Gambar : 2. Morfologi rumput laut cotoni Eucheuma cottonii
Menurut Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004, bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar
spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. Jones, et al. 2003. Substrat yang paling
umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur Dawes, 1981. Selanjutnya Dawes, 1981 juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi
pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh
arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut.
2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan
Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan
penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas
produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka
kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan Kadi dan Atmadja, 1988.
Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris lihat gambar 6 Sulistijo 1987. Menurut Kadi dan Atmadja 1988,
bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 per hari. Selanjutnya Kadi
dan Atmadja 1988 menyatakan bahwa untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar
rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode
budidaya. Menurut Aslan 1988, pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu
pemeliharaan 1,5 – 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500
– 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 . Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 tonha rumput laut
basah atau kira-kira 11 tonha rumput laut kering Aslan, 1988.
2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu
Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur,
maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya Lee, et al. 1999. Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan
nutrien seperti karbon C, nitrogen N dan posfor P untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang
spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C Luning, 1990.
Menurut Lee, et al. 1999, bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan
oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan Atmadja 1988, bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi
beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C.
Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27 - 30°C dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung 1988, bahwa batas ambang suhu
untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan
pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan
dan reproduksi Dawes, 1981. Menurut Kep.Men KLH2KLH88 bahwa kisaran suhu yang demikian
masih cukup ideal untuk pertumbuhan biota laut. Suhu yang terlalu rendah dan suhu yang terlalu tinggi sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme. Dawes
1981 menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang
terlalu dingin maupun terlalu panas. Menurut Kadi dan Atmaja 1988 suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC.
Sedangkan Ditjenkanbud 2005 melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC Eucheuma
memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 . Menurut Rorrer, et al.
2004, bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut L. Saccharina 10 hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh
15 hari pada rumput laut jenis A. coalita. Menurut Moll dan Deikman 1995, bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C
dapat mematikan.
Kecerahan
Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah
yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan Nybakken, 1988. Menurut Effendie 2000, kecerahan adalah
ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk
atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut Kadi dan Atmadja, 1988. Menurut Archibold 1995,
bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya
tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan,
kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. 2004, bahwa alga coklat L. Sacharina dapat
tumbuh dengan intensitas cahaya dp 1 mm, alga hijau A. coalita dp 3 mm dan alga merah A. subulata, O. secundiramea dp = 1,6 mm – 8 mm.
Selanjutnya rumput laut jenis A. coalita intensitas cahaya 10 – 80 mm dapat tumbuh 15hari. Menurut Levina 1984; Jones 1993; Msuya dan Neori, 2002,
bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut.
Arus
Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap
keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu Trono dan Fortes, 1988, Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang
melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien
ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat Soegiarto et al. 1979. Menurut Tiensongrusmee, 1990 dalam Radiarta, et al.
2007, bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam
perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo 1987, bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan
terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat
tertentu.
Menurut Sulistijo 1987 bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma
adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 mdtk. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah
terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang
tenang.
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan
Atmadja 1988, kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut
terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.
Salinitas
Salinitas laut
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan Tromo dan Fortes, 1988. Penyebaran
rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species
rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut Gracilaria dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50
ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17 ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai
salinitas tinggi yaitu 30 ppt Aslan, 1988.
pH Derajat keasaman pH merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan rumput laut Luning, 1990. Menurut Kadi dan Atmaja 1988, derajat keasaman pH yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp.
berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo 1987,
pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan
adalah sebesar 6,8 – 9,6 Luning, 1990.
Menurut Luning, 1990, bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali pH naik maupun ke arah asam pH turun akan mengganggu kehidupan
rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu.
Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi.
Nutrie n
Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi
pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit
maupun amonium Dawes, 1981. Menurut Sulistijo 1987 bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah
lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law 1969 dalam Syahputra, 2005 bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong
perairan dengan kriteria subur.
Kandungan Oksigen Terlarut DO
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen
terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut
disolved oxygen di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan
,
mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut Levina, 1984.
Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen Rahayu, 1991. Selanjutnya menyatakan bahwa
oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut
dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat
menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut DO pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara
di dekatnya melakukan pelarutan difusi ke dalam air laut. Phytoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan
diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di
dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen
terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi
keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya
oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya.
Kebutuhan Oksigen Kimiawi COD
COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung
konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi Alaerts dan Santika, 1987. Nilai COD Chemical Oxygen Demand menggambarkan jumlah
total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis biodegradable maupun yang sukar
degradasi secara biologi non- biodegradable, menjadi CO
2
dan H
2
S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah
dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel Boyd, 1988. Perairan yang memiliki COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mgliter, sedangkan pada perairan yang tercemar
melebihi 200 mgliter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mgliter UNISCOWHOUNEF, 1992. Menurut Widigdo 2002 dalam Sitorus, et al.
2005, bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2.46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd 2003 dalam Sitorus, et al. 2005,
bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92 merupakan bahan organik. Hal ini juga membuktikan bahwa budidaya ikan di tambak dan
limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD. Sedangkan
konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung
menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan. Timbal Pb
Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat Chou, et al. 2004. Logam berat Pb biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air
secara alamiah yaitu kurang dari 1 mgliter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat
Pb akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium Cd
dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal Pb Rodriquez, et al. 2002. Demikian juga pada alga merah
P. Colombina di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat Cu, Cr, dan Zn Muse, at al, 1999.
Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat Pb yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual
bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi 1994, standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mgliter, dan air laut 0,03 mgliter
Selanjutnya Suwirma, et al. 1981, batas rekomendasi timbal Pb hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mgliter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang
ditetapkan oleh Food Chemical Codex 1981 mengandung timbal Pb sebesar 0,004. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi
menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung
Pb 10 mgliter King, 1983.
Menurut World Health Organization WHO, beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadnium Cd, copper Co, zinc Zc, besi Fe, mercury
Cu dan timbal Pb Handal, 1998 dalam Kaur, 2008. Menurut Villares et. al. 2002, bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada
berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, 1999 menemukan logam berat pada alga laut Enteromorpha, sp dan
Pelvetia canaliculata pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama
mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian
kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan Catsiki dan Papathanassion, 1993 dalam Wrigh dan Mason, 1999. Selanjutnya
Wrigh dan Mason 1999, melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga laut Ulva lactuca terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. 1999, bahwa
pada alga merah P. columbina telah terjadi akomulasi dengan logam berat cu, cr, dan zn akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal Pb.
Hama dan Penyakit
Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme
pengganggu lainnya, seperti bulu babi Diademasetosum sp., bulu babi duri pendek Tripneustes sp., ikan-ikan herbivora antara lain beronang Siganus sp.,
ikan kerapu Epinephellus, sp. bintang laut Protorester nodusus, dan penyu hijau Chelonia mydas. Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan
dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan
pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring Anggadiredja, et al. 2006.
Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis
Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman
tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan arus, suhu dan kecerahan sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat ice-
ice dapat mencapai 90, bahkan 100 bila kondisi serangan berlangsung lama.
Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik,
fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti
Pseudomonas dan Staphylococcus Ditjenkanbud, 2005.
2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut