1. Sumber hukum yang mendukung pendapat para responden: 2. Sumber hukum hak atas ruang pesisir dan laut

99 kewajiban masyarakat baik perseorangan maupun badan atas penguasaan dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya laut tertentu tersebut sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan “marine cadastre” Gambar 25; Pendapat ini didasari oleh berbagai hal, yaitu bahwa para responden menyadari perkembangan kebutuhan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha serta investor tidak hanya sebatas kebutuhan akan lahan daratan tanah, namun sudah berkembang kepada kebutuhan akan ruang laut, yaitu ruang di atas dan di bawah laut yang merupakan ruang kolom- kolom laut yang umumnya dalam perspektif tiga dimensi, serta lahan yang tertutup oleh air laut.

a.1. Sumber hukum yang mendukung pendapat para responden:

• Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini secara khusus memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1960 UUPA kepada negara c.q. lembaga pemerintah yang bertanggung- jawab atas pertanahan. Kewenangan yang dimaksud adalah: 1 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa;

a.2. Sumber hukum hak atas ruang pesisir dan laut

• Pasal 1 ayat 4 dan 5 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa: dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air; dan dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa kewenangan yang lair dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 juncto Pasal 2 ayat 2 UUPA yang diberikan kepada negara c.q. pemerintah, meliputi pula kewenangan pengelolaan lahan di wilayah perairan pesisir dan laut, yang kemudian dikenal sebagai “marine cadastre” atau Kadaster Kelautan; dan • Pasal 4 Huruf C UU No. 24 Tahun 1992 juncto Pasal 1 Angka 12 PP No. 69 Tahun 1996 tentang Hak Atas Ruang, yaitu ak-hak yang diberikan atas pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang 100 udara, serta Hak Atas Pemanfaatan Ruang Lautan, yakni hak untuk memiliki, menempati, melakukan kegiatan dalam satuan ruang, misalnya rumah terapung, kota terapung dan atau di dalam laut, ruang pariwisata bahari, taman laut, ruang angkutan laut, eksploitasi sumberdaya laut, perikanan tangkap, penambangan lepas pantai, dan sebagainya; • Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, sebagaimana diatur dalamPasal 16 ayat 2; Pasal 47 dan Pasal 48 UUPA 1960 dan Hak Guna Perairan sebagaimana telah disebut dalam Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Penggunaan ruang perairan pesisir dan laut yang dikenal saat ini telah berkembang dalam berbagai bentuk, misalnya untuk penggunaan sebagai: terowongan bawah laut, lintasan kabel bawah laut, jembatan, budi daya sumberdaya perikanan seperti keramba ikan dan bagan ikan, pengeboran minyak lepas pantai rig, restoran terapung, rumah-rumah di atas laut dangkal, dan lain sebagainya termasuk penggunaan ruang laut untuk zona atau kawasan lindung laut, zona terumbu karang, zona perikanan tangkap, dan zona hak ulayat laut masyarakat adat nelayan. Bahkan zonasi lintasan-lintasan kapal dalam areal pelabuhan juga termasuk dalam rezim penggunaan ruang laut. Semua penggunaan ruang perairan pesisir dan laut sebagaimana disebutkan di atas perlu pengaturan yang jelas serta perlu jaminan kepastian hukum dan dan perlindungan hukum atas hak guna ruangnya, yaitu dalam kerangka pelaksanaan konsep “marine cadastre”. Sebagaimana telah dikemukana dalam bab tinjauan pustaka, obyek “marine cadastre” dalam perspektif hukum agraria Indonesia harus dapat dibedakan antara ruang lahan perairan pesisir dan ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah: • Ruang perairan pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan fragile, baik ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem merupakan wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktivitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut, maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosial-ekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan penguasaan, 101 pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah land tenureships daratan pesisir; • Ruang perairan pesisir merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu tenureship system lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau karakteristik tenureships daratan land- based tenure maupun ruang laut sea-based tenure secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UUPA,yaitu: o Hak Milik HM dan Hak Guna Bangunan HGB: untuk rumah dan permukiman contoh rumah-rumah pelantar di Kota Tanjungpinang, Kota Balikpapan, dan sebagainya, hotel dan resort, jasa-jasa pesisir dan kelautan seperti: pelabuhan, dermaga, tempat pelelangan ikan TPI, dan lain sebagainya; o Hak Pengelolaan HPL untuk Pemerintah dan Daerah; o Hak Ulayat Laut HUL untuk masyarakat hukum adat di wilayah pesisir; o Hak Guna Usaha HGU untuk perseorangan serta badan hukum publik dan privat perlu redefinisi HGU untuk tidak hanya atas tanah namun juga atas ruang perairan pesisir dan laut, mengingat definisi “pertanian” dalam arti luas meliputi juga pertanian laut, yaitu perikanan budidaya dan akuakultur lainnya; o Hak Pakai HP untuk perseorangan serta badan hukum publik dan privat. • Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial, di lain pihak, umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan; Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk konstruksi pengeboran minyak lepas pantai rigs dan bagan-bagan ikan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan. b. Sebanyak 75 responden berpendapat bahwa peraturan perundang- undangan dimaksud pada butir a belum ada, sementara 20 menjawab tidak tahu, sedangkan 5 menjawab sudah ada peraturannya, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; c. Peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan itu adalah: undang- undang 40, peraturan pemerintah 40, dan peraturan daerah 20;

d. Konsep “persil” laut: