76 Pada masa lalu, yaitu dalam periode 1990 - 2001 di mana ke dua daerah
ini masih menjadi wilayah Provinsi Riau, RUTR untuk kedua daerah ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: KPTS.594XI1990
tanggal 26 November 1990 tentang Rencana Umum Tata Ruang Pulau Bintan Kabupaten Kepulauan Riau.
3 Masalah Pemanfaatan Ruang dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Masalah pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut umumnya
adalah sebagai berikut: a. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia;
b. Belum optimalnya peraturan dan penegakan hukum; c. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya;
d. Degradasi habitat wilayah pesisir; e. Potensi dan obyek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal;
f. Pencemaran wilayah pesisir; g. Kerusakan hutan, taman nasional, dan cagar alam laut;
h. Masih tingginya jumlah masyarakat miskin dan keluarga tidak mampu Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a.
5.1.2 Kondisi Eksisting: Struktur dan Fungsi ABC A-bitotic, Biotic, Culture
Aktifitas pertama, identifikasi struktur dan fungsi ABC non-hayati, hayati, dan budidaya wilayah penelitian pada kondisi eksisting adalah sebagai berikut:
1 Iklim, Sebaran Pulau-Pulau Kecil, dan Kondisi Oseanografis A-biotic Sebagaimana umumnya daerah kepulauan di Indonesia, iklim di sini
adalah iklim tropis dengan temperatur rata-rata terendah 22.5
o
Celcius dan tertinggi 31,8
o
Celcius dengan kelembaban udara sekitar 83 - 89. Curah hujan cukup tinggi yaitu rata-rata antara 2 000 – 2 500 mm per tahun, di mana
musim hujan umumnya jatuh pada bulan November hingga bulan April, sedangkan musim kering umumnya dimulai sejak bulan Juli hingga Oktober.
Pada bulan Desember – Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni – Agustus bertiup angin selatan, dan
77 September – November berhembus angin barat Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Riau, 2005a. Pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bintan tersebar dalam beberapa
wilayah kecamatan dan berjumlah 120 pulau, namun 75 pulau di antaranya tidak atau belum berpenghuni. Di antara pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan adalah: pulau-pulau Lobam, Penghujan, Penyengat, Dompak, Mantang, Kelong, Buton, Poto, Pangil Besar, dan pulau Mapur. Pulau Lobam
di wilayah Kecamatan Teluk Bintan terdapat kegiatan industri eksisting, sedangkan pulau Mapur di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dikembangkan
menjadi kawasan wisata yang cukup menarik. Secara umum pada perairan Kepulauan Riau, populasi dan migrasi ikan
berkaitan dengan pergerakan air Laut Cina Selatan yang dipengaruhi oleh massa air di utara dan selatannya. Pada perairan pulau Bintan arus air laut
tersebut bergerak dari arah utara ke selatan pada bulan Februari dengan kecepatan mencapai 1 knot 0.5 mdetik memindahkan massa air sekitar 24
mil dalam sehari, dan sebaliknya dari arah selatan ke utara pada bulan Agustus dengan kecepatan yang relatif sama.
Tinggi pasang surut tidal range rata-rata berkisar antara 0.8 – 1.8 meter, meskipun tercatat pada beberapa wilayah khususnya wilayah yang
berhadapan langsung dengan Laut China Selatan pasang tertinggi dapat mencapai 2.2 meter dan terendah 0.4 meter. Nilai pH perairan pulau Bintan
pada bulan Juli tercatat antara 7.5 – 8.6 dengan rata-rata = 8.4 sedangkan pada bulan November mencapai = 8.3 rata-rata. Kisaran pH normal adalah 8.0
dengan demikian pH perairan laut pulau Bintan ini termasuk normal untuk air laut dengan kecenderungan agak didominasi oleh kation basa DJP3K – DKP,
2005. 2 Flora dan Fauna Daratan serta Biologi Perairan Biotic
Jenis flora di daratan yang menonjol adalah meranti, kulim, punak, sungkai, jelutung, medang, dan sebagainya yang umunya terdapat di dalam
hutan dan belukar. Tanaman lain yang merupakan tanaman budidaya adalah kelapa, sawit, karet, cokelat, gambir, cempedak, durian, cengkeh, dan tanaman
biji-bijian lainnya. Populasi hewan khususnya hewan ternak didominasi oleh
78 sapi, kambing, dan jenis unggas seperti ayam baik ayam ras maupun bukan
ras, serta itik. Sementara itu ternak kerbau tidak cukup banyak jumlahnya. Biologi perairan pulau Bintan antara lain dihuni oleh berbagai jenis
fitoplankton, benthos, ekosistem bakau, terumbu karang, dan padang lamun serta rumput laut. Jenis fitoplankton yang ditemukan umumnya terdiri dari 3
kelas, yaitu kelas Cyanophyceae 2 genera, kelas Bacillariophyceae 20 genera, dan kelas Dianophyceae 4 genera. Sedangkan jenis benthos yang
terdapat di perairan laut pulau Bintan adalah jenis Polychaeta 46 genera, Echinodermata 4 genera, dan jenis Pelecypoda 2 genera, sedangkan jenis-
jenis lainnya ditemukan tersebar dalam 1 genera. Selanjutnya, ekosistem mangrove yang ditemukan di daerah ini adalah
jenis bakau Rhizophora stylosa dan Rhizophora alba, bakau merah Rhizophora apiculata, api-api Avicennia alba, pedada Sonneratia alba,
dudukan Lumnitzera littorea, buta-buta Excacaera agallacha, bakau putih Rhizophora mucronata dan nyirih Xylocarpus granatum, serta tanjang
Bruguiera cylindrica. Ketinggian bakau di sini berkisar 3.5 meter karena terus dieksploitasi untuk bahan baku arang dan kayu api serta
pengalihgunaan lahan menjadi dermaga atau tempat pembuatan kapal. Ekosistem bakau tumbuh pada substrat tanah di atas hamparan terumbu
karang yang sudah tertutupi oleh endapan lumpur berpasir. Sedangkan ekosistem bakau di daerah muara sungai di sepanjang pesisir pulau Bintan
tumbuh pada substrat tanah lumpur yang berasal dari daerah aliran sungai. Luas hutan mangrove di Pulau Bintan tercatat sekitar 14 521 hektar.
Ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Bintan berbeda pada masing-masing lokasi akibat pengaruh berbagai faktor, seperti: arus air laut,
penetrasi cahaya, partikel sedimen yang tersuspensi, topografi, dan substrat tempat tumbuh terumbu karang, serta aktivitas nelayan dan penduduk sekitar
pantai. Sebagian besar yang ditemukan adalah terdiri dari: Acropora, Asteriopora, Favia, Favites, Galaxea, Goniastrea, Heliopora, Millepora,
Montipora, Pavona, Platygyra, Polillopora, Porites, dan Psammocor. Luas terumbu karang di Pulau Bintan tercatat sekitar 17 100 hektar DJP3K – DKP,
2005; Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, 2005b.
79 3 Potensi dan Budidaya Kelautan Culture
Potensi kelautan di sekitar Pulau Bintan sangat bernilai, yang dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu a potensi sumberdaya ikan, b
sumberdaya non-ikan, c potensi pengembangan budidaya laut, d potensi sumberdaya alam pesisir dan kelautan, dan e potensi jalur perlayaran dan
perdagangan. Pertama, potensi sumberdaya ikan utama di sini adalah: a jenis ikan
pelagis seperti tongkol, tenggiri, parang, kembung, layang dan sebagainya dengan rata-rata kepadatan ikan berkisar antara 300 – 3 300 kgkm2; b jenis
ikan demersal, namun jumlahnya tidak signifikan di perairan laut pulau Bintan; dan c jenis ikan karang seperti ikan karang konsumsi dan ikan hias
cukup potensial. Selanjutnya kedua, potensi sumberdaya non-ikan didominasi oleh: a
udang dengan kepadatan 0.20 tonkm2; b lobster dengan kepadatan 1.34 tonkm2; c kepiting dan tripang; d rumput laut; e moluska binatang
lunak seperti: cumi-cumi, sotong, gurita, siput jenis gonggong dan jari-jari, kerang-kerangan khususnya tiram; dan f penyu hijau.
Ketiga, potensi pengembangan budidaya laut di sini meliputi: a budidaya ikan dengan keramba jaring apung floating net dan keramba tancap
pen cage culture meliputi jenis ikan kerapu sunuk, kerapu tikus, ketarap, dan ikan lebam; b budidaya rumput laut; dan c budidaya kerang-kerangan.
Beberapa wilayah perairan pesisir mempunyai potensi untuk pengembangan usaha budidaya ikan, yaitu daerah Pulau Mantang, Pulau Serai, Selat Gin dan
Numbing, Siulung, Telang, Kelong, Pulau Ajap dan Ngalih, Pulau Bunut dan Pulau Dendun di wilayah Kecamatan Bintan Timur dan Gunung Kijang.
Demikian pula adanya potensi pengembangan di beberapa wilayah di Kecamatan Tanjung Pinang seperti: Selat Dompak, Selat Air Raya, Sei Jang,
Kampung Lama, Kampung Kelam Pagi dan Pulau Los, termasuk pula Pulau Penghujan di Teluk Bintan.
Keempat, potensi sumberdaya alam pesisir dan kelautan di sekitar Pulau Bintan utamanya adalah ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun
dan rumput laut. Populasi mangrove di sini umumnya berada pada daerah-
80 daerah muara sungai estuaria, daerah pantai tertutup, dan pantai berbatu pada
pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, kondisi terumbu karang di sini masuk kategori sedang dan buruk sekitar 74, namun di wilayah Kecamatan Bintan
Utara sekitar 91 terumbu karang dalam kondisi buruk dan sedang. Sedangkan distribusi padang lamun di wilayah peariran Pulau Bintan terdapat
di Pulau Buton, Poto, Terkulai, Penghujan, Dompak, dan bagian utara dan timur Pulau Bintan, namun tidak cukup signifikan.
Akhirnya kelima, potensi jalur perlayaran dan perdagangan di perairan sekitar Pulau Bintan merupakan potensi sumberdaya yang signifikan pula.
Perairan bagian utara Pulau Bintan merupakan alur perlayaran dan perdagangan internasional yang menghubungkan dua lautan, yaitu Lautan
Pasifik dan Lautan Hindia. Perairan laut Pulau Bintan di samping merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI, juga merupakan jalur perlayaran
wisata dari Singapura dan Malaysia ke obyek-obyek wisata di Kepulauan Riau.
Secara keseluruhan sebaran komponen-komponen non-hayati A-biotic, hayati Biotic, dan budidaya Culture serta struktur dan fungsi wilayah dan
sumberdaya pesisir dan laut berdasarkan sebaran komponen-komponen ABC tersebut di Pulau Bintan dan sekitarnya tertuang dalam Gambar 20.
Selanjutnya. analisis data spasial berdasarkan data struktur dan fungsi ABC dilakukan pada tiga kawasan tumbuh cepat, yakni: Kecamatan Teluk Sebong dan
Bintan Utara, serta Kecamatan Bintan Timur. 1 Kawasan Tumbuh Cepat I: Kecamatan Teluk Sebong dan Bintan Utara
a. Fungsi non-hayati, terdiri dari informasi dalam bentuk kawasan: • Sebaran fungsi lindung sempadan pantai lindung utama, yaitu
daratan pantai sejauh 100 meter dari gari pantai ke arah darat dan perairan pantai sejauh 100 meter dari garis pantai ke arah laut. Daerah
ini selain berfungsi lindung sekaligus sebagai berfungsi penyangga, yaitu sebagai pelindung dan penyangga fisik pantai, estuari, laguna dan
pulau-pulau kecil dari kerusakan dan pencemaran serta berfungsi sebagai penjebak sedimen sediment trap dan penjaga kualitas massa
air;
81
Gambar 20. Sebaran komponen-komponen non-hayati, sumberdaya hayati dan budidaya manusia ABC: Abiotic, Biotic,
dan Culture pesisir dan laut di Pulau Bintan dan sekitarnya Peta Rupa Bumi Digital Bakosurtanal, 1999: Pemerintah Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Kepulauan Riau, 2005a dan 2005b; software: MapInfo 7.0
U
۞
SKALA ORIGINAL
1 : 2.500.000
Ekosistem terumbu
karang Biotic Kegiatan eko-wisata Culture
Rencana kegiatan pengembangan budidaya
ikan Culture
Kegiatan wisata terpadu
Culture
Ekosistem mangrove
Biotic
Ekosistem mangrove
Biotic
Sebaran deposit pasir laut Abiotic
Sebaran deposit pasir laut Abiotic
82 • Sebaran fungsi ekosistem lindung laut lokal, yaitu fisik perairan laut
sejauh 100 – 2 500 meter ke arah laut dari fungsi lindung utama sempadan pantai. Fungsi kawasan ini adalah untuk membatasi dan
mengendalikan aktivitas manusia agar tidak berdampak negatif terhadap kawasan lindung utama;
b. Fungsi hayati, terdiri dari informasi dalam bentuk: • Sebaran ekosistem terumbu karang pada lokasi-lokasi tertentu
berfungsi sebagai produsen organik yang tinggi, karena kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai
“kolam” untuk menampung segala masukan dari luar. Terumbu karang kaya akan keragaman spesies penghuninya karena variasi
habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang berfungsi sebagai lokasi wisata bawah laut yang sangat indah dan tempat berkembang-
biaknya ikan-ikan hias yang merupakan komoditas ekspor selain untuk pasar dalam negeri;
• Sebaran ekosistem mangrove pada lokasi-lokasi tertentu berfungsi sebagai lokasi pemijahan spawning ground dan lokasi pembesaran
nursery ground bagi berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi;
• Sebaran populasi ikan tangkap pada lokasi-lokasi tertentu yang dipetakan berdasarkan kebiasaan penangkapan ikan oleh nelayan dan
prediksi Dinas Perikanan dan Kelautan. Lokasi-lokasi ini berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan bagi para nelayan;
c. Fungsi budidaya merupakan arena kegiatan manusia dalam bentuk: c.1. Pengembangan wisata, terdiri dari:
• Wisata eksisting di daerah wisata terpadu Bintan Resort dan pantai Lagoi yang terkenal di dunia pariwisata internasional,
tidak hanya untuk wisatawan asal Singapura dan Malaysia, namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat.
Kawasan wisata terpadu ini termasuk dalam Indonesia–Malaysia–Singapore
Golden Triangle IMSGT atau daerah pengembangan SIJORI Singapore–Johor–Riau. Kawasan Pariwisata Terpadu KPT
83 seluas 23 000 Ha. dengan rincian 10 000 Ha. untuk wisata hotel,
kondominium, villa, dan 13 000 Ha. untuk area penyangga; • Pengembangan eko-wisata di Teluk Bintan;
c.2. Pengembangan fasilitas perikanan tangkap dan budidaya yang letaknya berdampingan dengan lokasi pengembangan eko-wisata di
kawasan Teluk Bintan; 2 Kawasan Tumbuh Cepat II: Kecamatan Bintan Timur
Demikian pula halnya di wilayah Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau, secara prinsip tidak ada perbedaan struktur dan fungsi ABC di
wilayah ini, kecuali letak penyebarannya. Berbeda dengan perkembangan di bagian lain wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, maka di Kecamatan Bintan
Timur tepatnya di ibukota kecamatan Kijang terdapat pusat kegiatan administrasi penambangan bauksit sejak era penjajahan Belanda yang sekarang dikelola oleh
PT. ANTAM Tbk. Selanjutnya, aktivitas kedua dari prosedur ABC Resource Survey Method
adalah menentukan faktor-faktor signifikan dan faktor-faktor kendala berdasarkan informasi struktur dan fungsi komponen-komponen ABC yang baru saja
dilakukan pemetaannya. Aktivitas kedua ini digunakan untuk menginterpretasikan keunggulan dan keterbatasan sosio-ekonomi lingkungan
wilayah penelitian. Hasil interpretasi ini dituangkan di atas dua set peta layer yang diekstrak dari kombinasi aspek-aspek ekologi yaitu, keanekaragaman flora
dan fauna, komunitas, manfaat ekologis dan bahaya ekologis, kondisi relatif seperti keunikan abiotik, kelangkaan spesies, dan kelangkaan abiotik, serta nilai
bagi manusia seperti nilai ekonomi dan nilai rekreasi. Setiap data abiotik, biotik, dan budidaya di wilayah pesisir dan lautan
diperoleh dari hasil pendataan lapangan dan dipetakan ke dalam zona-zona
wilayah sesuai dengan potensi, kendala, serta tujuan pemanfaatan ruangnya.
Dengan demikian didapatkan beberapa zona, seperti zona sempadan pantai, zona lindung laut zona penyangga, zona ikan tangkap, zona terumbu karang, zona
mangrove, zona wisata, zona industri, zona pengembangan perikanan tangkap, zona pengembangan perikanan budidaya, dan lain sebagainya.
84 Perihal pengertian “signifikan” dan “kendala” dalam zonasi perwilayahan
ruang pesisir dan laut metode ABC ini amat tergantung dari tujuan dan sudut pandang pengambil keputusan. Sebagai contoh, zona penambangan pasir laut di
sekitar pulau Terkulai pada muara Teluk Bintan, dari sudut pandang dan tujuan ekonomi pasar maka penambangan pasir ini akan menghasilkan devisa dan
peningkatan PAD. Namun dari sudut pandang lingkungan kegiatan ini akan berdampak merugikan, yaitu: kerusakan ekosistem air laut seperti: tingkat
kekeruhan air, kematian biota laut, pergerakan top soil permukaan dasar laut yang ditambang, konflik jalur perlayaran dengan aktivitas penambangan, dan
sebagainya. Potensi yang menonjol di wilayah ini yang membedakan dengan kedua
wilayah sebelumnya adalah potensi pengembangan perikanan laut maupun perikanan budidaya, yang digambarkan dalam zona-zona pengembangan
perikanan laut. Perkembangan perlayaran antar pulau di sini telah berlangsung lama sejak kegiatan penambangan bauksit, sehingga alur perlayaran telah lama
terbuka ke tujuan Jakarta dan Bangka serta wilayah lain di Kepulauan Riau yaitu Pulau Tembelan.
Akhirnya, aktivitas ketiga dari prosedur ABC Resource Survey Method adalah merangkum atau mengintegrasikan seluruh data dan informasi, termasuk
pula merelasikan seluruh zona-zona kendala dan signifikan, untuk menentukan indikator-indikator utama isu-isu manajemen dan pemanfaatan ruang pesisir dan
laut pada obyek penelitian.
5.2. Analisis Prioritasi dan Realisasi Kebijakan dan Program Pemanfaatan Ruang Pesisisr dan Laut