Masa Transisi dari Orde Lama Menuju Ke Orde Baru

masyarakat akhirnya tidak lagi menjadi kesalahan, tetapi beralih menjadi suatu kebenaran.

3. Pandangan Dunia Pengarang dalam Naskah Drama “Mengapa Kau

Culik Anak Kami?” Pandangan dunia menurut Goldmann adalah suatu kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain melalui Faruk, 2012: 61-66. Karena itu dalam karyanya, seorang pengarang tidak hanya menyuarakan pandangan dunianya sendiri, tetapi ia juga menyuarakan pandangan dunia kelompok dan kelas sosialnya.

a. Kelompok Sosial Pengarang

Seno Gumira Ajidarma adalah seorang pengarang yang memiliki latar belakang dari kalangan yang tergolong berpendidikan tinggi dan berpenghasilan menengah ke atas. Lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958, Seno merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya, Prof. Dr. Mohammad Seti Adji Sastroamidjojo adalah guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada dengan gelar PhD di bidang fisika. Sang ayah juga dikenal sebagai ahli energi alternatif dari universitas yang sama. Ibunya, dr. Moestika Kusuma Sujana alm. adalah dokter spesialis penyakit dalam Triana, 2008. Seno sendiri adalah lulusan Strata 1 Institut Kesenian Jakarta, jurusan Sinematografi. Meskipun di masa sekolah menengahnya dulu Seno sempat berhenti dan justru pergi merantau dalam rangka memenuhi hasrat bertualangnya, jiwa keilmuwan Seno tidak berhenti sampai di sini. Terbukti dari gelar Magister yang didapatnya dari jurusan Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia. Bahkan ia melanjutkan studinya di S-3 jurusan Ilmu Sastra, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di universitas yang sama. Mira Sato adalah nama pena yang digunakan Seno pada awal ia menulis. Mulai tahun 1976, Seno telah meramaikan dunia sastra di Indonesia. Sejumlah karya, mulai dari puisi, cerpen, novel, komik, naskah drama, esai, serta buku nonfiksi lainnya telah ia hasilkan. Pada masa-masa itu ia juga sempat bergabung dengan Teater Alam di Yogyakarta, pimpinan Azwar AN Swandayani dan Nurhadi, 2005. Beberapa naskah dramanya pun telah dipentaskan, salah satunya adalah “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” yang telah dipentaskan di Graha Bhakti budaya Taman Ismail Marzuki TIM, Jakarta, pada 6-8 Agustus 2001 yang kemudian berlanjut digelar di Societet, Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 16-18 di bulan yang sama. Dari kurun waktu tersebut berbagai penghargaan dan penobatan telah banyak ia terima. Cerpennya Saksi Mata 1994 mendapat penghargaan Dinny O’Hearn Prize for Literary 1997, cerpen Pelajaran Mengarang terpilih menjadi Cerpen Terbaik Kompas 1992, cerpen Cinta di Atas Perahu Cadik dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas tahun 2007, cerpen Segitiga Emas meraih juara kedua Sayembara Mengarang Cerpen Harian Suara Pembaruan 1990-1991, dan novelnya Kitab Omong Kosong dinobatkan sebagai Pemenang Literary Award tahun 2005. Selain sebagai sastrawan, Seno Gumira Ajidarma juga dikenal sebagai wartawan. Ia telah berkecimpung di dunia jurnalistik sejak usia 19 tahun. Seno pernah bekerja sebagai wartawan lepas di harian Merdeka 1977, mingguan Zaman , dan ikut berperan dalam menerbitkan kembali majalah Jakarta Jakarta 1985. Profesinya sebagai wartawan membuatnya terbiasa dengan data-data yang akurat dan aktual, karenanya karya-karya Seno tak pernah lepas dari fakta. Sebagai akibat dari sifatnya tersebut, ia pun pernah dibebastugaskan dari jabatan Pemimpin Redaksi Jakarta Jakarta pada 14 Januari 1992 Ajidarma, 1997: 48- 50, terkait dengan pemberitaan mengenai “insiden kekerasan Dili” yang terjadi pada tahun 1991. Pemberhentian dari jabatan editor yang dialaminya ini ia anggap sebagai penindasan —oleh suatu kekuasaan yang merasa dirinya melakukan hal yang paling benar. Karena itu ia melawannya dengan cara membuat Insiden Dili yang berusaha ditutup-tutupi dan dilupakan itu menjadi abadi, yaitu dengan melahirkan cerpen Telinga dan Maria . Sebagaimana dengan pernyataan yang dibuat Seno dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara . “Saya melawannya, dengan cara membuat Insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen —sebagai suatu cara untuk melawan. Ajidarma, 1997: 33 Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang peka terhadap realitas sosial. Karya-karyanya banyak mengangkat tema-tema sosial dalam masyarakat, khususnya selama krisis sosial-politik masa Orde Baru. Ia juga seringkali menyuguhkan kritik-kritik sosial maupun politis. Segala ketimpangan yang terjadi di masyarakat seperti korupsi, kebohongan, penindasan atas identitas etnis dan regional, serta keserakahan material, menjadi gagasan Seno dalam penciptaan karyanya. Seperti yang dikatakan Seno dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara 1997: 109, “Kalau kita memang penulis, maka kita akan menuliskan apapun yang menyentuh diri kita.” Hal ini tak lepas dari usaha Seno untuk melawan dominasi ideologi politik dan budaya Orde Baru. Sistem pemerintahan masa Orde Baru didominasi oleh maraknya pembatasan-pembatasan, baik terhadap pers, sastrawan, seniman, maupun organisasi. Pembatasan ini merupakan upaya pemerintahan Soeharto untuk menjaga kestabilan kondisi sosial-politik berdasarkan ideologinya serta melegitimasi kekuasaan. Sebagai akibatnya pertumbuhan bentuk-bentuk kesenian maupun segala aktivitas yang menampilkan gagasan-gagasan alternatif terhadap segala yang berbau Orde Baru pun terbatas. Karena itu, Seno sebagai seorang sastrawan dengan pandangannya yang berlandaskan asas kebenaran, berusaha melawan ideologi ini melalui sastra. Bagi Seno, sastra merupakan media yang sangat lentur yang mampu mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dalam kesusastraan adalah sebuah perlawanan bagi historirisme, yakni sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan Ajidarma, 1997: 7. Usaha Seno dalam mengungkapkan kebenaran tak lepas dari keinginannya untuk menegakkan persamaan hak, baik hak asasi manusia maupun hak berpendapat. Seperti yang dipaparkannya dalam naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”, ia menyampaikan tentang penindasan atas hak-hak asasi manusia dan memberi suara kepada mereka yang dibungkam dalam wacana