lingkungan disekitarnya nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku. Gambar 2 menunjukan bagaimana lingkungan sosial berpengaruh terhadap pilihan individu
personal.
Considering consequences of
Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu personal. Sumber: O’Neill and O’Neill 1974 dalam Lamanna dan Riedmann 1991
2.7. Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan
Studi tentang perkawinan belum begitu banyak mendapat perhatian di dalam kajian sosiologi. Dalam perjalanan waktu, hingga saat ini kajian tentang
perkawinan masih didominasi oleh ilmu Antropologi dengan menggunakan metode etnografi seperti terlihat pada lampiran 1 dan 2.
Tradisi“bajapuik” yang menjadi fokus penelitian ini merupakan sebagai bentuk kekhasan dari reseach ini. Meskipun di aras lokal dan global terdapat
model perkawinan yang hampir sama dengan tradisi bajapuik seperti: sistem dowry di Cina dan India dan sinamot perkawinan jujur atau tuhor di daerah
Decision maker
Output effect a decision has on orthers
Behavior “I do” or “I act “
Decision “I will” or “I won’t “
Willingness to accept consequences of a
decision Awareness of personal values
‘I feel’ Considering consequences of
each alternative Considering consequences of
each alternative Awareness of
social pressures Awareness of
alternatives Rechecking with selft
Input Varied option Social presures
Environment
Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau
barang sebagai mahar bridewealth dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang
bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan kapan dilakukan pemberian itu.
Sistem dowry di Cina, menurut Croll 1984 diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan istrimenantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini
menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik pekerjaan
kolektif dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu pertukaran perempuan melalui lembaga perkawinan merupakan sebuah
kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem
patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap residance pattern, perempuan yang menjadi isterimenantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam
lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istrimenantu tidak hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset
tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka
keluarga pihak perempuan meminta “ganti rugi” dalam bentuk hadiah perkawinan yang dengan sistem dowry.
Sistem dowry di India, menurut Shanna 1980 adalah harta bawaan yang dibawa oleh pengantin perempuan dalam perkawinannya yang secara sosial
berfungsi memberi jaminan ekonomi, status, dan kemandirian yang lebih besar pada perempuan terutama setelah menikah. Namun dalam kenyataannya harta
bawaan yang berbentuk uang dari wanita itu menjadi berpindah kepada orang tua laki-laki dan wanita tidak bisa menguasai dan mengontrol hak miliknya sendiri
yang diberikan pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh dowry yang diterima oleh wanita pada saat pernikahan dipindah tangankan kepada orang tua
laki-laki suami dan kemudian didistribusi lagi kepada kerabat lainnya.
Terakhir perkawinan jujur tuhor atau sinamot. Menurut Pardosi 2008, bentuk perkawinan ini adalah memberikan sejumlah uang kepada wanita dari
pihak laki-laki. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami patrilokal, baik
pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tersebut.
Pembayaran uang mahar sinamot dengan mahal dapat diartikan sebagai makna simbolik “harga diri” dari kedua belah pihak di mata sosial masyarakat, di mana
kedua belah pihak berasal dari keluarga ”Raja” yang masing-masing memiliki wibawa atau harga diri. Pemberian uang mahar sinamot dinyatakan dan
disaksikan di depan masyarakat umum sehingga masyarakat yang menyaksikan dapat menjadi kontrol sosial di tengah keluarga yang baru dibentuk. Apabila
terjadi kesalahpahaman di antara mereka, mereka tidak akan gampang untuk berbuat kearah perceraian karena masyarakat akan terus mengamati perjalanan
keluarga tersebut. Pada prinsipnya mengawinkan anak bagi masyarakat Batak Toba adalah tugas orang tua yang paling mendasar. Status orang tua sangat
ditentukan oleh keadaan para anak-anaknya yang telah menikah. Apabila ada anak yang belum menikah pada usia yang sudah wajar akan menjadi beban bagi orang
tua, walaupun anak itu berhasil atau berprestasi. Orang tua akan mengusahakan agar anak itu menikah agar hutang adatnya terbayar semasa hidupnya. Walaupun
tugas orang tua menikahkan anaknya, hal itu hanya merupakan tanggung jawab, segala hal yang dibutuhkan dalam proses perkawinan akan melibatkan keluarga,
terutama dongan sabutuha dan boru. Dongan sabutuha dan boru akan berkumpul menyumbang saranbuah pikiran, tenaga, fasilitas, dan biaya.
Khusus dengan tradisi bajapuik yang berlaku di Kabupaten Padang Pariaman, pihak keluarga perempuan yang memberikan sesuatu kepada pihak
keluarga laki-laki, untuk menjemput laki-laki yang hendak dijadikan menantu. Selain itu tradisi bajapuik tidak membuat pengantin perempuan berkuasa, paling
tidak sejajar dengan laki-laki dalam hubungan keluarga. Sebagai orang yang memiliki akses ekonomi pihak keluarga perempuan pengantin perempuan
sebagai aktor yang terlibat subjek tetap saja berada pada posisi sebagai isteri seperti yang digariskan agama Islam. Keputusan apapun yang akan diambil
dalam rumah tangga tetap berdasarkan suara bersama antara suami dan isteri. Dengan demikian memberi uang japuik kepada pihak keluarga laki-laki sebagai
syarat untuk mendapatkan calon suami, tidak berpengaruh terhadap kuatnya posisi perempuan di rumahtangganya.
Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar 2001, yang temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik.
Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil
studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab
terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih
lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga
ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga.
Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat laki-laki semakin berkuasa, maka perempuan semakin terpinggirkan,
tersubordinasi dalam kehidupan sosial karena sangat tergantung pada laki-laki. Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya pola keluarga monogami yang
matriarkhat menjadi patriarkhat dimana kerja rumahtangga perempuan menjadi pelayan pribadi. Perempuan menjadi pelayan laki-laki dalam rumah tangga, yang
disingkirkan dari semua partisipasi dibidang produksi dan sosial. Fokus kajian lain pada faktor-faktor yang melatar belakangi
dipertahankannya tradisi bajapuik di Pariaman, disebabkan oleh uang jemputan menjadi ukuran prestise bagi kedua belah pihak. Pihak perempuan mempunyai
kepuasan tersendiri jika mampu memberikan uang jemputan yang tinggi terhadap laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya. Dari pihak laki-laki menjadi
aib baginya jika anak laki-laki mereka kawin tanpa uang jemputan dari pihak perempuan. Kaum mereka menjadi objek gunjingan, bahkan mamak-mamak
pihaknya dituding sebagai mamak yang tidak punya otoritas terhadap kemenakan, karena otoritas jemputan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan
kebijakan mamak kaum. Jadi wajar, mamak kaum mereka mendapat tudingan yang miring dari masyarakat, jika kemenakan laki-lakinya tidak dijemput dalam
pernikahan. Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama 2002, dengan
temanya pada “Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam
tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya,
mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan
perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar tanda pertunangan, bakampuang-kampuangan,
mengundang malam
membungkuih. Untuk tahap kedua, termasuk di dalamnya adalah menjemput mempelai, aqad nikah, hari perkawinan baralek, hari manjalang dan malam
baretong. Sementara itu untuk fokus kajian lainnya pada uang hilang dan fungsi sosial budayanya. Dalam hal uang hilang berfungsi sebagai pengesahan status
sosial dan sebagai sarana untuk mobilitas sosial. Sementara itu, Maihasni 2003, mengkaji tradisi bajapuik dengan tema
“Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal
munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang dilakukan orangtua terhadap munculnya uang hilang. Hasil penelitian
menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup
umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan
mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga itu, maka ia berhasil mendapatkan menantu dengan cara
memberi sejumlah uang kepada laki-laki yang bersangkutan. Di Lain pihak disebabkan oleh anak gadis yang tidak perawan lagi, sehingga sulit untuk
mendapatkan suami. Untuk itu orang tua yang perempuan mencarikan orang yang bersedia mengawini anaknya, dengan memberikan imbalan sejumlah uang yang
diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Uang yang diberikan dapat digunakan sepenuhnya oleh pihak laki-laki. Konsekuensi yang muncul akibat adanya uang
hilang dalam tradisi bajapuik, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak perempuan agar perkawinan terhadap anaknya tetap terwujud. Perkawinan yang
dilakukan dengan orang luar dari Pariaman menempuh jalur yang disesuaikan dan perkawinan dengan menggunakan uang hilang ini menimbulkan persepsi negatif
terhadap laki-laki Pariaman. 2.8. Kerangka Pemikiran
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya tidak hanya sebagai penglegitimasian hubungan seksual, pengesahan anak yang
dilahirkan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi juga memberi makna pada status dan martabat yang lebih tinggi pada seseorang Radjab, 1969,
dan menyambung keturunan Amir, 2006. Adanya perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat menandakan bahwa
institusi ini penting. Namun Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadinya suatu perkawinan banyak faktor yang menentu, baik dari individu yang terlibat
maupun sejumlah faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung, di antaranya: kepercayaan, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pertumbuhan
penduduk, merantau, dan modernisasi. Semua faktor tersebut jelas akan mempengaruhi perkembangan dan eksistensi tradisi bajapuik. Seiring dengan
perjalanan waktu perkawinan bajapuik yang pada awalnya mengutamakan nilai- nilai sosial berubah menjadi nilai ekonomi, sehingga menimbulkan pro dan kontra
di dalam masyarakat. Meskipun demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik masih eksis dalam masyarakat. Dengan demikian berarti semakin besar kekuatan
ekonomi faktor ekonomi memasuki kehidupan masyarakat dan semakin jauh moneteisme mempengaruhi individu, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas
“individu” dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik. Mengacu pada proposisi Homans, khususnya “nilai”, pertukaran sosial
yang dilakukan oleh aktor individu dalam pelaksanaan tradisi bajapuik akan
dapat ditelusuri. Dalam kaitannya dengan bagaimana tradisi bajapuik dapat terlaksana dan bagaimana interelasi di antara aktor yang terlibat, maka konsep
Sussman dan Burchinal 1979 tentang “kekerabatan sebagai sebuah jaringan bantuan ekonomi” digunakan. Selanjutnya, bagaimana aktor mengambil suatu
keputusan dan sejauhmana kekuatan nilai budaya norma-norma bermain tradisi bajapuik, konsep pilihan yang dipertimbangkan choosing knowledgeably dari
Lamanna dan Riedmann 1991 akan menjelaskan. Sehubungan dengan persoalan di atas untuk lebih jelasnya bagaimana
konsep yang dimaksudkan mampu mengarahkan penelitian di lapangan dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
-Ekonomi -Pertumbuhan
Penduduk -Pendidikan
- Merantau - Modernisasi
Perubahan Kinship
Bentuk-bentuk Pertukaran
Pilihan Dipertimbangkan
Lingkungan Sosial
Dasar Pertukaran
Eksistensi Tradisi
Bajapuik
BAB III METODOLOGI PENELITIAN