2. Sampai sejauh mana proses berlangsungnya kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum dan kompetensi tugas-tugas pokok PNS dalam
hubungannya terhadap pemberdayaan masyarakat? 3. Bagaimana strategi Unit Pelaksana Teknis Badan Kepegawaian Daerah
Provinsi Riau untuk mengembangkan kapasitas organisasinya yang dapat menyesuaikan terhadap perkembangan negara maupun masyarakat?
1.3. Tujuan Kajian
Tujuan Kajian di Unit Pelaksana Teknis UPT Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau adalah :
1. Untuk mengetahui profil Unit Pelaksana Teknis Pendidikan dan Pelatihan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau.
2. Menganalisis dan mengevaluasi proses berlangsungnya kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum dan kompetensi tugas-tugas pokok PNS selaku abdi
masyarakat dapat membentuk peningkatan kualitas PNS dalam pemberian layanan dan pemberdayaan masyarakat.
3. Merumuskan rancangan strategi pada Unit Pelaksana Teknis Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau dalam rangka pengembangan kapasitas
organisasi sesuai tugas pokok dan fungsinya yang dapat menyesuaikan terhadap perkembangan negara maupun masyarakat?
1.4. Manfaat Kajian
Hasil kajian ditujukan sebagai salah satu masukan bagi Unit Pelaksana Teknis Pendidikan dan Pelatihan Pegawai dalam peningkatan kompetensi dan
perilaku PNS. Pembekalan dalam wawasan ilmu pengetahuan dapat memberikan dorongan perubahan mutu pekerjaan PNS, namun perubahan sikapperilaku tidak
cukup melalui diklat karena proses kesadaran akan tanggungjawabnya kepada masyarakat butuh pembelajaran dan pembiasaan setelah seorang PNS kembali ke-
dunia kerjanya. Kesadaran mengemban amanah selaku abdi masyarakat terus menerus dilatih. Paling tidak diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan
sumbang pemikiran kepada UPT Pendidikan dan Pelatihan Pegawai dalam mempersiapkan aparatur PNS berkualitas ilmu pengetahuan dan pengabdian
kepada publik sehingga kedepan aparatur PNS memiliki nilai di masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan UPT Diklat dalam Upaya Penguatan Apatarur
Disadari bahwa kondisi aparatur negara masih dihadapkan pada sistem manajemen pemerintahan yang cenderung belum efisien yang antara lain
menghasilkan kualitas pelayanan publik rendah dan terjadi berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta mengakibatkan inefisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Upaya perbaikan dan peningkatan kinerja aparatur, dilaksanakan secara kesisteman melalui sistem pendidikan berjenjang
pada UPT Pendidikan dan Pelatihan, sistem pelatihan berjejang ini diharapkan dapat mewujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah berkeadilan,
berkepastian hukum, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat.
Untuk itu peranan UPT Pendidikan dan pelatihan ditujukan bagi penguatan kapasitas aparatur untuk mewujudkan manusia pembangunan yang
berbudi luhur, tangguh cerdas, terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta
berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan
keterampilan, keahlian, dan profesi yang dibutuhkan dalam semua sektor
pembangunan Kartasasmita, 1995.
Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten 1981 merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan
profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan embracing error dalam
proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar
efektif learning to be effective, dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien learning to be efficient, dan pada akhirnya belajar berkembang learning
to be expand.
Untuk itu Bryant White 1987 mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek yang terkandung dalam pengembangan sumberdaya manusia, yaitu :
Pertama, memberikan penekanan pada kapasitas capacity, yaitu upaya meningkatkan kemampuan beserta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua,
penekanan pada aspek pemerataan equity dalam rangka menghindari perpecahan di dalam masyarakat yang dapat menghancurkan kapasitasnya. Ketiga, pemberian
kekuasaan dan wewenang empowerment yang lebih besar kepada masyarakat. Dengan maksud agar hasil pembangunan dapat benar benar bermanfaat bagi
masyarakat, karena aspirasi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat. Di samping adanya wewenang untuk memberikan koreksi
terhadap keputusan yang diambil tentang alokasi resources. Keempat, pembangunan mengandung pengertian kelangsungan pembangunan yang harus
diperhatikan mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Schuler dan Youngblood 1986 mengungkapkan bahwa pengembangan
sumberdaya manusia pada suatu organisasi akan melibatkan berbagai faktor, seperti: pendidikan dan pelatihan; perencanaan dan manajemen karir; peningkatan
kualitas dan produktivitas kerja; serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja. Osborne dan Gaebler 1996 justru lebih mementingkan pengembangan visi dan
misi aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sejalan dengan semangat reformasi dan sistem desentralisasi, mereka lebih
mengedepankan pengembangan sumber daya manusia pada visi, misi, inovasi, dan kemampuan aparat untuk melakukan semangat wirausaha dalam pelaksanaan
tugas mereka. Semangat ini merupakan semangat kerja yang lebih berorientasi menghasilkan daripada menghabiskan anggaran dan pada waktu yang sama
kepentingan publik justru dapat ditingkatkan pelayanannya. Dari kajian atas berbagai teori di atas, sebenarnya pengembangan sumberdaya manusia tidak
terlalu jauh berbeda dengan harapan atas atribut-atribut profesionalisme, yaitu : 1 seseorang memiliki ketrampilan dan keahlian teoritis ilmiah tertentu sesuai
dengan bidang pekerjaan yang akan digelutinya; 2 harus mampu menyumbangkan ilmu dan tenaganya secara optimal untuk kelancaran usaha
tempat kerjanya; 3 harus dapat mendorong peningkatan produktivitas yang berkelanjutan; 4 memiliki sikap untuk terus menerus memperbaiki dan
meningkatkan keahlian dan ketrampilannya; 5 disiplin dan patuh pada aturan main profesi dan tempat kerjanya; 6 memiliki kesiapan untuk berubah atau
melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung atau bahkan mampu menciptakan perubahan. Kondisi SDM aparatur kita pada
umumnya belum memiliki kemauan yang besar untuk terus belajar. Akibatnya kekayaan intelektual yang dimiliki tidak berkembang dan hanya menggunakan
paradigma lama di dalam bekerja. Paradigma lama ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan masa depan.
Untuk menciptakan sosok aparatur PNS berorientasi sebagai abdi masyarakat, yaitu yang amanah melayani kepentingan publik perlu suatu proses
pembelajaran untuk menciptakan nilai pribadi. Pemikiran menarik dikemukakan Ancok 2000 bahwa nilai pribadi atau human capital SDM aparatur masih
belum memiliki social skill yang baik. Banyak aparatur yang sangat arogan, merasa berkuasa, tidak menghargai manusia lainnya seperti layaknya seorang
yang beretika baik. Selanjutnya Ancok memberikan pandangan yaitu umumnya hancurnya bangsa ini karena tidak adanya sifat amanah, sifat jujur, beretika yang
baik, bisa dipercaya dan percaya pada orang lain trust
Proses pendidikan SDM masa depan harus lebih banyak berisi komponen membangun sikap dan perilaku. Beberapa tahun terakhir ini makin banyak
pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional , mampu menahan emosi,
disiplin, pemaaf, penyabar, ikhlas, dan selalu ingin menyenangkan orang lain.
emotional intelligence di dalam menunjang kesuksesan hidup manusia Goleman, 1996.
Upaya untuk menumbuhkan itu banyak ditempuh melalui paket pelatihan inteligensi emosional misalnya. Pelatihan lain yang sangat diperlukan adalah
pelayanan prima service excellence
Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten 1981 merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan
profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan embracing error dalam
proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar
efektif learning to be effective, dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien learning to be efficient, dan pada akhirnya belajar berkembang learning
to be expand. Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good . Aparatur pemerintah adalah pelayan
masyarakat bukan penindas masyarakat seperti zaman orde baru. Oleh karena itu aparatur PNS memerlukan kemampuan melayanani orang lain dengan baik.
governance merupakan learning process yang seharusnya didukung oleh sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang
adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: 1 rekruitmen; 2 penggajian dan reward; 3 pengukuran kinerja; 4 promosi jabatan; 5 pengawasan.
Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas sub-sub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada
peningkatan kompetensi kinerja aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan.
Aparatur yang berkualitas, profesional, kompetensi, tentu saja tidak muncul begitu saja, ini merupakan output dari rangkaian yang utuh yaitu mulai
rekruitmen dan pembinaan PNS. Ini berarti, upaya peningkatan kemampuan dan kualitas aparatur sudah dimulai sejak penerimaan pegawai. Penjaringan pegawai
baru dimaksudkan untuk mendapatkan pegawai-pegawai dengan kualitas tinggi. Kesulitan pembinaan aparatur berawal dari mental calon PNS ingin menjadi
pegawai negeri karena motivasi jaminan hari tua. Bukan karena motivasi memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Bisa dibayangkan begitu tingginya
tingkat kesulitan bagi institusi yang diserah tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kualitas calon PNS yang demikian dan mengubah nilai minta
dilayani menjadi orientasi melayani. Dalam rangkaian perjalanan seorang aparatur, masa paling panjang adalah sebagai seorang aparatur pemerintahan
aktif yang dalam aktivitasnya senantiasa diminta untuk mampu menjawab tuntutan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, globalisasi.
Agar aparatur dapat selalu mampu mengikuti perkembangan zaman sebagai suatu upaya terus menerus meningkatkan kualitas, salah satu pilar adalah pendidikan
dan latihan. Tuntutan yang semakin tinggi pada aparatur seharusnya disikapi dengan kebijakan yang semakin memberdayakan, memfungsikan diklat.
Manajemen kepegawaian sipil dalam good governance menghendaki suatu kondisi yang dinamis, penuh dengan pemikiran dan aksi-aksi yang progresif.
Dengan demikian, aparatur pemerintah senantiasa akan tertantang untuk mengejar kemajuan dan peningkatan kualitas. Kualitas sumber daya aparatur yang sesuai
dengan riil tuntutan kualitas pelayanan publik. Secara nyata merupakan investasi masa depan organisasi pemerintah. Banyak contoh negara maju dalam perjalanan
sejarah kebijakan memberikan perhatian yang serius pada bidang pendidikan. Seperti Jepang dan contoh negara tetangga yaitu Malaysia. Termasuk pada
peningkatan aparatur PNS perlu terus menerus melalui diklat. Pendidikan dan latihan harus mendapat perhatian yang lebih agar institusi ini berdaya, bermutu
untuk berkesinambungan membangun, mencetak aparatur yang profesional, berkualitas, kompeten serta memiliki integritas dan moralitas. Disain kurikulum
pendidikan dan latihan dalam kaitan menjawab tuntutan pelayanan publik yang operasional, terukur. Dalam aspek pelatihan, kurikulum ataupun pengajaran
pelatihan yang dilakukan yaitu mengisi keahlian atau keterampilan yang diperlukan untuk menduduki suatu jabatan. Untuk itu perlu adanya konsistensi
antara pelatihan training yang ditempuh dengan jabatan yang akan diduduki aparatur. Sebagai konsekuensi atas konsistensi atas apa yang diajarkan, dilatih
dengan kompetensi atas jabatan yang akan diduduki maka perlu selalu dilakukan aktualisasi jenis kurikulum pelatihan yang sesuai dengan perkembangan tuntutan
masyarakat, dan perkembangan teknologi. Fenomena negatif yang muncul selama ini terhadap aparat birokrasi,
memang tidak bisa begitu saja kita timpakan kesalahannya kepada aparat birokrasi. Lantas bagaimana dengan persepsi, sikap dan sentimen masyarakat
mengenai kinerja aparat birokrasi dan dirinya sendiri? Apabila diamati ada dua perilaku yang kontras antara aparat birokrasi dan pencari jasa pelayanan. Di satu
pihak, aparat birokrasi merasa ada dalam posisi penguasa yang lebih menempatkan diri sebagai pengarah daripada pamong. Oleh karena itu timbul
kecenderungan untuk melihat warga masyarakat sebagai objek pasif dalam pelayanan publik. Di lain pihak, warga masyarakat telanjur melihat aparat
birokrasi sebagai aparat pelayan, dan karena itu mereka menuntut adanya pengabdian dan pelayanan dari aparat birokrasi kepada masyarakat secara
optimal. Bukti adanya tuntutan itu antara lain dengan banyaknya keluhan
masyarakat terhadap pelayanan jasa yang dinilai kurang memuaskan. Namun demikian, untuk menuntut pelayanan yang baik, mestinya masyarakat juga sadar
akan “citra diri”-nya sebagai warga yang tanggap norma kerja terhadap segala keterbatasan yang dimiliki aparat birokrasi. Sudah tentu di antara kontinum
perilaku yang kontras tersebut terdapat perilaku yang moderat. Ada sebagian warga masyarakat, yang karena sikap paternalistiknya menempatkan diri sebagai
klien dari patronnya, aparat birokrasi Dwiyanto, 2002, sehingga menampilkan perilaku patuh. Begitu pula ada aparat birokrasi yang sadar tugas serta berdisiplin
tinggi sehingga memberikan yang terbaik untuk tugas, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun sayangnya, profil seperti ini jarang sekali, padahal sangat
didambakan. Pertanggungjawaban publik dan pelayanan publik dari aparatur PNS sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh pandangan sebagian masyarakat yang
menyoroti kinerja dan perilaku sebagian kecil aparatur PNS yang bersentuhan langsung dengan urusan kemasyarakatan. Ibarat pepatah setitik noda, rusak susu
sebelanga. Karena perilaku oknum yang tidak terpuji dalam bidang pemberian layanan kemasyarakat telah memposisikan atau menyamakan sikap tidak terpuji
itu kepada institusi aparatur pemerintah. Kondisi dapat dimaklumi karena aparatur PNS merupakan figur publik penyelenggara urusan negara dan pemerintahan.
Dengan demikian, masalah tanggung jawab publik dan pelayanan aparat birokrasi sebenarnya bukan semata-mata masalah aparat birokrasi, akan tetapi masalah
semua pihak yang terlibat dalam urusan pemerintahan.
2.2. Strategi Peningkatan Penguatan Kapasitas Aparatur