adalah 20 – 40 cmdetik. Adanya arus yang baik dapat menjamin tersedianya makanan yang tetap bagi rumput laut sehingga rumput laut dapat tumbuh dengan
sempurna dan mencapai produksi yang optimal. Untuk mendapatkan nilai produksi yang tinggi maka perlu dipertimbangkan untuk tidak menanam rumput
laut pada lokasi yang memiliki kecepatan arus 0.10 mdtk. Hama pengganggu dalam penelitian bukan merupakan faktor pembatas
dalam usaha budidaya rumput laut karena jumlahnya sangat sedikit yaitu 20 ekor. Hama pengganggu budidaya rumput laut di perairan teluk Waworada terdiri
dari ikan beronang berukuran besar hasil tangkapan nelayan sekitar. Ikan kerapu, bintang laut, bulu babi, dan penyu hijau tidak ditemukan di lokasi tersebut.
Jumlah hama pengganggu terbanyak ditemui di stasiun satu St1 dengan jumlah 32 ekor, diikuti stasiun dua St2 berjumlah 26 ekor, stasiun tiga St3 berjumlah
21 ekor, stasiun empat St4 berjumlah 19 ekor dan stasiun lima St5 dijumpai 18 ekor hama pengganggu Tabel 16; Lampiran 3.
Tabel 16. Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identifikasi di Lokasi Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima.
Stasiun Ikan
Beronang ekor
Ikan Kerapu
ekor Bintang
Laut ekor
Bulu babi dan bulu babi
duri pendek ekor
Jumlah ekor
I 32 - - - 32
II 26 - - - 26
III 21 - -
- 21 IV 19 -
- - 19
V 18 - - - 18
Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Menurut Russ, 1985 dalam English, et al. 1994 bahwa kelimpahan
species ikan karang yang banyak yaitu dengan jumlah species berkisar antara 1.025 – 16.384 ekor. Dengan demikian kelimpahan hama di lokasi penelitian
sangat rendah sehingga tidak berpengaruh bagi pertumbuhan rumput laut.
5.3. Produksiktivitas dan Kandungan Karaginan Produktivitas
Pengukuran produktivitas rumput laut hasil pengamatan dilakukan pada umur 42 hari setelah tanam. Produksi rumput laut per rumpun, tali dan ha hasil
budidaya di teluk Waworada Kabupaten Bima pada masing-masing stasiun pengamatan Tabel 17.
Tabel 17. Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima
Stasiun Produksi
gram rumpun Produksi
Kg10 tali Produksi
Kgha I 1.630
3.260 32.600 II 1.824 3.648 36.480
III 1.964 3.928 39.280 IV 2.144 4.288 42.880
V 2.440 4.880 48.800 Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Dari Tabel 17 terlihat bahwa hasil produksi rumput laut tertinggi diperoleh pada stasiun lima St5 dengan nilai 4.880 kg10 tali 48.800 kgha, disusul
stasiun empat St4 sebesar 4.288 kg10 tali 42.880 kgha, stasiun tiga St3 sebesar 3.928 kg10 tali 39.280 kgha, stasiun dua St2 senilai 3.648 kg10 tali
36.480 kgha dan stasiun satu St1 mempunyai hasil produksi terendah yaitu 3.260 kg10 tali 32.600 kgha Lampiran 4. Hasil produksi tersebut tergolong
rendah apabila dibandingkan dengan pernyataan dari Ditjenkanbud 2005 bahwa bibit 50 – 100 gram apabila dipanen pada umur 45 hari dapat menghasilkan
produksi 8 kali lipat atau 1,25 – 2,56 kgrumpun 25.000 – 51.200 kgha. Tapi bila dibandingkan dengan pendapat Syahputra 2005 yang melaporkan bahwa
rumput laut yang ditanam dengan berat awal 50 – 150 gram dapat menghasilkan berat basah pada minggu ke 6 rata-rata sebesar
1.618,3 gram, maka hasil produksi petani nelayan di teluk Waworada Kabupaten Bima tergolong tinggi.
Selain data produksi rumput laut di beberapa stasiun di teluk Waworada di atas, sebagai pembanding dilakukan juga perhitungan produksi di beberapa desa
di Kecamatan Langgudu, Monta, Wera dan Sape. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang nelayan di desa sampel.
Produksi rumput laut di desa-desa sampel sangat bervariasi. Di 2 dua desa sampel yaitu di desa Bajo Pulo Kecamatan Sape dan desa Pai Kecamatan
Wera, produksi rumput laut sangat tinggi yaitu masing-masing memiliki rata-rata produksi 30.360 kg1.000 m
2
atau 303.600 kgha dan 31.350 kg1.000 m
2
atau 313.500 kgha. Sedangkan rata-rata produksi di desa sampel lain jauh lebih rendah
dibandingkan kedua desa di atas, yaitu desa Tanjung Mas Kecamatan Monta
7.920 kg1.000 m
2
atau 79.200 kgha, desa Laju Kecamatan Langgudu 6.600 kg1.000 m
2
atau 66.000 kgha, desa Doro O’o dan Rupe Kecamatan Langgudu 7.260 kg1.000 m
2
atau 72.600 kgha, desa Karampi Kecamatan Langgudu 7.590 kg1.000 m
2
atau 75.900 kgha dan desa Dumu Kecamatan Langgudu 8.250 kg1.000 m
2
atau 82.500 kgha. Data produksi rumput laut selengkapnya di beberapa desa sampel termuat pada Lampiran 5.
Di bawah ini ditampilkan perbandingan produktivitas hasil pengukuran dan wawancara di teluk Waworada dan beberapa lokasi lain di Kabupaten Bima
Tabel 18. Tabel 18. Rata-rata produktivitas rumput laut hasil pengukuran di teluk
Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima Rata-rata Produksi
Musim Hujan kgha
Hasil pengukuran di 5 stasiun pengamatan
Musim Kemarau kgha
Hasil pengukuran di 5 stasiun pengamatan
Musim Hujan dan Kemarau kgha
Hasil wawancara dg petani di 8 desa lokasi lain
40.008 2.180
373.833 Sumber : Data diolah hasil penelitian Tahun 2008
Dari tampilan Tabel 18; Lampiran 6 terlihat bahwa produktivitas rumput laut dari lima stasiun pengamatan pada musim hujan sebesar 32.600 – 48.800
kgha dengan rata-rata produksi 40.008 kgha, hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas rumput laut pada musim kemarau Lampiran
7 yaitu berkisar antara 1.400 – 2.800 kgha rata-rata produksi 2.180 kgha. Rendahnya produktivitas pada musim kemarau ini diduga karena berat bibit yang
digunakan lebih kecil yaitu 20 gramrumpun, sedangkan pada musim hujan berat bibit berkisar antara 100 – 125 gramrumpun.
Selanjutnya produktivitas rumput laut hasil wawancara dengan petani dari 8 delapan lokasi, baik pada musim hujan maupun musim kemarau menunjukkan
nilai produktivitas yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 330.000 – 1.567.500 kgha rata-rata produksi 373.833 kgha dibandingkan dengan produktivitas
rumput laut hasil pengukuran di lokasi penelitian baik pada musim hujan dan kemarau. Tingginya produktivitas rumput laut hasil wawancara ini diduga karena
jumlah bibit rumpuntali ris yang digunakan lebih banyak yaitu 330 rumpuntali atau 16.500 rumpun50 tali 165.000500 taliha, sedangkan di lokasi penelitian
5 stasiun pengamatan jumlah rumpuntali ris hanya sekitar 200 rumpun, meskipun berat rumpun bibitnya lebih besar yaitu ± 100 gramrumpun pada
musim hujan. Penyebab lain adalah tingginya nilai produktivitas di luar lokasi hasil wawancara juga diduga karena pengaruh faktor lingkungan perairan baik
fisik, kimia dan biologi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut.
Karaginan
Hasil analisa kandungan air dan karaginan rumput laut hasil budidaya di teluk Waworada Kabupaten Bima pada 5 stasiun pengamatan adalah Tabel 19.
Tabel 19. Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Stasiun
Kandungan Air100 gram
Kandungan Karaginan100 gram
I 15.52 25.94
II 19.15 19.73
III 13.86 26.87
IV 16.80 28.92
V 16.44 29.76
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Dari Tabel 19 terlihat bahwa pada stasiun satu St1 kandungan karaginan
rumput laut berkisar antara 25.26 – 26.43 persen rata-rata 25.94 persen dengan kandungan air 15.52 persen, stasiun dua St2 antara 19.13 – 20.04 persen rata-
rata 19.73 persen dengan kandungan air 19.15 persen, stasiun tiga St3 antara 26.47 – 27.13 persen rata-rata 26.87 persen dengan kandungan air 13.86 persen,
stasiun empat St4 berkisar antara 28.28 – 29.32 persen rata-rata 28.92 persen dengan kandungan air 16.80 persen dan stasiun lima St5 berkisar antara 29.23 –
30.05 persen rata-rata 29.76 persen dengan kandungan air 16.44 persen. Stasiun lima St5 mempunyai kandungan karaginan tertinggi dibanding
stasiun lainnya, hal ini diduga karena stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa dan ruang
gerak arus yang cukup besar, sehingga dapat mempercepat difusi unsur hara untuk pertumbuhan, pertambahan panjang dan jumlah cabang thallus, karena keraginan
terbentuk pada dinding sel dari rumput laut terutama pada thallus yang cukup umur tanam. Oleh karena itu, thallus dan cabang semakin panjang dan banyak
yang cukup umur, sehingga mampu menghasilkan kandungan keraginan yang tinggi.
Kandungan karaginan yang rendah terjadi pada stasiun satu S1 dan stasiun dua S2. Pada stasiun satu St1 hal ini diduga terjadi karena kondisi
perairan yang didominasi substrat berlumpur, sehingga terkadang terjadi pengadukan yang menyebabkan penetrasi cahaya tidak optimal sehingga proses
fotosintesis dan difusi unsur hara menjadi berkurang. Sedang pada stasiun dua St2 diduga karena lokasi terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga
terdapat limbah yang mencemari perairan dan mengganggu pertumbuhan rumput laut. Kadar keraginan kelima stasiun tersebut di atas diukur pada minggu ke 6 42
hari setelah penanaman, yang merupakan umur panen optimal untuk memperoleh kadar keraginan rumput laut.
Beberapa penelitian kadar keraginan yang dilakukan di Indonesia menunjukan hasil yang beragam untuk lokasi yang berbeda. Kandungan karaginan
yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Supit 1990 sebesar 60,61 - 82,27, dan Syahputra 2005 di
Lhokseude Aceh sebesar 50,09. Menurut Soviety 1990, bahwa kandungan karaginan rumput laut E. denticulatum yang ditanam di Bali berkisar antara 61.52
– 67.51. Sementara rumput laut yang ditanam di lepas dasar kandungan karaginannya berkisar antara 45,47 – 49,47, dan Puspita 1991 melaporkan
bahwa kandungan karaginan rata-rata 42,40. 5.4. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis
Teluk Waworada merupakan perairan umum yang bersifat terbuka open access
, milik umum common property, sehingga akan muncul persoalan dalam penanganan para pengguna lokasi tanpa pembatasan tentang siapa yang berhak
dan tidak berhak memanfaatkan lokasi tersebut difficulty of exclusion. Sehingga akan berkembang budidaya laut yang melebihi kapasitas daya dukung perairan
tersebut sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan perairan kualitas perairan.
Untuk mencegah terjadinya penurunan mutu lingkungan purifyng and protecting the marine environment
perlu dilakukan budidaya laut yang ramah
lingkungan dan sesuai dengan daya dukung secara ekologis. Menurut Turner 1988; Quano, 1993; UNEP, 1993, bahwa daya dukung adalah jumlah populasi
organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasanareal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan. Sedangkan Gang et al.
1998 menjelaskan, daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi. Menurut Widigdo, et al. 2000; Krom, 1996, bahwa daya dukung
ekologis adalah kemampuan badan air di suatu kawasan dalam menerima limbah organik, termasuk di dalamnya kemampuan untuk melakukan asimilasi atau
mendaur ulang limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan. Penentuan daya dukung lingkungan secara ekologis ini Monte, 2004
akan mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisis spasial dapat menghitung luasan dan kapasitas jumlah talilong line maksimum dengan
mempertimbangkan kawasan alur pelayaran, pelabuhan perikanan, budidaya Karamba Jaring Apung KJA dan budidaya kerang mutiara. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga jangan sampai kegiatan budidaya rumput laut akan mengganggu alur pelayaran, membatasi akses nelayan sehingga terhindar dari konflik
kepentingan antar pengguna perairan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekologis perairan teluk
Waworada Kabupaten Bima pada saat penelitian masih dalam batas toleransi untuk budidaya rumput laut. Menurut Ditjenkanbud 2005, bahwa suatu kegiatan
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dikatakan baik jika laju pertumbuhan harian minimal 3. Namun dari segi produksi dan kandungan karaginan masih
dibawah standar mutu, hal ini diduga terjadi karena pemanfaatan usaha rumput laut yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan, teknik budidaya, umur
panen dan kualitas bibit yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi yang dianjurkan. Berdasarkan hasil overlay, luas lahan di teluk Waworada yang tidak
sesuai 836.48 ha 3.97, meliputi perairan yang dangkal dan pesisir yang terdiri atas beragam habitat dan komunitas yang secara ekologis penting dipertahankan
keberadaannya. Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya rumput laut dengan
menggunakan metode rakitlong line 1000 m
2
unit. setiap unit panjangnya 50 meter dan lebar 20 meter 10 taliunit. Berdasarkan analisis pemanfaatan lokasi
yang optimal perairan teluk Waworada dari luas lokasi yang layak sebesar 19.300 ha. Menurut Soselisa 2006, apabila lokasi yang layak dimanfaatkan 80 untuk
usaha budidaya laut maka pemanfaatannya 15.440 ha 80 . Mengacu pada luasan lahan yang efektif untuk pemanfaatan budidaya rumput laut sebesar 15.440
ha 80, apabila rakitlong line 50 meter dan lebar 20 meter dengan banyaknya tali 10 unit1.000 m
2
, maka total jumlah unit yang dapat ditampung sebanyak 15.440 unit.
Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh para petani di teluk Waworada Kabupaten Bima adalah metode tali rakitlong
line . Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pada saat terjadi arus,
gelombang dan angin kencang, tali-tali tersebut merapat dan bersentuhan sehingga bisa terjadi thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut putus. Hal
ini akan berpengaruh kepada produksi dan kandungan karaginan rumput laut. Selain itu dengan bentangan long line yang terlalu panjang dan letaknya tidak
teratur maka akan menyulitkan untuk pengontrolan baik gangguan hama dan binatang penempel lainnya maupun arus lalu lintas pada saat kegiatan penanaman
dan pemanenan rumput laut. Strategi yang diperlukan dalam penataan kawasan adalah berupa
pembenahan keharmonisan antar ruang untuk berbagai kegiatan lainnya seperti budidaya mutiara, kawasan pelabuhan perikanan dan alur lalu lintas kapal.
Diharapkan budidaya laut dengan menerapkan budidaya beberapa komoditas secara sekaligus seperti pemeliharaan ikan dalam KJA Karamba Jaring Apung,
pemeliharaan rumput laut dan kerang hijaukima di sekitar karamba secara proporsional yang sekaligus meningkatkan probabilitas usaha secara
berkelanjutan Hanafi, et al. 2001 dalam Radiarta, et al. 2005. Dengan demikian untuk pengembangan budidaya rumput laut yang
berkelanjutan di teluk Waworada maka pemanfaatannya tidak lebih dari 30 dari luas lokasi yang layak. Sedangkan 70 lagi dimanfaatkan untuk kepentingan
yang lain. Untuk budidaya rumput laut apabila pemanfaatannya 30 dari lokasi yang layak 15.440 ha maka luas lahan yang digunakan sebesar 4.632 ha. Menurut
Mubarak et al. 1990 dalam Radiarta, et al. 2005, pemanfaatan lahan untuk pengembangan budidaya rumput laut tergantung dari metode yang digunakan.
Jika metode rakitlong line yang digunakan maka 1 ha lahan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk 20 unit usaha dengan menggunakan ukuran 2,5 x 5 m
2
. Namun apabila metode lepas dasar yang digunakan maka 1 ha lahan dapat
dimanfaatkan secara efektif untuk 60 unit usaha dengan menggunakan ukuran 10 x 10 m
2
. Dengan demikian untuk luas lokasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha 80, sehingga
jumlah rakitlong line berukuran 2,5 x 5 m
2
yang dapat dioperasikan mencapai 92.640 unit dan 277.920 unit dengan rakit berukuran 10 x 10 m
2
pada metode lepas dasar.
Sedangkan untuk budidaya ikan dalam KJA, jika 1 unit karamba terdiri atas 4 karamba dengan ukuran 2x2x2 m
3
maka 1 ha lahan pengembangan budidaya dapat dimanfaatkan sebanyak 60 unit karamba. Dengan memperhatikan
luasan lokasi budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha 80, apabila dimanfaatkan hanya 20 Hanafi et al, 2001
dalam Radiarta, et al. 2005, maka luasan lahan budidaya sebesar 3.088 ha maka
jumlah karamba KJA dengan ukuran 2x2x2 yang dapat dioperasikan adalah mencapai 185.280 unit. Kepadatan tebar ikan yang disarankan menurut
APECSEAFDEC 2001 dalam Radiarta, et al. 2005 adalah 5 – 20 ekorm
3
. Untuk budidaya kerang mutiara, jika pemanfaatannya 10 dari lokasi
yang layak 15.440 ha maka luasan area yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 1.544 ha. Metode yang digunakan adalah metode rakit long line. Metode rakit
digunakan di lokasi yang cukup terlindung sedangkan lokasi yang agak terbuka penggunaan metode long line lebih sesuai. Ukuran rakit yang biasa digunakan
adalah 6 x 5 m
2
. Mengingat hasil penelitian ini bahwa lokasi yang tidak sesuai berada
dipinggir teluk. Maka lokasi tersebut direkomendasikan untuk hutan mangrove, terumbu karang dan dibagian tengah merupakan lokasi penangkapan ikan.
Demikian juga disekitar lokasi pelabuhan pelabuhan perikanan pantai tidak diperuntukkan untuk lokasi budidaya rumput laut meskipun lokasi tersebut layak
untuk pengembangan budidaya rumput laut. kapal dan lain-lain akan menyebar terbawa arus sampai ke lokasi budidaya tersebut.
Untuk lokasi pengembangan budidaya rumput laut ditempatkan ± 1 km dari lokasi yang tidak sesuai. Hal ini sesuai dengan rencana zonasi yang telah
direkomendasikan oleh Bappeda Propinsi NTB melalui RTRW Tahun 2006 – 2020. Mengingat wilayah pesisir teluk Waworada merupakan daerah yang sangat
potensial dan strategis untuk berbagai kegiatan pembangunan, maka untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan terutama ekosistem mangrove
dan ekosistem terumbu karang tersebut dalam kaitan dengan fungsinya sebagai tempat mencari makan feeding ground, tempat memijah atau berkembang biak
spawning ground dan tempat tumbuh besar atau pengasuhan nursery ground bagi sebagian besar biota laut.
5.5. Rekomendasi