Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan

Minangkabau, makam beliau hingga dewasa ini, terutama setiap bulan Syafar ramai diziarahi oleh penduduk untuk basapa mengadakan upacara bulan syafar.

4.3.2. Pariaman Sebagai Tempat Lalu Lintas Perdagangan

Pariaman terletak pada tempat yang strategis yakni di tepi Barat Pantai Sumatera. Dengan posisi itu secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dari alam Minangkabau lainnya. Pariaman lebih terbuka bagi lalu lintas air khususnya laut dan dengan sendirinya hubungan dagang dengan daerah-daerah luar alam Minangkabau jauh lebih mudah dilakukan. Apalagi Pariaman dilengkapi pula oleh sebuah bandar pelabuhan yang sudah ada semenjak abad ke 14 dan menjadi bandar pelabuhan terbesar hingga akhir abad 17. Dengan fasilitas yang dimiliki itu, Pariaman mempunyai kegiatan dagang yang besar pula dan menjadi pos dagang terpenting di daerah Pesisir Barat Sumatera dengan jenis komoditi berupa lada dan emas. Saudagar yang datang ke pelabuhan ini tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar Minangkabau yakni Aceh dan bangsa Asing. Pada awalnya Aceh masuk melalui daerah Natal dan Pasaman yang merupakan daerah penghasil emas dan hasil bumi penting lainnya. Selain itu Gunung Ophir, puncak Pasaman menurut mythologis diperkirakan banyak mengandung emas yang membuat silau mata sehingga daerah ini jatuh dibawah pengawasan politik ekonomi suku Aceh sejak pertengahan abad ke 16. Setelah itu Aceh masuk melalui bandar pelabuhan Tiku dan Pariaman, karena kedua sebagai tempat penyalur penting dari lada dan emas yang dihasilkan oleh alam Minangkabau. Namun pada akhirnya hanya melalui Pariaman, karena mempunyai bandar pelabuhan dan kegiatan dagang terbesar saat itu. Untuk itu Aceh menempatkan gubernur militersyabandarnya 2 Dalam rentang waktu yang hampir sama, daerah Pariaman juga dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing lainnya. Orang asing pertama yang masuk ke wilayah Pariaman di awali oleh bangsa Potugis pada tahun 1446-1524. Kemudian di bandar sebelah Utara Pariaman sebagai simbol kedudukannya di daerah Pariaman. Selain itu, suku Aceh juga melakukan transaksi dengan petani-petani dari Minangkabau dari daerah darek. 2 Sebutan bagi pejabat tinggi Aceh, kemudian pada akhirnya digunakan sebagai nama tempat keduduknya. disusul oleh pedagang dari Perancis pada tahun 1527 dan pada saat itu sempat pula singgah ke daerah Tiku, Indrapura dan Barus. Berikutnya menyusul pula pedagang-pedagang gujarat dari Arab, Parsi, dan Turki. Sementara itu di pihak lain, pedagang Eropa mulai pula secara rutin memijakkan kakinya di daerah ini. Diakhir abad 16 bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman untuk pertama kali. Dua buah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara Aceh dan Pasaman dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman. Pada tahun 1686, orang Pariaman mulai berhubungan dengan Inggris. Inilah puncak kejayaan daerah Pariaman sebagai kota dagang dan pelabuhan. Perdagangan yang dilakukan tidak hanya sebatas pelabuhan, tetapi juga meliputi daerah pedalaman dan ke luar Pariaman. Di daerah pedalaman barang- barang yang diperdagangkan seperti emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Selanjutnya melalui pelabuhan Pariaman, perdagangan tidak hanya sebatas hasil bumi. Seperti yang dikatakan oleh Tomec Pires, perdagangan ke luar Pariaman memperdagangkan kuda yang dibawa ke daerah Batak dan Sunda. Pada saat itu, Pariaman bisa dikatakan sebagai bandar perdagangan yang sibuk dan menjadi tujuan perdagangan dan sekaligus menjadi rebutan bangsa asing. Dalam jaringan perdagangan Minangkabau pada saat itu, model hubungan antara penjual di pedalaman dan pemasok asing untuk barang-barang impor adalah sistem pialang pantai. Pada model ini antara penjual dan pembeli bertemu atau berlabuh ditempat yang telah berkembang dan sebagai jalur perdagangan yang aman, sehingga saat itu daerah pantai Pariaman yang memungkinkan sebagai tempat keluar masuknya barang-barang utama seperti emas diawal masa perdagangan. Posisi dan kedudukan daerah Pariaman yang demikian bertahan hingga sampai pertengahan abad ke tujuh belas. Kemudian setelah itu, kejayaan Pariaman mulai meredup seiring dibagunnya pelabuhan Muaro yang lebih besar di Kota Padang oleh Belanda. Tujuan Belanda pada saat itu, agar dapat menampung kapal-kapal besar yang sebelumnya tidak dapat tertampung di Pariaman. Adanya pelabuhan baru dan besar ini, sudah barang tentu para pedagang lebih memilih melabuhkan di Pelabuhan Muaro di Kota Padang dan meninggalkan pelabuhan Pariaman. Keadaan itu terus di perburuk dengan dibangunnya jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada tahun 1908. Akibatnya para pedagang dari daerah Minangkabau lain dapat langsung menuju pelabuhan muaro Padang dan mengabaikan pelabuhan di Pariaman hingga saat ini. Dengan posisi Pariaman di tepi pantai itu, ada dua peranan yang dimainkannya yakni sebagai tempat perkembangan agama Islam pada awalnya dan sebagai tempat perdagangan baik ditingkat regional maupun ditingkat global. Dari kedua peranan inilah kira munculnya dasar kebangsawanan yakni dari penyebaran agama Islam dan perdagangan yang menyinggahi daerah Pariaman. 4.4. Struktur Sosial Masyarakat Pariaman. Struktur sosial masyarakat Pariaman pada hakekatnya tidak berbeda dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau pada umumnya. Dalam adat Minangkabau, masyarakat disusun dan ditata menurut ciri sistem matrilineal. Orang hidup dalam suatu sistem kekerabatan yang dihitung menurut garis ibu atau yang disebut dengan saparuik. Saparuik merupakan susunan masyarakat Minangkabau yang terkecil 3 Orang sumando adalah sosok yang paling dihormati di dalam keluarga istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung oleh sikap keluarga. Ini adalah imbangan sebagai cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah mengatakan”rancak rumah dek rang sumando, elok hukum dek ninik mamak”. Artinya semarak rumah karena ada sumando dan tegaknya hukum karena ada ninik mamak. Maksudnya keharmonisan suatu keluarga tergantung kesanggupan . Jika di-Indonesiakan secara harfiah artinya “Perut”. Yang dimaksud paruik di sini adalah suatu keluarga besar atau famili, yang semua anggota keluarganya berasal dari satu perut dan para suami dalam suatu keluarga tidak termasuk di dalamnya. Menurut istilah adat Minangkabau para suami disebut “sumando”. Sumando biasa juga disebut “orang datang”, karena keberadaannya sebagai pendatang di rumah Istrinya. Memang begitulah perkawinan yang bersifat Matrilinial, bukan istri yang tinggal di rumah suami, tetapi sebaliknya. 3 Setelah itu diikuti oleh jurai, kampung, suku dan nagari. Semuanya itu secara berturut-turut menunjukan perkembangan jumlah warga yang semakin besar. si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan kemenakannya.Tiap tiap paruik dipimpin oleh seorang mamak yang dijabat oleh laki-laki dari saudara ibu, atau yang disebut dengan mamak rumah. Mamak rumah menjadi wakil-pembina-pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat. Tugasnya ialah mengampungkan, artinya memelihara, membina, memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmaniah maupun rohaniah kemenakan- kemenakannya, yaitu anak-anak dan anggota-anggota dari seluruh keluarganya. Namun demikian dalam tata tertib dan aturan-aturan dalam suatu rumah gadang, sebagai ungkapan adat berikut ini: Kemenakan beraja kepada mamak Mamak beraja penghulu Penghulu beraja musyawarah Musyawarah beraja kepada patut dan benar. Artinya, kemenakan tunduk dibawah perintah mamak Mamak tunduk dibawah perintah penghulu Penghulu tunduk dibawah perintah musyawarah Musyawarah tunduk dibawah perintah patut dan benar. Pepatah di atas memperlihat susunan masyarakat dalam adat Minangkabau menempatkan mamak berada pada posisi yang lebih tinggi di dalam lingkungan keluarga, sehingga hubungan mamak dengan kemenakan, berjenjang naik dan bertangga turun”, sehingga dalam masyarakat melahirkan konsep pimpinan dengan anak buah. Seorang pimpinan berada di tangan mamak dan anak buah berada ditangan kemenakan. Berkaitan dengan pembagian daerah Minangkabau atas darek dan rantau, sebutan untuk pimpinan dalam masyarakat menunjukan perbedaan. Di daerah darek, seorang mamak menempati posisi di atas disebut juga dengan tunganai, dipanggil datuk dan memakai gelar pusaka kaumnya dan tugasnya sebagai pembimbing dan pembina kaum. Ia disebut penghulu, dipanggil datuk dengan gelar pusaka kaumnya. Susunan masyarakat yang demikian tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan suku sebagai kesatuan geneologisnya. Seorang penghulu, kedudukan dan fungsinya di dalam masyarakat berdasarkan pilihan seluruh anggota keluarga perut, kaum dan suku. Oleh karena itu seorang penghulu mamak tidak mempunyai harta pusaka dari anak maupun dari kemenakannya. Seorang penghulu adalah ningrat-jabatan dengan hak-hak istimewa prerogatif yang melekat pada pusaka yang dipakainya sebagai penghulu dan inhaerent pada jabatan itu. Berbeda dengan daerah Rantau dan Pesisir, seorang penghulu disebut “tuanku”. Seorang penghulu sering bergelar raja. Menurut Mansoer 1970, dizaman pemerintahan Belanda istilah tuanku digunakan sebagai sebutan kepala daerah, seperti kepala nagari, kecamatan asisten Demang, “onderafdeling atau kewedanan Demang. Di daerah Rantau kedudukan penghulu yang disebut raja turun-temurun dari Bapak kepada anak. Demikian pula dengan daerah Pesisir, seperti Indrapura dan daeran Pariaman. Gelar sidi, bangindo dan sutan adalah untuk golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan dan fungsi mendekati golongan ningrat di daerah Jawa. Untuk membedakan golongan ini dari lapisan rakyat biasa mereka lazim disebut “orang berbangsa”. Seorang orang berbangso, apabila mempunyai kedudukan dan fungsi, maka panggilan kepadanya adalah “tuanku”, namun sebalik, jika tidak memangku jabatan dipanggil titel gelarnya saja sidi, bagindo dan sutan. Golongan inilah yang menempati posisi di atas dalam masyarakat Pariaman. Karena dianggap mempunyai asal-usul yang jelas dan kepadanya diberi uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, terutama akibat pengaruh ekonomi telah menggeser posisi laki-laki yang mempunyai gelar sidi, bagindo dan sutan kepada pekerjaaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Terutama yang mempunyai penghasilan ”besar”, seperti pekerjaan kantor punya SK. Bagi masyarakat Pariaman, posisi dan status laki-laki yang demikian adalah posisi yang mempunyai nilai guna ekonomi karena tidak ada harta agar dapat menghidupi keluarga inti dan keluarga besar yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu tradisi bajapuik pada saat ini sebagai upaya mencari laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi punya pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dalam tradisi bajapuik ada kecenderungan, pilihan masyarakat jatuh kepada pekerjaan yang di miliki oleh seorang laki-laki. Kehidupan ekonomi yang semakin sulitnya dan banyaknya pengangguran karena krisis ekonomi telah mendorong pilihan masyarakat kepada pekerjaan yang ”banyak menghasilkan uang”, meskipun tidak menempuh pendidikan tinggi PT, karena pendidikan tinggi belum tentu dapat menghasilkan uang, sehingga pekerjaan sebagai pedagang merupakan alternatif untuk mendapatkan laki-laki yang mempunyai penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Isi toko yang padat dan jenis barangan yang diperjual belikan mempunyai nilai tinggi yang laku dipasaran merupakan pilihan yang memberikan keuntungan bagi posisistatus sosial laki-laki di Pariaman. Berdagang merupakan merupakan suatu bentuk pertimbangan lain untuk mencari seorang laki-laki yang menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus kesempatan untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap SK. Kondisi ini dalam teori pertukaran Homans disebut dengan tindakan yang bernilai, makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu.

4.5. Adat Perkawinan Dalam Tradisi Bajapuik