Pengembangan peran unit pelaksana teknis (UPT) pelatihan dan pengembangan dalam pemberdayaan industri kecil dan menengah di Provinsi Riau

(1)

DALAM PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

DI PROVINSI RIAU

HAMSANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Provinsi Riau adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir kajian ini.

Bogor, Februari 2011

HAMSANI NRP. I354064035


(3)

Training and Development In Small and Medium Industry in Riau Province. Supervised by Sarwititi as chairman, Yusman Syaukat members.

The study was conducted byTraining and Development Unit Office of Industry and Trade is a means of Riau Province that serves as a forum for fostering and development of Small and Medium Industry in Riau Province. One of the Local Government program that supports the existence of Riau province is Poverty, Ignorance and Infrastructure (K2I)., as a form of application of good governance in the province of Riau.

The purpose of this study was to review the extent to which the extent of Training and Development Unit is able to empower small and medium industries, evaluate programs UPT training and development undertaken in line with the needs of IKM so that an increase in human resources IKM, analyzing the enabling factors and institutional strengthening inhibitors Training and Development Unit in developing IKM and to formulate strategies and programs to find a solution meeting the needs of institutional and program development UPT Training and Development in empowering IKM, to achieve the SWOT analysis tool is used by looking at the strength (strength) and weakness ( weaknes) internal environment and opportunities (opportunities) and threats (threat) the external environment so as to answer the "how to design a program of institutional strengthening of Training and Development Unit is able to empower small and medium industries in Riau Province."

The results showed that: (1) Performance Training and Development Unit staff who do not yet have the ability in preparing the syllabus and training materials so impressed that any training undertaken is not well planned, (2) direction of UPT training and development policies that have not been oriented to the empowerment Small and Medium Industries, (3) do not have a syllabus and training materials appropriate to the needs of Small and Medium Industries, (4) is still limited facilities and infrastructure of the Training and Development Unit to become a constraint in conducting the practice field, (5) lack of manpower have technical competence in their field.

IKM empowerment process that has been done by the Training and Development Unit through training programs, internships and the application of the incubator and the facilitation of business management and banking. In this empowerment process, there are several constraints which include strategic enough yet compiled a standard syllabus of training, especially regarding the procedures and technical training activities that apply the methodology of empowerment to increase the participation of institutional members as well as IKM, limited facilities and infrastructure for practical training and internships as well as yet its technical personnel for the facilitation and implementation methodology for improved participation empowerment and institutional members of the IKM.

Strategy development programs Training and Development Unit to conduct scale priorities over several stages: (a) Year I (2010) Phase Settling, (b) Year II (2011) Development Phase (c) Year III (2012-onwards) Growth Phase , expected at this growth stage accreditation process Training and Development Unit has been achieved.

Keywords: community empowerment, institutional development, participation, good governance, capacity building and model development


(4)

Pengembangan Dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau. Dibimbing oleh Sarwititi sebagai ketua, Yusman Syaukat anggota.

Kajian ini dilakukan dilatarbelakangi UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau merupakan suatu sarana yang berfungsi sebagai wadah pembinaan dan pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau. Salah satu program Pemerintah Daerah provinsi Riau yang mendukung keberadaannya adalah Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Infrastruktur (K2I), sebagai bentuk aplikasi good governance di Provinsi Riau.

Sebagai satu-satunya wadah pembinaan dan pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau, maka peran UPT tersebut sangatlah penting. Namun melihat dari kelembagaan yang mengelola UPT Pelatihan dan Pengembangan belum menggambarkan suatu lembaga yang profesional dalam bidangnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau sejauh mana sejauh mana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu memberdayakan Industri Kecil dan menengah, mengevaluasi program-program UPT pelatihan dan pengembangan yang dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan IKM sehingga terjadi peningkatan sumber daya manusia IKM, menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM serta merumuskan strategi dan program untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan akan pengembangan kelembagaan dan program UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam memberdayakan IKM, untuk mencapai tersebut digunakan alat analisis SWOT yaitu dengan melihat kekuatan (strenght) dan kelemahan (weaknes) dilingkungan internal serta peluang (opportunities) dan ancaman (threat) dilingkungan eksternal sehingga dapat menjawab “ bagaimana rancangan program penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan yang mampu memberdayakan Industri kecil dan Menengah di Provinsi Riau.”

Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) Kinerja staf UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum mempunyai kemampuan dalam menyusun silabus dan materi pelatihan sehingga terkesan bahwa setiap pelatihan yang dilaksanakan tidak terencana dengan baik ; (2) arah kebijakan UPT pelatihan dan pengembangan yang belum berorientasi kepada pemberdayaan Industri kecil dan Menengah ; (3) belum mempunyai silabus dan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan Industri Kecil dan Menengah; (4) masih terbatasnya sarana dan prasarana UPT Pelatihan dan Pengembangan sehingga menjadi suatu kendala dalam mengadakan praktek lapangan ; (5) tidak adanya tenaga teknis yang mempunyai kompetensi dibidangnya.

Proses pemberdayaan IKM yang telah dilakukan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan dilakukan melalui program pelatihan, magang dan penerapan inkubator serta fasilitasi manajemen usaha dan perbankan. Dalam proses pemberdayaan ini terdapat beberapa kendala yang cukup strategis antara lain belum tersusunnya silabus yang baku tentang pelatihan, terutama mengenai tatacara maupun teknis kegiatan pelatihan yang menerapkan metodologi pemberdayaan untuk peningkatan partisipasi anggota maupun kelembagaan IKM, terbatasnya sarana dan prasarana untuk praktek pelatihan dan magang serta belum dimilikinya tenaga teknis untuk proses pendampingan dan penerapan metodologi pemberdayaan untuk peningkatan partisipasi anggota maupun kelembagaan IKM.


(5)

diperoleh melalui identifikasi kebutuhan yang diperlukan antara lain penyediaan sumber daya manusia pengelola maupun teknis yang sesuai dengan kompetensinya, peningkatan sarana dan prasarana baik penunjang maupun melalui peningkatan anggaran yang memadai baik dari Pemerintah Daerah, Pusat maupun kerjasama dengan pihak swasta melalui program CSR . Peran lembaga UPT Pelatihan dan Pengembangan adalah sebagai wadah peningkatan kemampuan untuk pemberdayaan IKM ,dan menjadi salah satu lembaga yang terkait dengan program Pemerintah Provinsi Riau dalam mengentaskan Kemiskinan dan Kebodohan dan Infrastruktur (K2I). Strategi program pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan dengan melakukan skala perioritas atas beberapa tahapan; (a) Tahun I (2010) Tahap Pembenahan; (b)Tahun II (2011) Tahap Pengembangan;(c)Tahun III (2012-dan seterusnya) Tahap Penumbuhan, diharapkan pada tahap penumbuhan ini proses akreditasi UPT Pelatihan dan Pengembangan sudah dapat dicapai.

Kata Kunci : Pemberdayaan masyarakat, kelembagaan, partisipasi, good governance, pengembangan kapasitas dan model pengembangan


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

DALAM PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

DI PROVINSI RIAU

H A M S A N I

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Nama : Hamsani

NIM : I354064035

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Sarwititi S. Agung, MS Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.

Ketua Anggota

Mengetahui :

Ketua Program Magister Profesional Dekan Sekolah Pascasarjana Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala. M. Kolopaking, MS Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr


(10)

SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, senantiasa memberikan kemudahan dan kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir Kajian Pengembangan Masyarakat dengan judul Pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan IKM di provinsi Riau. Kajian Pengembangan Masyarakat ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Magister Profesional Pengembangan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak H.M. Rusli Zainal MP, Gubernur Riau dan Bapak Drs. M. Ramli Walid, Msi yang telah memberikan kesempatan dan motivasi menempuh pendidikan ini. 2. Dr. Ir. Lala Kolapaking, MS dan Ir. Freddyan Tony, MS yang telah memberikan

motivasi penulisan kajian ini.

3. Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, MSc yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan kajian ini.

4. Ir.Freddyan Tony,MS selaku penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan kajian ini.

5. Dosen sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB yang telah memberikan bekal ilmu pengembangan masyarakat. 6. Drs. H. Syahrizal, MSi atas motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan

penulisan kajian ini.

7. Istriku tercinta Ir. Sri Rujiati, kedua anakku Jodi Septiadi Akbar dan Muhammad Revan, orang tua dan keluarga yang senantiasa mencurahkan dukungan, perhatian, dan do’anya bagi kelancaran studi penulis.

8. Rekan-rekan MPM yang telah membantu dalam penyusunan kajian ini.

Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan manfaat bagi semua pihak, terutama UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau.

Bogor, Februari 2011

H A M S A N I NRP. I354064035


(11)

Penulis dilahirkan di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau pada tanggal 1 Desember 1963 dari pasangan H. Abdurrahman Saleh dan Hj. Mulya. Penulis anak ke-enam dari sepuluh besaudara.

Pendidikan sarjana di tempuh di Falkultas Ekonomi Universitas Riau. Jurusan Manajemen Lulus tahun 1988. Pada tahun 2007, penulis diterima di program studi pengembangan masyarakat pada program pascasarjana IPB. Biaya pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau.

Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Penanaman Modal Promosi Daerah Provinsi Riau dengan jabatan Kepala Bidang Fasilitasi dan Kerjasama Penanaman Modal.


(12)

Halaman

DAFTAR ISI ...

i

DAFTAR TABEL ...

iii

DAFTAR GAMBAR ...

v

DAFTAR LAMPIRAN ... ...

vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 5

1.4 Kegunaan ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kecil dan Menengah (IKM) ... 7

2.2 Penguatan kelembagaan ... 7

2.3 Modal sosial ... 9

2.4 Pemberdayaan Masyarakat ... 10

2.5 Inkubator sebagai Media Pemberdayaan IKM ... 12

2.6 Pengembangan Kapasitas ... 14

2.7 Strategi Pemberdayaan IKM ... 16

BAB III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ... 17

3.2 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan ... 19

3.3 Metode Kajian ... 19

3.3.1 Informan ... 19

3.3.2 Metode Pengumpulan Data ... 20

3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 21

3.4 Metode Perencanaan Program ... 22

3.4.1 Analisis faktor Internal dan Eksternal ... 23

BAB IV. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

4.1 Kondisi Umum IKM di Provinsi Riau ... 25

4.2 Kondisi Umum UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 30

4.2.1 Profil Tenaga Teknis ... 31

4.3 Kegiatan UPT Pelatihan dan Pengembangan melalui Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah ... 33

4.3.1 Pengembangan Usaha Produktif IKM ... 35

4.3.2 Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial ... 37


(13)

4.5 Evaluasi Kegiatan IKM Provinsi Riau (Studi Kasus Pada Bidang Usaha Perbengkelan,, Workshop Logam di UPT

Pelatihan dan Pengembangan Provinsi Riau ... 43

4.5.1 Profile Kelompok Bina Jaya Logam ... 43

4.5.2 Deskripsi Kegiatan Usaha Kelompok Bina Jaya Logam ... 43

4.5.3 Pengembangan Modal Sosial ... 46

BAB V. ANALISIS LINGKUNGAN (INTERNAL DAN

EKSTERNAL) LELEMBAGAAN UPT PELATIHAN

DAN PENGEMBANGAN

5.1 Analisa Lingkungan UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 50

5.2 Penyusunan Internal Factors Analysis Summary (IFAS) ... 50

5.2.1 Analisa Kekuatan dan Kelemahan UPT Pelatihan dan Pengembangan (Importance VS Performance) ... 51

5.3 Penyusunan External Faktor Summary (EFAS) ... 53

5.3.1 Analisis Lingkungan Makro/Umum UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 53

5.3.2 Analisis Lingkungan Mikro/Industri UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 54

BAB VI. PENYUSUNAN STRATEGI UMUM DAN

RANCANGAN PROGRAM UPT PELATIHAN

DAN PENGEMBANGAN

6.1 Perumusan Strategi dengan Analisa SWOT ... 59

6.2 Rincian Kegiatan Program Pengembangan UPT Pelatihan ... 68

6.2.1 Pembenahan Komponen Administrasi dan Manajemen .... 68

6.2.2 Pembenahan Komponen Pelayanan Pelatihan ... 69

6.2.3 Pembenahan Pelayanan Penunjang Pelatihan ... 71

6.2.4 Rencana Penyusunan Peralatan dan SDM ... 72

BAB VII PENUTUP

7.1 Kesimpulan ... 81

7.2 Saran ... 83

Daftar Pustaka ... 87

Lampiran ... 89


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Teknik Penentuan Informan ... 20

2. Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM di Provinsi Riau menurut Kabupaten/Kota,

2007 ... 25

3. Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai

Produksi IKM Provinsi Riau per Jenis Industri,2007 ... 26

4. Rekapitulasi Kondisi IKM Riau serta Kebutuhan

Pengembangannya ... 27

5. Rekapitulasi Kondisi dan Kebutuhan IKM Terhadap UPT

Pelatihan dan Pengembangan ... 28

6. Jumlah Pegawai, Pendidikan pada UPT Pelatihan dan

Pengembangan ... 31

7. Tingkat Keahlian Tenaga Penyuluh UPT Pelatihan dan

Pengembangan ... 32

8. Jumlah Peserta Pelatihan dan Magang tahun 2006 dan 2007 .... 33 9. Kegiatan Pelatihan Tahun 2007 ... 34

10. Kegiatan Pelatihan Peningkatan Kemasan Pangan Tahun 2007 36 11. Perkembangan Usaha Pasca Pelatihan Peningkatan Kemasan .. 36

12. Rekapitulasi Laporan Perkembangan Hasil Pembinaan Industri Kecil Penerima Pinjaman Dana Bergulir Dinas

Perindag Prov. Riau Tahun 2001 ... 38

13. Rekapitulasi Laporan Perkembangan Hasil Pembinaan Penerima Dana Bergulir Dinas Perindag Prov. Riau Tahun 2002 ... 39

14. Daftar Jaringan Kerja dan Usaha Kelompok Bina Jaya Logam 45

15. Jenis Pelatihan dan Magang yang Diikuti oleh Anggota Kelompok Bina Jaya Logam ... 47

16. Rangkuman Matrix IFAS (Internal Factors Analysis Summary) UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindag Provinsi Riau 52

17. Rangkuman Matrix EFAS (External Factors Analysis Summary) UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindag Provinsi Riau 55


(15)

18. Matrik Internal Eksternal (IE Matrik) ... 58

19. Perumusan Strategi UPT dengan Analisa SWOT ... 59

20. Rincian Strategi Program Pengembangan UPT Pelatihan ... 65

21. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 73

22. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 73

23. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 74

24. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 74

25. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 74

26. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 75

27. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 75

28. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 75

29. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 76

30. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 76

31. Tahun I Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 77

32. Tahun II Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 77

33. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 77

34. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 78

35. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 78

36. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 78

37. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 78

38. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 79

39. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 79

40. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 79

41. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 79

42. Tahun III (Tahap Penumbuhan Tahun 2012) ... 80


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Alur Pikir ... 18

2. Struktur Organisasi UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau ... 30

3. Grafik Perkembangan Modal Kelompok Bina Jaya Logam ... 44

4. Skema Struktur Organisasi Kelompok Bina Jaya Logam ... 46

5. Model Langkah-langkah Penyusunan IFAS ... 51

6. Model Langkah-langkah Penyusunan EFAS ... 53

7. Road Map UPT Pelatihan dan Pengembangan Perindag Prov. Riau Tahun 2010-2012 ... 64


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Laporan Pelaksanaan Hasil Diskusi ... 89

2. Jenis Kegiatan dan Biaya Tahap Pembenahan (Tahun 2010) ... 92

3. Jenis Kegiatan dan Biaya Tahap Pengembangan (Tahun 2011) .... 100

4. Foto-foto Sarana dan prasarana ... 107


(18)

1.1. Latar Belakang

Kegagalan program-program pembangunan di masa lampau berimplikasi pada bergesernya paradigma baru pembangunan yang memandang pentingnya masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Kesadaran tersebut semakin meningkat sejalan bangkitnya era reformasi pada tahun 1997, setelah terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan Republik Indonesia. Menurut Adi (2001), pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan menunjukkan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Namun demikian, akibat telah termarjinalisasi dalam waktu lama, masyarakat mengalami kesulitan untuk mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan sangat diperlukan sebagai strategi dalam pembangunan masyarakat. Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.

Perubahan lingkungan internal berupa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong kemandirian daerah dalam menciptakan kondisi perekonomian yang lebih baik, berdasarkan preferensi dan kebutuhan masyarakat. Daerah memiliki pengetahuan lebih dibandingkan dengan pemerintah pusat mengenai potensi-potensi ekonomi lokal serta kebutuhan masyarakat lokal. Otonomi daerah menyebabkan daya saing negara harus bertumpu pada daya saing daerah sehingga daerah-daerah di Indonesia perlu mengembangkan kompetensi khas atau inti daerah sehingga setiap daerah akan mempunyai competitive advantage yang tinggi, dengan demikian ada suatu paradigma baru bahwa daya saing itu bermula dari daerah dan dari daya saing daerah tersebut akan menjadi daya saing secara nasional.


(19)

Kompetensi inti daerah haruslah memperhatikan kemungkinan berkembangnya kemitraan antar daerah dan menghindari persaingan tidak sehat antar daerah yang justru akan menurunkan daya saing secar nasional. Oleh karena itu penentuan kompetensi inti dapat dilakukan melalui koordinasi maupun diskusi antar daerah sehingga kemungkinan beberapa daerah mengembangkan kompetensi inti yang sama dapat dikurangi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah dalam Bab II pasal 2 bahwa kerja sama daerah dilakukan dengan prinsip antara lain : efisiensi, efektif, sinergi, dan saling menguntungkan.

Kompetensi inti dapat menjadi kunci keberhasilan Kabupaten/Kota dalam menentukan arah pembangunan, sesuai keunggulan daya saing yang dimiliki. Kompetensi inti dapat mencegah penggunaan sumber daya daerah dengan tidak efektip dan efisien. Kompetensi inti hendaknya didasarkan pada berbagai indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung. Kompetensi inti dapat menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan Kabupaten/Kota mengenai industri yang akan dikembangkan. Kompetensi inti juga dapat menjadi sumber keunggulan Kabupaten/Kota dalam menghindari persaingan global, serta mendorong kemandirian pembangunan (Departemen Perindustrian RI, 2007).

Untuk meningkatkan kemandirian pembangunan tersebut, maka pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin. Untuk di Provinsi Riau, Departemen Perindustrian RI menetapkan bahwa Provinsi Riau ditetapkan mempunyai kompetensi Inti Kelapa Sawit dan kelapa maka pemberdayaan yang akan dilaksanakan adalah bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan hasil dari kelapa Sawit dan Kelapa dapat memberikan manfaat dengan memberikan akses yang luas masayarakat dalam memperoleh lahan serta kepemilikan. Dan ini sudah menjadi komitmen Pemda Riau dengan kebun rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena, memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan


(20)

belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai kemampuan yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan (Suharto, 2005).

Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dalam masyarakat adalah kurangnya akses terhadap sumber daya yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya kesediaan pemerintah atau kelompok kuat untuk membagi sumber daya kepada kelompok lemah (Haeruman dan Eriyatno, 2001).

Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan akses sumber daya tersebut adalah pembinaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih sangat diperlukan, mengingat peranan sektor UMKM cukup besar, karena sektor usaha ini terbukti mampu bertahan dari kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Provinsi Riau, yang memiliki berbagai potensi sumber daya alam cukup besar juga merasakan pentingnya melakukan pembinaan tersebut. Dari berbagai macam sumber daya alam tersebut masih perlu digali, diolah dan dikembangkan secara terarah dan terpadu sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan menghindari dampak negatif yang mungkin

1.2 Rumusan Masalah

Pemerintah Provinsi Riau telah cukup banyak memberikan perhatian terhadap lembaga-lembaga Pelatihan yang salah satunya adalah UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau nomor. 7 tahun 2008 fungsi UPT Pelatihan dan Pengembangan adalah mendukung pertumbuhan , pengembangan Industri dan perdagangan dengan tugas pokoknya menyelenggarakan urusan pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan pelatihan dibidang perindustrian dan perdagangan. Namun dalam perjalanannya UPT Pelatihan dan


(21)

Pengembangan dalam meningkatkan kemampuan Industri Kecil dan Menengah ini dirasakan belum mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja IKM tahun 2007 (tabel 2) sebesar 79.807 dengan 5.114 unit usaha namun yang mampu terjangkau untuk dilakukan pembinaan dan pelatihan hanya 330 oang (tabel 4).

Peranan dan keberadaan UPT Pelatihan dan Pengembangan diperkuat dengan Program Pemerintah Provinsi Riau dalam pemberantasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Infrastuktur (K2I). Untuk melaksanakan program ini salah satunya adalah dari sektor Industri dan Perdagangan, melalui fungsi UPT Pelatihan dan Pengembangan. Untuk meningkatkan peran kelembagaan ini, maka permasalahan yang dihadapi antara lain adalah Kinerja staf UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum mempunyai kemampuan dalam menyusun silabus dan materi pelatihan, sehingga terkesan bahwa setiap pelatihan yang dilaksanakan tidak terencana dengan baik. Diharapkan staf UPT Pelatihan dan Pengembangan Perindag mempunyai kompetensi yang tepat, sehingga mampu membuat silabus pelatihan dan merencanakan pelatihan yang dibutuhkan oleh industri kecil dan menengah di Provinsi Riau, sementara itu kebijakan UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum berorientasi kepada pemberdayaan industri kecil dan menengah sehingga Industri Kecil dan Menengah terkesan berjalan sendiri. Kondisi ini adalah disebabkan tidak adanya tenaga teknis yang mampu mendampingi Industri Kecil dan Menengah dalam menghadapai masalah teknis. Dengan keadaan seperti ini perlu diketahui sejauh mana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia IKM melalui kegiatan pemberdayaan industri kecil dan menengah, sehingga dapat diketahui faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM, dengan demikian ke depan diharapkan Lembaga ini dapat melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui strategi yang lebih baik dalam upaya pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan untuk peningkatan pemberdayaan IKM.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Sejauhmana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu memberdayakan Industri Kecil dan menengah ?


(22)

2. Sejauh mana program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan dapat meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia IKM ?

3. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM?

4. Bagaimana strategi untuk pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan untuk peningkatan pemberdayaan IKM?

1.3 Tujuan

Kajian ini bertujuan :

1. Meninjau sejauhmana program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu memberdayakan Industri Kecil dan Menengah.

2. Mengevaluasi program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan yang telah dilaksanakanan sejalan dengan kebutuhan IKM sehingga terjadi peningkatan sumber daya manusia IKM . 3. Menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan

kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM.

4. Merumuskan strategi dan program untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan akan pengembangan kelembagaan dan program UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam memberdayakan IKM

1.4 Kegunaan

Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah :

1). Memberikan masukan tentang model pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan untuk meningkatkan fungsi pemberdayaan masyarakat khususnya IKM di provinsi Riau sehingga fungsi UPT pelatihan sebagai sarana pelatihan pengembangan Sumber Daya Manusia IKM dapat berfungsi sesuai dengan amanat Perda no. 7 tahun 2008.

2) Memberi masukan tentang strategi dan program pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan kepada pemerintah Provinsi Riau dalam menunjang program pengentasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Infrastruktur (K2I) Provinsi Riau.


(23)

(24)

2.1 Industri Kecil dan Menengah (IKM)

Industri Kecil dan Menengah (IKM) adalah industri yang dikelola masyarakat dengan asset lebih kecil dari dua ratus juta rupiah diluar tanah dan bangunan. Omzet tahunan lebih kecil dari satu milyar rupiah, dimiliki oleh orang Indonesia independen, tidak terafilasi dengan usaha menengah, boleh berbadan hukum dan boleh saja tidak. (Departemen Perindustrian, 2008). Berbeda dengan Usaha Kecil dan Menengah, menurut Undang-Undang Nomor: 9/1995 tentang usaha kecil adalah bila asset yang dimiliki usaha lebih kecil dari duaratus juta rupiah diluar tanah dan bangunan dengan omzet tahunan lebih kecil dari satu milyar rupiah, dimiliki oleh orang Indonesia independen, tidak terafilasi dengan usaha menengah, boleh berbadan hukum dan boleh saja tidak.

2.2 Penguatan Kelembagaan

Untuk melakukan perubahan kelembagaan dalam konteks pembangunan yang berbasis pada pengembangan komunitas memerlukan roh yang jelas. Hal pokok tersebut adalah mengingatkan akan keperluan pembangunan yang berkelanjutan (Kolopaking dan Toni, 2007). Ada tiga pilar utama dari Pembangunan Berkelanjutan, yaitu : (1) Pengentasan kemiskinan (poverty eradication), (2) Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan (changing unsustainable pattern of consumption and production), (3) Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural resources basis of economic and social development). Ketiga pilar ini perlu diintegrasikan dan terkait serta bergantung satu sama yang lainnya (interdepedensi).

Pengembangan kelembagaan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan melalui teknik-teknik sosial yang diturunkan dari penerapan Teknologi Partisipatif. Oleh karena itu bentuk kegiatannya beragam mulai dari pendampingan, melakukan pelatihan berbasis kompetensi, pemagangan, studi banding untuk melihat pola percontohan.


(25)

keberhasilan (best practice), penyusunan dan perencanaan aksi, bahkan sampai melakukan advokasi untuk melakukan memperjuangan kepentingan masyarakat. Hal yang utama dalam hal ini semua kegiatan itu dilakukan dalam bentuk proses belajar sosial partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama yang produktif. Satu hal yang menjadi hasil (outcome) dari kegiatan-kegiatan ini adalah lahirnya kader-kader untuk ikut mengembangkan proses pemberdayaan masyarakat.

Menurut Bertrand (1974), seperti dikutip Tonny dan Utomo (2004), kelembagaan adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya. Artinya, wujud kongkrit dari pemahaman tentang kelembagaan dapat berupa grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya. Sedangkan tata abstraksinya adalah pada sistem norma dan nilai dari grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya.

Istilah “lembaga” (institution) dan “pengembangan kelembagaan” (institutional development) pengembangan masyarakat atau “pembinaan

kelembagaan” (institutional building), mempunyai arti yang berbeda-beda untuk orang yang berbeda pula. Disini pengembangan kelembagaan sinonim dengan pembinaan kelembagaan dan didefenisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia. Proses ini dapat secara internal dapat digerakkan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampur tangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau oleh badan-badan pembangunan (Israel, 1992).

Pengembangan kelembagaan (atau analisa kelembagaan) menyangkut sistem manajemen termasuk pemantauan dan evaluasi; struktur dan perubahan organisasi; perencanaan, termasuk perencanaan untuk suatu proses investasi yang efisien; kebijakan pengaturan staf dan personalia; pelatihan staf, prestasi keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran dan akunting dan auditing; perawatan dan pengadaan (Israel, 1992).

Menurut Sugiyanto (2002) hasil akhir dari pembangunan lembaga menetapkan sederetan pengujian. Prinsip-prinsip dasarnya (1) harus diadakan norma-norma dan pola-pola yang baru didalam organisasi yang relevan dengan lingkungan; (2) baik organisasi maupun inovasi yang diwakilinya harus


(26)

melembaga dan semua ini harus dinilai; (3) nilai instrinsik yang diperoleh dapat dipandang sebagai sumber daya yang memungkinkan para penghantar perubahan untuk mencapai tujuannya dengan biaya yang berkurang karena komitmen staf dan citra yang menguntungkan dan diproyeksi dalam lingkungan.

Menurut Eade (1997) seperti dikutip Tonny dan Utomo (2004), pengembangan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek-proyek pembangunan.

2.3 Modal Sosial

Dalam pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai secara efektif apabila didukung oleh sumber daya yang memadai (Siswanto, 2005). Sumber daya dapat berupa human capital, social and institutional assets, natural resources dan man mad assets (Syaukat dan Hendrakusumaatmadja, 2005). Penyatuan tersebut mengindikasikan bahwa kelembagaan sebagai organisasi akan efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumber daya. Salah satu sumber daya tersebut adalah Modal Sosial.

Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur sosial serta hubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaring sosial. Secara umum modal sosial didefenisikan sebagai “informasi, kepercayaan, dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jejaring sosial” (Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal groups, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo, 2005).

Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih kongkrit, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk proses produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut. Pemahaman tentang modal sosial menekankan pada hubungan timbal balik antara


(27)

modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal sosial tidak bersifat netral, ditandai dengan adanya hubungan saling menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau manusia pada umumnya.

Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002), adalah kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan jaringan sosial atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya Hanifan dalam Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai kenyataan yang dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan antar individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan warga masyarakat.

Menurut Woolcock yang dikutip Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo (2005), modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu :

1) Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama.

2) Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama.

3) Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.

4) Sinergi (synergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).

2.4 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam kerangka pikiran ini, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,


(28)

memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 2005).

Hikmat (2004) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people-centred, participatory, empowering dan sustainable.

Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan (Sumodiningrat, 1997). Pemberdayaan rakyat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang dan sektor kehidupan.

Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam :

1) Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan.

2) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.

3) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Beragam defenisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat miskin


(29)

yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Menurut Payne dalam Adi (2001), mengemukakan proses pemberdayaan pada intinya ditujukan untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain dengan menggunakan daya dari lingkungan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah upaya perubahan sosial masyarakat yang direncanakan dengan melibatkan peran partisipasi masyarakat dalam upaya sebuah proses peningkatan taraf hidup dan pola pikir masyarakat sebagai subjek dari pembangunan.

2.5 Inkubator sebagai Media Pemberdayaan IKM

Menurut Purwadaria (2004) Inkubator Bisnis dan Teknologi (IBT) adalah suatu fasilitas yang dikelola oleh sejumlah staf terbatas dan menawarkan suatu paket terpadu kepada pengusaha industri dengan biaya terjangkau selama jangka waktu tertentu (2-3 tahun). Paket terpadu tersebut meliputi :

1. Ruang produksi dalam gedung yang dilengkapi sarana dan prasana.

2. Kesempatan akses dan pembentukan jaringan kerja dengan jasa pendukung teknologi dan bisnis, sumber daya teknologi dan informatika, sumber daya bahan baku, sumber daya keuangan.

3. Pelayanan konsultasi yang meliputi aspek teknologi, manajemen, dan pemasaran.


(30)

Adapun manfaat yang didapat oleh Industri Kecil dan Menengah dalam program Inkubator ini adalah :

1. Sewa ruangan dengan biaya rendah.

2. Sarana administrasi, kesekretariatan dan jasa dapat dipakai bersama. 3. Akses fasilitas perpustakaan dan komputer.

4. Tenaga konsultan terlatih dan murah.

5. Tenaga kerja terampil dan murah ( siswa dan mahasiswa praktek). 6. Memperoleh fasilitator bank dan penyandang dana.

7. Memperoleh fasilitator pasar dan sumber bahan baku. 8. Hubungan dengan pejabat pemerintah terkait.

9. Sinergisme dengan perusahaan lain.

Adapun manfaat untuk inkubator adalah :

1. Menghasilkan pendapatan.

2. Kesempatan penanaman modal dan ikut berwirausaha.

3. Meningkatkan pengetahuan kewirausahaan dan memberikan pengalaman praktis kewirausahaan bagi lembaga dan staf lembaga.

4. Ikut dalam jaringan kerja dengan pemerintah, universitas, lembaga penelitian dan sektor swasta.

5. Menggiatkan fasilitas yang ada secara efektif. 6. Komersialisasi hasil penelitian.

Sedangkan inkubator bagi pemerintah mempunyai manfaat antara lain :

1. Pertumbuhan budaya kewirausahaan. 2. Perluasan landasan pajak.

3. Peningkatan pendapatan dan devisa negara. 4. Pertambahan penyerapan tenaga kerja.


(31)

Dalam prakteknya inkubator dapat dikelompokan atas:

1. Inkubator publik (nirlaba) : diprakarsai oleh pemerintah/organisasi nirlaba 2. Inkubator swasta: perusahan modal ventura atau real estate/industri besar

tertentu yang menarapkan pola subkontrak.

3. Inkubator kampus: perguruan tinggi sebagai pusat penemuan dan inovasi. 4. Inkubator publik swasta : kerjasama antara pemerintah atau

organisasi nirlaba dengan perusahaan swasta.

Menurut Hubeis (2009) dalam prospek usaha kecil dalam wadah inkubator mengemukakaan merupakan suatu lingkungan “pengeraman” untuk memenuhi kebutuhan usaha kecil di tahap-tahap kritis dari perkembangan maupun pertumbuhan yang didukung oleh sumber-sumber bantuan dari pemerintah maupun swasta.

Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa UPT Pelatihan dan Pengembangan merupakan inkubator yang diprakarsai oleh pemerintah daerah untuk memenuhi akan kebutuhan pengembangan dan pertumbuhan IKM . Adapun fasilitas yang tersedia disetiap work shop merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan oleh IKM yang sudah masuk dalam sistim inkubator UPT Pelatihan dan Pengembangan.

2.6 Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka (Eade dikutip oleh Tonny & Utomo, 2004). Jadi sementara terdapat kapasitas dasar tertentu (sosial,ekonomi,politik dan praktek) dimana pembangunan itu bergantung, juga mencari dukungan organisasi untuk bekerja demi keadilan sosialyang berkelanjutan. Pengembangan kapasitas masyarakat bertujuan untuk memngkombinasikan fokus yang lebih rinci pada setiap situasi dengan visi strategi yang luas dalam jangka panjang. Dengan demikian hasil yang diharapkan dengan adanya pengembangan kapasitas menurut Sumpeno (2002) adalah : (1) Penguatan individu, organisasi dan masyarakat, (2). Terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program, (3). Terbangunnya


(32)

sinergitas pelaku dan kelembagaan. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka pengembangan kapasitas menurut Saharuddin (2000) adalah mencakup pengembangan kapasitas institusi dan kapasitas sumber daya manusia.

Pengembangan kapasitas masyarakat menurut Maskun (1999) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah yang nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi suatu local capacity . Kapasitas lokal yang dimaksud kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelem,bagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam ekonomi setempat. Dalam kontek seperti itu otonomi dan pembangunan masyarakat oleh masyarakat adalah suatu konsep yang sejalan. Karena itu kebutuhan penting disini adalah bagaimanan mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumber daya manusia. Dalam kontek ini pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi kebijakan sebagai landasan organisasi lokal untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam pengertian lain pemerintah pusat mengembang fungsi stering (mengarahkan), sedangkan “lokal” mengemban fungsi rowing (menjalankan). Analog dengan pengertian bahwa pemerintah daerah mengambil kebijakan strategis didaerah agar masyarakat mampu mengembangkan kapasitasnya (self help).

Dalam meningkatkan dan mengembangkan kapaitas IKM dalam arti kelembagaan masyarakat yang sebenarnya tidak terlalu lemah atau miskin akan tetapi menghadapi kemampuan dan daya saing yang rendah menurut Sinambela (1999) ada beberapa permasalahan-permasalahan yang dihadapi yaitu; (1) kesulitan permodalan; (2) kesulitan pemasaran; (3) kesulitan pengadaan bahan baku; (4) penggunaan teknologi; (5) mesin-mesin dan peralatan; (6) produk tidak berorientasi pasar; (7) wawasan sempit dengen berorientasi masa lalu dan sekarang; (8) manajemen tidak memadai; (9) kurang mampu melihat dan memanfaatkan peluang; (10) tidak mengetahui informasi yang diperlukan; (11) kurangnya penguasaan jaringan.


(33)

Dengan mengetahui kelemahan-kelemahan IKM , maka peran UPT Pelatihan dan Pengembangan sebagai wadah dalam pembinaan IKM tidak terlepas pada permasalahan yang dihadapi oleh IKM sehingga strategi program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas IKM oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan dapat difokuskan kearah permasalahan tersebut.

2.7 Strategi Pemberdayaan IKM

Menurut Kuncoro (2007) strategi pemberdayaan yang telah diupayakan selama ini dapat diklasifikasikan dalam bebarapa aspek utama berikut ini:

1. Aspek manajerial yang meliputi peningkatan produktivitas/omset/tingkat utilasi/tingkat hunian, meningkatkan kemampuan pemasaran, pengembangan sumber daya manusia

2. Aspek permodalan yang meliputi:bantuan modal (penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha kecil minimum 20% dari porfolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU)

3. Mengembangkan program kemitraan dengan udsaha besar baik lewat sistim Bapak-Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu hilir (forward linkage), keterkaitan hilir hulu (backward linkage), model ventura, ataupun sub kontrak. 4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan apakah berbentuk PIK (Pemukiman Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).

5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok Usaha Bersama), KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).


(34)

III. METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Berdasar dari tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dibuat suatu kerangka pikir berupa hipotesa pengarah dalam melakukan kajian ini. Hipotesa pengarah dalam hal ini tidak berarti harus diuji kebenarannya tetapi merupakan arahan bekerja dilapangan dan disaat menganalisa data hasil lapangan. Ini berarti kemungkinan temuan baru di lapangan (karena kajian ini menggunakan metode kualitatif) dapat saja tidak tergambar dalam kerangka pikir tetapi bisa berupa sebagai penemuan baru atau juga hasil kajian bisa memperkuat kerangka pikir yang sudah dibuat.

Dalam kerangka pikir (gambar1) tersebut menunjukan bahwa untuk mewujudkan UPT Pelatihan sebagai pusat pelatihan industri dan perdagangan yang handal dan profesional dihadapkan permasalahan antara lain tidak adanya tenaga teknis pada setiap work shop, rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola, peralatan work shop yang tidak memadai, lemahnya perencanaan pelatihan, belum mempunyai silabus pelatihan dan magang. Dengan kondisi tersebut maka pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak sejalan dengan kebutuhan IKM.

Untuk mencapai fungsi dan tujuan UPT Pelatihan dan pengembangan terdapat dua faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dengan diketahuinya kedua faktor tersebut maka solusi peningkatan pemberdayaaan IKM dapat diatasi. Dalam kapasitas UPT Pelatihan dan Pengembangan sebagai sarana meningkatkan sumber daya manusia IKM diharapkan mampu menyusun strategi pemberdayaan melalui pelatihan, magang, pendamping usaha, fasilitasi permodalan dan pemasaran. Dengan dihadapkan kondisi IKM saat ini yang sebahagian besar memiliki kesulitan permodalan, lemahnya pemasaran, kesulitan bahan baku, lemahnya penguasaan baha baku, lemahnya penguasaan teknologi, minimnya peralatan, kurang berorientasi pasar dan masa depan serta lemahnya manajemen dan jaringan. Melalui penguatan kelembagaan UPT maka strategi program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas IKM akan memenuhian kebutuhan nyata IKM.


(35)

Gambar 1. Kerangka Alur Pikir

 Tidak ada tenaga teknis pada work shop.

 Rendahnya kualitas SDM pengelola UPT Pelatihan dan Pengembangan.

 Peralatan work shop tidak memadai.

 Lemahnya perencanaan pelatihan.

 Belum mempunyai silabus pelatihan dan magang.

Terbatasnya modal. Lemahnya pemasaran. Kesulitan bahan baku. Rendahnya penguasaan

teknologi

Peralatan sederhana Kurang berorientasi

pasar dan masa depan. Lemahnya penerapan

manajemen dan jaringan.

Pengembangan.  Perencanaan organisasi

dan pengembangan SDM UPT Pelatihan dan Pengembangan.  Peran dan Kontribusi

UPT Pelatihan dan Pengembangan bagi pengembangan IKM

Kebijakan pemerintah. Perkembangan ekonomi

makro

Perkembangan teknologi Persaingan usaha

kewirausahaan

Internal Factor Analysis Summary IFAS

Eksternal Factor Analysis Summary EFAS

Pelatihan Magang Fasilitasi Permodalan Fasilitasi pemasaran

Bantuan peralatan Pendampingan

usaha Inkubator

Peningkatan Kapasitas Dan Kualitas Usaha IKM Melalui Kegiatan Pelatihan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan IKM Masyaraakat

Fungsi UPT : Sarana Pelatihan

Mendukung Penumbuhan dan Pengembagnan Indag


(36)

3.2 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan

Kajian ini merupakan kajian pengembangan kelembagaan yaitu UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat khususnya Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau dan ini terkait dengan program Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam pemberantasan Kebodohan, Kemiskinan dan Infrastruktur (K2I).

Provinsi Riau terdiri dari Sembilan Kabupaten dan Dua Kota, sedangkan lokasi UPT Pelatihan dan Pengembangan yaitu Kota Pekanbaru. Jarak dari Ibukota Pekanbaru ke UPT Pelatihan dan Pengembangan sekitar 5 KM dengan jarak tempuh kurang lebih sekitar 15 menit.

Dipilihnya UPT Pelatihan dan Pengembangan sebagai kajian, berdasarkan pertimbangan :

1. UPT Pelatihan dan Pengembangan merupakan satu-satunya lembaga Pelatihan yang ada di Provinsi Riau.

2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai sehingga dapat dimanfaatkan namun pemanfaatannya yang belum maksimal.

Waktu kajian dalam penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu dimulai pada tanggal 02 Januari 2010 sampai 30 Maret 2010.

3.3 Metode Kajian

Rancangan penelitian yang dilakukan dalam melakukan kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan topik kajian “Pengembangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau“.

3.3.1 Informan

Dalam melakukan kajian pengembangan kelembagaan dilakukan penentuan informan berdasarkan topik kajian. Adapun informan yang dipilih yaitu (1) informan ditingkat staf UPT Pelatihan dan Pengembangan , baik kepala seksi


(37)

maupun staf sebanyak sembilan orang; (2) sepuluh pengelola Work Shop ; (3) satu orang pengusaha bidang perbengkelan yang didampingi UPT Pelatihan dan Pengembangan pada workshop di UPT Pelatihan dan Pengembangan yang dipakai sebagai alat untuk mengevaluasi peran UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam pemberdayaan Industri kecil dan menengah di Provinsi Riau.

Tabel 1. Teknik Penentuan Informan

Jenis Data

Struktur Informan Staf UPT

Pelatihan

Pengelola Work shop

Pengusaha bidang perbengkelan (workshop logam)

Dinas Perindag Provinsi Riau

1 2 3 4 5

Identifikasi

Informan

Kemampuan

SDM

Effektivitas Kinerja UPT Pelatihan dan

Pengembangan

  √ 

Rancangan Kebutuhan Penguatan

Kelembagaan    

3.3.2 Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam kajian ini berupa informasi mengenai pengembangan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau dilakukan dengan cara :

1. Pengamatan langsung melalui penelusuran data primer untuk mengamati kegiatan rekruitmen aparatur teknis. pembuatan perencanaan pelatihan dan silabusnya, kegiatan – kegiatan untuk melengkapi peralatan dan


(38)

sarana/prasarana, serta data – data yang berhubungan dengan monitoring dan evaluasi pelatihan. Penelusuran data primer dilakukan dengan kunjungan lapangan ke UPT Pelatihan dan Pengembangan , Jalan Hangtuah Ujung Kota Pekanbaru.

2. Data sekunder diperoleh dari bebarapa lembaga seperti : a. Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Riau. b. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau. c. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau. d. Kantor Statistik Provinsi Riau.

e. Kementerian Perindustrian RI.

f. Wawancara mendalam dengan informan yang dilakukan dengan kunjungan ke tempat usaha (Work Shop ) dan melalui pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan di UPT Pelatihan dan Pengembangan serta evaluasi kegiatan pada satu unit workshop yaitu workshop logam

g. Diskusi dengan informan untuk mendapatkan permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha.

Data sekunder diperoleh dari pengamatn-pengamatan secara langsung serta studi dokumentasi yang berkaitan dengan proses perencanaan, penelitian serta data - data pendukung lainya terutama menyangkut kegiatan pelatihan (rekruitmen peserta, seleksi, silabus, perencanaan kebutuhan, serta mekanisme pelaksanaan pelatihan) magang, fasilitasi permodalan, fasilitasi pemasaran serta bantuan peralatan dan pendampingan.

3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dengan mengolah dan menganalisa data dengan menggunakan tabulasi data yang menghasilkan tabel frekuensi. Sedangkan metode kualitatip memperoleh data-data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan dari responden dilapangan. Menyangkut metode analisis data kualitatif, Nasution (1996:129) menganjurkan tahapan-tahapan dalam menganalisa data


(39)

kualitatif yang dijadikan pedoman dalam menganalisa data hasil penelitian sebagai berikut ;

1. Reduksi data; data yang diperoleh di lapangan dicatat secara lengkap dan rinci. Data tersebut perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok dan difokuskan sesuai tujuan penelitian. Hasil dari reduksi data ini adalah tersusunnya data secara sistimatis yang memberi gambaran lebih tajam tentang hasil pengamatan dan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperlukan.

2. Penyajian data; untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian maka perlu display data, yaitu menyajikan data dalam bentuk tabel, gambar, matrik, network dan chart. Dalam tahap ini data hasil wawancara diuraikan secara rinci dan selanjutnya ditampilkan tabel untuk memudahkan membaca hasil penelitian sesuai dengan pertanyaaan penelitian. 3. Penarikan dan verifikasi; yaitu upaya mencari pola, model, tema,

hubungan dan persamaan serta hal-hal yang sering muncul, sehingga diperoleh suatu kesimpulan.

Data hasil penelitian dianalisis berdasarkan kerangka pemikiran yang telah ditetapkan, untuk kemudian dilihat hubungan dan persamaan dari implikasi teoritiknya, sehingga diperoleh suatu kesimpulan jawaban penelitian.

Dengan metode di atas, pengkaji berupaya untuk mengeksplorasi kegiatan yang dilaksanakan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam meningkatkan kapasitas pengembangan IKM di Provinsi Riau.

3.4 Metode Perencanaan Program

Metode perencanaan program dalam kajian ini menggunakan metode SWOT, dengan mengidentifikasikan berbagai faktor secara sistimatis untuk merumuskan strategi organisasi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimaklkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threat). Proses pengembilan keputusan strategis selalu berkaitan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan organisasi. Dengan demikian perencana strategis


(40)

(strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisa SWOT.

Penelitian menunjukan bahawa kinerja organisasi dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal . Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalan analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strenght dan Weakness serta lingkungan external Opportunities dan Threats yang dihadapi organisasi. Analisa SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (opportunities) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal Kekuatan (strenght) dan Kelemahan (weakness).

3.4.1 Analisis faktor Internal dan Eksternal

Penyusunan IFAS (Internal Factors Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary), adalah sebagai dasar untuk penyusunan Matrik Internal Eksternal (IE Matrik) UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan perdagangan Provinsi Riau. Dari hasil penyusunan Matrik Internal dan Eksternal ini dapat disusun Strategi pengembangan UPT pelatihan dan Pengembangan.

IFAS merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk menganalisis seberapa baik manajemen suatu organisasi merespon terhadap faktor-faktor penting internal yang bardampak terhadap kelangsungan organisasi. Tahapan penyusunan IFAS adalah sebagai berikut:

1. Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan UPT Pelatihan dan Pengembangan yang telah dianalisis sebelumnya dan masukkan kedalam kolom 1.

2. Berikan bobot pada masing-masing faktor yang terdapat pada kolom1 tersebut dengan skala mulai 1,0 (sangat penting) hingga 0,0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis UPT Pelatihan dan Pengembangan saat ini. Jumlah seluruh bobot pada kolom 2


(41)

3. Berikan rating pada kolom 3 untuk masing-masing faktor yang terdapat pada kolom 1 dengan memberikan skala mulai dari 4 (above

average) hingga 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi UPT Pelatihan dan Pengembangan.

- Untuk faktor-faktor kekuatan UPT Pelatihan dan Pengembangan , diberi nilai dari 1 hingga 4 (sangat tinggi).

- Untuk faktor-faktor kelemahan UPT Pelatihan dan Pengembangan, diberi nilai dari 1 hingga 4 (sangat tinggi).

4. Kolom 4 (weighted score) marupakan perkalian kolom 2 (weight) dan kolom 3 (rating).

Jumlahkan nilai pambobotan pada kolom 4, untuk mamperoleh total nilai pembobotan bagi UPT Pelatihan dan Pengembangan. Nilai pembobotan total ini menunjukkan bagaimana UPT Pelatihan dan Pengembangan bereaksi terhadap faktor-faktor kekuatan dan kelemahannya atau faktor-faktor lingkungan internalnya

Untuk penyusunan matrik EFAS juga hampir sama dengan penyusunan matrik IFAS hanya saja faktor yang dinilai berbeda yaitu faktor Eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threat) UPT Pelatihan dan Pengembangan.


(42)

4.1 Kondisi Umum IKM di Provinsi Riau

Luas Wilayah Provinsi Riau 107.932,71 KM, terdiri dari daratan 80,11 % dan Lautan/Perairan 19,89 % , dengan Administrasi Pemerintahan Sepuluh Kabupaten dan Dua Kota dengan 151 Kecamatan dan 1.609 Desa/Kelurahan. Bappeda Prov Riau (2007) Penduduk Provinsi Riau berjumlah 5.070.952 Jiwa dengan Pertumbuhan Penduduk sebesar 5,23 % dan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 8,25 %.

Tabel 2. Jumlah Unit Usaha,Tenaga Kerja,Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM di Provinsi Riau menurut Kabupaten/Kota , 2007

No. Kab/Kota Unit

Usaha Tenaga Kerja Nilai Investasi (000) Nilai Produksi (000) 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. Kab. Kuansing Kab. Inhu Kab. Inhil Kab. Pelalawan Kab. Siak Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kab. Bengkalis Kab. Rokan Hilir Kota Pekanbaru Kota Dumai 331 121 278 517 464 312 426 316 564 716 1.069 1.151 534 1.556 3.616 2.078 1.515 1.931 2.671 4.177 57.423 3.155 7.021.005 4.067.000 5.905.202 37.715.364 342.189.736 57.175.000 17.074.872 7.408.525 215.525.013 82.211.912 1.309.881.270 226.332.075 9.811.410 23.604.750 41.717.641 56.569.725 136.097.428 35.517.726 11.748.500 138.220.800 627.274.962 95.415.185 J u m l a h 5.114 79.807 2.086.174.899 1.402.250.210

Tahun 2007 jumlah IKM di Provinsi Riau sebanyak 5.114 unit usaha dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 79.807 orang, dengan Investasi sebesar 2.096.174.889 ribu Rupiah, dengan Jenis Industri dan sebaran Unit Usaha di 11 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Dengan penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 79.807 orang belum termasuk tenaga kerja tidak langsung maka peran IKM dalam menggerakkan roda perekonomian daerah ini sangat besar. Untuk mengembangkan potensi ekonomi ini diharapkan UPT Pelatihan dan


(43)

Pengembangan mampu memfasilitasi kebutuhan pengembangan IKM baik dari segi Teknis,SDM, Manajemen maupun keuangan.

Tabel 3. Jumlah Unit Usaha,Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM Propinsi Riau per jenis Industri, 2007

No. Jenis Industri Unit Usaha Tenaga Kerja (Orang) Nilai Investasi (000) Nilai Produksi (000) 1. 2. 3. 4. 5. Pangan Sandang Kimia dan barang bangunan Logam dan elektronika Kerajinan 1.341 392 2.166 991 224 7.700 1.438 65.231 4.628 810 1.313.220.061 104.000.906 408.092.639 255.980.513 4.880.780 518.596.146 52.359.955 554.776.974 235.012.655 41.504.480 J u m l a h 5.114 79.807 2.086.174.899 1.402.250.010

Setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Riau mempunyai Stuktur Organisasi Tata Kerja tersendiri dan Dinas perindustrian dan Perdagangan ada pada setiap Kabupaten/Kota tersebut. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Riau No.7 tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau dan Peraturan Gubernur Riau No.38 tahun 2009 tentang Uraian Tugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau adalah merupakan salah satu perangkat daerah yang bertanggung jawab dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui penumbuhan, pembinaan dan pengembangan sektor industri dan perdagangan. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain dengan menyusun dan melaksanakan program kerja pembangunan industri dan perdagangan serta memberikan pelayanan teknis dengan melaksanakan berbagai pelatihan dibidang industri dan perdagangan. Salah satu dari fungsi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau tersebut diwujudkan melalui Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pelatihan dan Pengembangan Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau yang berfungsi untuk mendukung pertumbuhan pengembangan industri dan perdagangan, dengan tugas pokoknya menyelenggarakan urusan pekerjaan dan kegiatan yang berkenaan dengan pelatihan dibidang perindustrian dan


(44)

perdagangan. UPT Pelatihan dan Pengembangan Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau merupakan suatu lembaga pelatihan dan wadah pelayanan dan pembinaan Industri Kecil dan Dagang Kecil Menengah yang dibutuhkan dalam meningkatan dan mengembangan sumber daya manusia (SDM) IKM . Melalui SDM yang handal akan dapat menumbuhkan dan mengembangkan sektor industri dan perdagangan yang akan memacu pertumbuhan perekonomian Provinsi Riau. Dapat dikatakan bahwa UPT Pelatihan dan Pengembangan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan SDM terampil yang dibutuhkan oleh IKM di Provinsi Riau. UPT Pelatihan dan Pengembangan ini merupakan satu-satunya Lembaga Pemerintah yang membidangi Pelatihan dan Pengembangan Industri di Provinsi Riau.

Hasil wawancara dengan staff UPT Pelatihan dan pengelola workshop

diketahui bahwa terdapat 6 bidang usaha yaitu makanan dan minuman, perbengkelan, pertenunan, kerajinan kayu, konveksi dan border. Setiap unit usaha ini mempunyai kelemahan dalam menjalankan aktivitas usahanya, akan tetapi mempunyai peluang untuk dikembangkan. dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rekapitulasi kondisi IKM Riau serta Kebutuhan Pengembangannya

No Bidang Usaha Unit Usaha Identifikasi kondisi IKM Presentase (%) Kebutuhan Pengembangan IKM 1 2 3 4 5 6 Makanan Minuman Perbengkelan Pertenunan Kerajian Kayu Konveksi Bordir 35 12 8 5 2 3 1. Terbatasnya permodalan 2. Terbatasnya jaringan Pemasaran 3. Peralatan sederhana 4. Tidak berorientasi Pasar 5. Manajemen usaha kurang memadai 6. Kurang mampu melihat peluang 7. Informasi usaha sangat kurang 100 80 85 90 90 90 100

1. Penambahan modal kerja yang cukup dan memadai bagi usaha 2. Penguatan jaringan

pemasaran yang luas 3. Ketersediaan peralatan

usaha yang cukup dengan

penguasaan teknologi 4. Kemampuan melihat

peluang dan

pengembangan usaha 5. Kemampuan menguasai

informasi , teknologi produk dan pasar 6. Kemampuan

mengembangkan usaha 7. Kemampuan untuk

mandiri dengan kekuatan sendiri 65


(45)

Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa kondisi IKM di Provinsi Riau masih memerlukan pengembangan kegiatan dalam bentuk pemberdayaan, peran UPT Pelatihan dan pengembangan masih diperlukan dalam pemberdayaan IKM, baik dalam bentuk penguatan kelembagaan komunitas maupun usaha serta pendampingan kegiatan usaha. Fokus pemberdayaan yang dilakukan oleh UPT pelatihan dan pengembangan adalah melalui penguatan modal usaha unit usaha melalui asistensi manajemen usaha dan kredit usaha berbunga rendah, pengutan jaringan usaha kerja melalui pendampingan dan advokasi melalui kegiatan konsultasi dan promosi usaha, pengadaan sarana peralatan usaha serta training untuk penggunaannya, melakukan pendampingan dalam pemasaran hasil dan peningkatan performance produk usaha serta melakukan kegiatan konsultansi usaha secara terus menerus melalui peningkatan partisipasi anggota IKM dalam kelembagaan komunitas IKM dalam kegiatan klinik konsultansi usaha.

Hasil wawancara dengan staff UPT Pelatihan dan Pengembangan serta pengelola workshop diketahui bahwa perkembangan IKM yang telah dan akan mendapat pendampingan dari UPT Pelatihan dan Pengembangan juga dapat diketahui bahwa pelatihan dan pendampingan yang telah dilakukan oleh UPT pelatihan dan pengembangan telah membawa perkembangan yang cukup baik bagi perkembangan usaha maupun kelembagaan IKM. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi Kondisi dan Kebutuhan IKM Terhadap UPT Pelatihan dan Pengembangan

Bidang Usaha Kondisi Awal (Pra Pelatihan dan Pendampingan )

Kondisi Akhir (Pasca Pelatihan dan Pendampingan)

Kebutuhan IKM TerhadapUPT Pelatihan dan

Pengembangan

1 2 3 4

Makanan dan Minuman 1. Jaringan akses permodalan terbatas 2. Jaringan pemasaran

terbatas

3. Informasi pengembangan usaha dan peluang usaha terbatas

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Jaringan Pemasaran terbuka melalui pendampingan dan konsultasi Usaha. 3.Akses terhadap informasi

usaha dan peluang usaha terbuka

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan 2. Pendampingan, promosi,

bar code dan advokasi pada investor dan pasar terbuka

3. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha

Perbengkelan 1. Jaringan akses permodalan terbatas 2. Peralatan sederhana 3. Manajemen Usaha

kurang memadai

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Pengadaan dan penggunaan peralatan

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan. 2. Pengadaan peralatan serta

magang usaha dan penggunaan peralatan


(46)

1 2 3 4 4. Informasi pengembangan

usaha dan peluang usaha terbatas

telah memadai

3. Manajemen usaha semakin baik

4. Akses terhadap usaha dan peluang usaha terbuka

3. Pelatihan manajemen usaha.

4. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha

Pertenunan 1. Jaringan akses permodalan terbatas 2. Peralatan sederhana 3. Tidak berorientas pasar 4. Manajemen Usaha

kurang memadai 5. Informasi pengembangan

usaha dan peluang usaha terbatas

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Pengadaan dan penggunaan peralatan telah memadai

3.Produk yang duhasilkan telah berorientasi pasar 4.Manajemen usaha semakin

baik

5.Akses terhadap usaha dan peluang usaha terbuka

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan. 2. Pengadaan peralatan serta

magang usaha dan penggunaan peralatan 3. Pelatihan teknis

pertenunan, motif tenun dan peningkatan kualitas hasil tenunan

4. Pelatihan manajemen usaha.

5. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha

Kerajinan Kayu 1. Jaringan akses permodalan terbatas 2. Terbatasnya jaringan

pemasaran

3. Tidak berorientas pasar 4. Manajemen Usaha

kurang memadai 5. Informasi pengembangan

usaha dan peluang usaha terbatas

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Jaringan Pemasaran terbuka melalui pendampingan dan konsultasi Usaha

3.Produk yang duhasilkan telah berorientasi pasar 4.Manajemen usaha semakin

baik

5.Akses terhadap usaha dan peluang usaha terbuka

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan. 2. Pendampingan, promosi

dan advokasi pada investor dan pasar terbuka

3. Pelatihan teknis kerajinan kayu dan peningkatan mutu olahan kayu 4. Pelatihan manajemen

usaha.

5. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha

Konveksi 1. Jaringan akses permodalan terbatas 2. Peralatan sederhana 3. Tidak berorientas pasar 4. Manajemen Usaha

kurang memadai 5. Informasi pengembangan

usaha dan peluang usaha terbatas

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Pengadaan dan penggunaan peralatan telah memadai

3.Produk yang duhasilkan telah berorientasi pasar 4.Manajemen usaha semakin

baik

5.Akses terhadap usaha dan peluang usaha terbuka

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan. 2. Pengadaan peralatan serta

magang usaha dan penggunaan peralatan 3. Pelatihan teknis konveksi

dan peningkatan mutu hasil konveksi 4. Pelatihan manajemen

usaha.

5. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha Bordir 1. Jaringan akses

permodalan terbatas 2. Peralatan sederhana 3. Tidak berorientas pasar 4. Manajemen Usaha

kurang memadai 5. Informasi pengembangan

usaha dan peluang usaha terbatas

1.Akses terhadap sumber permodalan terbuka, yaitu dengan PT. PER

2.Pengadaan dan penggunaan peralatan telah memadai

3.Produk yang duhasilkan telah berorientasi pasar 4.Manajemen usaha semakin

baik

5.Akses terhadap usaha dan peluang usaha terbuka

1. Pelatihan manajemen keuangan dan perusahaan. 2. Pengadaan peralatan serta

magang usaha dan penggunaan peralatan 3. Pelatihan teknis border,

motif bordir dan peningkatan mutu hasil bordir

4. Pelatihan manajemen usaha.

5. Pembuatan, pelaksanaan dan pendampingan klinik konsultasi usaha


(47)

Menurut Sumarjo dan Saharudin (2003), apabila suatu kebutuhan pembangunan sudah dapat dirasakan oleh masyarakat, maka akan mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan (Felt Need) akan benar-benar menjadi kekuatan internal dalam pembangunan masyarakat. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam pembangunan perlu dilandasi upaya untuk memanfaatkan faktor eksternal secara serasi baik pada sistem sosial ditingkat mikro (komunitas), meso (antar komunitas) maupun makro.

Untuk mewujudkan suatu kelembagaan yang baik (good governance) menurut UN-ESCAP ada delapan karakteristik untuk mencapainya yakni partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, orientasi pada konsensus, persamaan, efektif dan efisien serta akuntabilitas. Untuk mengoptimalkan pemberdayaan yang dilaksanakan melalui UPT Pelatihan dan Pengembangan , maka delapan karakteristik good governance merupakan sarana mempermudah mewujudkan kelembagaan yang benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam pemberdayaan masyarakat khususnya IKM di Provinsi Riau.

4.2. Kondisi Umum UPT Pelatihan dan Pengembangan

Struktur Organisasi UPT Pelatihan dan Pengembangan terdiri dari satu orang Kepala yang langsung bertanggung Jawab kepada Kepala Dinas dengan dibantu oleh tiga orang Kepala Seksi dan setiap Kepala Seksi mempunyai Staf masing-masing (Gambar 2).

Gambar 2 : Struktur Organisasi UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau

Kepala Dinas

Kepala UPT Pelatihan dan Pengembangan

Kasi Tata Usaha Kasi

Kasi Pelatihan


(48)

Tingkat pendidikan Aparatur UPT Pelatihan dan Pengembangan mempunyai kompisisi antara lain ; empat orang dengan Pendidikan SI, D3 tiga orang dan 13 orang setara SLA, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Pegawai, Pendidikan pada UPT Pelatihan dan Pengembangan

UPT Pelatihan dan Pengembangan memiliki sarana dan prasarana antara lain ; (1) Workshop Logam; (2) Workshop Kerajinan Kayu/kerajinan; (3) Workshop Perbengkelan;(4) Workshop Agro; (5) Workshop Bordir; (6) Workshop Konveksi; (7) Workshop Elektroplating; (8) Workshop Makanan dan Minuman; (9) Workshop Batik; (10) Workshop Tenun. Sedangkan fasilitas penunjang antara lain; (1) Asrama dengan daya tampung 45 orang;(2) Ruang belajar sebanyak 3 kelas; (3) Ruang makan dengan kapasitas 50 orang; (4) Aula dengan kapasitas 200 orang; (5) Mushalla dengan kapasitas 100 orang.

4.2.1 Profil Tenaga Teknis

Tenaga teknis yang ada di UPT Pelatihan dan Pengembangan terdiri dari 11 orang tenaga fungsional penyuluh dengan rincian pada Tabel 7.

Pendidikan Jabatan Jumlah (orang)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

S 1 S 1 S 1 D 3 D 3 S M K S M A

Kepala UPT Kepala seksi

Staff Kepala seksi

Staff Staff Staff

1 2 1 1 1 9 4


(49)

Tabel 7. Tingkat Keahlian Tenaga Penyuluh UPT Pelatihan dan Pengembangan

No. Keahlian Jumlah (0rang) Persentase

1. 2. 3. 4.

Manajemen usaha Perlindungan konsumen Motivator dan GKM GMP dan kemasan

5 3 2 1

45.45 27.27 18.18 9.09

JUMLAH 11 100

Dari keahlian tenaga penyuluh tersebut hanya mampu untuk memberikan bimbingan pendampingan yang bersifat manajemen dan motivasi usaha. Sedangkan untuk tenaga teknis yang sangat dibutuhkan yaitu :

1. Bidang tekstil.

2. Bidang pengecoran logam. 3. Bidang meubiler dan design. 4. Bidang food/makanan. 5. Bidang garmen/Konveksi. 6. Bidang batik.

7. Bidang bordir.

8. Bidang pelapisan logam. 9. Bidang pengemasan .

Sembilan Bidang Tenaga Teknis di atas saat ini belum dimiliki oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan. Untuk kegiatan pelatihan maupun peningkatan sumber daya manusia pengelola workshop, UPT Pelatihan dan Pengembangan melakukan kerjasama Instruktur dari luar ataupun dimagangkan ke Pulau Jawa.

Dari papaparan di atas dapat diketahui bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan lebih difokuskan pada penambahan kapasitas anggota IKM melalui training, pendampingan pasca pelatihan, permodalan usaha dan peralatan. Kegiatan pemberdayaan juga masih bersifat terbatas sesuai dengan pengetahuan tenaga teknis UPT, strategi pemberdayaan masyarakat belum dibuat secara terperinci sesuai dengan metodologi pemberdayaan. Strategi pemberdayaan masyarakat


(50)

yang dilakukan dalam kegiatan pengembangan masyarakat, antara lain : advokasi, pengorganisasian komunitas, pengembangan jaringan, pengembangan kapasitas dan komunikasi, informasi dan edukasi. Kelima strategi tersebut bersifat saling menguatkan satu sama lain. Bahkan dalam praktek implementasi program masyarakat, disadari atau tidak, kelima strategi tersebut dipraktekkan secara bergantian. ( Djuara P. Lubis, 2007)

Berdasarkan hal tersebu di atas, untuk mengisi tenaga teknis tersebut Tahun 2008 melalui usulan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau telah memohon kepada Bapak Gubernur Riau untuk menempatkan tenaga teknis yang dibutuhkan UPT Pelatihan dan Pengembangan, namun sampai saat ini belum satupun tenaga teknis tersebut dipenuhi.

4.3 Kegiatan UPT Pelatihan dan Pengembangan melalui Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah

Melalui sepuluh workshop yang ada di UPT Pelatihan dan Pengembangan, maka pada tahun 2006 telah dapat dilatih IKM sebanyak 389 orang, sedangkan magang telah dapat difasilitasi sebanyak 56 orang. Pada tahun 2007 IKM yang telah difasilitasi oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan untuk mengikuti pelatihan adalah sebanyak 257 orang sedangkan magang sebanyak 73 orang dengan berbagai jenis pelatihan dan berasal dari 11 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Tabel 8).

Tabel 8. Jumlah peserta pelatihan dan magang tahun 2006 / 2007

Jenis pelatihan yang mampu dilaksanakan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan adalah Pelatihan Achievement Motivation Training (AMT), Good Manufacturing Practises (GMP), manajemen usaha, pengelasan dasar dan lanjutan, batik dasar dan lanjutan, bordir dasar dan lanjutan, tenun dasar dan lanjutan, konveksi, meubel, elektroplating, kemasan pangan, pengolahan buah-buahan dan makanan, pembuatan kue kering dan basah. Untuk tenaga instruktur

No Tahun Pelatihan (orang)

Magang (orang)

Anggaran APBD (Rp) 1.

2.

2 0 0 6 2 0 0 7

389 257

56 73

1.075.000.000,- 1.105.000.000,-


(51)

Pelatihan tersebut UPT Pelatihan dan Pengembangan bekerjasama dengan lembaga pelatihan profesional atau sentra kerajinan yang ada di luar Provinsi Riau. Untuk Pelatihan AMT dan GMP Dinas Perindag Provinsi Riau telah memiliki instruktur dari penyuluh industri dibawah koordinasi Kepala UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindag Provinsi Riau.

Tabel 9. Kegiatan Pelatihan Tahun 2007

No. Kegiatan Pelatihan Jumlah

Peserta Asal Daerah 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7 8

Pelatihan AMT (2 Angkatan) Pelatihan GMP (2 Angkatan) Pelatihan Tenun

Pelatihan Batik

Pelatihan Pengemasan pangan Pelatihan Bordir

Pelatihan Pengelolaan Makanan Pelatihan Pengelasan

80 80 20 20 10 20 17 10

11 Kab/Kota 11 Kab/Kota 11 Kab/Kota 11 Kab/Kota 10 Kab/Kota 11 Kab/Kota 11 Kab/Kota 10 Kab/kota

JUMLAH 257

Sumber: Disperindag Provinsi Riau Tahun 2008

Dari kegiatan Pelatihan yang dilaksanakan oleh UPT pelatihan dan Pengembangan tahun 2007 telah dapat dilaksanakan tujuh kegiatan dengan jumlah peserta sebanyak 257 perajin berasal dari 11 Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran kegiatan pelatihan tersebut sebesar Rp.451.415.000.- bersumber dari dana Anggaran Pembangunan Belanja Daerah ( APBD ) Provinsi Riau. Animo IKM untuk mengikuti pelatihan ini cukup tinggi sehingga jumlah peserta dibatasi sesuai anggaran yang ada.

Disamping kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan maka perlu memberdayakan fungsi-fungsi workshop yang ada, dengan menerapkan pola Inkubator yakni workshop dikelola oleh Industri Kecil dan Menengah melalui suatu proses seleksi. Dan selanjutnya pengelolaan workshop dilakukan oleh IKM tersebut dengan suatu perjanjian kerjasama dengan


(1)

108

Asrama

Mushola


(2)

Workshop Konveksi

Workshop Perbengkelan


(3)

110

Lampiran 5. Foto-Foto Kegiatan Workshop dan Pelatihan

Pembukaan Pelatihan

Pelatihan Pembatikan (Batik Cap)


(4)

Peserta Pelatihan Tenun

Peralatan Tenun ATBM


(5)

112

Kegiatan Workshop Bordir

Pelatihan Pengelasan Alat Rekayasa


(6)