5. ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG
5.1. Analisis Data Spasial Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut 5.1.1 Identifikasi Situasi Masalah
Telah terindikasikan di dalam uraian latar belakang masalah penelitian, bahwa dalam kenyataan di lapangan dijumpai berbagai masalah berkenan dengan
rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang wilayah. Masalah-masalah dimaksud adalah sebagai berikut:
1 Masalah Substansi: a. Belum terakomodasinya aspek tata ruang laut dan udara dalam suatu
kesatuan wilayah yang menyeluruh dan terpadu; b. Orientasi pembangunan masih ke arah daratan padahal potensi kelautan
sangat signifikan, di samping pula karakteristik kepulauan di sini menunjukkan dominasi masyarakat bahari;
c. Belum adanya rencana detil rinci tata ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, termasuk belum terintegrasinya sistem penataan ruang terhadap
kondisi eksisting pembangunan di kawasan ruang laut, pesisir, dan pulau- pulau kecil;
2 Masalah Legal: Berdasarkan hasil-hasil wawancara, kuesioner, dan pendataan di lokasi
penelitian, ditemukan kenyataan bahwa RUTR Rencana Umum Tata Ruang baik Kota Tanjungpinang maupun Kabupaten Kepulauan Riau, sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang: a. Belum pernah dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah PERDA, bentuk
RUTR hingga saat penelitian ini masih dalam buku rencana yang diterbitkan oleh Bappeda masing-masing;
b. Setiap tahun selalu dilakukan revisi buku rencana sehingga tidak ada
kepastian tentang perencanaan maupun pemanfaatan ruang termasuk pula tidak jelas apa ukuran atau kriteria keberhasilan dari rencana pemanfaatan
ruang.
76 Pada masa lalu, yaitu dalam periode 1990 - 2001 di mana ke dua daerah
ini masih menjadi wilayah Provinsi Riau, RUTR untuk kedua daerah ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: KPTS.594XI1990
tanggal 26 November 1990 tentang Rencana Umum Tata Ruang Pulau Bintan Kabupaten Kepulauan Riau.
3 Masalah Pemanfaatan Ruang dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Masalah pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut umumnya
adalah sebagai berikut: a. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia;
b. Belum optimalnya peraturan dan penegakan hukum; c. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya;
d. Degradasi habitat wilayah pesisir; e. Potensi dan obyek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal;
f. Pencemaran wilayah pesisir; g. Kerusakan hutan, taman nasional, dan cagar alam laut;
h. Masih tingginya jumlah masyarakat miskin dan keluarga tidak mampu Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a.
5.1.2 Kondisi Eksisting: Struktur dan Fungsi ABC A-bitotic, Biotic, Culture
Aktifitas pertama, identifikasi struktur dan fungsi ABC non-hayati, hayati, dan budidaya wilayah penelitian pada kondisi eksisting adalah sebagai berikut:
1 Iklim, Sebaran Pulau-Pulau Kecil, dan Kondisi Oseanografis A-biotic Sebagaimana umumnya daerah kepulauan di Indonesia, iklim di sini
adalah iklim tropis dengan temperatur rata-rata terendah 22.5
o
Celcius dan tertinggi 31,8
o
Celcius dengan kelembaban udara sekitar 83 - 89. Curah hujan cukup tinggi yaitu rata-rata antara 2 000 – 2 500 mm per tahun, di mana
musim hujan umumnya jatuh pada bulan November hingga bulan April, sedangkan musim kering umumnya dimulai sejak bulan Juli hingga Oktober.
Pada bulan Desember – Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni – Agustus bertiup angin selatan, dan
77 September – November berhembus angin barat Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Riau, 2005a. Pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bintan tersebar dalam beberapa
wilayah kecamatan dan berjumlah 120 pulau, namun 75 pulau di antaranya tidak atau belum berpenghuni. Di antara pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan adalah: pulau-pulau Lobam, Penghujan, Penyengat, Dompak, Mantang, Kelong, Buton, Poto, Pangil Besar, dan pulau Mapur. Pulau Lobam
di wilayah Kecamatan Teluk Bintan terdapat kegiatan industri eksisting, sedangkan pulau Mapur di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dikembangkan
menjadi kawasan wisata yang cukup menarik. Secara umum pada perairan Kepulauan Riau, populasi dan migrasi ikan
berkaitan dengan pergerakan air Laut Cina Selatan yang dipengaruhi oleh massa air di utara dan selatannya. Pada perairan pulau Bintan arus air laut
tersebut bergerak dari arah utara ke selatan pada bulan Februari dengan kecepatan mencapai 1 knot 0.5 mdetik memindahkan massa air sekitar 24
mil dalam sehari, dan sebaliknya dari arah selatan ke utara pada bulan Agustus dengan kecepatan yang relatif sama.
Tinggi pasang surut tidal range rata-rata berkisar antara 0.8 – 1.8 meter, meskipun tercatat pada beberapa wilayah khususnya wilayah yang
berhadapan langsung dengan Laut China Selatan pasang tertinggi dapat mencapai 2.2 meter dan terendah 0.4 meter. Nilai pH perairan pulau Bintan
pada bulan Juli tercatat antara 7.5 – 8.6 dengan rata-rata = 8.4 sedangkan pada bulan November mencapai = 8.3 rata-rata. Kisaran pH normal adalah 8.0
dengan demikian pH perairan laut pulau Bintan ini termasuk normal untuk air laut dengan kecenderungan agak didominasi oleh kation basa DJP3K – DKP,
2005. 2 Flora dan Fauna Daratan serta Biologi Perairan Biotic
Jenis flora di daratan yang menonjol adalah meranti, kulim, punak, sungkai, jelutung, medang, dan sebagainya yang umunya terdapat di dalam
hutan dan belukar. Tanaman lain yang merupakan tanaman budidaya adalah kelapa, sawit, karet, cokelat, gambir, cempedak, durian, cengkeh, dan tanaman
biji-bijian lainnya. Populasi hewan khususnya hewan ternak didominasi oleh
78 sapi, kambing, dan jenis unggas seperti ayam baik ayam ras maupun bukan
ras, serta itik. Sementara itu ternak kerbau tidak cukup banyak jumlahnya. Biologi perairan pulau Bintan antara lain dihuni oleh berbagai jenis
fitoplankton, benthos, ekosistem bakau, terumbu karang, dan padang lamun serta rumput laut. Jenis fitoplankton yang ditemukan umumnya terdiri dari 3
kelas, yaitu kelas Cyanophyceae 2 genera, kelas Bacillariophyceae 20 genera, dan kelas Dianophyceae 4 genera. Sedangkan jenis benthos yang
terdapat di perairan laut pulau Bintan adalah jenis Polychaeta 46 genera, Echinodermata 4 genera, dan jenis Pelecypoda 2 genera, sedangkan jenis-
jenis lainnya ditemukan tersebar dalam 1 genera. Selanjutnya, ekosistem mangrove yang ditemukan di daerah ini adalah
jenis bakau Rhizophora stylosa dan Rhizophora alba, bakau merah Rhizophora apiculata, api-api Avicennia alba, pedada Sonneratia alba,
dudukan Lumnitzera littorea, buta-buta Excacaera agallacha, bakau putih Rhizophora mucronata dan nyirih Xylocarpus granatum, serta tanjang
Bruguiera cylindrica. Ketinggian bakau di sini berkisar 3.5 meter karena terus dieksploitasi untuk bahan baku arang dan kayu api serta
pengalihgunaan lahan menjadi dermaga atau tempat pembuatan kapal. Ekosistem bakau tumbuh pada substrat tanah di atas hamparan terumbu
karang yang sudah tertutupi oleh endapan lumpur berpasir. Sedangkan ekosistem bakau di daerah muara sungai di sepanjang pesisir pulau Bintan
tumbuh pada substrat tanah lumpur yang berasal dari daerah aliran sungai. Luas hutan mangrove di Pulau Bintan tercatat sekitar 14 521 hektar.
Ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Bintan berbeda pada masing-masing lokasi akibat pengaruh berbagai faktor, seperti: arus air laut,
penetrasi cahaya, partikel sedimen yang tersuspensi, topografi, dan substrat tempat tumbuh terumbu karang, serta aktivitas nelayan dan penduduk sekitar
pantai. Sebagian besar yang ditemukan adalah terdiri dari: Acropora, Asteriopora, Favia, Favites, Galaxea, Goniastrea, Heliopora, Millepora,
Montipora, Pavona, Platygyra, Polillopora, Porites, dan Psammocor. Luas terumbu karang di Pulau Bintan tercatat sekitar 17 100 hektar DJP3K – DKP,
2005; Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005b.
79 3 Potensi dan Budidaya Kelautan Culture
Potensi kelautan di sekitar Pulau Bintan sangat bernilai, yang dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu a potensi sumberdaya ikan, b
sumberdaya non-ikan, c potensi pengembangan budidaya laut, d potensi sumberdaya alam pesisir dan kelautan, dan e potensi jalur perlayaran dan
perdagangan. Pertama, potensi sumberdaya ikan utama di sini adalah: a jenis ikan
pelagis seperti tongkol, tenggiri, parang, kembung, layang dan sebagainya dengan rata-rata kepadatan ikan berkisar antara 300 – 3 300 kgkm2; b jenis
ikan demersal, namun jumlahnya tidak signifikan di perairan laut pulau Bintan; dan c jenis ikan karang seperti ikan karang konsumsi dan ikan hias
cukup potensial. Selanjutnya kedua, potensi sumberdaya non-ikan didominasi oleh: a
udang dengan kepadatan 0.20 tonkm2; b lobster dengan kepadatan 1.34 tonkm2; c kepiting dan tripang; d rumput laut; e moluska binatang
lunak seperti: cumi-cumi, sotong, gurita, siput jenis gonggong dan jari-jari, kerang-kerangan khususnya tiram; dan f penyu hijau.
Ketiga, potensi pengembangan budidaya laut di sini meliputi: a budidaya ikan dengan keramba jaring apung floating net dan keramba tancap
pen cage culture meliputi jenis ikan kerapu sunuk, kerapu tikus, ketarap, dan ikan lebam; b budidaya rumput laut; dan c budidaya kerang-kerangan.
Beberapa wilayah perairan pesisir mempunyai potensi untuk pengembangan usaha budidaya ikan, yaitu daerah Pulau Mantang, Pulau Serai, Selat Gin dan
Numbing, Siulung, Telang, Kelong, Pulau Ajap dan Ngalih, Pulau Bunut dan Pulau Dendun di wilayah Kecamatan Bintan Timur dan Gunung Kijang.
Demikian pula adanya potensi pengembangan di beberapa wilayah di Kecamatan Tanjung Pinang seperti: Selat Dompak, Selat Air Raya, Sei Jang,
Kampung Lama, Kampung Kelam Pagi dan Pulau Los, termasuk pula Pulau Penghujan di Teluk Bintan.
Keempat, potensi sumberdaya alam pesisir dan kelautan di sekitar Pulau Bintan utamanya adalah ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun
dan rumput laut. Populasi mangrove di sini umumnya berada pada daerah-
80 daerah muara sungai estuaria, daerah pantai tertutup, dan pantai berbatu pada
pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, kondisi terumbu karang di sini masuk kategori sedang dan buruk sekitar 74, namun di wilayah Kecamatan Bintan
Utara sekitar 91 terumbu karang dalam kondisi buruk dan sedang. Sedangkan distribusi padang lamun di wilayah peariran Pulau Bintan terdapat
di Pulau Buton, Poto, Terkulai, Penghujan, Dompak, dan bagian utara dan timur Pulau Bintan, namun tidak cukup signifikan.
Akhirnya kelima, potensi jalur perlayaran dan perdagangan di perairan sekitar Pulau Bintan merupakan potensi sumberdaya yang signifikan pula.
Perairan bagian utara Pulau Bintan merupakan alur perlayaran dan perdagangan internasional yang menghubungkan dua lautan, yaitu Lautan
Pasifik dan Lautan Hindia. Perairan laut Pulau Bintan di samping merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI, juga merupakan jalur perlayaran
wisata dari Singapura dan Malaysia ke obyek-obyek wisata di Kepulauan Riau.
Secara keseluruhan sebaran komponen-komponen non-hayati A-biotic, hayati Biotic, dan budidaya Culture serta struktur dan fungsi wilayah dan
sumberdaya pesisir dan laut berdasarkan sebaran komponen-komponen ABC tersebut di Pulau Bintan dan sekitarnya tertuang dalam Gambar 20.
Selanjutnya. analisis data spasial berdasarkan data struktur dan fungsi ABC dilakukan pada tiga kawasan tumbuh cepat, yakni: Kecamatan Teluk Sebong dan
Bintan Utara, serta Kecamatan Bintan Timur. 1 Kawasan Tumbuh Cepat I: Kecamatan Teluk Sebong dan Bintan Utara
a. Fungsi non-hayati, terdiri dari informasi dalam bentuk kawasan: • Sebaran fungsi lindung sempadan pantai lindung utama, yaitu
daratan pantai sejauh 100 meter dari gari pantai ke arah darat dan perairan pantai sejauh 100 meter dari garis pantai ke arah laut. Daerah
ini selain berfungsi lindung sekaligus sebagai berfungsi penyangga, yaitu sebagai pelindung dan penyangga fisik pantai, estuari, laguna dan
pulau-pulau kecil dari kerusakan dan pencemaran serta berfungsi sebagai penjebak sedimen sediment trap dan penjaga kualitas massa
air;
81
Gambar 20. Sebaran komponen-komponen non-hayati, sumberdaya hayati dan budidaya manusia ABC: Abiotic, Biotic,
dan Culture pesisir dan laut di Pulau Bintan dan sekitarnya Peta Rupa Bumi Digital Bakosurtanal, 1999: Pemerintah Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a dan 2005b; software: MapInfo 7.0
U
۞
SKALA ORIGINAL
1 : 2.500.000
Ekosistem terumbu
karang Biotic Kegiatan eko-wisata Culture
Rencana kegiatan pengembangan budidaya
ikan Culture
Kegiatan wisata terpadu
Culture
Ekosistem mangrove
Biotic
Ekosistem mangrove
Biotic
Sebaran deposit pasir laut Abiotic
Sebaran deposit pasir laut Abiotic
82 • Sebaran fungsi ekosistem lindung laut lokal, yaitu fisik perairan laut
sejauh 100 – 2 500 meter ke arah laut dari fungsi lindung utama sempadan pantai. Fungsi kawasan ini adalah untuk membatasi dan
mengendalikan aktivitas manusia agar tidak berdampak negatif terhadap kawasan lindung utama;
b. Fungsi hayati, terdiri dari informasi dalam bentuk: • Sebaran ekosistem terumbu karang pada lokasi-lokasi tertentu
berfungsi sebagai produsen organik yang tinggi, karena kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai
“kolam” untuk menampung segala masukan dari luar. Terumbu karang kaya akan keragaman spesies penghuninya karena variasi
habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang berfungsi sebagai lokasi wisata bawah laut yang sangat indah dan tempat berkembang-
biaknya ikan-ikan hias yang merupakan komoditas ekspor selain untuk pasar dalam negeri;
• Sebaran ekosistem mangrove pada lokasi-lokasi tertentu berfungsi sebagai lokasi pemijahan spawning ground dan lokasi pembesaran
nursery ground bagi berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi;
• Sebaran populasi ikan tangkap pada lokasi-lokasi tertentu yang dipetakan berdasarkan kebiasaan penangkapan ikan oleh nelayan dan
prediksi Dinas Perikanan dan Kelautan. Lokasi-lokasi ini berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan bagi para nelayan;
c. Fungsi budidaya merupakan arena kegiatan manusia dalam bentuk: c.1. Pengembangan wisata, terdiri dari:
• Wisata eksisting di daerah wisata terpadu Bintan Resort dan pantai Lagoi yang terkenal di dunia pariwisata internasional,
tidak hanya untuk wisatawan asal Singapura dan Malaysia, namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat.
Kawasan wisata terpadu ini termasuk dalam Indonesia–Malaysia–Singapore
Golden Triangle IMSGT atau daerah pengembangan SIJORI Singapore–Johor–Riau. Kawasan Pariwisata Terpadu KPT
83 seluas 23 000 Ha. dengan rincian 10 000 Ha. untuk wisata hotel,
kondominium, villa, dan 13 000 Ha. untuk area penyangga; • Pengembangan eko-wisata di Teluk Bintan;
c.2. Pengembangan fasilitas perikanan tangkap dan budidaya yang letaknya berdampingan dengan lokasi pengembangan eko-wisata di
kawasan Teluk Bintan; 2 Kawasan Tumbuh Cepat II: Kecamatan Bintan Timur
Demikian pula halnya di wilayah Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau, secara prinsip tidak ada perbedaan struktur dan fungsi ABC di
wilayah ini, kecuali letak penyebarannya. Berbeda dengan perkembangan di bagian lain wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, maka di Kecamatan Bintan
Timur tepatnya di ibukota kecamatan Kijang terdapat pusat kegiatan administrasi penambangan bauksit sejak era penjajahan Belanda yang sekarang dikelola oleh
PT. ANTAM Tbk. Selanjutnya, aktivitas kedua dari prosedur ABC Resource Survey Method
adalah menentukan faktor-faktor signifikan dan faktor-faktor kendala berdasarkan informasi struktur dan fungsi komponen-komponen ABC yang baru saja
dilakukan pemetaannya. Aktivitas kedua ini digunakan untuk menginterpretasikan keunggulan dan keterbatasan sosio-ekonomi lingkungan
wilayah penelitian. Hasil interpretasi ini dituangkan di atas dua set peta layer yang diekstrak dari kombinasi aspek-aspek ekologi yaitu, keanekaragaman flora
dan fauna, komunitas, manfaat ekologis dan bahaya ekologis, kondisi relatif seperti keunikan abiotik, kelangkaan spesies, dan kelangkaan abiotik, serta nilai
bagi manusia seperti nilai ekonomi dan nilai rekreasi. Setiap data abiotik, biotik, dan budidaya di wilayah pesisir dan lautan
diperoleh dari hasil pendataan lapangan dan dipetakan ke dalam zona-zona
wilayah sesuai dengan potensi, kendala, serta tujuan pemanfaatan ruangnya.
Dengan demikian didapatkan beberapa zona, seperti zona sempadan pantai, zona lindung laut zona penyangga, zona ikan tangkap, zona terumbu karang, zona
mangrove, zona wisata, zona industri, zona pengembangan perikanan tangkap, zona pengembangan perikanan budidaya, dan lain sebagainya.
84 Perihal pengertian “signifikan” dan “kendala” dalam zonasi perwilayahan
ruang pesisir dan laut metode ABC ini amat tergantung dari tujuan dan sudut pandang pengambil keputusan. Sebagai contoh, zona penambangan pasir laut di
sekitar pulau Terkulai pada muara Teluk Bintan, dari sudut pandang dan tujuan ekonomi pasar maka penambangan pasir ini akan menghasilkan devisa dan
peningkatan PAD. Namun dari sudut pandang lingkungan kegiatan ini akan berdampak merugikan, yaitu: kerusakan ekosistem air laut seperti: tingkat
kekeruhan air, kematian biota laut, pergerakan top soil permukaan dasar laut yang ditambang, konflik jalur perlayaran dengan aktivitas penambangan, dan
sebagainya. Potensi yang menonjol di wilayah ini yang membedakan dengan kedua
wilayah sebelumnya adalah potensi pengembangan perikanan laut maupun perikanan budidaya, yang digambarkan dalam zona-zona pengembangan
perikanan laut. Perkembangan perlayaran antar pulau di sini telah berlangsung lama sejak kegiatan penambangan bauksit, sehingga alur perlayaran telah lama
terbuka ke tujuan Jakarta dan Bangka serta wilayah lain di Kepulauan Riau yaitu Pulau Tembelan.
Akhirnya, aktivitas ketiga dari prosedur ABC Resource Survey Method adalah merangkum atau mengintegrasikan seluruh data dan informasi, termasuk
pula merelasikan seluruh zona-zona kendala dan signifikan, untuk menentukan indikator-indikator utama isu-isu manajemen dan pemanfaatan ruang pesisir dan
laut pada obyek penelitian.
5.2. Analisis Prioritasi dan Realisasi Kebijakan dan Program Pemanfaatan Ruang Pesisisr dan Laut
1 M-AHP Untuk Monitoring
Idealnya, tolak ukur atau kriteria yang digunakan dalam tahapan ini adalah faktor-faktor: fisik, keuangan, dan permasalahan kendala lapangan. Namun
karena perihal keuangan sangat sulit diakses dalam penelitian ini di samping pula program penataan ruang bukanlah suatu program proyek dengan alokasi anggaran
dan tertentu, maka kriteria pemantauan yang digunakan adalah: realisasi fisik tata
85 ruang, kepatuhan konsistensi pemanfaatan ruang sesuai tata ruang, ada tidaknya
masalah hukum, dan ada tidaknya masalah teknis-administrasi. Kuesioner disusun berdasarkan analisis dengan menggunakan
penjenjangan sesuai tahapan pada gambar dalam Bab 3. Kuesioner ini didesain dalam bentuk matriks untuk pengisian skala Saaty. Setiap pengisian sel dalam
matriks diisi dengan angka skala Saaty yang merupakan hasil diskusi dari para responden, umumnya terdiri dari lima sampai delapan orang responden, yaitu para
pejabat eselon yang berada dalam suatu instansi. Sebelum pengisian kuesioner selalu diawali dengan wawancara oleh peneliti dengan para responden.
Kelompok-kelompok responden umumnya terdiri dari 5 – 8 orang pejabat dan staf instansi Pemerintah Daerah, Kecamatan dan Desa. Masing-masing
kelompok melakukan diskusi terlebih dulu sebelum “sepakat” untuk mengisikan nilai atau skor yang mereka anggap benar. Mekanisme ini telah sesuai dengan
prosedur pemilihan alternatif kebijakan berdasarkan prinsip sistem pakar expert choice. Selanjutnya, distribusi skor dimaksud dapat digambarkan dalam bentuk
diagram balok sebagai berikut Gambar 21:
0,2 0,4
0,6 0,8
R1 R2
R3 R4
R5 R6
R7 R8
Target Fisik Pemanfaatan Ruang
Kepatuhan Pemanfaatan Ruang
Ada-Tidaknya Masalah
Gambar 21. Diagram balok distribusi skor tiga kriteria program pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari hasil wawancara dan pengisian
kuesioner Kabupaten Kepulauan Riau.
Hasil-hasil pengisian kuesioner kemudian dituangkan dalam tabel dengan bentuk nilai rata-rata bobot suatu program sebagaimana tertuang dalam Tabel 4.
Angka-angka tersebut di atas diperoleh dari hasil bobot terhitung yang diambil dari nilai rata-rata hasil wawancara dan pengisian kuesioner dari data
sebagaimana tertuang dalam Tabel 5 berikut ini:
Skor: 0 – 1.0 R = Kelompok Responden
86 Tabel 4. Bobot dan prioritasi kriteria penyimpangan suatu program pemanfaatan
ruang Kabupaten Kepulauan Riau sumber: hasil kuesioner dan wawancara.
No. Kriteria Bobot
Prioritas 1
Pencapaian target fisik penataan ruang 0.137
P
3
2 Kepatuhan pemanfaatan ruang sesuai rencana
tata ruang 0.517 P
1
3 Ada tidaknya
permasalahan 0.346
P
2
CR Consistency Ratio rata-rata = 0.016 di mana CR 0.1 adalah tidak konsisten
Tabel 5. Distribusi skor tiga kriteria program pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner Kabupaten Kepulauan
Riau serta hasil hitungan Descriptive Statistics program Microsoft Excel
©
Kelompok Responden TargetFisik
Kepatuhan TataRuang
Penangan Masalah
Consistency Ratio
1 0.106 0.633
0.261 0.033
2 0.143 0.429
0.429 0.0
3 0.143 0.429
0.429 0.0
4 0.106 0.633
0.261 0.025
5 0.134 0.120
0.746 0.011
6 0.158 0.656
0.187 0.025
7 0.106 0.633
0.261 0.033
8 0.200 0.600
0.200 0.0
TargetFisik Kepatuhan
TataRuang Penanganan
Masalah Mean
0.137 0.517
0.346 Standard Error
0.011 0.065 0.066
Median 0.139 0.617
0.260 Standard Deviation
0.032 0.185
0.186 Sample Variance
0.001 0.034 0.035
Range 0.094 0.535
0.559 Minimum
0.106 0.120 0.187
Maximum 0.200 0.656
0.746 Sum
1.097 4.133 2.771
Count 8 8
8 Confidence Level 95.0
0.027 0.155 0.155
Kedua tabel, yaitu Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa data hasil kuesioner yang merupakan pendapat para responden menurut analisis AHP adalah
konsisten dan menurut Descriptive Statistics sebaran data hasil hitungan program Microsoft Excel
©
adalah baik, yaitu:
87 a. Rasio konsistensi CR M-AHP baik secara individual, yaitu: 0.033; 0; 0;
0.025; 0.011; 0.025; 0.033; dan 0 maupun dengan rata-rata CR = 0.016 adalah lebih kecil atau 0.1 konsisten; dan
b. Karakteristik data yang dicerminkan dalam informasi sederhana tetapi memiliki pengertian yang dapat menjelaskan data secara keseluruhan . Dalam
statistika kecukupan statistik ini dapat diperoleh dari ukuran pemusatan dan ukuran penyebaran Mattjik dan Sumertajaya, 2002. Dari hasil hitungan
“descriptive statistics” dapat dihitung koefisien keragaman sebagai berikut: • Koefisen keragaman untuk data “Pencapaian Target Fisik” adalah
Simpangan Baku : Nilai Tengah Rataan = 0.0320.137 = 0.236; • Koefisen keragaman untuk data “Kepatuhan Tata Ruang” adalah =
0.1850.517 = 0.358; • Koefisen keragaman untuk data “Penanganan Masalah” adalah = 0.186
0.346 = 0.537; Koefisien keragaman tersebut baik menurut kaidah statistik karena 0.5,
kecuali koefisien yang terakhir berada sedikit di atas 0.5 yakni 0.537. Data hasil kuesioner ini kemudian direlasikan dengan program-program
pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Riau tahun 2004. Perlu mendapat perhatian bahwa program pemanfaatan ruang, khususnya ruang pesisir
dan laut, bukan merupakan suatu program dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang secara khusus dianggarkan. Program-program ini muncul
atau menyatu dalam program dan proyek lintas dinas, badan, dan kantor di lingkungan pemerintah daerah. Dari buku Laporan Pertanggungjawaban LPJ
Akhir Tahun Anggaran Kepala Daerah Tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau didapat data sebagaimana tertuang dalam Tabel 6.
Tabel menunjukkan bahwa skor realisasi program pemanfaatan ruang hanya 0.207 atau 20.7. Kondisi ini dapat dikategorikan bahwa program pemanfaatan
ruang pesisir dan laut masih “belum memadai” atau “tidak sesuai” dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kepulauan Riau. Namun demikian, untuk mengidentifikasi besarnya penyimpangan baik secara spasial maupun berdasarkan indikator program, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan dengan metode atau pendekatan lain.
88 Penilaian ini hanya didasarkan kepada “konsistensi” prioritasi kebijakan yang
dikontrol silang dengan “realisasi” program dan kegiatan pada tahun amatan. Tabel 6. Hubungan antara prioritasi program pemanfaatan ruang dengan realisasi
program pembangunan sumber: Pemerintah Kabupeten Kepulauan Riau, 2005
No. Kriteria Bobot Prioritas
ProgramKegiatan Pembangunan
Realisasi Skor Realisasi
1 Pencapaian target
fisik penataan ruang 0.137 P
3
Tidak ada dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
2 Kepatuhan pemanfaatan ruang
sesuai rencana tata ruang
0.517 P
1
Pengendalian pemanfaatan ruang
laut Bappeda Kab. Kepri
40 0.207
3 Ada tidaknya
permasalahan 0.346 P
2
Tidak ada dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
∑ bobotskor 1
0.207
Kategori pelaksanaan program dan kegiatan dalam M-AHP monitoring ditetapkan sebagai berikut:
a Nilai kurang dari 0.50 = tidak sesuai menyimpang b Nilai antara 0.51 – 0.60 = kurang memadai
c Nilai antara 0.61 – 0.70 = cukup memadai d Nilai antara 0.71 – 0.80 = sesuai dengan rencana
e Nilai 0.80 = sangat sesuai dengan rencana
2 M-AHP Untuk Evaluasi
Pembobotan atau prioritasi setiap indikator keberhasilan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dapat dilakukan melalui analisis M-AHP. Indikator keberhasilan
tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok kriteria sosial ekonomi dan kelompok kriteria penanganan konflik sumberdaya dan ekosistem lingkungan
hidup. Diperoleh dari hasil kuesioner dan wawancara selama penelitian, maka
tersusunlah prioritasi dan bobot masing-masing kriteria aspek pertama, yaitu aspek sosial ekonomi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan
sebagaimana tertuang dalam Tabel 7 dan diilustrasikan dalam Gambar 22. Seperti
89 halnya pada program pemanfaatan ruang, maka penilaian ini hanya didasarkan
kepada “konsistensi” prioritasi kebijakan yang dikontrol silang dengan “realisasi” program dan kegiatan pada tahun amatan.
Tabel 7. Bobot dan prioritasi aspek sosial-ekonomi program pemanfaatan ruang Kabupaten Kepulauan Riau sumber: hasil kuesioner dan wawancara
No. Kriteria Bobot
Prioritas 1 Peningkatan
penerimaan PAD
0.119 P
5
2 Peningkatan investasi dan atau penerimaan
devisa 0.177 P
4
3 Peningkatan penyerapan tenaga kerja
0.262 P
1
4 Peningkatan pendapatan
masyarakat setempat
0.238 P
2
5 Peningkatan kesempatan berusaha
0.205 P
3
CR rata-rata = 0.054 di mana CR 0.1 adalah tidak konsisten
0,1 0,2
0,3 0,4
R1 R2
R3 R4
R5 R6
R7 R8
Peningkatan PAD Peningkatan Investasi
Penyerapan Tenaga Kerja Peningkatan Pendapatan Masyarakat
Peningkatan Kesempatan Berusaha
Gambar 22. Diagram balok distribusi kelima skor kriteria aspek sosial-ekonomi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut Kabupaten Kepulauan
Riau dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner.
Selanjutnya ditabulasikan distribusi kelima skor kriteria aspek sosial- ekonomi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut tersebut, dan diperiksa hasil
hitungan Descriptive Statistics untuk masing-masing kriteria, sebagaimana tertuang dalam Tabel 8 berikut ini.
Kedua tabel tersebut, yaitu Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa data hasil kuesioner yang merupakan pendapat para responden menurut analisis AHP
adalah konsisten dan menurut Descriptive Statistics sebaran data hasil hitungan program Microsoft Excel
©
adalah baik, yaitu:
Skor: 0 – 1.0 R = Kelompok Responden
90
Tabel 8. Distribusi kelima skor kriteria aspek sosial-ekonomi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut Kabupaten Kepulauan Riau dari
hasil wawancara dan pengisian kuesioner berikut hasil hitungan Descriptive Statitistics program Microsoft Excel
©
KelResp PAD Investasi Naker Pendapatan KesUsaha CR
1 0.066 0.147 0.296 0.269 0.221 0.041 2 0.066 0.147 0.296 0.269 0.221 0.069
3 0.072 0.228 0.243 0.228 0.228 0.002 4 0.104 0.233 0.233 0.197 0.233 0.034
5 0.104 0.233 0.233 0.197 0.233 0.094 6 0.255 0.036 0.227 0.241 0.241 0.006
7 0.097 0.104 0.323 0.287 0.189 0.089 8 0.190 0.284 0.241 0.214 0.171 0.099
PAD Investasi Naker Pendapatan KesUsaha Mean
0.119 0.177
0.262 0.238
0.217 Standard Error
0.024 0.029 0.013 0.012 0.009
Median 0.101 0.188 0.242 0.235
0.225 Standard Deviation
0.068 0.082
0.037 0.035
0.024 Sample Variance
0.005 0.007 0.001 0.001 0.001
Range 0.189 0.249 0.096 0.090
0.070 Minimum
0.066 0.036 0.227 0.197 0.171
Maximum 0.255 0.284 0.323 0.287
0.241 Sum
0,955 1.413 2.092 1.902 1.738
Count 8 8 8 8
8 Confidence Level 95.0
0.055 0.069 0.031 0.029 0.020
a. Rasio konsistensi CR M-AHP baik secara individual, yaitu: 0.041; 0.069; 0.002; 0.034; 0.094; 0.006; 0.090; dan 0.099 maupun dengan rata-rata CR =
0.054 adalah lebih kecil atau 0.1 konsisten; dan b. Dari hasil hitungan “descriptive statistics” dapat dihitung koefisien keragaman
sebagai berikut: • Koefisen keragaman untuk data “Peningkatan PAD” adalah Simpangan
Baku : Nilai Tengah Rataan = 0.0680.119 = 0.568; • Koefisen keragaman untuk data “Peningkatan Investasi” adalah =
0.0820.177 = 0.466; • Koefisen keragaman untuk data “Penyerapan Tenaga Kerja” adalah =
0.037 0.261 = 0.143; • Koefisen keragaman untuk data “Peningkatan Pendapatan Masyarakat”
adalah = 0.035 0.238 = 0.146;
91 • Koefisen keragaman untuk data “Peningkatan Kesempatan Berusaha”
adalah = 0.024 0.217 = 0.112; Seluruh koefisien keragaman tersebut “baik” menurut kaidah statistik karena
nilainya 0.5, kecuali koefisien yang pertama berada sedikit di atas 0.5 yakni 0.568.
Data hasil kuesioner ini kemudian direlasikan dengan program-program pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Riau tahun 2004. Dari
buku Laporan Pertanggungjawaban LPJ Akhir Tahun Anggaran Kepala Daerah Tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, telah dilakukan penelusuran
setiap program dan kegiatan yang berkaitan dengan kriteria dampak sosial- ekonomi pemanfaatan ruang pesisir dan laut, sehingga didapatkan data
sebagaimana tertuang dalam Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Relasi antara prioritasi kriteria aspek sosial-ekonomi pemanfaatan ruang
pesisir dan laut dengan realisasi program pembangunan sumber: hasil analisis dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005
No. Kriteria Bobot Prioritas
ProgramKegiatan Pembangunan
Realisasi Skor
Realisasi 1 Peningkatan
penerimaan PAD sektor pesisir dan
kelautan 0.119 P
5
Tidak ada dalam programkegiatan Pemda Kepri
0 0 2 Pningkatan
investasi dan atau penerimaan
devisa 0.177 P
4
a. Penataan dan peningkatan sarana peranginan pantai
wisata b. Penataan dan pembangunan
sarana dan prasarana obyek wisata pantai
85.67 100
0.164 ∑n=
92.83 3 Peningkatan
penyerapan tenaga kerja
0.261 P
1
Pembangunan pabrik es kapasitas 5 ton untuk usaha perikanan
0 0 4 Peningkatan
pendapatan masyarakat
setempat 0.238 P
2
a. Bantuan alat penangankapan ikan
b. Pendederan usaha budidaya perikanan laut
c. Bantuan modal usaha bagi 20 kelompok nelayanpelakun
perikanan d. Bantuan modal nelayan dan
petani ikan e. Pengembangan budidaya laut
100 98.70
77.32 75
66.18 0.198
∑n= 83.44
Peningkatan kesempatan
berusaha 0.205 P
3
a. Pembinaan teknis ekstensifikasi intensifikasi budidaya
perikanan b. Rangsangan pengembangan
tambak rakyat 76
98.73 0.203
∑n= 99.36
∑ bobotskor 1
0.566
92 Tingkat keberhasilan program ditetapkan sebagai berikut:
a Nilai kurang dari 0.50 = tidak berhasil b Nilai antara 0.51 – 0.60 = kurang berhasil
c Nilai antara 0.61 – 0.70 = cukup berhasil d Nilai antara 0.71 – 0.80 = berhasil
e Nilai 0.80 = sangat berhasil
Dengan demikian dalam tahapan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari kriteria dampak sosial-ekonomi di
Kabupaten Kepulauan Riau dapat ditarik simpulan sebagai berikut: a. Skor realisasi pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang pesisir
dan laut dari kriteria dampak sosial-ekonomi adalah 0.566 atau 56.6 yang berarti “kurang berhasil”;
b. Program dan kegiatan yang dilaksanakan dengan pembiayaan APBD tidak konsisten dengan atau tidak mendukung prioritasi kebijakan yang mereka
tetapkan; Peningkatan penyerapan tenaga kerja masyarakat pesisir dan kelautan merupakan prioritas pertama P
1
, namun dalam Renstra dan APBD Kabupaten Kepulauan Riau tidak muncul program dan kegiatan dimaksud.
Selanjutnya, kriteria kedua yaitu evaluasi pelaksanaan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dilakukan analisis yang sama dari hasil
kuesioner dan wawancara, yaitu terhadap kelompok kriteria aspek konflik sumberdaya dan ekosistem lingkungan hidup. Sama dengan metode yang telah
digunakan, maka penjenjangan hirarki disusun dalam tiga tingkatan, kemudian dari hirarki ini dapat dilakukan pembobotan atau prioritas kriteria pelaksanaan
suatu program, yaitu program penanganan konflik sumberdaya dan ekosistem dalam pemanfaatan ruang pesisir dan lautan.
Tabel 10. Bobot dan priorotasi aspek kriteria konflik sumberdaya dan ekosistem Kabupaten Kepulauan Riau
No. Kriteria Bobot
Prioritas 1
Penurunan pelanggaran pemanfaatan ruang dan SDKP sumberdaya kelautan dan perikanan
0.293 P
2
2 Penurunan konflik pemanfaatan ruang dan SDKP
0.153 P
4
3 Perbaikan ekosistem lingkungan hidup
0.261 P
3
4 Peningkatan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas
pemanfaatan ruang dan SDKP 0.293
P
1
CR rata-rata = 0.071 di mana CR 0.1 adalah tidak konsisten
93 Kuesioner juga disusun dalam matriks untuk pengisian pendapat para
responden dengan skala Saaty sebagaimana kedua kuesioner sebelumnya. Hasil- hasil pengisian kuesioner kemudian dituangkan dalam tabel dan grafik dengan
bentuk nilai rata-rata bobot suatu program lihat Tabel 11 dan Gambar 23.
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
R1 R2
R3 R4
R5 R6
R7 R8
Penurunan pelangaran Pengurangan konflik
Perbaikan ekosistem Peningkatan perlindungan hukum
Gambar 23. Diagram balok distribusi skor ke-empat aspek kriteria konflik sumberdaya dan ekosistem program pemanfaatan ruang Kabupaten
Kepulauan Riau
Hasil bobot terhitung tersebut di atas adalah diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner dari data, hitungan Descriptive Statistics untuk masing-
masing kriteria, sebagaimana tertuang dalam Tabel 11 berikut ini: Tabel 11.
Distribusi skor ke-empat aspek penanganan konflik sumberdaya dan ekosistem program pemanfaatan ruang berikut Descriptive Statistics
untuk masing-masing kriteria di Kabupaten Kepulauan Riau.
Kelompok Responden
Penurunan Pelanggaran
Pengurangan Konflik
Perbaikan Ekosistem
Peningkatan Perlindungan Hkm.
CR 1 0.472
0.088 0.199 0.241
0.099 2 0.472
0.088 0.199 0.241
0.099 3 0.242
0.192 0.325 0.242
0.057 4 0.472
0.088 0.199 0.241
0.043 5 0.242
0.192 0.325 0.242
0.057 6 0.144
0.244 0.306 0.306
0.058 7 0.120
0.157 0.299 0.424
0.099 8 0.177
0.177 0.240 0.406
0.057 HASIL M-AHP PRIORITASI PENANGAN MASALAH DAN KONFLIK
Pelanggaran Konflik
Ekosistem Hukum
Mean 0.293 0.153 0.261 0.292
Standard Error 0.055 0.021 0.021 0.028
Median 0.242 0.167 0.269 0.242
Standard Deviation 0.155 0.059 0.058 0.079
Sample Variance 0.024 0.004 0.003 0.006
Range 0.352 0.156 0.126 0.183
Sum 2.342 1.225 2.092 2.339
Count 8 8 8 8
Confidence Level 95.0 0.129 0.050 0.049 0.066
R = Kelompok Responden Skor: 0 – 1.0
94
Kedua tabel, yaitu Tabel 10 dan Tabel 11 menampakkan bahwa data hasil kuesioner yang merupakan pendapat para responden menurut analisis M-AHP
adalah konsisten dan menurut Descriptive Statistics sebaran data hasil hitungan program Microsoft Excel
©
adalah baik dapat dipercaya, yaitu: c. Rasio konsistensi CR M-AHP baik secara individual, yaitu: 0.099; 0.099;
0.057; 0.043; 0.057; 0.058; 0.099; dan 0.057 maupun dengan rata-rata CR = 0.071 adalah lebih kecil atau 0.1 konsisten; dan
d. Dari hasil hitungan “descriptive statistics” dapat dihitung koefisien keragaman sebagai berikut:
• Koefisen keragaman untuk data “Penurunan Pelanggaran” adalah Simpangan Baku : Nilai Tengah Rataan = 0.1550.293 = 0.528;
• Koefisen keragaman untuk data “Pengurangan Konflik” adalah = 0.0590.153 = 0.387;
• Koefisen keragaman untuk data “Perbaikan Ekosistem” adalah = 0.058 0.261 = 0.222;
• Koefisen keragaman untuk data “Peningkatan Perlindungan Hukum” adalah = 0.079 0.292 = 0.269;
Koefisien keragaman tersebut “baik” menurut kaidah statistik karena lebih kecil atau 0.5, kecuali koefisien yang pertama berada sedikit di atas 0.5
yakni 0.528. Selanjutnya, data hasil kuesioner ini kemudian direlasikan dengan program-
program pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Riau tahun 2004. Dari buku Laporan Pertanggung-Jawaban LPJ Akhir Tahun Anggaran
Kepala Daerah Tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau didapat data sebagai berikut Tabel 12:
Dengan demikian dalam tahapan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari penurunan konflik pemanfaatan ruang dan
SDKP di Kabupaten Kepulauan Riau dapat ditarik simpulan sebagai berikut: a. Skor realisasi pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang pesisir
dan laut dari penurunan konflik pemanfaatan ruang dan SDKP adalah 0.381 yang berarti “tidak berhasil”;
95 Tabel 12. Relasi antara prioritasi kriteria aspek konflik pemanfaatan ruang dan
SDKP dengan realisasi program pembangunan sumber: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005 dan data hasil kuesioner
No. Kriteria Bobot Prioritas
ProgramKegiatan Pembangunan
Realisasi Skor Realisasi
1 Penurunan pelanggaran
pemanfaatan ruang dan SDKP
0.293 P
2
Penyusunan tata ruang kelautan
79.12 0.232 2 Penurunan
konflik pemanfaatan ruang dan
SDKP 0.153 P
4
Tidak ada
dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
3 Perbaikan ekosistem
lingkungan hidup 0.261 P
3
a. Pendamping
rehabilitasi dan pengelolaan
terumbu karang b.
Pendamping program padang
lamun 20
94.26 0.149
∑n= 57.13
4 Peningkatan perlindungan hukum
terhadap hak-hak rakyat atas pemanfaatan ruang
dan SDKP 0.293
P
1
Tidak ada
dalam programkegiatan
Pemda Kepri 0 0
∑ bobotskor 1
0.381
b. Program dan kegiatan yang dilaksanakan dengan pembiayaan APBD tidak konsisten dengan atau tidak mendukung prioritasi kebijakan yang mereka
tetapkan berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dalam penelitian ini; Peningkatan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas pemanfaatan
ruang dan SDKP merupakan prioritas pertama P
1
, namun dalam Renstra dan APBD Kabupaten Kepulauan Riau tidak muncul program dan kegiatan
dimaksud.
5.3. Analisis Persepsional Konsep “Marine Cadastre”