41 Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan jumlah lulusan pendidikan
menengah perikanan yang memiliki sertifikat ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II lebih sedikit dibandingkan jumlah lulusan yang ada. Porsi lulusan bersertifikat
ANKAPIN-II sebanyak 68 dan yang bersertifikat ATKAPIN-II hanyalah sebanyak 33 dari keseluruhan jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan
dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menetapkan standar
pendidikan dan pelatihan kepelautan perikanan yang mengacu pada ketentuan internasional tentang personil kapal penangkapan ikan yang tetapkan oleh IMO
yaitu STCW-F 1995, saat ini telah dikeluarkan ketentuan nasional sebagai bentuk penuangan dari ketentuan internasional tersebut yaitu Peraturan Menteri No. KM
9 tahun 2005 yang berisi tentang pendidikan dan pelatihan, ujian serta sertifikasi pelaut kapal penangkap ikan. Ketentuan tersebut diharapkan dapat menjadi
acuan bagi penyelenggaraan ujian sertifikasi kepelautan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja kapal penangkap ikan yang profesional di
bidangnya. Sehingga dimasa selanjutnya ada terdapat keseragaman di dalam penyelenggaraan ujian untuk mendapatkan kualitas lulusan yang berstandar
sama.
5.1.3 Kebijakan pengembangan pendidikan menengah perikanan
Kebijakan Pemerintah yang mengatur tentang pendidikan menengah dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990.
Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan
tertentu. Pendidikan diutamakan untuk mempersiapkan siswa sebelum memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Selanjutnya
pengembangan pendidikan menengah kejuruan dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu Menteri Pendidikan Nasional. Era
otonomi daerah yang berlaku pada saat ini mengharuskan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional lebih mempersiapkan
kebijakan pengembangan pendidikan menengah yang bersifat nasional. Sementara pelaksanaannya di daerah sangatlah ditentukan oleh Pemerintah
Daerah setempat. Pengelolaan sumber daya perikanan tidak lagi di lihat kepada wilayah pengelolaan perikanan tetapi lebih kepada pengelolaan sumber daya
perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah propinsi. Kondisi tersebut
42 menyebabkan masing-masing wilayah yang memiliki potensi kelautan dan
perikanan merasa sangat berkepentingan untuk mempersiapkan komponen pembangunan perekonomian pada sektor tersebut sesuai dengan kebijakan
masing-masing. Efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan SDM pengelola sektor tersebut, dengan prasarana dan fasilitas pendidikan yang sangat minim,
SDM yang dihasilkan tidak memperhitungkan kualitas tetapi lebih mengarah kepada kuantitas.
Survei yang dilakukan pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan bidang kelautan dan perikanan serta Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan sekolah tersebut di wilayah Medan, Jawa Tengah, dan Papua menunjukkan minimnya prasarana dan sarana
pendidikan yang dimiliki. Upaya yang dilakukan terhadap pengembangan lembaga pendidikan
Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan saat ini, walaupun telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dibandingkan dengan masa
lampau, yakni dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan yang berawal pada Kabinet Persatuan Nasional tahun 1999. Dengan demikian
perikanan dan kelautan tidak lagi menjadi sub-sektor pada sektor pertanian melainkan telah menjadi salah satu sektor yang kedudukannya sama dengan
sektor-sektor lain. Hal ini berimplikasi terhadap besarnya peluang, harapan dan tantangan yang diberikan agar dapat memberi kontribusi yang lebih besar
terhadap peningkatan dan pencapaian beberapa target yang dibebankan. Harapan besar ini merupakan suatu peluang bagi masih besarnya peluang kerja
yang membutuhan banyak tenaga kerja kelautan dan perikanan, mengingat pertumbuhan perekonomian di sektor ini.
Kebijakan dan kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan oleh masing-masing KabupatenKota juga didukung dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah, yakni pemerintah daerah kabupatenkota memiliki kewenangan penuh atas
pengelolaan sumber daya yang ada di dalam wilayah laut hingga 4 mil, sedangkan pemerintah daerah propinsi mempunyai kewenangan untuk
pengelolaan wilayah laut dan sumber daya di dalamnya dari 12 mil menjadi hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas. Penerapan Undang-Undang
Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada keinginan KabupatenKota untuk
43 dapat menyediakan tenaga-tenaga kelautan dan perikanan yang berpendidikan
menengah melalui pendirian Sekolah Menengah Kejuruan bidang kelautan dan perikanan atau mengalihan bidang studi menjadi bidang kelautan dan perikanan.
Sejalan dengan terbentuknya Departemen teknis yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pengembangan perikanan dan kelautan, kondisi
tersebut didukung dengan dikeluarkannya kebijakan Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah
, Departemen Kelautan dan Perikanan,
berkaitan dengan pengembangan program pendidikan keahlian di bidang kelautan dan perikanan pada sekolah menengah
kejuruan yang dibinanya. Diawali pada tahun 20002001 telah diselenggarakan 10 SMK Negeri dan 52 SMK swasta yang mengembangkan program pendidikan
nautika perikanan yang kemudian telah berkembang menjadi 91 SMK yang mengembangkan program studi NPL dan 34 yang menyelenggarakan program
studi TPL.
5.2 Daya Serap Lulusan pada Industri Perikanan Tangkap 5.2.1 Kondisi industri perikanan tangkap