Pandangan Dunia Pengarang dalam Naskah Drama “Mengapa Kau

4. Relevansi antara Pandangan Dunia Pengarang dengan Kekerasan

Politik Masa Orde Baru da lam Naskah Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Pandangan dunia kelompok sosial pengarang tentunya memiliki relevansi dengan kondisi sosial karya. Dari hasil penelitian mengenai pandangan dunia Seno Gumira Ajidarma dan wujud kekerasan politik yang menjadi kondisi sosial dalam naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”, maka relevansi yang didapat adalah sebagai berikut. Tabel 6 : Relevansi Antara Pandangan Dunia Pengarang dengan Kekerasan Politik Masa Orde Baru dalam Naskah Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” No. Pandangan Dunia Wujud Kekerasan Politik 1. Perlawanan terhadap ideologi dan politik budaya Orde Baru a. Otoriterisme b. Sistem ketakutan sebagai kontrol c. Perekonstruksian ingatan 2. Demokrasi - Kebebasan berbicara dan berpendapat Pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat 3. Humanisme - Penegakkan hak asasi manusia a. Penculikan b. Penganiayaan c. Pembantaian

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Wujud Kekerasan Politik dalam Naskah Drama “Mengapa Kau Culik

Anak Kami?” Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, pengarang menyaksikan dan cenderung ingin menanggapi apa yang ada di sekitarnya. Hasil tanggapan tersebut merupakan ungkapan perasaan, sikap, dan pandangannya tentang berbagai persoalan sosial yang kemudian diolah ke dalam bentuk karya sastra. Naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” merupakan hasil tanggapan Seno Gumira Ajidarma terhadap berbagai persoalan sosial yang terjadi selama masa Orde Baru. Persoalan-persoalan tersebut mewujud dalam tindak-tindak kekerasan yang kerap terjadi pada masa itu yang berlangsung karena kepentingan politik. Dalam naskah drama ini, wujud kekerasan politik dikategorikan ke dalam dua bentuk, yakni kekerasan dalam wujud penindasan dan kekerasan dalam wujud fisik. Kekerasan politik dalam wujud penindasan di antaranya adalah otoriterisme, sistem ketakutan sebagai kontrol, perekonstruksian ingatan, serta pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat. Sedangkan kekerasan politik dalam wujud fisik di antaranya adalah pembantaian, pemerkosaan, penculikan, dan penganiayaan. Seluruh bentuk kekerasan tersebut tergambar melalui dialog-dialog di dalam naskah.

a. Kekerasan Politik dalam Wujud Penindasan

1 Otoriterisme Otoriterisme digambarkan sebagai suatu bentuk penindasan terkait dengan kekuatan dan kekuasaan. Otoriter biasanya dihubungkan dengan bentuk penghormatan terhadap atasan sosial dan sifatnya tidak bisa diganggu gugat. Dia yang memiliki jabatan tinggi, maka memiliki kuasa yang tinggi pula. Dalam naskah ini pola-pola otoriter digambarkan melalui tokoh penguasa seperti yang terlihat pada dialog berikut. BAPAK : pergi ke sudut meja lain Yang di sini bilang : “Sebetulnya apa urusan kita dengan dia? Kita kan tahu apa yang dikatakannya semua benar. Memang ada korupsi. Memang ada kecurangan dalam pemilu. Memang ada teror dan intimidasi. Republik ini sudah hampir ambruk.” pergi ke sudut lain lagi Yang di sini menyahut ; “Kamu membela mereka? Apa kamu mau membangkang?” pergi ke sudut yang bertanya “Jangan berpikir di sini, laksanakan saja tugas kita dengan baik.” pergi ke meja pembangkang “Tapi mereka cuma anak-anak.” ke meja lain lagi “Ya, anak- anak yang berbahaya.” ke meja pembangkang “Tapi apa hak kita untuk menculik, merampas kemerdekaan mereka?” balik ke meja penanya “Pertama, mereka berbahaya untuk negara. Kedua, kalaupun kamu tidak setuju, ini adalah tugas.” Ini dijawab lagi. “Tugas pun boleh ditolak kalau keliru.” Lantas ditantang : “Tolak saja kalau berani.” Dijawab lagi : “Aku menolak.” BAPAK TERDIAM. IBU : Lantas? BAPAK : Orang yang menolak tugas itu mati. Ajidarma, 2001: 110-111 Para penguasa dalam dialog tersebut digambarkan sebagai penguasa dengan jabatan rendah, karena status mereka adalah penerima tugas. Sebagai yang menerima tugas, dalam paham otoriter, penerima hanya perlu melaksanakan. Mereka tidak memiliki hak untuk mempertanyakan maupun menolak tugas yang diberikan penguasa tertinggi, meskipun tugas tersebut bertentangan dengan hati nurani. Bagi yang membangkang maka akan mendapat hukuman. Dalam dialog ini, Seno menggambarkan akibat dari pembangkangan atas otoriterisme bukan saja dalam bentuk hukuman biasa, tetapi juga mengarah pada kematian. 2 Sistem Ketakutan Sebagai Kontrol Sistem ketakutan diciptakan melalui ancaman dan intimidasi dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, hingga bahkan kematian. Eksekusi dijadikan sebagai contoh bagi pihak-pihak yang melawan kekuasaan, sehingga menimbulkan ketakutan dan memberikan pertimbangan pada pihak- pihak lain untuk tidak melawan penguasa. Dalam naskah drama ini, sistem ketakutan sebagai kontrol kekuasaan terutama terlihat pada gambaran dari lingkungan korban yang cenderung memilih untuk menjauhi keluarga korban karena rasa takut akan mengalami nasib yang sama. Seperti yang terlihat pada dialog berikut, ketika saudara-saudara Ibu dan Bapak menjauh terkait penculikan Satria. BAPAK : Aku cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang malang malah dijauhi. Ada yang bilang, “Sorry aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon umum, karena aku takut teleponku kena sadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku takut, aku punya anak kecil soalnya.” Hmmhh. Saudara-saudara menjauh semuanya. Takut. Seperti kita ini punya penyakit sampar. Ajidarma, 2001: 93 Penculikan Satria menjadi satu bentuk ancaman sehingga menimbulkan ketakutan-ketakutan pada lingkungan. Kerabat dari tokoh Bapak dan Ibu memiliki kekhawatiran jika diketahui memiliki hubungan dengan korban, karena akibatnya dapat membahayakan nyawanya sendiri maupun keluarganya. Seperti yang terlihat pada kalimat “ Sorry aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon umum, karena aku takut teleponku kena sadap, aku harap semuanya baik-baik