BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Konsepsi Perkawinan
Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht hukum ibu 1861. Dalam
buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater pelacur kuil dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang
tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita
mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap laki-
laki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil hubungan kelamin yang tidak teratur datanglah perkawinan Ball, 1987. Jadi dari sinilah awal munculnya
istilah perkawinan. Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia,
menurut Fairchild 1966 dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan
perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1 perkawinan monogami dan 2 poligami.
Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami polyandry
atau isteri polyginy. Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan adat yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya
sebuah keluarga baru. Pada perkembangan berikutnya, konsepsi perkawinan mengikuti
konstruksi sosial; konstruksi masyarakat setempat, para ahli dan pemerintah Afrizal, 1997. Ini berarti para ahli tersebut mempunyai konsepsi atau definisi
masing-masing terhadap istilah perkawinan. Bahkan ada para ahli yang tidak membedakan antara konsep perkawinan dan konsep pertemanan atau pacaran
yang di dalamnya terdapat hubungan seksual. Otterbein 1972 misalnya, perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tinggal
bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough
dalam Afrizal, 1997, pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di
dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis
perempuan itu menjadi “suaminya”. Tetapi isteri dari perempuan itu diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu
tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga
mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Gough dalam Keesing 1992, misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat
kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat.
Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball 1987, perkawinan adalah hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri
karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach 1986, perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai
akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Pendapat para ahli di atas, kiranya sama dengan ajaran Islam yang di anut
oleh sebagian besar warga Indonesia, perkawinan tidak hanya pengesahan anak yang lahir akibat hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan, tetapi juga penglegitimasian hubungan seksual itu sendiri. Melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perilaku haram.
Berdasarkan konsepsi-konsepsi perkawinan di atas, maka jelaslah bahwa perkawinan merupakan suatu institusi yang memainkan peranan penting dalam
kehidupan individu dalam masyarakat dalam rangka mengatur hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dan juga akibat dari hubungan itu.
Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak.
Goodenough 1970 dalam Keesing, 1992 mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita,
korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terus- menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil
transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi
perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan life cyle manusia.
2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam
lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan
sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat. Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih
ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk
perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan.
Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan kawin rampok
1
1
Lihat Bachofen 1861 dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga dekade 1970. Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980.
Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.
. Perkawinan ini dilakukan dengan merampas anak dara. Perkawinan ini dapat menimbulkan permusuhan, yang
disebabkan oleh penculikan itu. Sebenarnya penculikan terjadi dalam rangka untuk menentukan tempat perkawinan patrilokal sebenarnya virilokal. Bentuk
perkawinan ini merupakan suatu permulaan dan tertua dari tata tertib perkawinan. Bentuk perkawinan ini ada dalam tahap peralihan, akan tetapi hanya sebagai
bentuk setara yang lebih sering terdapat pada bentuk-bentuk penculikan konvensional yang dapat diterima Ball, 1987; Koentjaraningrat, 1980.
Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain group ethnic. Dalam bentuk perkawinan ini di
dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980. Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin
dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anak- anaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta
saudara tiri Newman dan Grauerholz, 2003. Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan
kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih
besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja. Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri
dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka
kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980. Bentuk perkawinan ini menurut Newman dan Grauerholz, 2003, terjadi
dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain
itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak
perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat Keesing, 1992. Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional,
yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya. Perkawinan di Minangkabau adalah eksogami suku yakni kawin keluar
suku. Perkawinan yang dilakukan tidak menyebabkan seseorang keluar atau meninggalkan kelompok kerabat asalnya dan masuk ke dalam kelompok
kerabat pasangannya. Laki-laki yang melakukan perkawinan tetap menjadi bagian dari warga kaum dan sukunya. Sebagai suku bangsa yang menganut sistem
matrilokal, laki-laki yang telah menikah hanya menjadi sumando di rumah istrinya. Begitu juga dengan pasangan wanitanya, tetap menjadi bagian dari warga
kaum dan sukunya. Sementara itu anak yang dilahirkan akibat perkawinan itu, akan menjadi anggota kaum dan suku ibunya dan bukanlah kaum dan suku
ayahnya Pintu, 2000. Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang sumando sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah
tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal Amir, 2006. Sebagai orang datang, seorang suami sumando diharuskan untuk
bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah
laku sumando Amir, 2006; Navis, 1984. Pertama, sumando ninik mamak adalah sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang
menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung
dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena
menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat,
sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh
dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri
dan hanya berfungsi sebagai pejantan Amir, 2006; 1987. Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau
menetapkan sumando banyak gunanya Navis, 1984 antara lain : 1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman
menjadi ramai dan berseri. 2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga.
3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung halaman, dan penolong ninik mamak
4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung.
5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan.
Sekalipun dalam perkawinan seorang laki-laki terikat dengan kehidupan rumah tangganya dan di manapun ia berada, tidaklah terlepas dari suatu
tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya Hakimy, 1984. Hal ini berarti, seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping
kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan
serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan baik.
Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada
bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin bridewealth Koentjaraningrat, 1980, harta bawaan dowry Croll dan Ursula,
1980 dan pemberian Mauss, 1992. Mas kawin bridewealth yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang
diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992. Mas kawin bridewealth, yang berupa barang antaran
banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah
mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu
dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna
simbolis Keesing, 1992. Mas kawin bridewealth biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda
atau bilateral. Van den Berge dalam Sanderson 2000, melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan
hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak
banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok
kerabat mereka sendiri. Untuk penentuan mas kawin kadang-kadang dilakukan melalui perundingan
antara kedua belah pihak. Ini berarti mas kawin mengikut sertakan keluarga masing-masing mempelai. Menurut Keesing 1992, orang tidak memiliki sarana
untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya
sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin
harus diberikan ada 3 tiga kemungkinan: 1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan
siapa yang akan menerima mas kawin tersebut. 2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri.
3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis Koentjaraningrat,1992:104.
Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan.
Harta bawan ini menurut Van den Berghe 1979, mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat
menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan Sanderson, 2000. Di pihak lain Lamanna dan Friedman 1991, melihat dowry sebagai harta jaminan
yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem
dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan
menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan Pesek, 2007. Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam
perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita
begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah
terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai
pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis Keesing, 1992. Besar kecilnya dowry, yang di bawa ke dalam perkawinan tergantung pada
status individu dan keluarganya di dalam masyarakat. Dowry, bisa menjadi penentu kebahagian wanita dalam perkawinan. Karena selain banyaknya barang
yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas
2
2
Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat
wanita dalam perkawinan tersebut. Kemudian setelah itu, dalam
perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya Lamanna, dan Riedmann, 1981.
Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh Mauss, 1992. Secara umum pemberian merupakan sebagai
bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompok- kelompok masyarakat itu secara menyeluruh Suparlan 1992.
Menurut Mauss 1992, dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling
mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh total system di mana setiap unsur dari
kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar,
pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu
sebagai prestasi prestation yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari
barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan
dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan
masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal.
Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan
berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompok- kelompok.
Adapun tukar-menukar pemberian prestasi itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan
kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter.
2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang
mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu.
3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu
dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi prestaion.
Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi
kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si
pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan
penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh
sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak
mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah
kedudukan daripada si pemberi. Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku
dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus 1990; Navis 1984, uang jemputan
adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan.
Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai
penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan
uang dapua uang dapur, tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu.
Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka
semakin tinggi uang jemputannya. Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah
adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan Arifin, 1984. Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar
kebangsawanan keturunan dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh
dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki tempat syech tinggal meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga
perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan tingkatan. Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan
pernikahannya Amran, 1991. Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang
akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan
menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi
perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik. Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang
menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka 1982:5, “pada
saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak. Untuk selanjutnya gelar kebangsawanan disebut juga dengan gelar
keturunan, karena dalam praktek berikutnya gelar-gelar itu diturunkan lagi dari ayah kepada anak laki-laki. Menurut terminologi Linton dalam Garna, 1996:179,
disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat
Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadang bagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar.
Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaantradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun
penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi.
2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau