disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat
Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar.
Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaantradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun
penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi.
2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau
Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal-- garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan
melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya
mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”. Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau
sako-indu Amir, 2006. Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil
perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas,
hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan
mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di
dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan Naim, 1979
Menurut Radjab 1969; Kato 1989, sistem matrilineal mempunyai ciri- cirinya sebagai berikut;
1. Keturunan dan kelompok keturunan corporate descent group, ditentukan dari garis ibu maternal line.
2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku. 3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal
dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu.
4. Seorang laki-laki dewasa yang telah kawin memiliki dua macam fungsi, berjalan secara paralel dan simultan.
5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal.
6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya.
7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya. 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari
saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. 9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan
mamak. Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang
istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut
juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah rumah adat yang dihuni oleh keluarga besar extended family menurut sistem
matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak kamar tidur serta tempat
menyimpan barang-barang berharga. Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih nuclear
family dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang
mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi Radjab, 1969; Kato 1982 mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1
berikut ini
Generasi Nenek
Generasi Ibu
Generasi Anak
Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang Sumber: Kato, 1982
Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama
lahanharta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan harta pusaka itu menjadi milik bersama,
sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan sawah dan ladang, yang diwarisi secara turun-
temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan
dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan
samande menurut menurut Joselin de Jong 1951; Radjab, 1969: 24-25, kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan
aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur management harta tersebut.
Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik harta komunal menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan
keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut: 1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah
mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai ka mande kita sendiri”.
2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah pecah, sehingga barang siapa yang
melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.
3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah agraris.
4. Sebagai lambang kedudukan sosial. Oleh sebab itu harta pusaka dapat digunakan untuk empat perkara:
Pertama, maik tabujua di tangah rumah, bila ada kematian dan keluarga tak berkecukupan untuk membiayai penguburan. Kedua, gadih gadang tak balaki,
bila kemenakan belum bersuami, hal ini sangat merisaukan keluarga, apalagi kalau tunggal, takut bisa punah. Ketiga, mambangkik batang tarandam, bila gelar
penghulu telah lama “balipek” disimpan saja karena tidak ada biaya untuk upacara “puntiang penghulu” pengangkatan penghulu baru. Empat, rumah
gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami kerusakanperlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka
diperbolehkan menggadaikan harta pusaka Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir, 1987; Backmann, 2000.
Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti
Josselin de Jong 1951, Schreike 1955, Oki 1977, Benda-Beckmann 2000 telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian
kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini,
keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya
kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan
anggota-anggota saparuik yang lainnya Afrizal 1997. Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi
hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat— ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai
tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979. Bantuan ekonomi
dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi lihat Young dan
Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979. Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan
Litwak dan Szelenyi, 1969. Adapun bantuan itu menurut Sussmann dan Burchinal, 1979, di rangkum
sebagai berikut: Pertama, pola bantuan meliputi banyak bentuk, di antaranya pertukaran jasa, hadiah, advis dan bantuan finansial. Bantuan finansial langsung
diberikan kepada pasangan muda yang melakukan pernikahan. Kedua, hanya sedikit sekali keluarga yang tidak memberikan atau menerima bantuan dari
saudara mereka. Meskipun hingga saat ini bantuan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anggota yang membutuhkannya. Ketiga, Pertukaran bantuan di antara
anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk
bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas
menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga
ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui”
ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup
besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran Islam atau ulang
tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung
terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam,
Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, 1982; Afrizal, 1997, hubungan mamak dan kemenakan
masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih
cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak
masih terlibat dalam pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut
Navis 1984, karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan
ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala
data hasil penelitian kurang memadai untuk memprediksi efek bantuan orang tua terhadap
keberlangsungan keluarga dan hubungan perkawinan di antara pasangan yang menerima bantuan. Itulah yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi bajapuik saat ini.
Bantuan dari keluarga luas tetap mengalir dalam bentuk materil seperti uang dan benda-benda kebutuhan rumah tangga.
akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru.
Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai
berikut: 1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan
seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan anak-anak.
3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari kepunahan.
Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak
putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak
ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap punah Amir, 2006; Latief, 2002.
Untuk itu perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah antara keluarga dekat seperti perkawinan antar anak dengan kemenakan.
Perkawinan seperti ini disebut dengan pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak anak saudara laki-laki ibu,
sedangkan pulang ke bako berarti mengawini kemenakan ayah. Navis, 1984. Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar, dipandang
sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat mereka Kato, 1989. Karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu bukanlah suku bangsa
Minangkabau. Disamping itu kehidupan isteri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki tugas utamanya untuk kepentingan sanak saudaranya,
kaumnya dan nagarinya. Kehadiran seorang isteri yang berasal dari luar dipandang sebagi beban bagi seluruh keluarga pula. Bahkan bisa pula laki-laki itu
akan menjadi “anak hilang” dari kaum kerabatnya karena perempuan itu pandai merayu suaminya. Sebaliknya perkawinan perempuan minang dengan laki-laki
luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku bangsa Minangkabau.
Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan Amir, 2006. Berikut Sukmasari 1983 mengemukakan syarat-syarat perkawinan Minangkabau antara lain;
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang
sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain. 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang
tua dan keluarga kedua belah pihak. 4. Calon suami marapulai harus sudah mempunyai sumber penghasilan
untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya. Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap
perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan
seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga
perempuan.
2.4. Perubahan Sosial Budaya