6.3.1. Kasus Perkawinan Dengan Sesama Kerabat Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
DA 38 tahun dan Y 32 tahun adalah sepasang suami-isteri yang menikah di kota Jakarta. Di antara keduanya mempunyai latar belakang yang
berbeda meskipun kedua sama-sama berasal dari satu daerah Pariaman. Bahkan di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan yang dekat, di mana bapak DA
adalah kakak sepupu dari bapak Y. Hanya saja di antara anak masing-masing tidak saling mengenal karena jarak yang memisahkan, salah satu di antaranya
menetap di Padang dan yang lainnya menetap di kota Jakarta. DA adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, terdiri dari dua orang
perempuan dan lima orang laki-laki dari pasangan suami-isteri Bapak M dan ibu A. Di kota Jakarta DA baru bermukim selama 3 tahun, sedangkan sebelumnya di
Kota Padang bersama kedua orang tua dan enam saudaranya yang lain. Sebelum menetap di kota Padang, ibu dan saudara DA menetap di daerah Pariaman.
Perpindahan ke kota Padang, adalah mengikuti ayah yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah di kota Padang. Semenjak perpindahan itu,
DA bersama orang tua dan saudara-saudaranya berkumpul dan berdomisili di kota Padang. Sementara itu Y adalah anak pertama dari empat bersaudara dari
pasangan suami-isteri S dan M. Di kota Jakarta, Y bersama kedua orang tua dan tiga saudara-saudara yang lain. Di Jakarta Y dan keluarganya baru menetap
selama 15 tahun, yang sebelumnya mempunyai domisili yang berpindah-pindah. Sebelum menetap di Jakarta, Y dan keluarga berdomisili di Kalimantan. Kondisi
ini disebabkan oleh karena ayah dari Y karyawan salah satu perusahaan BUMN yang selalu mengadakan mutasi dalam jangka waktu lima tahun sekali terhadap
karyawannya. Akibatnya Y dengan saudara-saudaranya yang lain mempunyai tempat lahir yang berbeda-beda seperti; Kalimantan, Jakarta, dan Yogyakarta.
DA hingga berumur 24 tahun berdomisili di kota P bersama dengan orang tua dan enam saudaranya yang lain. Pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi di
tempuhnya di kota yang sama. Berbeda dengan Y, menempuh jenjang pendidikan ditempat yang berbeda-beda, karena harus mengikuti kedua orang tua yang selalu
berpindah-pindah tugas. Pendidikan SD hingga SMP ditempuh di daerah
Kalimantan, pendidikan SMA ditempuh di kota Padang dan Perguruan tinggi di tempuh di kota Jakarta pada Universitas Tri Sakti di kota Jakarta.
Perjalanan DA sampai ke kota Jakarta, disebabkan karena tidak kunjung mendapat pekerjaan di daerah asalnya, setelah dua tahun menamat pendidikan di
Perguruan Tinggi di jurusan Manajemen. Melalui dorongan salah seorang mamak yang berdomisili di kota Jakarta, maka DA diajak bersamanya, dengan tujuan
mencari pekerjaan. Sesampai di kota Jakarta, DA tidak langsung mendapat pekerjaan. Dari pada menganggur dan berdiam diri di rumah, DA diajak oleh
mamak untuk magang di kantornya. Tawaran itu langsung diambil DA, hitung- hitung untuk mencari pengalaman sambil menunggu panggilan kerja yang sesuai.
Selama tiga bulan magang, akhirnya DA mendapat panggilan kerja disalah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang Garmen dan pekerjaan itu hingga saat
ini masih dijalani. Berbeda dengan Y, yang telah duluan menetap di kota J bersama dengan
kedua orang tua dan saudaranya yang lain, untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah sesulit yang ditempuh DA. Dengan dukungan fasilitas lingkungan yang memadai
seperti; sarana dan prasana yang lengkap hidup di kota besar seperti Jakarta serta dorongan orang tua yang cukup secara finansial, memungkin Y untuk mempunyai
nilai lebih, sehingga pada saat menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi, Y langsung mendapat pekerjaan pada salah satu perusahaan swasta terkemuka.
Namun pekerjaan ini hanya dijalani hingga awal perkawinan dan setelah itu membuka usaha sendiri warung di rumah sambil menjaga anak dan mencari
tambahan pendapatan keluarga. Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Pertemuan antara DA dengan A, yang berujung kejenjang pernikahan tidak diperkirakan sebelumnya. Karena pada saat menempuh pendidikan sarjana
S1 di Kota Padang, DA telah mempunyai teman dekat. Hubungan DA dengan teman wanitanya itu telah berlangsung selama 4 tahun, tetapi akhirnya putus
karena adanya perbedaan pandangan. Begitu pula dengan teman wanita berikutnya, hanya berlangsung selama dua tahun, juga berakhir dengan kata putus,
karena adanya persamaan suku di antara keduanya menyebabkan hubungan tidak berlanjut.
Perjumpaan antara DA dengan Y di awali dari ajakan perkenalan dari salah seorang kerabat yang telah lama menetap di kota Jakarta. Tepatnya suami
dari adik perempuan dari bapak DA dan saudara sepupu pula dari ibu Y. Jadi di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan. Pada waktu itu DA diajak ke
rumah Y yang berlokasi di daerah Tanggerang, sedangkan DA sendiri berdomisili di rumah mamak di daerah Jakarta Timur.
Pertemuan pertama antara DA dan Y berbuah hasil yakni sampai kepada jenjang perkawinan. Dimata DA, Y adalah seorang wanita yang cantik, baik dan
telah mandiri mempunyai pekerjaan. Begitu juga sebaliknya, DA dipandang Y sebagai orang yang cukup dewasa yang mampu menjadi sandaran hidupnya di
masa depan. Dengan pekerjaan yang ditekuni merupakan salah satu ketertarikan Y pada DA, selain keduanya telah mengenal latar belakang keluarga dari orang tua
masing-masing. Begitu juga dengan orang tua Y, DA adalah seorang laki-laki yang pantas dengan anaknya, disamping mempunyai latar belakang pendidikan
yang sama juga telah mempunyai pekerjaan yang tetap dan latar belakang keluarga yang jelas. Selain itu Y, sendiri di mata orang tua telah cukup umur
untuk dicarikan jodoh. Dengan tidak membuang waktu, orang tua Y langsung mengambil sikap
untuk meresmikan hubungan di antara keduanya, setelah keduanya dipandang cocok. Tempat tinggal yang berbeda dan mempunyai jarak yang cukup jauh yakni
Jakarta dan Padang, tidak menjadi penghalang bagi orang tua Y untuk mengemukakan maksud dan tujuannya kepada orang tua DA. Namun karena di
antara kedua belah pihak terikat hubungan kekerabatan, maka pembicaraan mengenai proses pelaksanaan perkawinan dibicarakan lewat telpon mulai dari
peminangkan hingga penentuan hari pernikahan. Bagi orang tua DA tidak menjadi masalah, yang penting rencana baik itu dapat terselenggara sesuai dengan yang
direncanakan.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik
Pernikahan DA dengan Y berlangsung pada akhir tahun, tepatnya pada bulan Oktober tahun 2000 di Jakarta. Setelah melalui masa perkenalan kurang
lebih selama lima bulan. Saat itu usia DA telah memasuki 30 tahun dan Y 24 tahun.
Perkawinan antara DA dengan Y dilaksanakan dengan tradisi bajapuik yakni memakai uang japuik uang hilang. Meskipun di antara keduanya
mempunyai hubungan kekerabatan dan pesta diselenggarakan di Jakarta yang jauh dari lingkungan sosial budayanya. Bagi DA sendiri, uang japuik dalam
pelaksanaan perkawinan merupakan suatu persyaratan yang harus di penuhi oleh orang tua Y, karena sama-sama berasal dari daerah Pariaman. Keharusan untuk
memberi uang japuik telah menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan. Begitu juga dengan orang tua DA, uang japuik adalah telah menjadi tradisi dalam setiap
pelaksanaan perkawinan. Mau tidak mau harus dilaksanakan oleh pihak perempuan. Sementara itu di pihak keluarga Y sendiri uang japuik adalah
kewajiban yang harus dipenuhinya, bila bermenantukan orang Pariaman dan menjadi persyaratan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak
perempuannya. Jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA pada waktu itu
sebanyak Rp 7,5 juta. Setelah kedua belah pihak antara orang tua DA dengan orang tua Y terlibat negosiasi, dimana pada awalnya berjumlah Rp 10 juta. Jumlah
yang disepakati itu merupakan hasil musyawarah antara orang tua DA dengan Pak tuo seorang ninik mamak yang berdomisili di daerah Pariaman, karena
dipandang sebagai orang yang mengetahui banyak tentang tradisi bajapuik. Bagi orang tua DA, uang japuik adalah untuk bekal biaya menghadiri pesta pernikahan
yang akan dilangsungkan di Jakarta. Jadi uang japuik itu akan di gunakannya untuk transportasi, dan biaya-biaya lain untuk menurunkan marapulai. Selain itu
memberikan bingkisan kepada mempelai perempuan anak daro sebagai paragiah jalang.
Di pihak Y, uang japuik telah dipersiapkan oleh orang tua Y. Meskipun pada saat pesta bantuan dari keluarga luas tetap berdatangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung yakni dengan berkirim melalui keluarga yang datang, karena keluarga besar Y, pada umumnya berdomisili di daerah Pariaman.
Bantuan itu datang dari pihak ibu nan saparuik dan pihak bapak Y bako. Dengan situasi dan ciri-ciri lingkungan budaya yang berbeda antara
keluarga DA dengan keluarga Y, tradisi bajapuik tetap dilaksanakan karena membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak keluarga DA,
keuntungan yang didapat berupa materil, di mana dapat menghadiri menyelenggaraan pesta anakadikkemenakan di daerah rantau. Jauhnya lokasi
pesta yang akan dihadiri oleh keluarga DA menjadi alasan untuk meminta uang japuik. Selain sebagai penghargaan prestise kepada DA sendiri yang diangkat
sebagai menantu dan sekaligus mencirikan identitas, asal-usul dan status sosial ekonomi. Bagi pihak keluarga Y, keuntungan yang diperoleh adalah berwujud non
materil, khususnya mendapat menantu yang diinginkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik memberi dorongan
untuk terlaksananya tradisi bajapuik adalah bahwa dengan uang japuik dapat menguntung keluarga kedua belah pihak. Oleh karena adanya pemahaman
terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam tradisi bajapuik oleh masing-masing aktor yang terlibat, maka perkawinan dapat berlanjut terlaksana.
Orang tua Y yang telah lama meninggalkan kampung halaman dan menetap di kota besar, tetap mau melaksanakan tradisi bajapuik. Karena bila tidak dipenuhi,
maka calon menantu yang diinginkan tidak akan didapat. Begitu juga dengan DA sendiri, tidak merasa malu dengan adanya uang japuik dalam pelaksanaan
perkawinannya, karena berdomisili orang tua yang jauh tentu membutuhkan biaya. Dengan demikian masing-masing pihak mendapat keuntung dari
pelaksanaan tradisi bajapuik. Meskipun orang tua dari Y, sempat melakukan negosiasi untuk pengurangan jumlah uang japuik, namun pada akhir dapat
memenuhi jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA. 6.3.2. Kasus Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum
Pernikahan Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
Zym 54 tahun Zln 51 tahun adalah sepasang suami-isteri yang menikah di daerah Pariaman, karena kedua orang tua terutama dari ibu Zln
bermukim di sana. Zym 54 tahun adalah seorang karyawan pada salah satu anak perusahaan BUMN di kota Padang. Semenjak di bangku Sekolah Menengah
Pertama SMP, kedua orang tua bapak Zym telah meninggal dunia dan jadilah ia tinggal bersama lima orang saudaranya yang terdiri satu orang perempuan dan
empat orang laki-laki. Semenjak itu kehidupannya dibawah pengawasan seorang mamak yang domisilinya berdekatan. Berbeda dengan Zln adalah seorang
perawat pada salah satu perusahaan BUMN terkenal di kota Padang. Kedua orang tua ibu Zln, masih hidup. Bapak ibu ibu Zln adalah seorang pensiunan PNS pada
salah satu SD Negeri di daerah Pariaman. Mempunyai saudara kandung 6 orang yang terdiri 4 laki-laki dan 2 orang perempuan. Semua saudara-saudara, baik di
pihak bapak Zym dan ibu Zln sudah berumah tangga dan berdomisili ditempat yang berbeda.
Dari kecil hingga pendidikan Sekolah Menengah Pertama bapak Zym, menempuh pendidikan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke Sekolah Teknik
Menengah STM di Padang dan tinggal bersama salah seorang kakak di sana. Sambil sekolah bapak Zym bekerja membantu usaha kakak yang bergerak di
bidang usaha bangunan. Hitung-hitung dapat menanggulangi biaya hidup dan dapat melanjutkan pendidikan, maka sebagian waktu dicurahkan pada usaha
keluarga itu, hingga akhirnya tamat pada tahun 1973. Kondisi yang hampir sama juga dialami oleh ibu Zln, pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama SMP
ditamatkan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke tingkat Sekolah Lanjut Tingkat Atas SLTA pada salah satu sekolah keperawatan di Bukittinggi. Selama
menempuh pendidikan di sana ibu Zln menyewa kamar kost pada salah seorang rumah penduduk yang berdekatan dengan sekolahnya dan tamat tahun 1976.
Setelah menamatkan pendidikan, baik bapak Zym dan ibu Zln sama-sama mencari pekerjaan di kota Padang. Pekerjaan pertama yang didapatkan oleh ibu H.
Zln adalah sebagai pegawai honor pada salah satu BKIA yang berada di kecamatan Nanggalo. Sementara itu bapak Zym, masih pada usaha keluarga,
sambil menunggu dan mendapatkan pekerjaan yang tetap. Empat tahun kemudian, barulah mendapat perkerjaan yang tetap dan hingga menjelang pensiun masih
tercatat sebagai salah seorang karyawan pada perusahaan itu, sedangkan ibu Zln, setelah dari satu tahun di BKIA, lalu pindah honor di salah satu puskesmas yang
berada di Lubuk Buaya. Pekerjaan ini di jalani oleh ibu Zln selama dua tahun. Sambil menjalankan pekerjaan yang sudah ada, ibu Zln tetap memasukan lamaran
pekerjaan d tempat lain, hingga akhir diterima sebagai salah tenaga kesehatan di rumah sakit perusahaan PT Semen Padang. Pekerjaan ini berlanjut hingga saat ini.
Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Perjumpaan antara bapak Zym dengan ibu Zln berawal dari ajakan salah seorang teman pergi ke pesta perkawinan saudaranya. Sebagai tamu juga pada
pesta itu, pada umumnya hadirin yang datang tidak banyak dikenalnya. Meskipun demikian, itu tidak menjadi penghalang bagi ibu Zln untuk mengenal sosok teman
yang lain. Dengan duduk yang berdekatan dan saling menyapa antara ibu Zln dengan bapak Zym, dari sinilah hubungan persahabatn pada awalnya terjalin.
Perjumpaan demi perjumpaan yang dilakukan secara rutin, telah menguatkan hubungan di antara ibu Zln dengan bapak Zym dan berkembang
menjadi hubungan tali kasih di antara keduanya. Tepatnya 2 tahun sebelum pengangkatan keduanya sebagai pegawai tetap—pada saat itu ibu Zln masih
honor pada salah satu puskesmas dan bapak Zym bekerja pada CV Tani Subur milik bersama saudaranya.
Dari perkenalan itu diketahui bahwa di antara keduanya berasal dari daerah yang sama, tetapi lain desa dan kenagarin. Bapak Zym berasal dari di desa
Gasan kenagarian Kuranji Hilir dan ibu Zln dari desa Pilubang kenagarian Pilubang. Dengan latar belakang yang sama di antara bapak Zym dengan ibu Zln,
maka komunikasi berjalan lancar dan pembicaraan berkembang kepada masalah keluarga, seperti jumlah saudara, pekerjaan orang tua dan serta tempat tinggal
masing-masing. Di Kota Padang, domisili di antara keduanya berdekatan pada awalnya dan
itu berlangsung lebih kurang 2 tahun. Kemudian masuk tahun ketiga hubungannya, domisili di antara keduanya mulai berjauhan; ibu Zln di Padang
Selatan dan bapak Zym di Padang Utara. Meskipun demikian, jarak tidak menghalangi pertemuan di antara keduanya. Setiap hari sabtu atau libur menjadi
pertemuan di antara keduanya. Sampai ke jenjang pernikahan hubungan antara
bapak Zym dengan ibu Zln berlangsung hingga 4 tahun lamanya.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi
Bajapuik
Pada tahun 1980 antara bapak Zym dengan ibu Zln menikah, setelah masing-masing bekerja selama dua tahun di tempat pekerjaannya saat ini. Pada
saat itu bapak Zym berumur 26 tahun dan ibu Zln 23 tahun. Dipihak keluarga ibu Zln, dengan usianya itu sudah pantas untuk berumah tangga, begitu juga di pihak
keluarga bapak Zym. Usia yang cukup dewasa dan telah pula mempunyai pekerjaan telah mendorong keduanya untuk segera menikah.
Pada saat berhubungan dekat berpacaran, antara bapak Zym dengan ibu Zln telah sepakat untuk tidak melaksanakan tradisi bajapuik dengan uang japuik
dan jikapun ada, tetapi jumlahnya tidak terlalu besar. Dukungan itu didapat pula dari saudara laki-laki bapak Zym yang berdomisi di kota Padang. Tetapi ketika
waktu pertunangan tiba dan dilaksanakan di kampung Pariaman, mamak dari bapak Zym meminta uang japuik kepada pihak keluarga ibu Zln sebanyak Rp 3,5
juta. Jumlah itu cukup besar, sehingga mengagetkan orang tua dari ibu H.Zln pada awalnya. Meskipun demikian, orang tua dari ibu Zln tetap bersikap tenang
dan menyanggupi permintaan itu karena baginya uang japuik telah menjadi tradisi dan diwariskan turun-temurun. Kewajiban memberikan uang japuik merupakan
kewajiban bagi pihak perempuan. Dengan pertimbangan itu orang tua dan keluarga besarnya ibu Zln menyanggupi jumlah uang japuik yang diminta oleh
pihak keluarga bapak Zym. Bagi pihak keluarga bapak Hzn, jumlah yang cukup besar itu diminta
kepada pihak keluarga ibu Zln dengan pertimbangan; 1 telah mempunyai pekerjaan yang tetap; 2 prestise atau kehormatan mamak—masyarakat akan
memandang tinggi kepada mamak di mana kemenakannya mempunyai status yang tinggi mamak dan akan merasa malu bila kemenakannya tidak dijemput; 3
adanya keingginan mamak mengambil kemenakan bapak Zym untuk dijadikan menantu.
Untuk pemenuhan uang japuik, di pihak keluarga ibu Zln tidak menjadi tanggungan orang tua. Keluarga besar extended family, terutama mamak turun
tangan berpartisipasi menanggulangi jumlah uang japuik. Selain itu, ternyata bapak Zym turut pula membantu memenuhi uang japuik. Bantuan dari bapak Zym
diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap beban yang dipikul oleh pihak keluarga dari ibu Zln, untuk meringan biaya uang japuik. Kedekatan hubungan
antara bapak Zym dan ibu Zln, sebelum pernikahan, telah mengetuk perasaannya untuk membantu orang tua dari ibu Zln dengan tanpa diminta. Dimata bapak Zym,
ibu Zln merupakan wanita pantas dan cocok dijadikan pendamping hidup. Selain sekampung, punya pekerjaan dan juga mempunyai wajah yang cukup menarik.
Takut akan kehilangan gadis pujaannya, telah mendorong bapak Zym untuk memberikan sejumlah uang kepada ibu Zln untuk diserahkan kepada orang
tuanya. Ternyata pengenalan yang cukup lama tidak dapat meluluhkan atau
menghilang tradisi bajapuik. Oleh sebab itu, oleh aktor yang terlibat seperti bapak Zym melakukan penyesuaian dalam tradisi bajapuik dalam bentuk memberikan
bantuan kepada orang tua dari ibu Zln. Pada saat itu pelaksanaan perkawinan antara bapak Zym dengan ibu Zln tetap memakai uang jemputan atau uang hilang.
Jumlah uang jemputan atau uang hilang yang diminta oleh pihak laki-laki, terutama mamak dari bapak Zym relatif tinggi, merupakan suatu bentuk
peranannya yang dimainkan dalam tradisi bajapuik.
6.3.3. Kasus Perkawinan Dengan Kedudukan Setara Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga
Umumnya antara TM 39 tahun dan AZ 39 tahun mempunyai banyak kesamaan mulai dari umur, pendidikan dan profesi yang ditekuni. Pada saat
menikah sama berumur 27 tahun dan mempunyai profesi yang sama yakni sebagai staf pengajar pada salah satu Universitas Negeri terkenal di kota Padang. Saat ini
usia keduanya sama-sama 39 tahun, dengan pendidikan terakhir pascasarjana S2. dan telah mempunyai 3 orang anak terdiri; 2 orang perempuan dan 1 orang laki-
laki. Meskipun demikian perbedaan di antara keduanya terletak pada latar
belakang dan perjalanan hidup keduanya. Semenjak pendidikan Sekolah Dasar SD hingga pergurunan Tinggi, TM berdomisili di kota Padang bersama kedua
orang tua. dan saudara-saudaranya. Hampir semua kehidupannya dilalui di kota Padang dan hanya 6 tahun saja usianya dihabis di daerah kelahirannya di
Pariaman. Pekerjaan orang tua TM yang bekerja sebagai salah seorang pegawai pada instansi pemerintah telah membawa TM bersama ibu dan 4 orang saudaranya
pada waktu itu pindah ke kota Padang. Tepatnya pada tahun 1975, bahkan 2 orang adik TM lahir di kota Padang. Jadilah semua keluarga TM semuanya
berdomisili di kota Padang. Pulang ke kampung hanya ketika waktu tertentu saja seperti lebaran dan melihat bila ada anggota kerabat yang sakit atau melaksanakan
pesta.
Berbeda dengan AZ, dengan orang tua yang berdomisili di kampung Lubuk Alung mewarnai perjalanan pendidikannya. Pendidikan Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Pertama SMP dilalui kampung halamannya. Ambisi dari orang tua dan mamak untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah tamat dari
sekolah Menengah atas memaksa AZ untuk meninggalkan kampung dan masuk ke Sekolah Analisis Kimia Menengah Atas SAKMA di Padang. Setelah tamat
dari SAKMA, AZ mempunyai gagasan baru tentang masa depannya dan mengambil inisiatif mengambil ujian persamaan pada salah satu SMA di kota
Padang agar dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Jadi setingkat tamat sekolah Menengah Tingkat Atas SLTA, AZ mempunyai dua buah ijazah
yakni ijazah SAKMA dan ijazah Sekolah Menengah Atas SMA. Melalui ijazah SMA itulah, AZ hingga saat ini dapat melanjut pendidikan ketingkat yang lebih
tinggi pascasarjana. TM mempunyai saudara berjumlah 7 orang terdiri dari; 2 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki. Semua saudara TM telah berhasil menamat pendidikan hingga sampai Perguruan Tinggi dan enam orang di antaranya telah
bekerja pada instansi pemerintah dan swasta. Hanya 1 orang yang belum bekerja dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana S2 di Institut Teknologi
Bandung ITB. Sementara itu di pihak AZ mempunyai saudara 4 orang terdiri dari; 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dua di antaranya bekerja sebagai
PNS dan 2 orang lagi masing-masingnya berprofesi sebagai pedagang dan ibu rumah tangga.
Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan
Pertemuan TM dengan AZ berlangsung pada bulan Februari 1998. Setelah keduanya diperkenalkan oleh salah seorang anak tetangga dari TM. Secara tidak
sengaja, AZ bertemu anak tentangga yang bernama R di salah satu Warung Telkom Warnet yang kebetulan sama-sama mempunyai tujuan yang sama untuk
menelpon. Sambil menunggu antrian, antara AZ dan R terlibat pembicaran mengenai
pengalaman masing-masing. Tidak hanya sampai disitu, pembicaraan juga merembes ke persoalan lain terutama R menanyakan beberapa orang yang
dikenalnya, yang sama bekerja dengan AZ. Karena baru saja menjadi staf
pengajar di Universitas itu, AZ tidak mengenal orang yang dimaksud oleh R. Namun AZ sendiri menjadi penasaran dengan salah satu yang disebutkan R,
sehingga mendorong AZ untuk mengenal lebih jauh. Akhirnya disepakati untuk bertemu dengan orang yang dimaksud R.
Karena hari sudah sore menjelang magrib, maka AZ diajak R untuk sholat magrib di rumah pak eteknya. Keduanya sholat magrib di sana. Menjelang sampai
ke rumah TM, AZ diajak mampir ke rumah R yang jaraknya ± 50 meter dari rumah TM. Bagi R tujuan hanya untuk sekedar menukar pakaian dan AZ dengan
sabar menunggu aba-aba berikutnya. Setelah semuanya siap, maka berangkatlah AZ dengan R ke rumah TM.
Sampai di tempat yang dituju, ternyata orang yang dimaksud tidak berada di rumah dan sedang berada di luar kota. AZ sebagai orang yang mempunyai
maksud hanya terlibat pembicaraan dengan orang tua, dan adik-adik TM. Sementara R sendiri hanya sekedar menimpali pembicaraan-pembicara yang
sekali-kali mengarah kepadanya. Sambil mencairkan suasana AZ mengambil dan melihat-lihat album yang ada dietelase meja tamu. R yang duduk berdekatan turut
mengarahkan AZ kepada orang yang dimaksudnya. Hampir 2 jam lama mengobrol dengan tuan rumah, akhirnya AZ dan R mohon pamit untuk pulang,
sambil menitipkan sebuah kertas kecil yang berisi identitas dirinya kepada tuan rumah agar disampaikan kepada TM.
Sehari setelah kedatangan keduanya, TM pulang ke rumah. Sesampai di rumah TM disambut dengan sebuah guyonan dari salah seorang adik laki-lakinya
di mana ada seorang laki-laki yang ingin mengajak berkenalan. Belum sempat menjawabnya, adik laki-laki itu menimpali lagi, terima sajalah karena orang itu
satu profesi dan “ganteng” lagi. Ucapan yang dilontarkan dari adik laki-lakinya membuat TM penasaran, meski pada saat itu tidak dilihatkan secara nyata.
Bak seperti pepatah, “pucuk dicinta, ulam tiba”, ternyata yang diharapkan kehadiran menampakan titik terang. Kira-kira jam 5 sore, setelah 2 jam setelah
TM sampai di rumah datang telpon dari AZ yang menyampaikan keinginan untuk datang dan bertemu dengan TM setelah sholat magrib. Sesuai dengan waktu yang
telah dijanjikan, tidak lama kemudian AZ muncul dan disambut langsung oleh TM dan dipersilahkan masuk dan duduk. Perbicaraan pada pertemuan pertama
berkisar masalah pekerjaan. Karena keduanya berasal dari bidang sama, maka pembicaran menjadi hangat dan berkembang.
Setelah pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Berbagai alasan yang dapat dijadikan AZ untuk bisa bertemu dengan,
termasuk ingin mengetahui tempat pekerjaan TM. Satu bulan berikutnya, barulah AZ menyampaikan maksud dan tujuannya kepada TM bahwa ia ingin
berhubungan serius. Sebagai tindak lanjut dari sikapnya itu, besok harinya AZ langsung membawa TM ke rumah orang tua dan saudaranya untuk diperkenalkan.
Ternyata respon dari pihak keluarga AZ cukup baik dan menerima TM untuk calon isteri anak atau adiknya. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya orang tua
AZ melalui anaknya mempersilahkan orang tua TM untuk datang ke rumahnya dalam rangka melakukan proses perkawinan yang akan dilalui. Kemudian 6 bulan
setelah itu, barulah dilakukan pernikahan yakni tepatnya pada bulan November tahun 1997.
Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi
Bajapuik
Proses perkawinan yang dilalui cukup unik, dan itu merupakan suatu perjalanan hidup yang harus dilalui oleh seseorang. Perjalanan hidup seseorang
tidak ada yang persis sama dan inilah yang menjadi karakteristik TM dengan AZ. Perkenalan melalui anak tetangga yang akhirnya berlanjut keperkawinan
merupakan suatu perjalanan dan garis hidup yang harus dilaluinya. Dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki, keduanya
mempunyai banyak kesamaan. Di antara keduanya tidak ada yang lebih satu sama lain, atau dapat dikatakan menempati strata dan level yang sama. Namun pada
saat melangsungkan perkawinannya memakai uang japuik sebagai kharakteristik dari tradisi bajapuik tetap dibebankan kepada pihak perempuan. Status yang sama
dari TM calon mempelai perempuan tidak menjadi pertimbangan bagi keluarga AZ. Dengan aturan yang berlaku role of the game dari tradisi bajapuik yang
biasa berlaku bahwa pihak perempuan yang akan memberi uang japuik, itu saja yang menjadi pegangan bagi keluarga AZ untuk meminta uang japuik. Artinya
bagi keluarga di pihak AZ, permintaan uang japuik kepada keluarga pihak TM dengan pertimbangan uang japuik sudah menjadi tradisi dan harus dilaksanakan
oleh pihak perempuan yang dalam hal ini orang tua TM.
Jumlah uang japuik yang diminta dari pihak AZ berjumlah Rp 5 juta. Jumlah itu merupakan hasil kesepakatan dari orang tua, saudara kandung dan
mamak dari AZ sendiri tidak di minta pertimbangannya. Karena masalah penentuan jumlah uang japuik bukan menjadi urusan AZ. Bagi orang tua AZ
jumlah itu didasarkan atas status yang dimiliki oleh AZ sebagai seorang staf pengajar pada salah satu Perguruan Tinggi negeri di kota Padang, disamping pada
waktu yang sama orang tua AZ juga membutuhkan dana pula untuk menikahkan adik perempuannya.
Sementara itu bagi di pihak keluarga TM, jumlah uang japauik itu dapat diterima, dengan alasan sudah menjadi adat kita. Untuk itu tidak mungkin untuk
menolaknya dan telah diwarisi semenjak dahulunya. Oleh sebab itu agar dapat suamimenantu, maka uang japuik harus dipenuhi. Apalagi kita berasal dari
daerah yang sama dan telah paham dengan sistem perkawinan yang ada.
Dari ketiga kasus di atas baik perkawinan yang dilakukan dengan sesama kerabat, perkawinan melalui perkenalan pacaran dan perkawinan sesama
kedudukan yang setara, semua memakai tradisi bajapuik dengan uang japuik. Pertimbangan yang diambil oleh pihak keluarga perempuan adalah nilai budaya
yakni bagaimana cara untuk mendapatkan seseorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau suami untuk anak perempuan. Untuk itu cara-cara yang diambil
adalah dengan memenuhi persyaratan yang menjadi tradisi di dalam masyarakatnya. Sikap pihak keluarga perempuan yang demikian pada hakekat
dibenarkan pula oleh nilai adat yang berlaku khususnya adat Minangkabau. Jika dalam adat Minangkabau membolehkan menjual harta pusaka untuk mendapatkan
seorang laki-laki yang akan menjadi suami bagi anak perempuan, maka di dalam masyarakat Pariaman memakai uang japuik. Dengan demikian adanya nilai
budaya inilah menjadi eksisnya tradisi bajapuik hingga saat ini. Dengan merujuk kepada proposisi Homans tentang nilai, maka semakin tinggi nilai tindakan
seseorang bagi dirinya, maka makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu Homans dalam Ritzert Goodmann, 2004.
6.4. Ringkasan Bab