Kebijakan Penerapan “Marine Cadastre”

128 Asumsi kenormalan faktor acak terpenuhi, sebagaimana nampak pada Gambar 35 di atas bentuk plotnya dapat ditarik membentuk suatu garis lurus. Demikian, maka dari hasil diagnostik pemodelan keeratan hubungan regresi antara PV dengan TBTC membuktikan bahwa model terakhir, yaitu Y = β + β 1 TBTC + β 2 TBTC 2 telah memenuhi kaidah statistik sebagai model yang baik atau cukup memadai.

5.5.2 Kebijakan Penerapan “Marine Cadastre”

Penyelenggaraan “marine cadastre” di Indonesia masih memerlukan asumsi dan persepsi, karena memang belum pernah dilaksanakan, satu dan lain hal karena utamanya belum tersedia perangkat hukum bagi pelaksanannya. Namun demikian, dari kenyataan dari penyelenggaraan “land cadastre”, baik sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini, maka dapat ditetapkan asumsi dan persepsi dengan menganalogi pelaksanaannya di darat. Dalam konteks penelitian ini, maka komponen-komponen valuasi ekonomi dan perhitungan yang digunakan adalah sama dengan komponen pada valuasi ekonomi eksisting dalam skema Retrospektif Ex-Post yang telah dibahas sebelumnya. Sesuai dengan konsep penerapan “marine cadastre”, maka dalam simulasi penerapannya terdapat beberapa asumsi eksisting dan asumsi tambahan sebagai berikut: 1 Adanya kejelasan hak, batasan dan tanggungjawab pengelolaan wilayah dan sumberdaya. Penerapan “marine cadastre” berimplikasi langsung kepada pengadministrasian wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut, termasuk seluruh kepentingan yang ada, yaitu berupa hak, batasan, dan kewajiban dalam pemanfaatan ruang. Hal ini memberikan kejelasan atas pemberian hak-hak penguasaan dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Contoh hak-hak dimaksud, misalnya: Hak Pengelolaan HPL kawasan mangrove dan terumbu karang, serta Hak Guna Usaha HGU atas Kawasan Pengembangan Perikanan Budidaya kepada Pemerintah Daerah, Hak Guna Bangunan untuk pengeboran minyak lepas pantai, Hak Guna Usaha bagi nelayan-nelayan budidaya, dan sebagainya. 129 Melalui pengadministrasian ini maka kontrol pemanfaatan dan pelaksanaan pengelolaan wilayah dan sumberdaya dapat ditingkatkan. Kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem diganti dengan asumsi nilai penerapan “marine cadastre”, yaitu penetapan zona-zona atau persil-persil perlindungan kawasan dan ekosistemnya, sehingga memberikan nilai-nilai kawasan dan ekosistem. “Nilai kerusakan” dapat diasumsikan sebagai nilai “best use” atau nilai awal rehabilitasi kawasan dan sumberdaya, yang diwarisi dari kebijakan masa lalu di mana “bebannya” terus menurun. 2 Adanya tambahan nilai dari hasil penerapan “marine cadastre”. Dengan demikian, melalui pemberian hak-hak dimaksud pada butir 1 di atas, maka timbulah “hubungan hukum” antara keduanya. Hubungan hukum ini mengakibatkan pelaksanaan hak, kewajiban, dan batasan dalam pemanfaatannya, di mana ketiganya melahirkan pula nilai tambah ekonomi dalam penyelenggaraannya. Di samping itu masih terdapat beberapa pemanfaatan kawasan budidaya di wilayah pesisir dan laut yang lain, yaitu: ruang permukiman di pesisir, ruang pariwisata bahari, ruang pelabuhan dan perhubungan, ruang industri maritim, dan ruang arkeologi bawah laut. Semua pemanfaatan kawasan atau ruang ini apabila dilaksanakan dalam kerangka “marine cadastre”, maka dapat menghasilkan nilai tambah yang signifikan, baik dari aspek ekonomi maupun lingkungan hidup. Nilai tambah ekonomi dan ekosistem penyelenggaraan “marine cadastre” dapat didekati dengan perhitungan sebagai berikut: a. Peningkatan ekonomi berasal dari pelaksanaan hak-hak atas ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan, yang berasal dari peningkatan hasil-hasil budidaya perikanan, jasa-jasa kelautan, ekowisata pesisir dan kelautan, aliran modal dari lembaga keuangan kepada masyarakat dan pengusaha pesisir dan kelautan, dan sebagainya; dan b. Pajak dan retribusi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut. Pembahasan selengkapanya mengenai hal ini akan diuraikan dalam bab berikutnya.

6. DESAIN KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN KONSEP “MARINE CADASTRE”

6.1. Faktor-faktor Dominan dan Indikator-Indikator Penting

Faktor-faktor dominan dalam penyelenggaraan suatu “marine cadastre” sebagaimana telah diuraikan dan dianalisis dalam bab-bab sebelum ini, dapat diformulasikan lebih lanjut sebagai berikut lihat pula Gambar 36: a Adanya konsep dasar filosofis Telah dipahaminya konsep “the boundary of tenure” melalui konsep penataan ruang pesisir dan laut. Faktor ini berkaitan dengan dipahaminya ruang dan sumberdaya pesisir dan laut sebagai warisan umat manusia yang harus dijaga dan dipelihara, dan oleh karena itu perlu adanya batasan-batasan restrictions pemanfaatannya, termasuk batas-batas boundaries wilayah, persil, atau zona pemanfaatannya. b Adanya kedaulatan negara dan sistem kepemilikan Telah diketahuinya batas laut teritorial Republik Indonesia dengan negara- negara Singapura dan Malaysia. Faktor ini berkenaan dengan wilayah “marine cadastre”, yaitu berlaku di wilayah kedaulatan laut teritorial suatu negara, yang mana di dalamnya berlaku atau diakuinya pula sistem penguasaan tenureships atas ruang dan sumberdaya pesisir dan laut; c Adanya tuntutan dan kebutuhan Telah dipahaminya serta dirasakannya secara nyata kondisi geografis, potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi pesisir dan kelautan yang dominan. Faktor ini berkaitan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan perlunya penyelenggaraan suatu sistem “marine cadastre”, yang didorong oleh: • kondisi faktor-faktor geografis wilayah yang didominasi oleh bentangan alam pesisir, gugusan pulau-pulau kecil, dan laut; • kondisi potensi sumberdaya pesisir dan lautan; • kondisi potensi ekonomi pesisir dan lautan;