-agar yang dibentuk oleh mikroorganisme dan dirubah dari jaringan tumbuhan asli menjadi humus.

E. BAKTERI PENGOKSIDASI AMONIAK (NH3)

Peningkatan konsentrasi amoniak di atmosfer berasal dari aktivitas mikroba, industri amoniak, pengelolaan limbah, dan pengelolaan batubara. Keadaan lingkungan yang aerobik akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi amoniak menjadi nitrit (NO2-) dan selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). Organisme yang melaksanakan nitrifikasi diantaranya Nitrosomonas sp yang mengubah amoniak menjadi nitrit (Tabel 6). Organisme yang mengubah nitrit menjadi nitrat adalah Nitrobacter (Wikipedia, 2005). Menurut Schlegel dan Schmidt (1994) Nitrifikan (penitrifikasi) adalah bakteri gram-negatif yang disatukan dalam keluarga Nitrobacteraceae. Bakteri Nitrosomonas sp merupakan bakteri kemolitrotropik yang menggunakan CO2 sebagai sumber karbon di dalam sintesa biomassanya.

Tabel 6. Bakteri-bakteri Pengoksidasi Amoniak dan Nitrit

Pengoksidasi amoniak Pengoksidasi nitrit

Nitrosomonas europaea Nitrobacter winogradsky Nitrosococcus oceanus Nitrobacter agilis

Nitrosapira briensis Nitrospina gracilis Nitrosolobus multiformis Nitrococcus mobilis Sumber : Schlegel dan Schmidt (1994).


(39)

Menurut Buckman dan Brady (1982) perubahan enzimatik pada proses nitrifikasi disajikan sebagai berikut:

2NH4+ + 3O2 2NO2- + 2H2O + 4H + energi 2NO2- + O2 2NO3- + energi

Nitrosomonas sp merupakan bakteri kemolirotrof berbentuk batang dengan metabolisme aerobik. Walaupun mereka tidak tumbuh dengan fotosintesis, mereka dapat melakukan metabolisme dengan mengurai amoniak. Membran dalam sel bakteri menggunakan elektron dari atom nitrogen amoniak untuk menghasilkan energi. Untuk melengkapi divisi sel, Nitrosomonas sp. harus mengkonsumsi amoniak dalam jumlah banyak (Wikipedia, 2005). Bentuk sel Nitrosomonas sp dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Nitrosomonas sp (Wikipedia, 2005)

F. BAKTERI PENGOKSIDASI SENYAWA SULFUR

Mikroorganisme diperlukan dalam biofilter karena mikroorganisme berperan penting dalam mendegradasi gas hidrogen sulfida. Pemilihan mikroorganisme didasarkan pada kemampuan degradasi terhadap gas sulfur. Menurut Edmonds (1978), terdapat dua kelompok bakteri fotosintetik yang melibatkan transfer senyawa sulfur yaitu: bakteri sulfur ungu (Chromatiaceae) dan bakteri sulfur hijau (Chlorobioceae). Beberapa bakteri dari kelompok ini mengoksidasi hidrogen sulfida (H2S) membentuk sulfur


(40)

elemen (S0) dan kelompok lainnya mengoksidasi sulfur elemen membentuk asam sulfat (H2SO4).

Menurut Sutedjo et al. (1991), bakteri belerang hijau dan bakteri belerang ungu mendapatkan energi untuk proses metabolismenya melalui oksidasi H2S. Bakteri-bakteri ini menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Bakteri belerang hijau dan bakteri belerang ungu sangat anaerobik, sedangkan bakteri belerang tidak berwarna bersifat aerobik dapat menggunakan oksigen molekuler untuk mengoksidasi H2S. Reaksi kimianya adalah sebagai berikut: H2S + O2 2S + 2H2O

2S + 2H2O + 3O2 4H+ + 2SO4 2-S2O32- + H2O + CO2 2H+ + 2SO42-

H2S di atmosfer secara cepat dirubah menjadi SO2 melalui reaksi : H2S + 3/2 O2 SO2 + H2O

Thiobacillus thiooxidans dan Thiobacillus ferooxidans merupakan dua jenis bakteri yang dapat hidup pada lingkungan yang mengandung hidrogen sulfida (H2S). Kedua mikroorganisme ini mengoksidasi H2S dan membentuk sulfur elemen yang disimpan dalam partikel sel. Keduanya mengoksidasi bahan anorganik seperti hidrogen sulfida, sulfur elemen dan besi serta mengubahnya menjadi asam sulfat. Mereka dapat hidup pada keadaan yang sangat asam dengan pH mencapai 2 (Edmonds, 1978).

Menurut Madigan et al. (2002), bakteri yang banyak digunakan untuk mereduksi senyawa sulfur adalah Thiobacillus sp. Bakteri tergolong bakteri gram negatif dengan sel berbentuk batang dan diantaranya memiliki flagela polar serta memperoleh energi dari proses oksidasi senyawa sulfur. Menurut Frobisher (1962), Thiobacillus sp termasuk dalam famili Thiobacteriaceae, sub ordo Pseudomonadiaceae, dan ordo Pseudomonadales.

G. BAKTERI HETEROTROF

Bekteri heterotrof meliputi mayoritas besar mikroorganisme dalam tanah, pertumbuhannya tergantung dari bahan–bahan organik sebagai sumber energinya, terutama yang berhubungan dengan dekomposisi selulosa dan hemisellulosa, zat-zat tepung, protein dan bahan-bahan nitrogen lainnya serta


(41)

lemak sebagai bahan makanannya. Terdapat bakteri heterotropik yang dapat memfiksasi nitrogen atmosferik dan terdapat bakteri yang bergantung atas fiksasi nitrogen organik dan anorganik (Sutedjo et al., 1991).

Beberapa bakteri heterotrof yang mempunyai kemampuan untuk melakukan fiksasi nitrogen adalah Azotobacter, Beijerinchia, Clostridium, Azotoccus dan sebagainya. Sedangkan bakteri heterotrof yang mempunyai kemampuan memfiksasi sulfur antara lain adalah Atrhrobacter, Bacillus, Mikrococcus, Mycobacterium dan Pseudomonas (Wild, 1995). Bakteri heterotrof pengoksidasi senyawa sulfur dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan untuk bakteri heterotrof pengoksidasi senyawa nitrogen terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Bakteri Heterotrof Pengoksidasi Senyawa Sulfur

Mikroorganisme Energi Sumber Karbon

pH

Pertumbuhan

Clorobiaceae fototropik autotropik

ß-Proteobakteria kemolitotrof autotropik Thiobacillus

thioparus kemolitotrof autotropik 6 – 8 Thiobacillus

denitrificans kemolitotrof autotropik 6 – 8 Thiobacillus sp.

W5 kemolitotrof autotropik 7 – 9

Xantomonas kemolitotrof heterotrof 7 Sumber : Kleinjan (2005)

Tabel 8. Bakteri Heterotrof Pengoksidasi Senyawa Nitrogen

Mikroorganisme Substrat Produk

Arthrobacter NH4+ Nitrat

Aspergillus NH4+ Nitrat


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan untuk persiapan biofilter ini yaitu: Na2S.9H2O, NH4Cl. xH2O. Bahan untuk analisa karakteristik bahan pengisi, media sulfat untuk pertumbuhan bakteri terdiri atas: CaCl2, KH2PO4, MgSO4.7H2O. (NH4)2SO4, FeCl2, Fe-Sitrat, Fenol Red, larutan Penyerap Zn Acetat, Asam Borat, NaCl, larutan Diamin (N,N-Dimethyl-1,4-Phenylen Diamonium Diklorida), larutan FeCl3, larutan Natrium Thiosulfat 0.1 N, larutan Iodin 0.1 N, larutan Indikator Amilum dan larutan HCl. Bahan yang digunakan sebagai pengisi biofilter yaitu: biofilter 1 adalah tanah, biofilter 2 adalah campuran tanah dan serasah daun karet, dan biofilter 3 adalah campuran tanah dan sludge.

Alat yang digunakan dalam persiapan biofilter ini adalah pipa paralon PVC ukuran 8 inci, tutup paralon, blower, plastik, kawat, rubber stop, kran udara, lem aquaproff, dan flowmeter.

Alat yang digunakan untuk analisa yaitu: erlenmeyer, cawan petri, tabung ulir, pipet mekanik, tabung sentrifusi, spektrofotometer, clean bench, autoclave, pH meter, dan inkubator.

Gambar 4. Diagram Kolom Biofilter. 1. Pompa Udara; 2. Speed control; 3. Sumber Polutan; 4. Condensor; 5. Penampung Air; 6. Lubang Inlet; 7. Lubang Pengamatan; 8. Lubang Outlet.

1

2 2 2

3

4

5

6 6 6

7 7 7


(43)

Biofilter yang digunakan merupakan biofilter yang didesain sedemikian rupa untuk menyerap gas yang akan dianalisa. Biofilter akan digunakan untuk penghilangan gas selama 30 hari. Perancangan kolom biofilter ini dilakukan dengan menyiapkan pipa paralon PVC diameter 8 inci dan panjang 70 cm sebanyak 3 buah (Gambar 4). Pipa paralon diberi lubang yang berfungsi untuk mengambil sampel tanah untuk mengukur parameter fisik kimia dan mikroba. Lubang inlet berada pada bagian atas sedangkan lubang outlet pada bagian bawah.

B. LOKASI PENELITIAN

Biofilter yang digunakan ditempatkan pada pabrik karet remah (crumb rubber) PT. Perkebunan Nusantara VIII, Kebun Sukamaju, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Analisa kimia dilakukan di laboratorium TIN, Fateta, IPB, Bogor.

C. PENELITIAN UTAMA

Perlakuan dalam penelitian ini yaitu pada biofilter 1 digunakan bahan pengisi tanah, biofilter 2 dengan bahan pengisi tanah dicampur serasah daun karet, dan biofilter 3 diisi dengan tanah dicampur dengan sludge. Fokus penelitian ini adalah mengamati efisiensi biofilter, kapasitas penyerapan serta daya tahan masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter. Aliran gas inlet berasal dari tempat penumpukan leum dengan kecepatan udara yang masuk sebesar 30 liter per menit.

Parameter-parameter utama yang dianalisis dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Analisis gas NH3 dan H2S

Pengamatan dilakukan selama 30 hari dengan pengambilan sampel pada inlet dan outlet setiap hari yaitu pagi dan sore. Waktu sampling inlet dan outlet selama 3 menit. Metode yang digunakan dalam pengukuran amoniak adalah Metode Nessler (Lampiran 3), sedangkan metode yang digunakan dalam pengukuran hidrogen sulfida adalah metode Metilen Blue (Lampiran 3).


(44)

2. Analisis Bahan Pengisi

a. Kadar air, suhu, dan pH diukur setiap hari untuk memastikan kondisi media biofilter agar mikroba dapat hidup secara baik (Lampiran 3). b. Pengukuran parameter total C, total S, total N, NO3-, NH4+ dan sulfat

dilakukan seminggu sekali untuk mengetahui perubahan unsur-unsur dalam media biofilter (Lampiran 3).

c. Penghitungan jumlah mikroorganisme pada bahan pengisi dilakukan setiap seminggu sekali selama satu bulan untuk Nitrosomonas sp dan Thiobacillus sp, sedangkan penghitungan bakteri heterotrof dilakukan pada setiap minggu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan serta perkembangan mikroba yang ada pada media biofilter. Bakteri pengoksidasi amoniak (Nitrosomonas sp) dihitung menggunakan metode MPN (Most Probable Number), sedangkan bakteri pengoksidasi senyawa sulfur (Thiobacillus sp), dan bakteri heterotrof dihitung dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count) (Lampiran 3).

D. ANALISIS DATA

Data yang diperoleh disajikan dengan menggunakan metode deskriptif dengan grafik yang menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan (Walpole, 1995). Kinerja biofilter diukur berdasarkan efisiensi, kapasitas penghilangan, serta total penghilangan NH3 dan H2S masing-masing kolom biofilter.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. INDUSTRI KARET REMAH PT. PN VIII DI PABRIK SUKAMAJU

PT. Perkebunan Nusantara VIII (PT. PN VIII) merupakan suatu perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri. PT. PN VIII ini adalah gabungan dari beberapa perkebunan yang berada di wilayah Jawa Barat seperti PTP XI, PTP XII, dan PTP XIII. PT. PN VIII memiliki beberapa pabrik dan kebun salah satunya terdapat di Sukamaju, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Perkebunan dan Pabrik Karet Sukamaju didirikan pada tanggal 21 Desember 1971. kebun ini bergerak di bidang pengolahan karet remah. Luasan kebun karet yang terdapat pada pabrik ini sekitar 1500 ha. Sejak tahun 2005 sebagian besar kebun Sukamaju dikonversi dari perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit.

Bahan baku untuk pengolahan karet remah adalah limbah lateks karet yang telah membeku (leum). Dengan teknologi yang memadai maka limbah ini dapat dijadikan karet remah. Di dalam pengolahannya pabrik Sukamaju mendapatkan bahan baku berasal dari beberapa kebun Sukamaju dan sekitarnya. Kapasitas produksi karet remah sekitar 1 ton/hari. Dengan kapasitas yang relatif tinggi maka perusahan ini berpotensi mencemari lingkungan sekitar.

Terdapat beberapa proses dalam pengolahan karet remah yang menimbulkan masalah bau (Gambar 5). Sumber bau di pabrik karet remah Sukamaju berasal dari tempat penumpukan leum, pemotongan dan penggilingan leum, serta pengeringan (angin-angin) lembaran sheet karet. Leum mengandung protein, lipid (terutama phospolipid), karbohidrat, asam amino, asam organik, dan kation inorganik. Kegiatan pengolahan leum menjadi karet remah menghasilkan bau. Dalam proses ini terjadi pemecahan protein yang terkandung pada serum leum oleh mikroorganisme.


(46)

Gas Bau Gas Bau

Gas Bau

Gambar 5. Diagram Proses Pembuatan Karet Remah di Pabrik Sukamaju. Berbagai cara dilakukan oleh pihak pabrik Sukamaju untuk mengurangi konsentrasi bau busuk yang keluar dari pabrik misalnya dengan cara merendam leum dalam air yang dicampur “deorub” untuk mengurangi gas bau yang keluar, menambahkan anti bakteri agar tidak terjadinya pembusukan oleh bakteri pada leum, melakukan metoda first in first out untuk mengurangi konsentrasi bau pada pabrik, dan menggunakan “deorub” yang berasal dari asap cair kelapa sawit untuk menghilangkan bau dari tumpukan leum.

Pelaksanaan kegiatan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di pabrik ini kurang baik karena masih terdapat beberapa proses yang membahayakan bagi pekerja. Berbagi kegiatan dalam proses pengolahan leum menjadi karet remah tanpa peralatan keamanan yang memadai. Para pekerja di pabrik karet Sukamaju tidak menggunakan peralatan pelindung bau seperti masker, untuk mengurangi konsentrasi bau yang dihirup pada saat terjadi pernapasan. Bau polutan gas yang dihasilkan oleh pemecahan protein pada leum menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, bahkan dapat menyebabkan kematian bila berada pada konsentrasi tertentu. Selain itu proses pemotongan dan

Lateks Kebun

+ Asam Semut Leum

Pemotongan dan penggilingan Leum

Lembaran karet

Pengeringan (angin-angin)

Penggilingan


(47)

penggilingan leum menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Permasalahan ini belum ditanggapi secara serius oleh pihak perusahaan. Padahal pihak perusahaan berkomitmen untuk menerapkan K3 pada perusahaannya secara utuh serta melindungi semua pekerjanya dari bahaya yang terjadi akibat kecelakaan kerja. Padahal sebagian besar proses yang berlangsung di pabrik ini masih sederhana dan banyak menggunakan tenaga manusia.

B. KARAKTERISTIK BAHAN PENGISI BIOFILTER

Karakteristik bahan pengisi disajikan pada Tabel 9 berikut. Kandungan N, S, dan C merupakan unsur yang tersedia dalam media bahan pengisi yang mungkin diperlukan oleh mikroorganisme, terutama bakteri heterotrof, dan nilainya mungkin akan bertambah dengan adanya polutan gas bau (NH3 dan H2S) serta CO2 .

Tabel 9. Komposisi dan Karakteristik Kimia Bahan Pengisi Biofilter

Biofilter Bahan Pengisi

Berat Basah (g)

Kadar Air (%)

pH N total

(%) S total (ppm)

C total

(%)

1 Tanah 16246 40.50 5.17 0.16 434 1.73

2 tanah+serasah 10646 50.73 6.00 0.48 2084 6.77

3 tanah+sludge 16946 43.31 6.33 0.19 1476 2.92

Kadar air yang diukur pada awal penelitian ketiga biofilter berturut-turut adalah 40.50, 50.73 dan 43.31 % (Tabel 9). Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan mahluk hidup termasuk mikroorganisme pada biofilter. Mikroba memerlukan media yang memiliki kapasitas air tinggi dan sifat media organik yang memiliki kandungan air 40 % sampai 60 % ketika jenuh (Devinny et al., 1999). Kadar air yang diperoleh dari pengukuran pada masing-masing biofilter berada diatas 40 %, hal ini berarti kecukupan bagi air bagi kehidupan mikroorganisme secara optimum di dalam biofilter telah terpenuhi.


(48)

Nilai pH dari hasil pengukuran masing-masing bahan pengisi ketiga biofilter berturut-turut adalah 5.17, 6.00, dan 6.33 (Tabel 9). Kondisi biofilter 2 dan 3 cukup baik untuk pertumbuhan mikroorganisme walaupun pertumbuhannya tidak secara optimum, sedangkan biofilter 1 tidak optimum karena nilai pH 5.17. Mikroorganisme hidup dengan baik pada kondisi pH antara 6 sampai 8 (Kleinjan, 2005).

Hasil pengukuran terhadap N total pada bahan pengisi awal penelitian, diperoleh presentase N total masing-masing untuk biofilter 1, 2, dan 3 yaitu 0.16, 0.48, dan 0.19 % (Tabel 9). Unsur N atau nitrogenium merupakan hara makro yang menjadi salah satu unsur penyusun protein yang penting dalam sel mikroorganisme. Keberadaan unsur N dalam suatu media sangat dibutuhkan bagi perkembangan mikroorganisme di dalamnya. Hara makro adalah sebutan bagi unsur yang dibutuhkan serta terdapat dalam tubuh mikroorganisme dalam jumlah yang relatif besar. Unsur-unsur yang termasuk dalam hara makro adalah C, H, O, N, P, dan K (Wild, 1995).

Hasil pengukuran terhadap S total pada bahan pengisi awal penelitian, diperoleh prosentase S total masing-masing biofilter 1, 2, dan 3 yaitu 434, 2084, dan 1476 ppm (Tabel 9). Unsur S termasuk dalam unsur penyusun protein pada sel hidup (Fitzpatrick, 1986).

Hasil pengukuran terhadap C total bahan pengisi pada awal penelitian, diperoleh jumlah C total pada masing-masing biofilter yaitu 1.73, 6.77, dan 2.92 %. Karbon atau C merupakan salah satu unsur esensial yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme sebagai energi bagi mikroorganisme. C organik dalam media akan digunakan oleh bakteri heterotrof yang terdapat dalam media.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa biofilter 2 yang berisi campuran dari tanah dan serasah daun karet memiliki unsur hara yang lebih baik untuk pertumbuhan mikroorganisme bila dibandingkan dengan biofilter 1 dan 3.


(49)

C. INLET NH3 DAN H2S

Hasil analisa terhadap gas NH3 dan H2S yang masuk ke dalam biofilter (inlet) adalah 4.1 – 20.1 ppm dan 0 – 1 ppm. Berdasarkan baku mutu Kebauan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 50 tahun 1996), gas polutan NH3 dan H2S berada di atas baku mutu (Tabel 10).

Tabel 10. Perbandingan Konsentrasi Emisi Gas NH3 dan H2S di Beberapa Pabrik Karet pada PT PN VIII.

Lokasi NH3 (ppm)

H2S

(ppm) Perlakuan Sumber

Pabrik RSS, Gudang

leum, Cibungur, Bogor. 12 - 100 0.05 – 0.40

Leum tanpa

deorub di

gudang tertutup

Indriasari, (2005) Pabrik Lateks Pekat,

Wangunreja, Subang. 1 - 605 0.37 – 80.16

Penambahan amoniak

Saputra, (2006) Pabrik Karet Remah,

Sukamaju, Cibadak, Sukabumi

4.1 – 20.1 0 – 0.7

Leum dengan

deorub di

gudang terbuka

Baku Mutu 2 0.02 -

KEP-50/ MENLH/11/

1996

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa suatu pabrik karet akan menghasilkan polutan gas NH3 dan H2S berada di atas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah, baik setelah dilakukan pengolahan maupun sebelum dilakukan pengolahan penghilangan bau. Bila dibandingkan antara penelitian yang dilakukan oleh Indriasari (2005) pada gudang leum dengan kondisi tertutup dan tanpa dilakukannya penghilangan bau, pada penelitian yang dilakukan kali ini terlihat jelas perbedaan konsentrasi inlet gas polutan yang masuk ke dalam biofilter. Hal ini terjadi karena pada penelitian Indriasari (2005) kondisi ruangan penyimpanan berada pada kondisi anaerob sehingga konsentrasi gas polutan NH3 yang terbentuk lebih tinggi sedangkan penelitian yang dilakukan sekarang berada pada kondisi aerob yang memungkinkan terjadinya pengenceran pada gas polutan NH3 yang terbentuk. Lain halnya dengan penelitian Saputra (2006) di industri karet lateks pekat, konsentrasi inlet NH3 yang terbentuk sangat tinggi mencapai 605 ppm sedangkan untuk inlet gas H2S mencapai 80.1 ppm. Hal ini disebabkan pada industri lateks


(50)

pekat dilakukan penambahan amoniak yang membuat konsentrasi gas polutan yang terbentuk menjadi tinggi.

1. Inlet Gas Amoniak

Gambar 6. Konsentrasi Inlet Gas Amoniak (NH3) Selama Penelitian

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa emisi dari gudang leum yang akan diolah sebagai konsentrasi inlet yang masuk ke dalam biofilter sangat berfluktuasi, berkisar antara 4.1 - 20.1 ppm. Gas amoniak yang terbentuk dari tempat penumpukan leum berasal dari hasil dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena adanya kondisi anaerobik. Kondisi inlet yang sangat bervariasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kesegaran leum dan bahan senyawa yang ditambahkan untuk menghilangkan bau leum. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi inlet dengan kesegaran leum. Semakin baru leum yang datang dari kebun maka semakin bau leum tersebut. Penambahan “deorub” sebagai bahan penghilang bau oleh pihak pabrik yang menyebabkan konsentrasi inlet menjadi turun. Komposisi yang terkandung dalam “deorub” terdiri dari 45 jenis senyawa fenol, lebih dari 70 jenis karbonil sebagai aldehid dan keton, 20 jenis asam, 11 jenis furan, 13 jenis alkohol dan ester, 13 jenis laktosa, dan 27 jenis polisiklik aromatik hidrokarbon. Selain itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi konsentrasi inlet yang masuk ke dalam biofilter yaitu angin dan cuaca sekitar. Hal ini menyebabkan turunnya konsentrasi inlet yang masuk ke dalam biofilter pada dari ke- 6, 10 , 15, dan 19 berturut-turut menjadi 6.3, 9.6, 6.5, dan 10 ppm. Pada

0 5 10 15 20 25

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

Hari

ke-K

o

n

s

e

n

ta

rs

i (p

p

m


(51)

Gambar 6 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan konsentrasi inlet pada hari ke- 5, 9, dan 20 dengan nilai sebesar 20.1, 13.8, dan 12.4 ppm. Hal ini terjadi karena adanya penambahan leum baru pada lubang inlet biofilter. Mulai hari ke- 21 tidak dilakukan lagi penambahan leum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lamanya leum tersebut mengeluarkan bau, sehingga akhirnya leum tersebut mengering dan tidak mengeluarkan bau lagi. Walaupun leum tersebut mengering, tetapi bila leum tersebut di potong dan di digiling maka akan mengeluarkan bau lagi sebab kondisi anaerob masih terjadi pada bagian dalam leum.

2. Inlet Gas Hidrogen Sulfida

Gambar 7. Konsentrasi Inlet Gas Hidrogen Sulfida (H2S) Selama penelitian.

Pengukuran terhadap inlet gas hidrogen sulfida yang masuk ke dalam biofilter berasal dari tempat penumpukan leum sangat berfluktuasi berkisar antara 0 – 0.7 ppm (Gambar 7). Gas H2S terbentuk dari pemecahan senyawa protein yang ada pada leum oleh mikroba menggunakan enzim protease membentuk indol (lendir bau). Konsentrasi gas H2S yang keluar sangat kecil. Hal ini disebabkan leum yang ada tidak ditumpuk terlalu lama, sehingga tidak memungkinkan terjadinya pembusukan oleh mikroba pada leum. Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi H2S yang masuk ke biofilter menjadi kecil, seperti angin dan cuaca setempat. Tempat penumpukan leum merupakan ruangan terbuka sehingga memungkinkan terjadinya pengenceran dari udara luar. Hal ini menyebabkan gas H2S yang terbentuk sangat kecil, dan memungkinkan

0 0.2 0.4 0.6 0.8

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

Hari

ke-Ko

n

se

n

tar

si

(

p

p

m


(52)

tidak terjadinya pembusukan leum oleh mikroba. Selain itu penambahan “deorub” berpengaruh terhadap konsentrasi inlet gas hidrogen sulfida.

Gas hidrogen sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran berasal dari proses penguraian senyawa yang terdapat pada leum secara anaerobik oleh bakteri. Gas ini berbau busuk, mempunyai efek yang sama seperti dengan amoniak yaitu dapat menyebabkan iritasi dan bersifat korosif terhadap logam. Menurut Soemirat (2002), senyawa hidrogen sulfida pada dosis yang tinggi dapat merusak saluran pernafasan.

D. KINERJA BIOFILTER 1

1. Penghilangan Amoniak (NH3)

Bahan yang digunakan dalam kolom biofilter 1 berupa tanah yang berasal dari kebun karet. Menurut hasil penelitian Nurcahyani (2006), tanah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya mempertahankan pH dan kadar air. Biofilter 1 dijadikan sebagi kontrol bagi biofilter 2 dan 3 yang merupakan campuran dari tanah sehingga dapat diketahui biofilter yang terbaik dalam mendegradasi polutan berdasarkan bahan pengisinya.

Berdasarkan hasil pengukuran outlet (Gambar 8a). Terjadi penurunan kemampuan biofilter dalam menyerap NH3 pada hari ke- 9 dan hari ke- 20 - 27. Penurunan kemampuan biofilter 1 pada hari ke- 9 menjadi 4.37 ppm. Hal ini disebabkan pada hari ke- 6 terjadi penambahan senyawa “deorub” yang menyebabkan turunnya kemampuan biofilter 1 dalam mengoksidasi NH3. Deorub mempengaruhi kemampuan mikroorganisme dalam mengoksidasi gas NH3 bahkan ada mikroorganisme yang mati.


(53)

0 10 20 30 K o n sen tr as i ( p p m ) 0 20 40 60 80 100 E fis ie n s i ( % ) Inlet Outlet Efisiensi 4 5 6 7 8 pH

L-1 L-2 L-3 pH rata-2

0 20 40 60

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

Hari K a d a r a ir ( %

) L-1 L-2 L-3 ka rata-2

0 3 6 9 12 Log cf

u dan M

P

N

Bakteri Pengoksidasi Senyawa Sulfur Mikroba Heterotrof

Bakteri Pengoksidasi Amoniak

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 8. Kondisi dan Kinerja Penghilangan NH3 Biofilter 1 : (a) Inlet- Outlet, dan Efisiensi (b) pH, (c) Jumlah Bakteri Pengoksidasi Amoniak, Bakteri Pengoksidasi Sulfur, dan Mikroba Heterotrof, dan (c) Kadar Air.


(54)

Karena “deorub” mengandung senyawa aromatik hidrokarbon yang mudah menguap dan asam, sehingga bau tersebut masuk secara bersamaan dengan gas polutan ke dalam biofilter dan mempengaruhi kinerja biofilter 1. Terjadi penurunan jumlah bakteri pengoksidasi amoniak (Nitrosomonas) sp dari 3.0 x 1011 sel-MPN/g-bahan pengisi menjadi 1.1 x 105 sel-MPN/g-bahan pengisi (Gambar 8c). Hal ini juga terjadi pada mikroba heterotrof yang mengalami penurunan dari 5.0 x 108 cfu/g-bahan pengisi menjadi 1.0 x 108 cfu/g-bahan pengisi. Nilai pH media (Gambar 8b) yang diperoleh berada pada rentang 5 – 8 mendukung pertumbuhan mikroorganisme, tetapi tidak stabil. Hal ini disebabkan pengoksidasian NH3 oleh mikroorganisme menghasilkan asam nitrat sehingga membuat nilai pH media menjadi turun. Bila dilihat dari kadar air media yang berada di atas 40 % (Gambar 8d), kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang berada di dalam media biofilter.

Berbeda dengan hari ke- 20 - 27, saat kondisi leum mulai mengering. Penurunan kemampuan biofilter dalam mengoksidasi NH3 menjadi 17.35 % karena turunnya jumlah bakteri pengoksidasi amoniak (Nitrosomonas sp) menjadi 1.0 x 102 sel-MPN/g-media-kering. Sedangkan pada mikroba heterotrof tetap stabil di 1.0 x 107 cfu/g-media-kering. Penurunan ini disebabkan kondisi pH media biofilter yang semakin asam (pH 5.5). Kondisi ini disebabkan oleh terbentuknya asam nitrat sebagai hasil dari oksidasi bakteri pengoksidasi amoniak. Kadar air media biofilter 1 yang berada di bawah 40 % yaitu sebesar 36.53 % (Gambar 8d) juga mempengaruhi penurunan kemampuan biofilter 1 dalam penyerapan gas. Kondisi kadar air ini kurang baik untuk perkembangan mikroorganisme karena mikroorganisme berkembang secara maksimum pada media yang memiliki kapasitas air tinggi dan sifat media organik yang memiliki kandungan air 40 % - 60 % ketika jenuh (Devinny et al., 1999).

Penurunan pH disebabkan oleh proses nitrifikasi dan proses sulfonasi. Proses nitrifikasi adalah oksidasi gas amoniak oleh nitrifying bacteria, produk akhir yang dihasilkan dari proses ini adalah asam nitrat (NO3-). Sedangkan yang terjadi pada proses sulfonasi adalah oksidasi gas


(55)

H2S oleh mikroorganisme pendegradasi senyawa S, yang akan menghasilkan produk akhir berupa asam sulfat (SO4-). Asam nitrat dan asam sulfat yang terbentuk pada biofilter ini terjadi secara terus-menerus karena proses oksidasi ini bersifat akumulatif di dalam media. Sifat kedua produk berupa asam kuat dengan jumlah yang terus bertambah akan menyebabkan turunnya pH di dalam media atau bahan pengisi biofilter. Ketika nilai pH mengalami penurunan, maka aktifitas kerja mikroorganisme di dalam biofilter menjadi terganggu. Menurut Cho et al. (2000), polutan gas yaitu amoniak dan hidrogen sulfida yang masuk ke dalam suatu biofilter akan didegradasi oleh mikroorganisme membentuk asam kuat nitrat dan sulfat yang selanjutnya akan terkumpul dalam media sehingga akan menurunkan pH. Aktifitas bakteri nitrifikasi akan mulai menurun pada saat pH media berada dibawah 6.5 (Rahayu, 2004).

Kandungan air dalam bahan pengisi merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme di dalam biofilter. Jika kandungan air dalam media bahan pengisi kurang atau mengalami penurunan maka akan berpengaruh pada aktifitas mikroorganisme di dalam biofilter sehingga kinerjanya pun menjadi kurang optimal. Wu et al. (1998), menyatakan bahwa kadar air dalam suatu bahan pengisi biofilter sangat penting untuk diperhatikan sebab air digunakan sebagai media pengangkutan hara-hara mineral yang sangat dibutuhkan hidup mikroorganisme serta sebagai media pembentukan biofilm oleh mikroba yang berfungsi untuk mendegradasi gas polutan yang masuk kedalam biofilter.

2. Penghilangan Hidrogen Sulfida (H2S)

Berdasarkan pengukuran konsentrasi gas hidrogen sulfida yang keluar dari biofilter 1 (Gambar 9). Pada hari ke-0 - 10 terjadi penyerapan H2S dengan efisiensi 0.5 – 100 %. Bila dilihat dari hasil analisa bakteri pengoksidasi senyawa sulfur (Gambar 8c) yang menunjukkan tidak adanya bakteri pengoksidasi senyawa sulfur di dalam biofilter 1 selama penelitian berlangsung, sehingga diduga penyerapan yang terjadi pada biofilter 1


(1)

7. Ion Amonium

Reagen yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya KCl (1 N), HCl (0.1 N), Mg, H3BO3 1%, HCl 0.02 N.

Prosedur

Sebanyak 10 tanah ditimbang, kemudian ditambah 50 ml pereaksi campuran (KCl + HCl). Setelah itu, dikocok selama setengah jam lalu disaring. Campuran tersebut dipipet sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam alat penyuling dan diberi MgO. Ion amonia yang keluar di dalam 10 ml H3PO3

1 % lalu dititrasi.

8. Kadar Karbon Total (Anonymous, 1978)

Contoh kering udara sebanyak 0,25 gram dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan 2,5 ml H2SO4

perlahan-lahan. Larutan tersebut dikocok-kocok hingga reaksi sempurna.

Sebanyak 1 ml larutan di atas dimasukan ke dalam Erlenmeyer 125 mll dan ditambah 9 ml aquadest. Kemudian, dititrasi dengan Fe2SO4 0,1 N dengan

indicator diphenilamin sebanyak 2 atau 3 tetes.

Titrasi dihentikan jika berubah menjadi warna hijau. Kadar karbon dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(ml titrasi blanko – ml titrasi contoh) x N Fe2SO4 x 3 x 100 x 10

%C = --- mg sampel

9. Penentuan Kadar Sulfat

1. Pembuatan Larutan a. Penyangga A

Sebanyak 30 gram MgCl2.6H2O, 5 gram CH3COONa.3H2O, 1 gram

KNO3 dan 20 ml asam asetat (99%) dilarutkan ke dalam 500 ml air


(2)

b. Standard Sulfat 100 mg/l

Sebanyak 0,1479 gram Na2SO4 ditimbang dengan tepat, kemudian

dilarutkan dengan air suling dan diencerkan hingga 1 liter. Larutan ini akan dijadikan larutan standard sulfat 100 mg/l yang akan digunakan untuk pembuatan kurva standar sulfat.

2. Pembuatan Kurva Standar

Larutan sulfat 100 mg/l dipipet secara serial dan diencerkan hingga volume tertentu. Kemudian sebanyak 10 ml hasil pengenceran secara serial tersebut dipipet, lalu ditambahkan 2 ml larutan penyangga dan dikocok dengan vortex selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 0,02 gram sampai 0,03 gram kristal BaCl2. Hasilnya dituangkan ke dalam kuvet dan diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Kemudian dibuat kurva hubungan antara konsentrasi sulfat dan absorbansi.

3. Analisis Sulfat

Sebanyak 10 ml sampel ditambahkan dengan 2 ml larutan penyangga dan dikocok dengan vortex selama 1 menit. Kemudian tambahkan 0,02 gram sampai 0,03 gram kristal BaCl2. Hasilnya dituangkan kedalam kuvet dan


(3)

10. Cara Kerja Pengujian Mikroba

A. Pengujian Bakteri Heterotrof dengan Metode TPC (Anas, 1989) Pembuatan larutan fisiologis

Sebanyak 8.5 g NaCl dilarutkan ke dalam 1 liter akuades. Larutan ini kemudian disterilkan dengan diautoklaf pada temperatur 120oC selama 20 menit. Setelah dingin baru digunakan. Sebanyak 9 ml larutan fisiologis dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berjumlah 7 buah yang akan digunakan untuk pengenceran.

Pembuatan seri pengenceran

Tanah seberat 10 gr dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis itempatkan dalam Erlenmeyerukuran 250 ml, dicampur secara merata. Kemudian larutan sampel diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis yang telah disiapkan. Pengenceran ini adalah pengenceran 10-1, pengenceran dilakukan sampai 10-7.

Bahan yang disiapka per liter media adalah sebagai berikut : 1. Nutrient agar (NA) 10 gr

2. Akuades 1 lt

Bahan NA dilarutkan di dalam 1 liter akuades, kemudian diautoklaf selama 20 menit pda temperatur 120oC. Setelah itu media dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 10 ml. Cawan petri yang disiapkan sebanyak 20 buah ( 4 pengenceran yaitu 10-4, 10-5, 10-6, 10-7 dengan 5 ulangan), Setelah kira-kira suhu media antara 40-45oC, larutan sampel yang telah dilakukan pengenceran siap dituangkan ke dalam cawan. Selanjutnya ditunggu sebentar hingga media bebar-benar padat, setelah media padat diinkubasi pada temperatur 28oC, dengan kondisi cawan petri terbalik. Pengamatan dilakukan setelah 3 hari, inkubasi untuk bakteri dan fungi yang tumbuh dengan cepat. Untuk memudahkan perhitungan digunakan Quebec Colony Counter.


(4)

B. Pegujian Thiobacillus sp dengan Metode TPC (Anas, 1989) Pebuatan larutan fisiologis

Pembuatan larutan fisiologis untuk Thiobacillus sp sama dengan pembuatan larutan fisiologis untuk pengujian bakteri heterotrof .

Pembuatan seri pengenceran

Cara pembuatan larutan sampel tanah juga sama dengan cara pembuatan seri pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya.

Bahan yang disiapkan per liter media adalah sebagai berikut :

1. Agar kosong 10 gr

2. KH2PO4 3 g/lt

3. MgSO4.7H2O 0.5 g/lt

4. (NH4)2SO4 0.3 g/lt

5. CaCl2 0.25 g/lt

6. FeCl3.6H2O 0.02 g/lt

7. Akuades 1 lt

Bahan yang telah disiapkan dilarutkan dalam 1 liter akuades, kemudian diautoklaf selama 20 menit pada temperatur 120oC. Setelah itu media dituangkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 10 ml. Cara selanjutnya sama dengan bakteri heterotrof. Pengamatan terhadap Thiobacillus sp juga dilakukan setelah 3 hari. Untuk memudahkan perhitungan digunakan Quebec Colony Counter.


(5)

C. Pengujian Nitrosomonas sp dengan metode MPN (Anas, 1989) Pembuatan larutan fisiologis

Pembuatan larutan fisiologis untuk Nitrosomonas sp sama dengan pembuatan larutan fisiologis untuk pengujian bakteri heterotrof .

Pembuatan seri pengenceran

Cara pembuatan larutan sampel tanah juga sama dengan cara pembuatan seri pengenceran yang telah dilakukan sebelumnya.

Bahan yang disiapkan per liter media adalah sebagai berikut :

1. (NH4)2SO4 0.5 gr

2. KH2PO4 0.2 gr

3. CaCl2.2H2O 0.04 gr

4. MgSO4.7H2O 0.04 gr

5. Fe-sitrat 0.5 mg

6. Fenol-red (pH 6.2-8.4) 0.5 mg

7. Akuades 900 ml

Cara yang dilakukan yaitu semua bahan ini dicampur. Kemudian ditambahkan air sehingga volumenya menjadi 1 liter. Selanjutnya larutan media ini dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20 buah ( 4 pengenceran yaitu 10-4, 10-5, 10-6, 10-7 dengan 5 ulangan), masing-masing sebanyak 9 ml, ditutup dan diautoklaf selama 20 menit pada suhu 120oC. Setelah media selesai dibuat, pengenceran yang telah dilakukan sebelumya diambil 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya tabung tersebut diikubasi pada suhu 28oC selama 4 minggu. Tabung media yang berubah warna menjadi kuning menandakan reaksi positif. Perhitungan nilai MPN

Untuk menghitung MPN organisme yang ada dalam contoh, dipilih tabung dengan jumlah positif dengan konsentrasi pengenceran paling rendah, dimana semua tabung bereaksi positif. Untuk p2 dan p3 mewakili jumlah tabung positif pada pengenceran yang lebih tinggi dari p1. Selanjutnya angka dilihat pada Tabel Halvorson dan Ziegler untuk 5 tabung. Nilai diperoleh dari tabel tersebut dengan melihat angka p1, p2, dan p3, kemudian nilai dikalikan dengan faktor pengenceran pada p1.


(6)

Tabel Halvorson dan Ziegler

000 0,0 201 1,4 302 6,5 001 0,3 202 2,0 310 4,5 010 0,3 210 1,5 311 7,5 011 0,6 211 2,0 312 11,5 020 0,6 212 3,0 313 16,0 100 0,4 220 2,0 320 9,5 101 0,7 221 3,0 321 15,0 102 1,1 222 3,5 322 20,0 110 0,7 223 4,0 323 30,0 111 1,1 230 3,0 330 25,0 120 1,1 231 3,5 331 45,0

121 1,1 232 4,0 332 110,0

130 1,6 300 2,5 339 140,0