• dikelola dengan baik; d tersedianya mekanisme analisis kebijakan publik, mulai dari monitoring,
evaluasi, pengungkapan masalah kebijakan, peramalan kebijakan, dan rekomendasi kebijakan.
6.2. Desain Kebijakan Pemanfaatan Ruang Dengan “Marine Cadastre”
Kebijakan pemanfaatan ruang harus senantiasa dapat dianalisis agar dapat diukur tingkat keberhasilannya, apakah berhasil guna dan berdaya guna
sebagaimana telah direncanakan. Dari sudut pandang ekonomi lingkungan, kebijakan publik harus dapat dianalisis dalam tiga aspek utama yang saling terkait
dan bersinergi di antara ketiga aspek tujuan EES, yaitu tujuan ekonomi pertumbuhan, ekologi kelestarian lingkungan, dan sosial kesejahteraan atau
kemakmuran dalam kesetaraan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam kebijakan pemanfaatan
ruang pesisir dan laut dengan “marine cadastre” harus memuat arahan dan pemanfaatan ruang sebagai berikut tertuang dalam Gambar 38:
6.2.1 Aspek Legal dan Kelembagaan a Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus dapat menegaskan
tentang adanya kejelasan hak, batasan dan tanggungjawab atas penguasaan dan pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine
cadastre”
Melalui kepastian hak dan jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang pesisir dan laut, maka nilai manfaat ekonomi meningkat. Wujud nyata
kepastian dari hak ini adalah dalam bentuk pemberian hubungan hukum antara subyek hak dan obyek hak. Skenario yang diusulkan adalah dalam
bentuk “the bundle of rights”, misalnya: Hak Pengelolaan HPL atas kawasan mangrove dan terumbu karang, Hak Guna Usaha HGU atas
kawasan budidaya perikanan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat, serta Hak Guna Perairan HGP atau Hak Pemanfaatan Ruang Laut HPRL
kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Demikian pula hak- hak atas “sea bed” diberikan dengan HPL, HGU, atau Hak Guna Bangunan
HGB yang berkaitan dengan pemanfaatan dasar laut perairan teritorial.
134 Gambar 38. Pemetaan batas-batas persil dan zona penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam penyelenggraraan
“marine cadastre” berikut hak-haknya: asumsi penerapannya di wilayah Kabupaten Kepulauan Riau U
۞
LEGENDA HGUHGP
BUDIDAYA PERIKANAN
HPL KAWASAN TERUMBU
KARANG HPL KAWASAN
WISATA BAHARI HPL HGU
KAWASAN MANGROVE
HPL KAWASAN LINDUNG LAUT
UTAMA
SKALA ORIGINAL
1 : 2.500.000
HPL HPL
HGU HPL
HP HPL
HPL HGU
HGP HGU
HGP
Penetapan hubungan hukum atas zona-zona atau persil-persil perlindungan kawasan dan ekosistemnya ini melahirkan nilai-nilai konservasi
kawasan dan ekosistem. Artinya “nilai kerusakan” diasumsikan sebagai nilai “best use” atau nilai awal rehabilitasi kawasan dan sumberdaya, yang diwarisi
dari kebijakan masa lalu. Sistesis ini didukung hasil penelitian ini telah memberikan suatu
perhitungan biaya cost atau “bebannya” yang terus menurun sebesar 2.43 per tahun untuk mangrove, 2.47 untuk terumbu karang, dan nilai
rehabilitasi kerusakan akibat penambangan pasir laut berkurang sebesar 8 per tahun. Melalui perhitungan ini, maka dengan secara total menghentikan
eksploitasi sumberdaya dan perusakan ekosistem kebijakan “best use”, sama artinya dengan mengurangi “nilai kerusakan” sumberdaya dan ekosistem
dimaksud.
b Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus menegaskan tentang siapa lembaga-lembaga yang mengelola sistem legaltenurial atas
pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine cadastre”
Pengelolaan sistem legaltenurial atas penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut diperlukan agar tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 33
ayat 3 UUD 1945 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat dicapai. Amanat UUD ini secara khusus pula memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1960 UUPA kepada negara c.q. lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab untuk:
1 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
3 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa. Pengelolaan sistem legaltenurial atas penguasaan dan pemanfaatan ruang
pesisir dan laut diperlukan juga agar tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dapat dicapai,
yaitu: 1 terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional; 2 terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya; dan 3 tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Gambar 39. Diagram balok pendapat responden tentang lembaga yang mengelola sistem tenurial dan sumberdaya pesisir dan laut data hasil olahan
hasil kuesioner
Sintesis ini didukung hasil penelitian ini telah mengumpulkan pendapat responden tentang lembaga yang seharusnya mengelola sistem legaltenurial
atas penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, dengan komposisi sebagai berikut:
1 Pengelola sistem tenurial wilayah pesisir dan laut: • Badan Pertanahan Nasional BPN
= 60
• Departemen Kelautan dan Perikanan DKP = 10
• Pemerintah Daerah KabKota dan Propinsi =
15 2 Pengelola sumberdaya pesisir dan laut:
• Badan Pertanahan Nasional BPN =
15 • Departemen Kelautan dan Perikanan DKP =
25 • Pemerintah Daerah KabKota dan Propinsi
= 60
20 40
60 80
100
Sistem Tenurial Pengelola
Sumberdaya BPN-RI
DKP-RI PEMDA
6.2.2 Aspek Ekonomi: Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut kepada pengaplikasian konsep “marine cadastre” karena adanya
tambahan nilai ekonomi dari hasil penerapannya
Sintesis ini didukung oleh hasil simulasi melalui pemberian Hak Pengelolaan HPL kawasan mangrove dan terumbu karang, serta Hak Guna Usaha HGU
atas Kawasan Pengembangan Perikanan Budidaya, kepada Pemerintah Daerah, yang mengakibatkan timbulnya “hubungan hukum” antara keduanya. Hubungan
hukum ini mengakibatkan pelaksanaan hak, kewajiban, dan batasan dalam pemanfaatannya, di mana ketiganya melahirkan pula nilai tambah ekonomi dalam
penyelenggaraannya. Di samping hal tersebut di atas, masih terdapat beberapa pemanfaatan
kawasan budidaya di wilayah pesisir dan laut yang lain, yaitu: ruang permukiman di pesisir, ruang pariwisata bahari, ruang pelabuhan dan perhubungan, ruang
industri maritim, dan ruang arkeologi bawah laut. Semua pemanfaatan kawasan atau ruang ini apabila dilaksanakan dalam kerangka “marine cadastre”, maka
dapat menghasilkan nilai tambah yang signifikan, baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan hidup.
Nilai tambah ekonomi dan ekosistem penyelenggaraan “marine cadastre” dapat didekati dengan asumsi sebagai berikut:
• Peningkatan ekonomi berasal dari penyelenggaraan administrasi kepentingan 3R: rights, responsibility, restriction dan pemanfaatan ruang pesisir dan
lautan “marine cadastre”, diasumsikan sebesar 3 dari PDRB tahun 2005 sama dengan rata-rata kenaikan PDRB dalam empat tahun terakhir;
• Pajak dan retribusi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka penyelenggaraan “marine cadastre”, diasumsikan sebesar 1 dari
nilai peningkatan ekonomi tersebut di atas 1 dari 3 PDRB. Hasil simulasi selengkapan disajikan dalam Lampiran 2, sedangkan
ringkasannya disajikan dalam Tabel 18 di atas. Perbedaan yang sangat mencolok dihasilkan oleh simulasi analisis valuasi ekonomi “best use” atau “ex-ante”
tersebut di atas. Simulasi sederhana menunjukkan bahwa, apabila ada komitmen
sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat terhadap pengejawantahan hak, kewajiban, dan batasan kebijakan dan program pemanfaatan ruang melalui
pelaksanaan konsep “marine cadastre”, maka tujuan ekonomi dan ekologi dalam trilogi EES dapat ditingkatkan secara signifikan.
Tabel 18. Simulasi Analisis TEV “Best Use” untuk Analisis Prospektif Ex-Ante di wilayah pesisir dan lautan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan
Riau
No. ECONOMIC COSTS
Dalam Jutaan Rp. No.
ECONOMIC BENEFITS Dalam Jutaan Rp.
A Program dan
Pembangunan Tahun ke 0
A DUV: Direct Use Value
Tahun ke 0 1
Perikanan dan Kelautan 5 246
1 Perikanan
38 280 2 Pariwisata
dan Telekomunikasi 9
577 2 Industri
maritim 444
740 3
Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Mitigasi:
Sosialisasi dan Survei Pemetaan
35 349 3
Wisata bahari 23 120
4 Industri
4 811 4
Angkutan laut 47 260
5 Transportasi dan
Pekerjaan Umum 99 782
5 Jasa-jasa penunjang
1 800 6
Perhubungan 9 695
6 Pajak pelaksanaan
Marine Cadastre 347 B
Nilai Kerusakan Sumberdaya
7 Pengeluaran wisatawan
1 889 127 1
Mangrove 1 080 500
8 Investasi industri maritim
1 776 325 2
Terumbu karang 1 528 236
9 Added value pelaksanaan
Marine Cadastre 34 686
3 Akibat penambangan
pasir laut 3 255 522
B IUV Indirect Use Value
1 Fungsi mangrove
345 261
2 Fungsi terumbu karang
30 068 C
NON-USE VALUE C.1
OV Option Value
1 Biodiversity mangrove
541 2
Biodiversity terumbu krg. 613
C.2 BV Bequest Value
1 Pelestarian mangrove
211 709 2
Pelestarian terumbu krg. 276 085
C.3 EV Exsistence Value
1 Keberadaan mangrove
77 771
2 Keberadaan terumbu krg.
97 003 TOTAL ECONOMIC
COSTS 6 028 718
TOTAL ECONOMIC BENEFITS
5 294 736 NET BENEFITS
- 733 982 CASH FLOW
- 733 982 DR r
0.08 PV -
733 982
NPV 3 084
999 EIRR 33.31
Net BC 5.54
NPV DR = 33.0 11 721
NPV DR = 33.1 7 889
EIRR SIMULASI 33.00
DR = 8 mengambil nilai tengah antara DR untuk soft loan dan commercial loan proyek-
proyek pembangunan selama sepuluh tahun terakhir 1995 - 2005
Untuk analisis “ex-ante”, efisiensi penggunaan program Lingkungan Hidup Tata Ruang
difokuskan kepada program mitigasi, berupa sosialisasi dan survei dan pemetaan wilayah
Interpretasi simulasi analisis valuasi ekonomi ini adalah sebagai berikut: a. Program pembangunan yang berkelanjutan telah nampak nyata dalam
implementasinya, bahkan dari hasil perhitungan menunjukkan “nilai kerusakan” sumberdaya dan ekosistem secara gradual menurun, sementara itu
“nilai ekonomi” kawasan semakin meningkat hasil hitungan TEV “Best Use” secara lengkap disajikan dalam Lampiran 2;
Tabel 19. Perbandingan Analisis TEV Eksisting “Ex-Post” versus “Best Use” “Ex-Ante” di wilayah pesisir dan lautan Pulau Bintan, Kabupaten
Kepulauan Riau.
No. TEV “Ex-Post”
Dalam Jutaan Rp. Tahun ke nol
No. TEV “Ex-Ante”
Dalam Jutaan Rp. Tahun ke nol
1 TOTAL ECONOMIC
COSTS 6 028 718
1 TOTAL ECONOMIC
COSTS 6 028 718
2 TOTAL ECONOMIC
BENEFITS 5 259 703
2 TOTAL ECONOMIC
BENEFITS 5 294 736
3 NET BENEFITS
- 769 015 3
NET BENEFITS - 733 982
4 CASH FLOW
- 769 015 4
CASH FLOW - 733 982
5 DR r
0.08 5
DR r 0.08
6 Soc DF=SOCC DR=8 1.0
6 Soc DF= SOCC DR=8 1.0
7 PV -
769 015
7 PV -
733 982
NPV [Rumus 2]
- 682 861
NPV [Rumus 2]
3 084 999 EIRR -
0.86 EIRR 33.31
Net BC 0.04
Net BC 5.54
b. Net Present Value NPV tahun 2005 bernilai sebesar Rp. 3 085 milyar dan
Rp. 3 331.8 milyar dengan dua formula berbeda. Nilai ini akan terus
meningkat sebagaimana tergambar dari peningkatan nilai Net Benefits NB yang juga merupakan Present Value PV terus mengalami peningkatan secara
gradual meskipun diawali dengan besaran minus - Rp. 733.9 milyar pada
tahun ke nol 2005, hingga masing-masing mencapai sebesar Rp. 2 124.3 milyar dan Rp. 1 062.7 milyar pada tahun ke 9 tahun 2014;
c. Nilai EIRR Economic Internal Rate of Return mencapai nilai 33.3 dan EIRR Simulasi = 33.00 , dengan nilai Net BC sebesar 5.54;
d. Ringkasan hasil: NPV 0, BC 1, dan EIRR DR r, maka kebijakan eksisting pemanfaatan ruang pesisir dan laut sangat layak untuk dilaksanakan;
Gambar 40. Dekomposisi komponen serta aliran aliran masukan inflow dan aliran keluaran outflow model TEV kebijakan pemanfaatan ruang
pesisir dan laut dengan konsep “Marine Cadastre” di wilayah Pulau Bintan 2005 – 2014
Angka-angka yang diperoleh dari hasil perhitungan TEV melalui program Microsoft Excel© di atas kemudian dimodelkan dengan menggunakan program
pemodelsn sistem dinamik STELLA
©
V.4.02. Langkah pertama adalah dekomposisi komponen serta aliran masukan inflow dan aliran keluaran
outflow dari model dimaksud Gambar 39.
Gambar 41. Model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” eksisting dan “ex-ante” Marine
Cadastre
Dekomposisi komponen dan aliran ini merupakan dasar pemodelan sistem dinamik komponen dan aliran nilai-nilai ekonomi kawasan. Model ini disusun
dari komponen awal berupa “Kegiatan Manusia” baik program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun aktivitas masyarakat secara
individual dan kolektif. Nilai awal komponen “Kegiatan Manusia” adalah total
nilai aktivitas ekonomi eksisting pada saat ini setelah dikurangi “Rent Ekonomi” dan “Biaya Ekonomi” yang keduanya merupakan “flow” atau aliran masuk dan
keluar Gambar 40 di atas menunjukkan bahwa model sistem dinamik ini
merupakan model sistem terbuka, dengan kontrol pertama berupa nilai awal yang sama, yaitu nilai eksisting. Kemudian model diberikan kontrol kedua sekaligus
sebagai kontrol dinamika sistem yaitu nilai penerapan “Marine Cadastre”. Sesuai dengan kaidah model, khususnya dengan program STELLA
©
V.4.02 ini, perlu dilakukan beberapa “normalisasi” nilai-nilai komponen dan aliran agar
model dapat dijalankan. Normalisasi artinya menetapkan nilai relatif dan bukan nilai absolut karena tidak mungkin dilakukan Tutorial STELLA
©
V.4.02. Selengkapnya persamaan equation dari model ini diuraikan dalam Lampiran 3.
Gambar 42. Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut:
“ex-post” eksisting dan “ex-ante” Marine Cadastre untuk nilai NB Cash Flow dan PV
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 41 di atas, hasil pemodelan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara nilai PV eksisting garis nomor 3
warna jingga dengan nilai PV “marine cadastre” garis nomor 4 warna hijau. PV eksisting berada jauh di bawah nilai PV “marine cadastre” dengan “trend”
kenaikan terbatas hingga tahun 2014. Sebaliknya, grafik nilai PV “Marine Cadastre” terus meningkat secara signifikan hingga ke level yang sangat tinggi.
Demikian pula nilai NB Net Benefit eksisting garis nomor 1 warna merah menunjukkan peningkatan terbatas dan terus berada jauh di bawah nilai NB
“marine cadastre” garis nomor 2 warna biru yang terus meningkat secara signifikan.
Gambar 43.
Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-
post” eksisting dan “ex-ante” Marine Cadastre untuk nilai NPV dan EIRR
Indikator utama lainnya dari metode TEV adalah besaran nilai NPV dan EIRR. Gambar 42 di atas menunjukkan bahwa nilai NPV “marine cadastre”
garis nomor 2 warna merah jauh berada di atas nilai NPV eksisting garis nomor 2 warna hijau, dan nilai NPV “marine cadastre” terus menunjukkan
kecenderungan meningkat, sementara nilai NPV eksisting sedikit meningkat namun tetap berada di bawah grafik NPV “marine cadastre”. Demikian pula nilai
EIRR “marine cadastre” garis biru berada dalam grafik jauh di atas nilai EIRR eksisting garis merah yang pergerakannya relatif stagnant.
Melalui fasilitas test “Sensitivity Analysis” yang ada dalam program STELLA
©
V.4.02, maka telah dilakukan simulasi sensitifitas model dengan memasukkan nilai-nilai DR r antara 10 hingga 30 Gambar 43. Hasil
simulasi atau test menunjukkan bahwa, bahkan dengan nilai DR sebesar 30 pun, nilai NPV tetap secara signifikan layak.
Gambar 44. Grafik “Sensitivity Analysis” untuk nilai-nilai NPV “Marine Cadastre” dengan rentang nilai DR r
antara 10 hingga 30.
Hal ini selaras dengan hasil simulasi hitungan EIRR, yaitu dengan NPV
+
pada level DR = 33.0 break event point dan NPV
-
pada level DR = 33.1 , nilai EIRR simulasi berada pada angka 33 pada DR = 8 nilai EIRR = 33.31
. Selengkapnya data hasil hitungan disajikan dalam Lampiran 2.
6.2.3 Aspek Lingkungan: Arahan dan pemanfaatan harus menegaskan penerapan prinsip-prinsip 3R Right, Restriction, Responsibility atas
pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine cadastre”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah telah menetapkan norma-norma dan aturan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, namun dalam
pelaksanaannya tidak terwujud. Faktor eksternal ikut mempengaruhi keadaan ini, khususnya kebijakan Pemerintah Pusat dalam hal penambangan pasir laut dan
penambangan lainnya. Berkenaan dengan itu, hipotesis Kusumastanto 2003a adalah benar bahwa
kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Indonesia umumnya akibat tidak jelasnya aturan mengenai pemanfaatan ruang dan sumberdayanya. Sintesis ini didukung
oleh data hasil penelitian sebagaimana tertuang dalam tabel berikut ini: Tabel 20. Nilai-nilai kerusakan lingkungan akibat pelaksanaan kebijakan di
bidang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Bintan: kebijakan eksisting dan kebijakan dengan konsep “marine cadastre”
No. Warisan Kerusakan Lingkungan Prediksi
Kerusakan Lingkungan Akibat
Pelaksanaan Kebijakan Eksisting
Prediksi Perlindungan Lingkungan Akibat
Pelaksanaan Kebijakan Dengan “Marine Cadastre”
1 Kerusakan lingkungan laut dan
pesisir akibat penambangan pasir sebanyak = 332.2 juta meter kubik
atau setara dengan Rp. 3.25 triliun DKP, 2003; WALHI, 2005; Dinas
Pertambangan Kepri, 2005 Terjadi “steadyness” akibat
kebijakan penghentian penambangan pasir, namun dari
aspek “nilai kerusakan”, maka dapat diasumsikan nilai tersebut
berkurang 8 setiap tahun sejalan dengan tingkat inflasi
rata-rata per tahun Terjadi “steadyness” akibat
kebijakan penghentian penambangan pasir, namun
diikuti dengan perlindungan ekosistem pesisir mangrove dan
terumbu karang, maka secara agregat kerusakan zonalindung
lau menurun sebesar Rp. 0.78 triliun dalam 10 tahun ke depan
2 Kerusakan ekosistem mangrove
seluas = 10 600 hektar dari luas seluruhnya semula = 14 521 hektar
atau setara dengan Rp. 1.08 triliun dengan menggunakan nilai
Toepfer, 2005 Tetap terjadi laju kerusakan
ekosistem sebesar 2.43 per tahun, yaitu agregat kerusakan
menjadi = 10 953 hektar atau setara dengan Rp. 1.34 triliun
dalam 10 tahun ke depan Terjadi laju perlindungan
ekosistem akibat penerapan prinsip 3R sebesar 2.43 per
tahun, yaitu agregat konservasi sebesar = 353 hektar atau setara
dengan Rp. 0.21 triliun dalam 10 tahun ke depan
3 Kerusakan ekosistem
terumbu karang seluas = 12 654 hektar dari
luas seluruhnya semula = 17 100 hektar, atau setara dengan Rp.
1.53 triliun dengan menggunakan nilai Toepfer, 2005
Tetap terjadi laju kerusakan ekosistem sebesar 2.47 per
tahun, yaitu agregat kerusakan menjadi = 13 076 hektar atau
setara dengan Rp. 1.90 triliun dalam 10 tahun ke depan
Terjadi laju perlindungan ekosistem akibat penerapan
prinsip 3R sebesar 2.47 per tahun, yaitu agregat konservasi
sebesar = 422 hektar atau setara dengan Rp. 0.31 triliun dalam 10
tahun ke depan
Pembangunan yang tidak berkelanjutan atau tidak berwawasan lingkungan hanya memberikan keuntungan sesaat jangka pendek untuk generasi pelaku
eksisting, sementara akibat dan dampaknya sangat merugikan terhadap kawasan dan bagi generasi mendatang. Konsep “marine cadastre” dengan tiga pilar utama,
yaitu, 3R: rights pelaksanaan hak, restriction batasan dari pelaksanaan hak, dan responsibility tanggungjawab dari pelaksanaan hak, merupakan konsep
paling ideal untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang berorientasi kepada rakyat.
7. SIMPULAN DAN SARAN