Analisa ruang ekologi untuk pengelompokan zona pengembangan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima

(1)

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN

ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA

KABUPATEN BIMA

MUHAMMAD SIRAJUDDIN

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2 0 0 8


(2)

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN

ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

(Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA

KABUPATEN BIMA

MUHAMMAD SIRAJUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2 0 0 8


(3)

PENGUJI TAMU


(4)

ABSTRACT

MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Ecological Spatial Analisys for Zona Group of Seaweedculture Development in Waworada Bay Bima Rigency under direction Bambang Widigdo and Agustinus Samosir.

One of the potential area for developing mariculture in West Nusatenggara Province which has been decline recently is Waworada Bay of Bima regency. The aim of this research is to find out management measures that could revitalize the coastal area in waworada bay for sustainable seaweed culture. PCA (Principal Components Analysis), analyze were used in this research to explore the main biophysics parameters of growth seaweed culture, and explore the relationship between seaweed production and carragenan with biophysics parameters. In addition GIS analyses was applied to determine the suitable area. Analyze result were using PCA that main parameter of growth seaweedculture was salinity (20.21%), pest (20.14%), braigtness (19.94%), deepness (19.87%), and current (19.83%). Based on GIS Analyze, there are 20.135,94 ha potential and not potential area for seaweedculture that consist of 12.26 ha (0.06%) was very suitable, 19.287,94 ha (95,79%) was suitablel and 835,04 ha (4,15%) wasnot suitable.

Key words : seaweed, carragenan, spacial ecology, zonasi, PCA, GIS, waworada bay


(5)

Judul Tesis : Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima

N a m a : Muhammad Sirajuddin NRP : C251060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Widigdo, M.Sc Ir. Agustinus, M. Samosir, M.Phil

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 01 Nopember 2008 Tanggal Lulus : 12 Januari 2009


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.


(7)

RINGKASAN

MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima. Dibimbing oleh Bambang Widigdo dan Agustinus Samosir.

Salah satu wilayah yang diketahui cukup potensial dan strategis untuk pengembangan budidaya laut di Kabupaten Bima adalah teluk Waworada. Wilayah ini potensial karena kaya akan potensi sumberdaya pesisir dan lautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan teluk waworada Kabupaten Bima untuk pengembangan budidaya rumput laut. PCA (Prinsipal Componen Analysis) digunakan untuk mengetahui parameter utama pertumbuhan rumput laut dan korelasi parameter biofisik dengan produksi, dan kandungan keraginan rumput laut. Sedangkan GIS (Geography Information System) untuk mengkaji kelayakan lokasi.

Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak.

Hasil penelitian ini dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan bahwa parameter utama pertumbuhan rumput laut adalah salinitas (20.21%), hama (20,14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan arus (19.83%). Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa peta tematik, luas wilayah perairan teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut adalah 20.135,24 ha, yang terdiri dari 12,26 ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, 19.287,94 ha (95,79%) sesuai, dan 835,04 ha (4,15%) tidak sesuai.

Kata kunci : rumput laut, karaginan, ruang ekologi, zonasi, PCA, GIS, teluk waworada


(8)

PRAKATA

Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang sangat perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberikan manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi dan industri makanan. Produksi rumput laut selama ini cenderung menurun sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah belum dimanfaatkannya semua potensi laut, lemahnya teknologi budidaya dan regulasi pemerintah.

Seiring dengan munculnya persoalan-persoalan tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya pencarian solusi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengkajian yang sistimatis guna menjawab setiap persoalan yang ada. Kegelisahan penulis atas isu tersebut merupakan titik awal ide penulisan tesis ini. Dalam rangka menjawab persoalan krisis sumberdaya, penulis berupaya memberikan secuil kontribusi melalui penulisan tesis ini yang mungkin akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungan.

Dalam tesis ini membahas tentang perlunya mempelajari aspek fisika, kimia dan biologi perairan serta pengaturan ruang ekologis sehingga dapat menghasilkan produksi secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu intervensi dari pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sehingga kerugian bisa diminimalisir. Pemikiran seperti ini sangat tepat diterapkan di dalam setiap aktivitas yang bersentuhan langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini merupakan bagian dari proses belajar yang tak berujung. Semoga ketidaksempurnaan ini akan menjadi pemicu bagi penulis dalam upaya mencari kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini.

Bogor, Oktober 2008


(9)

UCAPAPAN TERIMA

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul “Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworada Kabupaten Bima”

Dengan hati yang tulus dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Widigdo dan Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan kritikan, masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor, Team Komisi Akademik dan Bapak Prof. Dr. Ir. Rohmin Dahuri, MS dan Dosen-dosen Pasca Sarjana yang yang telah banyak memberikan pencerahan ilmu perikanan khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc atas kritikan, sumbang saran untuk kesempurnaan tesis ini.

Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Ibu Ida Nurlaila, SE, MM yang banyak membantu di Pemda Bima. Gubernur NTB, Direktur Yayasan Danamandiri, dan Direktur Coremap II atas dukungan dana dalam penyelesaian Tesis ini. Teman-teman angkatan XIII SPL terima kasih juga atas kerjasama yang baik selama mengikuti pendidikan.

Ungkapan terima kasih dan doa yang tak terhingga disampaikan kepada almarhum (Ayahanda H. M. Said) yang telah mendorong untuk melanjutkan studi pascasarjana di IPB, ibu, mertua serta seluruh keluarga terutama istriku tercinta Irma Suryani, SP dan anak-anakku tersayang Nadira Khairunnisa (Anis) dan Muhammad Rafi’ Maulana atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2008 Penyusun


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Dodu Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima pada tanggal, 11 Juli 1972 dari pasangan almarhum H. Muh. Said dan Hj. St. Kalisom. Penulis merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara.

Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD.Inpres Dodu 1 tamat tahun 1985. SMPN 3 Bima tamat tahun 1988 dan SMAN 2 Bima tamat tahun 1991. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Universitas ’45 Mataram dan tamat pada tahun 1996.

Setamat perguruan tinggi penulis bekerja di PT. Nener Bina Hayati Singaraja Bali sebagai staf teknis pembenihan bandeng (1996 – 1997), PT. Multi Mina Mertasari Rhee Sumbawa Besar sebagai staf teknis pembenihan bandeng (1997 – 1998). Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kanwil Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS). Pada tahun 2000 penulis ditempatkan di Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanin (BIPP Kab. Dompu), kemudian pada tahun yang sama penulis dipindahkan ke Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP Kab. Bima) hingga tahun 2002. Dengan berubahnya status BIPP menjadi BUKPPP (Badan Urusan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian), maka penulis tetap sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS) hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis dipindahkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima sebagai Kepala Seksi Perlindungan Sumberdaya Hayati dan Perikanan hingga tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bima untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa pascasarjana di IPB, penulis juga aktif sebagai Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana Pesisir dan Lautan) IPB sebagai ketua II (2006 – 2007) dan anggota bidang pelatihan dan pengembangan (2007 – 2008). Selain itu, penulis aktif menulis di buletin Bima Akbar tentang pesisir yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Mengikuti kegiatan seminar dan penyampaian makalah. Semoga segala yang pernah dilakukan penulis diridhoi oleh Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Kerangka Pendekatan Masalah ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut ... 6

2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Berkelanjutan ... 7

2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut ... 8

2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ... 15

2.5. Produktivitas Rumput Laut ... 19

2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut ... 19

2.7. Apikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya ... 20

2.7. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir ... 22

III. METODELOGI PENELITIAN ... 25

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.2. Penelitian Pendahuluan ... 26

3.3. Penelitian Utama ... 30

3.4. Analisa Data ... 35

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 40

4.1. Kondisi Lokasi Penelitian ... 40

4.2. Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang ... 46

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut ... 50

5.2. Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ... 53

5.3. Produktivitas dan Kandungan Karaginan Rumput Laut ... 61

5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis .. 65

5.6. Rekomendasi ... 71


(12)

Halaman

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

6.1. Kesimpulan ... 72

6.2. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ... 17

2. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ... 17

3. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ... 17

4. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut ... 18

5. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut... 18

6. Kandungan Karaginan Beberapa Rumput Laut Jenis Eucheuma yang dinyatakan dalam persen ... 20

7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 28

8. Parameter Fisika, Kimia dan Biologi yang Diamati Selama Penelitian ... 30

9. Matrik Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya Rumput Laut ... 36

10. Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ... 38

11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama ... 51

12. Kontribusi Variabel Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 51

13. Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Terhadap Produksi Biomas dan Karaginan Rumput Laut ... 52

14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA) ... 53

15. Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ... 53

16 Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identivikasi di Lokasi Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 61


(14)

Halaman 17 Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk

Waworada Kabupaten Bima ... 62 18 Rata-rata produksi rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada

dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima ... 63 19 Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya

Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 5

2. Morfologi Rumput Laut Eucheuma cottonii ... 7

3. Peta Lokasi Penelitian ... 25

4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 27

5. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 29

6. Metode Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan long line ... 33 7a. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 Maret 2003 ... 41

7b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 April 2003 ... 41

7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Maret – April 2003 ... 42

8. Suhu Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa ... 43

9. Sebaran pH Air Laut Selatan Sumbawa ... 43

10. Kelarutan Oksigen (DO) Air Laut Selatan Sumbawa ... 44

11. Kosentrasi Timbal (Pb) Air Laut Selatan Sumbawa ... 44

12. Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa ... 45

13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut ... 47

14. Distribusi Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Pada Sumbu Utama ... 51

15. Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 54

16. Peta Tematik Hama Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 55


(16)

Halaman 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 56 19. Peta Tematik Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 56 20 Peta Arah Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 57

21. Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 57


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian

Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima ... 84 2. Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Wawo-rada Kabupaten

Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret – April 2007 ... 85 3. Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) pada

Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima 86 4. Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di

Teluk Waworada Kabupaten Bima (Satuan kg/unit ... 87 5. Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara Dengan Petani Pada

Musim Hujan dan Kemarau di Teluk Waworada ... 88 6. Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara

Dengan Petani pada Musim yang Berbeda ... 89 7. Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan

Pada Musim Kemarau di Teluk Waworada ... 90 8. Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk

Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii).

Jurnal Akuakultur Indonesia, 8 (1) : 1 – 10 (2009) ... 91 .


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Namun pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade 1980 - 1990 antara lain karena tersedianya teknologi pembenihan, berumur pendek dan merupakan komoditi ekspor bernilai jual tinggi. Namun pada tahun 1990-an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh merebahnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan diversifikasi usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah budidaya rumput laut (Aderhold, et al.

1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006).

Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatan-obatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan) Wang dan Chiang (1994). Namun bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia yang semakin tinggi, ekspor rumput laut Indonesia rendah dan tahun 1995 – 1998 cenderung menurun yaitu dari 28.104.654 ton dengan nilai ekspor 21.307.593 U$ pada tahun 1995 turun menjadi 4.425.776 ton dengan nilai ekspor 2.911.996 tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Sementara itu produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton basah (Ditjenkanbud, 2005).

Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah karena belum dimanfaatkan semua potensi laut. Tercatat areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900 ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005). Demikian juga sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi


(19)

Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000).

Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005).

Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti

ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996).

Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.

1.2. Perumusan masalah

Usaha budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima mengalami ekspansi yang pesat namun produksinya justru malah menurun.


(20)

Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada meliputi :

1. Penataaan ruang; regulasi pemerintah khususnya ketetapan lokasi dan pengaturan ruang yang belum jelas, karena belum adanya aturan/aspek hukum yang pasti dan jelas dalam pemanfaatan kawasan teluk Waworada sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya berdampak kepada kinerja dan kontinuitas produksi budidaya rumput laut di teluk Waworada tersebut. Ketidaksesuaian lokasi yang dilakukan petani/nelayan diduga berdampak pada menurunnya produksi dan rendahnya kualitas rumput laut.

2. Teknologi pengelolaan budidaya khususnya aspek penyediaan bibit, metode budidaya, umur panen dan pasca panen yang tidak sesuai teknis, hal ini sangat penting karena merupakan salah satu input penting dalam kegiatan budidaya rumput laut.

3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi baik biomas maupun kandungan karaginan rumput laut.

Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan dan pengembangan budidaya rumput laut yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam rangka meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di wilayah tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima".

1.3. Tujuan dan sasaran penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir teluk Waworada Kabupaten Bima untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (dua) langkah penelitian yaitu :

1. Model hubungan antara faktor lingkungan (biofisik) dengan pengembangan usaha budidaya rumput laut ditinjau dari produksi dan kandungan karaginan.


(21)

2. Pengelompokan kawasan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima berdasarkan karakteristik biofisik dengan pendekatan indek tumpang susun (model SIG).

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam perencanaan pemanfaatan kawasan untuk budidaya rumput laut khususnya di teluk Waworada Kabupaten Bima, sehingga proses aplikasinya dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

1.5. Kerangka Pendekatan Masalah

Berdasarkan potensi dan permasalahan teluk Waworada tersebut, maka dalam proses untuk memenuhi target produksi dan tujuan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan yang meliputi : persyaratan kondisi lingkungan perairan (aspek fisika, kimia dan biologi), persyaratan kualitas akhir (karaginan) untuk kesesuaian lokasi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya rumput laut. Untuk mencapai tujuan dan sasaran untuk pengembangan budidaya rumput laut maka dilakukan pendekatan diantaranya penentuan parameter utama pertumbuhan budidaya rumput laut dengan menggunakan analisa Principle Component Analysis (PCA), analisis keruangan dengan menggunakan Geografis Information System (GIS). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima.

Setelah berhasil menempatkan kegiatan budidaya rumput laut pada kawasan yang sesuai dengan parameter lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi). Hasilnya kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan kondisi perairan teluk Waworada itu sendiri. Secara sederhana kerangka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.


(22)

Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir Teluk Waworada Kabupaten Bima

Kondisi Lingkungan perairan

Produksi biomas dan Kandungan Karaginan Survey lapangan

Analisis Spasial (Analisis GIS) Kriteria Kesesuaian

Perairan Studi Pustaka

Penentuan Parameter Utama Lingkungan Perairan (Analisis PCA)

Pengelompokan Zona BudidayaRumput Laut

Pemanfaatan Tahun Sebelumnya Evaluasi

Pemanfaatan Pemanfaatan

Lokasi Saat ini

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut

Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari ”seagrass” atau nama lokalnya padang lamun. Rumput laut tergolong tanaman yang berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding

thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005).

Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosom, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thalli bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus.

Dawes (1981), menjelaskan sistematika rumput laut Eucheuma cottonii

adalah sebagai berikut :

Kelas : Florideophycidae

Ordo : Gigartinales

Family : Solieriaceae

Genus : Eucheuma


(24)

Gambar : 2. Morfologi rumput laut cotoni (Eucheuma cottonii)

Menurut (Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004), bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut.

2.2. Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan

Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka


(25)

kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988).

Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Selanjutnya Kadi dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya. Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu pemeliharaan 1,5 – 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering (Aslan, 1988).

2.3. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu

Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C (Luning, 1990).

Menurut Lee, et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi


(26)

beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C.

Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27 - 30°C dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981).

Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa kisaran suhu yang demikian masih cukup ideal untuk pertumbuhan biota laut. Suhu yang terlalu rendah dan suhu yang terlalu tinggi sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme. Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC

Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer,

et al. (2004), bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L. Saccharina) 10% / hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C dapat mematikan.

Kecerahan

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988). Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan

secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan


(27)

cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.

Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut (Kadi dan Atmadja, 1988). Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.

Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. Sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm – 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 – 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984; Jones 1993; Msuya dan Neori, 2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut. Arus

Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al.

(2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu.


(28)

Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi

Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/dtk. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang.

Kedalaman Perairan

Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman. Salinitas

Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17 ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988).

pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2.Menurut Sulistijo (1987), pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990).


(29)

Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi.

Nutrien

Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981). Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur.

Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984).

Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991). Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara


(30)

di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Phytoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya.

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988).

Perairan yang memiliki COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (UNISCO/WHO/UNEF, 1992). Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al.

(2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2.46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan bahan organik. Hal ini juga membuktikan bahwa budidaya ikan di tambak dan limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD. Sedangkan


(31)

konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan. Timbal (Pb)

Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al.

2004). Logam berat (Pb) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah (P. Colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999).

Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983).

Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadnium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et. al.

(2002), bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian


(32)

kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wrigh dan Mason (1999), melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca)terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akomulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb). Hama dan Penyakit

Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.), ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006).

Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis

Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat ice-ice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton

yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti

Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005).

2.4. Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut

Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter. Menurut Aslan (1988)


(33)

dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi. Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 1). Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan pH memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 2). Sedangkan Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot (10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja memperoleh bobot (5%) (Tabel 3). Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 4).

Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan. Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 5).

Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat,


(34)

sedangkan parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, pH, substrat dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan parameter penunjang, namun saling melengkapai artinya tanpa parameter penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil.

Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Skor (S)

Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai Bobot (%) Parameter Satuan

1 2 3 5

Arus Kecerahan Keterlindungan Suhu Kedalaman Gelombang Salinitas Nitrat Phosfat Substrat Pencemaran m/dtk cm - º C m cm ppt mg/l mg/l - -

< 10 atau > 40 < 3 Terbuka < 20 atau > 30

< 2 atau > 15 > 30 < 28 atau > 37 < 0,01 atau > 1,0 < 0,01 atau >0,30

Lumpur -

10 – 20 atau 30- 40 3 – 5 Agak terlindung

20 – 24 1 – 2 10 – 30 34 – 37 0,8 – 1,0 0.21 – 0.30 pasir berlumpur

sedang

20 – 30 > 5 Terlindung

24 – 30 2 – 5 < 10 28 – 34 0,01 – 0,07 0,10 – 0,20

pasir tidak ada 8 12 8 8 8 4 12 12 12 8 8

Jumlah 100

Sumber : Aslan (1988)

Tabel 2. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Skor (S)

S1 S2 S3 N

Parameter Satuan

80 60 40 10 Bobot (%) Kedalaman Oksigen (DO) Salinitas Suhu Kecerahan pH M mg/l ppt °C % -

1 – 5 > 6 28 – 36 26 – 31 > 75 7,5 – 8,5

- > 5 – 6 > 20 – 28 > 31 – 33 50 – 75 > 8,5 – 8,7

- 4 – 5 20 - < 24 > 33 – 35 25 - < 50 6,5 - < 7

- < 4 < 20 > 35 < 25 > 8,8 35 10 10 10 25 10

Jumlah 100

Sumber : Bakosurtanal (2005)

Tabel 3. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Skor (S)

S1 S2 S3 N

Parameter Satuan

4 3 2 1 Bobot

(%)

Kecerahan M 1 4/3 2 4 0.4

Kedalaman M ¾ 1 3/2 3 0.3

Arus cm/s ½ 2/3 1 2 0.2

Gelombang Cm ¼ 1/3 ½ 1 0.1

Jumlah 1.0

Sumber : Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007)


(35)

Tabel 4. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Nilai (value)

Parameter Satuan Bobot

(%) 30 20 10

Morfologi 15 Terlindung Cukup

terlindung

Terbuka Kedalaman M 15 1 – 10 11 – 15 < 1 & > 15 Arus Cm/dtk 10 20 – 30 31 – 40 < 20 & > 40 Substrat dasar 10 Pasir dan

pecahan

Pasir berlumpur

Lumpur

Kecerahan M 10 > 3 1 – 3 < 1

Salinitas Ppt 10 28 - 31 32 – 34 < 28 & > 34

Pencemar 10 Tidak ada Sedang Tinggi

Hewan herbivora

Ekor 5 Tidak ada Sedang Tinggi

Keamanan 5 Aman Agak aman Tidak aman

Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit

Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit

Jumlah 100

Sumber : Radiarta et al. (2005)

Tabel 5. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Nilai (value)

Parameter Satuan Bobot

(%) 4 3 2 1

Morfologi 0.1 Terlindung Agak

terlindung

Terlindung sesaat

Tidak terlindung Substrat dasar 0.1 Pasir dan

pecahan karang Pasir sedikit berlumpur Pasir berlumpur sedang Pasir berlumpur banyak

Kecerahan % 0.1 80 – 100 70 – 79 60 – 69 < 60

Logam berat mg/l 0.1 < 0.01 0.01 – 0.04 0.03 – 0.06 < 0.06 Arus cm/s 0.09 20 – 30 31 – 40 41-50 < 20&>50 Kedalaman M 0.09 5 – 10 11 – 15 16 – 20 < 5 & >

20 Salinitas Ppt 0.09 31 – 35 28 – 30 25 – 27 <25&>35 Hewan air Ekor 0.08 Tidak ada Kurang Banyak Sangat

banyak Keterjangkauan 0.07 Lancar Cukup

lancar

Kurang lancar

Tidak lancar

Tenaga kerja 0.06 Banyak Cukup

tersedia

Kurang tersedia

Tidak tersedia

Keamanan 0.06 Aman Cukup aman Insidentil Tidak

aman

Pemasaran 0.06 Lancar Cukup

lancar

Kurang lancar

Tidak lancar

Jumlah 1.00


(36)

2.5. Produktivitas Rumput Laut

Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas 292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari (15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer, 2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 – 8 mm setelah dipelihara 40 – 60 hari mencapai 10 mm.

Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara dengan pH dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai 600 – 900 gram / m2 dengan berat awal 2 – 3 gram. Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata 18,1°C (musim dingin) dan 31,2°C (musim panas), salinitas 41 ppt, pH (8,5 -8,9) dan DO (8,9 – 9.07 mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau 78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14 kg/tahun. Demikian juga Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 – 1,2 kg/musim pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6 kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006) bahwa rumput laut yang dipelihara pada suhu 17°C dan 21°C, pH 8.46, DO 8 – 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari.

2.6. Kandungan Karaginan Rumput Laut

Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan


(37)

rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 6). Tabel 6. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Eucheuma yang

dinyatakan dalam persen. No Jenis

Kandungan karaginan

(%)

Lokasi Keterangan

1 Eucheuma spinosum 72,8 Tanzania

2. Eucheuma striatum 69,0 Tanzania

3. Eucheuma platycladum 85,0 Tanzania

4. Eucheuma okamurai 58,0 Tanzania

5. Eucheuma spinosum 54,0 Tanzania

6. Eucheuma spinosum 65,7 – 67,5 Indonesia

7. Eucheuma cottonii 61,5 Indonesia

Sumber : Gliksman (1983).

Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rmput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut.

2.7. Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan,


(38)

1998). Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika, Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi.

Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk analisa daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003). Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk.

Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5.

Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oceanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk 3.000 ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll).


(39)

Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas.

2.8. Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan dengan pemeliharaan kelangsungan hidupnya.

Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarkhi dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang yang selama ini disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tata ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana


(40)

Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang.

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut.

Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997)..

Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bagda Depdagri, 1998).


(41)

Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan (Odum, 1989).

Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan (Sugandhy, 1993).


(42)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei 2007.

Gambar : 3. Peta Lokasi Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik


(43)

pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada pukul 08.00 – 17.00 WITA. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan.Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak.

3.2. Penelitian Pendahuluan

Sebelum penelitian inti dilakukan survei pendahuluan lebih dahulu dengan melakukan survei langsung ke lapangan. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan yaitu keterlindungan/ketidakterlindungan dari ombak, kuat lemahnya arus, kedalaman, kecerahan dan habitat yang berbeda (berkarang, karang campur pasir dan pasir). Selain faktor internal di atas juga dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan perairan seperti adanya pengaruh sungai, pertambakan dan aktivitas pemukiman dan pelabuhan perikanan.


(44)

Gambar : 4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan

Hasil pengamatan pendahuluan menunjukan bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak, karena di mulut teluk Waworada terdapat lekukan-lekukan garis pantai dan luas mulut teluk Waworada lebih kecil dibandingkan dengan luasan teluknya sehingga mampu mengurangi arus deras dan gelombang besar yang datang dari Samudra Hindia. Hasil pengamatan parameter fisika dan kimia di 10 (sepuluh) stasiun pengamatan (Gambar 4) yang tersebar di teluk Waworada yang meliputi kecepatan arus berkisar antara 0,15 – 0,35 m/dtk (standar deviasi 0.01 – 0.03 m/dtk), suhu berkisar antara 28 - 32ºC (standar deviasi 0.58 – 1.00 °C), pH berkisar antara 7 – 9 (standar deviasi 0.58 – 1.00), dan salinitas berkisar antara 32 – 36 ppt (standar deviasi 0.58 – 1.00 ppt). Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan sedikit berbeda yaitu berkisar antara 2 - 24 m (standar deviasi 1.50 – 3.61 m) dan kecerahan berkisar antara 1 – 7 m (standar deviasi 0.58 – 1.15 m). Demikian juga habitat perairan seperti berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di 10 (sepuluh stasiun) atau 30 (tiga puluh) titik pengamatan yang juga hampir sama (Tabel 7).


(45)

Tabel 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Stasiun Arus

(m/dtk) Suhu (°C) pH Salinitas (ppt) Kedalaman (m) Kecerahan (m)

I 0.18 ±

0.03 29.67 ± 0.58 8.00 ± 1.00 32.67 ± 0.58 3.33 ± 1.50 1.33± 0.58

II 0.20 ±

0.01 30.67 ± 0.58 8.67 ± 0.58 34.00 ± 1.00 4.67 ± 1.53 2.67 ± 1.15

III 0.35 ±

0.01 31.00 ± 1.00 8.67 ± 0.58 34.67 ± 0.58 5.33 ± 1.15 3.67 ± 0.58

IV 0.34 ±

0.01 29.67 ± 0.58 8.33 ± 0.58 34.67 ± 0.58 9.67 ± 2.52 5.33 ± 0.58

V 0.34 ±

0.01 30.67 ± 0.58 8.33 ± 0.58 34.33 ± 0.58 13.33 ± 1.53 5.67 ± 0.58

VI 0.18 ±

0.01 29.67 ± 0.58 8.00 ± 1.00 32.67 ± 0.58 21.33 ± 1.53 7.00 ± 0.00

VII 0.20 ±

0.01 29.67 ± 0.58 8.67 ± 0.58 32.67 ± 0.58 20.67 ± 3.06 7.00 ± 0.00 VIII 0.35 ±

0.01 30.00 ± 1.00 8.67 ± 0.58 34.67 ± 0.58 4.00 ± 1.00 3.67 ± 0.58

IX 0.35 ±

0.01 30.33 ± 0.58 8.33 ± 0.58 35.00 ± 1.00 5.00 ± 1.00 5.00 ± 1.00

X 0.35 ±

0.01 29.33 ± 0.58 8.67 ± 0.58 34.67 ± 0.58 8.00 ± 3.61 6.67 ± 0.58 Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007

Dari pengamatan tersebut dapat diambil suatu gambaran bahwa teluk Waworada termasuk tipe teluk yang terlindung dari ombak dan arus yang deras, dengan parameter fisika dan kimia meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas dan pH perairan di stasiun pengamatan yang homogen. Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan heterogen. Habitat perairan yang bertipe berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di seluruh stasiun pengamatan juga masih tergolong homogen. Mengingat kondisi fisika dan kimia perairan teluk Waworada yang homogen, maka dalam penentuan stasiun pengamatan dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang sekiranya dapat mempengaruhi kondisi biofisik teluk Waworada yaitu meliputi 5 (lima) kelompok, yaitu :

1. Kelompok satu (St1) adanya pengaruh sungai yang membawa limpasan air tawar yang akan mempengaruhi kondisi fisika dan kimia perairan seperti suhu, salinitas dan pH.


(46)

2. Kelompok dua (St2) adanya tambak akan mempengaruhi kondisi perairan karena limpasan sisa air tambak yang banyak membawa partikel organik (kimia) yang dapat mempengaruhi kandungan kimia perairan.

3. Kelompok tiga (St3) adanya aktivitas manusia seperti pemukiman yang dapat menghasilkan limbah sehingga menurunkan kualitas perairan.

4. Kelompok empat (St4) adanya aktivitas manusia seperti pelabuhan yang dapat menghasilkan limbah cair seperti minyak juga dapat menurunkan kualitas perairan.

5. Kelompok lima (St5) adalah titik yang mewakili daerah dengan kegiatan yang minim ataupun tidak ada kegiatan sama sekali.

Sehingga penentuan stasiun pengamatan pada penelitian ini yang hanya meliputi 5 (lima) stasiun pengamatan dan 15 (lima belas) titik sampling yang letaknya berderet di bagian utara teluk dianggap cukup mewakili keseluruhan perairan teluk Waworada Kabupaten Bima (Gambar 5). Dalam kegiatan penentuan stasiun pengamatan ini juga dibantu dengan alat GPS (Global Positioning System).


(47)

3.3. Penelitian Utama Pengumpulan Data Primer

Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun. Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian

No Parameter Alat

Pengukuran

Frekwensi

(Kali) Keterangan

1. Fisika • Kecerahan • Suhu

• Kecepatan Arus • Kedalaman

Secchi disk Termometer

Floating roach dan stopwatch Tali penduga dan meteran

3 3 3 3 Insitu Insitu Insitu Insitu 2. Kimia

• Salinitas • pH • Fosfat • Nitrat • DO • COD

• Logam berat (Pb)

Refraktometer Kertas lakmus merah Spektrofotometer Spektrofotometer Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer 3 3 3 3 3 3 3 Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium 3. Biologi • Hama Pengganggu

Visual dan Wawancara

- Insitu

Frekwensi : 3 kali/42 hari (Minggu kedua, keempat dan keenam). a. Parameter Fisika

Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m) : alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas penglihatan. Suhu permukaan (°C) : alat yang digunakan adalah termometer dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik) : alat yang digunakan adalah floating roach dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30 cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah tali yang diikatkan pada floating roach. Apabila floating roach tersebut berpindah atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian dapat ketahui bahwa floating roach tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa


(48)

menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/dtk), L = jarak tempuh (m), dan S = waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan.

b. Parameter Kimia

Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan

kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30 cm dari dasar).

Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur salinitasnya; pH diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas lakmus merah ke dalam air kemudian dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat (Pb), contoh air diambil langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Manajemen Produktivitas Lingkungan IPB Bogor.

c. Parameter Biologi Hama pengganggu

Pengamatan hama pengganggu dilakukan dengan metode visual sensus dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan.

Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel


(49)

pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan sensus ini diawali dengan pemasangan garis transect dengan ukuran 50 m dengan menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m (English, et al, 1994).

Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas 1.000 m2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun) pengamatan. Selama pengamatan berlangsung dicatat apa yang diamati meliputi hama mikro seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang yang menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan hama makro seperti ikan beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), bintang laut (Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus ke depan sampai sejauh 50 m.

Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan alat bantu pernapasan. Untuk lokasi (stasiun) pengamatan yang kedalamannya > 5 m, maka digunakan metode wawancara dengan nelayan sebanyak 15 orang yang berpengalaman menyelam dan menangkap ikan di sekitar stasiun pengamatan yang telah ditetapkan pada waktu penelitian berlangsung.

d. Produksi

Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m, panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris (tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm. Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan biasanya memiliki 5 – 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 – 42


(50)

hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m2 atau satu unit budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m2 (Gambar 6).

Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen. Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau 2.000 rumpun/1.000 m2. Dalam satu stasiun, pengambilan sampel hanya diwakili oleh satu nelayan dan diambil 10 (sepuluh) tali ris dan dari masing-masing tali ris diambil untuk ditimbang secara keseluruhan. Untuk menghitung produksi rumput laut maka rumput laut tersebut terlebih dahulu ditimbang dalam keadaan basah sebelum dibudidayakan sebagai berat awal (B0). Berat awal (B0) adalah berat rumput laut sebelum dibudidayakan. Setelah ditimbang rumput laut tersebut diikatkan pada tali ris, dan tali ris (tali pemeliharaan) tersebut diikatkan pada tali induk.


(1)

Lampiran 4. Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di Teluk Waworada

STASIUN

Berat Bibit

Banyaknya rumpun Banyakya Produksi Produksi

Produksi

(kg)/10 tali

per tali

rumpun/10 tali (gram)/rumpun (Kg/10

tali)

(Kg/ha)

I 200

200

2000

1.630 3.260

32.600

II 200

200

2000

1.824 3.648

36.480

II 200

200

2000

1.964 3.928

39.280

IV 200

200

2000

2.144 4.288

42.880

V 200

200

2000

2.440 4.880

48.800


(2)

Lampiran 5: Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara dengan Petani di Kabupaten Bima

Sampel Berat Bibit Produksi Produksi Produksi Produksi (1.000 M2) Produktivitas

Lokasi Petani (Gr/rmpun) (Gr/rmpun) (Kg/rmp) (kg/330 rmp/tali)

(Kg/16.500 rmp/50

tali) (Kg/ha)

1 2 3 5 6 7 8 9

Desa Tanjung Mas 1 30 300 0.300 99 4,950.00 49,500.00 Kec. Monta 2 40 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 3 30 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 4 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 5 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 Jumlah 170 2400 2.4 792 39,600.00 396,000.00 Rata-rata 34.00 480.00 0.48 158.40 7,920.00 79,200.00 STDEV 5.477 130.384 0.130 43.027 2,151.34 21,513.37

Desa Laju 1 30 200 0.200 66 3,300.00 33,000.00 Kec. Langgudu 2 40 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 3 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 4 40 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 5 30 300 0.300 99 4,950.00 49,500.00 Jumlah 170 2000 2 660 33,000.00 330,000.00 Rata-rata 5.477 158.114 0.158 52.178 2,608.88 26,088.79 STDEV 5.477 158.114 0.158 52.178 2,608.88 26,088.79

Desa Doro O'O 1 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 Kec. Langgudu 2 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 3 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 4 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 5 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 Jumlah 170 2200 2.2 726 36,300.00 363,000.00 Rata-rata 34 440 0.44 145.2 7,260.00 72,600.00


(3)

STDEV 5.477 89.443 0.089 29.516 1,475.80 14,758.05

Desa Karampi 1 30 200 0.200 66 3,300.00 33,000.00 Kec. Langgudu 2 40 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 3 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 4 40 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 5 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 Jumlah 170 2300 2.3 759 37,950.00 379,500.00 Rata-rata 34 460 0.46 151.8 7,590.00 75,900.00 STDEV 5.477 167.332 0.167 55.220 2,760.98 27,609.78

Desa Rupe 1 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 Kec. Langgudu 2 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 3 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 4 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 5 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 Jumlah 170 2200 2.2 726 36,300.00 363,000.00 Rata-rata 34 440 0.44 145.2 7,260.00 72,600.00 STDEV 5.477 89.443 0.089 29.516 1,475.80 14,758.05 Desa Dumu 1 30 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00 Kec. Langgudu 2 40 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 3 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00 4 40 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 5 30 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00 Jumlah 170 2500 2.5 825 41,250.00 412,500.00 Rata-rata 34 500 0.5 165 8,250.00 82,500.00 STDEV 5.477 70.711 0.071 23.335 1,166.73 11,667.26

Ds.Bajo Pulo 1 80 1700 1.700 561 28,050.00 280,500.00 Kecamatan Sape 2 90 2000 2.000 660 33,000.00 330,000.00 3 90 2000 2.000 660 33,000.00 330,000.00


(4)

4 80 1900 1.900 627 31,350.00 313,500.00 5 80 1600 1.600 528 26,400.00 264,000.00 Jumlah 420 9200 9.2 3036 151,800.00 1,518,000.00 Rata-rata 84 1840 1.84 607.2 30,360.00 303,600.00 STDEV 5.477 181.659 0.182 59.947 2,997.37 29,973.74

Desa Pai 1 90 2000 2.000 660 33,000.00 330,000.00 Kecamatan Wera 2 90 1700 1.700 561 28,050.00 280,500.00 3 90 1900 1.900 627 31,350.00 313,500.00 4 80 2000 2.000 660 33,000.00 330,000.00 5 80 1900 1.900 627 31,350.00 313,500.00 Jumlah 430 9500 9.5 3135 156,750.00 1,567,500.00 Rata-rata 86 1900 2 627 31,350.00 313,500.00 STDEV 5.48 122.47 0.12 40.42 2,020.83 20,208.29 Sumber : Hasil Wawancara dengan Petani Rumput Laut Tahun 2008


(5)

Lampiran 6. Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara dengan Petani pada musim yang berbeda

Produktivitas

Stasiun/lokasi

Musim Hujan

Musim Kemarau

Hujan/Kemarau

(Kg/Ha) (Kg/Ha)

(Kg/Ha)

I

32.600 1.400

396.000

II

36.480 1.900

330.000

III

39.280 2.200

363.000

IV

42.880 2.600

379.000

V

48.800 2.800

363.000

VI

- -

412.000

VII

- -

1.518.000

VIII

- -

1.567.500

Jumlah 200.040

10.900

2,243.000

Rata-rata 25.005

1.363

373.833


(6)

Lampiran 7. Data produksi rumput laut masing-masing stasiun pengamatan pada musim kemarau di Teluk Waworada

STASIUN

Berat Bibit

Banyaknya

Banyakya Produksi

Produksi

Produksi

(kg)/10 tali

rumpun/tali

rumpun/10 tali (gram)/rumpun (Kg/10

tali) (Kg/ha)

I 40 200 2000

70

140

1400

II 40 200 2000

95

190

1900

II 40 200 2000

110 220

2200

IV 40 200 2000

130

260

2600

V 40 200 2000

140 280

2800

Sumber : Data Hasil Pengamatan Lapangan yang diolah Tahun 2008