Proses Sulfonasi TINJAUAN PUSTAKA

diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Menurut Bernardini 1983 dan Pore 1976, reaktan yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat H 2 SO 4 , oleum larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 , sulfur trioksida SO 3 , NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi Foster, 1996. Tabel 4. Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES Bahan Baku Metil Ester ME C 12 a ME C 16 b ME C 16-18 b ME C 22 c BM 218 281 284 280 Bilangan iod mg Ig ME 1,0 3,9 1,9 1,3 Asam karboksilat 0,074 0,25 1,89 na Bilangan tak tersabunkan 0,05 0,27 0,06 na Bilangan asam mg KOHg ME 0,15 0,5 3,8 0,4 Bilangan penyabunan mg KOHg ME 252 197 191 na Kadar air 0,13 0,18 0,19 0,04 Komposisi asam lemak : C12 0,85 0,00 0,00 0,11 C12 72,59 0,28 0,28 0,16 C13 0,00 0,00 0,00 0,03 C14 26,90 2,56 1,55 4,15 C15 0,00 0,43 0,00 0,83 C16 0,51 48,36 60,18 25,55 C17 0,00 1,40 1,31 2,70 C18 0,00 46,24 35,68 64,45 C18 0,00 0,74 1,01 1,06 Ket. a Procter and Gamble, b Henkel dan Chengdu Nymph, c Emery. Sumber : MacArthur et al. 2002. Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi Jungermann, 1979 Menurut Foster 1996, proses sulfonasi menggunakan SO 3 dilakukan dengan cara melarutkan SO 3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO 3 yang digunakan dapat berbentuk SO 3 cair ataupun SO 3 yang diproduksi dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO 3 dengan bahan organik berlangsung cukup cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO 3 paling rendah dibandingkan proses sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar. Menurut Foster 1996, kelebihan pemakaian SO 3 adalah SO 3 mampu mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang dihadapi bila menggunakan SO 3 adalah sebagai berikut : 1 gas SO 3 hasil pembakaran SO 2 umumnya memiliki konsentrasi 26 - 18 persen, sehingga harus dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu antara 4 - 7 persen, 2 gas SO 3 memiliki dew point yang lebih tinggi umumnya - 35 o C dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi umumnya -60 hingga - 80 o C, sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses sulfonasi, dan 3 biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks. Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya. Teknologi sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates LAS, primary alcohol sulfates PAS, alcohol ethoxysulfates AES, dan alpha olefin sulfonates AOS tanpa perlu dilakukan proses pemucatan bleaching Robert et al,, 1988. Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena 1 pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO 3 yang lebih besar dibanding bahan baku ME, 2 diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi, dan 3 dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap nilai Klett lebih dari 1000 Schwuger dan Lewandowski, 1995, sehingga untuk proses produksi MES yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses pemucatan warna bleaching. Menurut Robert et al. 2008, untuk memproduksi MES setidaknya terdapat tiga tahapan penting, yaitu a tahap kontak MESO 3 , b tahap aging, dan c tahap netralisasi. Pada tahap kontak MESO 3 , SO 3 diabsorbsi oleh ME membentuk produk antara. Rasio mol SO 3 -ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2 karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film. Proses sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester Sulfonic Acid MESA MacArthur et al., 2002 atau fatty acid methyl ester α-SF Yamada dan Matsutani, 1996 yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable Yamada dan Matsutani, 1996. Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester metil yang diinginkan MESA. Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet. Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA MacArthur et al., 2002. Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA, maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk sulfonat hanya berkisar 60-75. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan terdiri atas disalt RCHCO 2 NaSO 3 Na bersama dengan sodium methyl sulfate SMS, MeOSO 3 Na, karenanya diperlukan proses aging. Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin sempurna. Tahap aging pada sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena mensyaratkan suhu minimal 80 o C. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses aging bergantung pada suhu, rasio mol SO 3 ME, target tingkat konversi yang ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor PFR, pada rasio mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90 o C ataupun pada kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120 o C akan memberikan tingkat konversi 98. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor CSTR maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan, karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan bahkan memadat kecuali jika dipanaskan. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H 2 O 2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali KOH atau NaOH. Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta , solid flake, atau granula Watkins, 2001. Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME Robert et al., 2008 Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah pH ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat dihindari. Produk sulfonasi mengandung campuran MES dan disalt RCHCO 2 NaSO 3 Na dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat MeOSO 3 Na juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt. Menurut Gupta dan Wiese 1992 dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO 3 dan alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna. Suhu reaktor dikontrol antara 110 - 150 o F 43 - 65 o C. Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO 3 dicampur dengan udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4 - 8 persen. Proses netralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH 4 OH, NaOH, atau alkanolamin. Menurut Moreno et al. 2003 selama proses sulfonasi berlangsung produk lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25 sulfon dan 75 LAB yang tidak bereaksi dengan gas SO 3 dapat dihilangkan selama proses aging dan dikonversi menjadi bahan aktif. Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk selama proses sulit untuk dipisahkan. Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan warna gelap, maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya. Tahap bleaching umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi. Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50 ditambahkan pada konsentrasi 2-3, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah netralisasi. Residu metanol dari re-esterifikasi, ataupun metanol yang ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan re- esterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor MES. Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi kandungan disalt dari produk hasil netralisasi Robert et al., 2008. Baker 1995 telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Bahan baku yang digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO 3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1 pada suhu proses antara 75 - 95 o C dan lama reaksi antara 20 - 90 menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam jumlah sedikit termasuk disalt dan dimethyl sulfate DMS. Menurut Sheats dan MacArthur 2002, penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO 3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging pencampuran di digester, tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada suhu 40 - 56 o C, rasio mol reaktan SO 3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3 dan konsentrasi gas SO 3 7 persen dan suhu gas SO 3 sekitar 42 o C. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85 o C, dengan lama proses 0,7 jam 42 menit. Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 - 40 persen bb, MES basis dan H 2 O 2 50 persen sekitar 1 - 4 persen bb, MES basis pada suhu 95 - 100 o C selama 1 - 1,5 jam. Metanol berfungsi untuk mengurangi pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 o C. Selanjutnya produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 o C dan tekanan 120 - 200 Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes. Produk MES yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18 kalium metil ester sulfonat KMES yang diteliti oleh Sherry et al. 1995 dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH.

2.6. Enhanced Oil Recovery EOR

Minyak mentah petroleum adalah campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said 1998, senyawa hidrokarbon dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu a golongan paraffin hidrokarbon jenuh, b golongan hidrokarbon tak jenuh, c golongan naphtena, dan d golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal, sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas, cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada dalam bentuk cair atau padat. Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas. Sekitar 60 dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 terdiri atas batu gamping dan sisanya batuan lain. Secara umum sifat yang dimiliki batuan reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik porositas dan saturasi dan dinamik permeabilitas. Menurut Lake 1989, porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang yang kosong pori-pori terhadap volume total bulk volume dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan pori- pori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan rongga- rongga yang saling terpisah atau tersekat. Porositas memiliki satuan dalam persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi laju alir pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy mD, namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya. Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6. Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir Porositas Keterangan 0 – 5 Porositas jelek sekali 5 – 10 Porositas jelek 10 – 15 Porositas sedang 15 – 20 Porositas baik 20 – 25 Porositas baik sekali Sumber : Koesoemadinata 1978. Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir Permeabilitas mD Keterangan 5 Ketat tight 5 – 10 Cukup fair 10 - 100 Baik good 100 – 1000 Baik sekali 1000 Very good Sumber : Koesoemadinata 1978. Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary recovery , perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri. Secondary dan tertiary recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan produksi. Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery IOR. Salah satu