Kelompok Sosial Pengarang Pandangan Dunia Pengarang dalam Naskah Drama “Mengapa Kau
di masyarakat seperti korupsi, kebohongan, penindasan atas identitas etnis dan regional, serta keserakahan material, menjadi gagasan Seno dalam penciptaan
karyanya. Seperti yang dikatakan Seno dalam bukunya
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
1997: 109, “Kalau kita memang penulis, maka kita akan menuliskan apapun yang menyentuh diri kita.” Hal ini tak lepas dari
usaha Seno untuk melawan dominasi ideologi politik dan budaya Orde Baru. Sistem pemerintahan masa Orde Baru didominasi oleh maraknya
pembatasan-pembatasan, baik terhadap pers, sastrawan, seniman, maupun organisasi. Pembatasan ini merupakan upaya pemerintahan Soeharto untuk
menjaga kestabilan kondisi sosial-politik berdasarkan ideologinya serta melegitimasi kekuasaan. Sebagai akibatnya pertumbuhan bentuk-bentuk kesenian
maupun segala aktivitas yang menampilkan gagasan-gagasan alternatif terhadap segala yang berbau Orde Baru pun terbatas. Karena itu, Seno sebagai seorang
sastrawan dengan pandangannya yang berlandaskan asas kebenaran, berusaha melawan ideologi ini melalui sastra. Bagi Seno, sastra merupakan media yang
sangat lentur yang mampu mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dalam kesusastraan adalah sebuah perlawanan bagi historirisme, yakni sejarah yang
hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan Ajidarma, 1997: 7. Usaha Seno dalam mengungkapkan kebenaran tak lepas dari keinginannya
untuk menegakkan persamaan hak, baik hak asasi manusia maupun hak berpendapat. Seperti yang dipaparkannya dalam naskah drama “Mengapa Kau
Culik Anak Kami?”, ia menyampaikan tentang penindasan atas hak-hak asasi manusia dan memberi suara kepada mereka yang dibungkam dalam wacana
politik melalui penggambaran kekejaman-kekejaman yang diterima oleh sejumlah warga masyarakat.
Selain Seno, dalam lingkup sastranya, terdapat sejumlah sastrawan Indonesia yang memiliki persamaan pandangan dan sikap dengan Seno,
khususnya dalam merespon kondisi sosial historis Indonesia pada masa Orde Baru. Sebut saja W. S. Rendra yang dikenal dengan perlawanannya terhadap
pemerintahan Orde Baru. Sajak-sajak Rendra banyak menyuarakan kehidupan kelas bawah dan protes-protes terhadap penguasa, demikian pula dengan pentas-
pentas teaternya. Sebagai akibatnya, pada tahun 1978 Khoiri, 2009, Rendra dipenjarakan, dan tahun 1979 hingga 1986 Bengkel Teater Rendra pun dilarang
pentas. Semua peristiwa ini terjadi tidak lain adalah karena karya-karya serta kegiatan teater Rendra yang oleh penguasa dianggap sebagai kegiatan yang
berbobot politik dan membahayakan stabilitas nasional. Sastrawan lain yang dikenal dengan karya-karyanya yang sarat akan kritik
sosial masa Orde Baru adalah Norbertus Riantiarno. N. Riantiarno adalah seorang tokoh teater Indonesia yang karya-karyanya banyak mengangkat kritikan dan
sindiran politik. Nano telah berteater sejak 1965, di kota kelahirannya, Cirebon. Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater
Nasional Indonesia ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Pada tahun 1968, Nano bergabung dengan
Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia. Ia berguru kepadanya dan ikut mendirikan Teater Populer pada 1968. Hingga akhirnya pada
1977 Nano mendirikan Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling
produktif di Indonesia. Tidak berbeda dengan Rendra, dalam perjalanannya kelompok teater Nano pun mengalami pelarangan dengan alasan yang serupa. Di
antaranya adalah pementasan
Sampek Engtay
yang dilarang pentas di Medan, 1989. Pergelaran
Suksesi
di Jakarta pun dihentikan polisi pada hari ke-sebelas, 1990. Dan
Opera Kecoa
dilarang naik pentas di Jakarta, 1990, sekaligus dilarang pula berpentas di empat kota di Jepang, 1991
www.teaterkoma.org , 2005.
Seno, Rendra, dan Nano adalah sedikit dari sekian banyak sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia yang memperjuangkan pandangannya dalam
melawan dominasi ideologi politik dan budaya Orde Baru, serta dalam menegakkan hak asasi manusia pun hak berpendapat. Melalui karya-karya yang
diciptakan, mereka memberikan suara bagi orang-orang yang ditindas oleh penguasa, bahkan ketika mereka sendirilah yang tertindas.