38
2.5.3 Aspek sosial politik
Suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan khususnya di wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil hanya dapat dicapai apabila didukung oleh politik
yang demokratis dan transparan. Untuk mewujudkan kondisi ini, maka kebijakan yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1 Dalam menyusun setiap perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil hendaknya harus
independen tanpa mendapat tekanan dari pihak lain. 2 Dalam menyusun perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di
wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil hendaknya dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan ekonomis.
3 Dalam menyusun perencanaan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil agar dilakukan dalam dua arah, yaitu perencanaan yang bersifat
“top down” dan “bottom up” sesuai kebutuhan masyarakat, dan bukannya sesuai keinginan pemerintah atau pejabat.
2.5.4 Aspek hukum dan kelembagaan
Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan harus ditopang oleh kepastian hukum yang
jelas dan sistem kelembagaan yang akomodatif. Aspek ini mensyaratkan bahwa segala kebijakan yang telah ditetapkan harus ada jaminan hukum yang jelas,
sehingga setiap pihak yang menyalahi akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan. Kebijakan yang harus diterapkan dalam aspek hukum dan
kelembagaan dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil adalah:
1 Melengkapi peraturan perundangan untuk mengatur dan memantau penerapan kebijakan yang telah ditetapkan.
2 Melengkapi peraturan yang mengatur alokasi pemanfaatan ruang dan sumberdaya di wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil.
3 Untuk menjamin terlaksananya peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan dalam mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir, lautan dan
pulau-pulau kecil, maka diperlukan penegakan hukum yang berwibawa dan konsisten.
39
Dalam bidang kelembagaan, sekarang ini terdapat berbagai pihak yang memanfaatkan daerah pesisir dan pantai untuk berbagai kepentingan, seperti
perindustrian dan perdagangan, pariwisata, pertambangan dan energi, pemukiman penduduk, perikanan dan budidaya laut, kehutanan, perhubungan dan sebagainya,
yang seringkali menimbulkan permasalahan konflik pemanfaatan ruang dan masalah tumpang tindih wewenang antar sektor. Konflik yang timbul ini akibat
dari pelaksanaan peraturan perundangan yang pendekatannya cenderung bersifat sektoral. Selama ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dilakukan secara sektoral
yang secara nyata telah menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan dan juga menghilangkan peluang pembangunan sektor lain.
Upaya menanggulanginya perlu adanya kriteria-kriteria obyektif, sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Kriteria-kriteria obyektif
yang perlu segera dikembangkan harus didasarkan pada asas-asas pengelolaan secara terpadu yang meliputi pertimbangan sebagai berikut: 1 kelestarian
sumberdaya; 2 prioritas pemanfaatan; 3 keseimbangan ekologis; dan manfaat bersama. Menurut Dahuri, et al., 2001, bahwa pengelolaan secara terpadu adalah
mencakup:
1 Keterpaduan wilayahekologi: secara keruangan dan ekologis wilayah
pesisir memiliki keterkaitan dengan lahan atas daratan dan laut lepas. Oleh karena itu, pengelolaannya harus diintegrasikan atau dipadukan dengan
wilayah daratan dan lautan serta sistem air DAS menjadi satu kesatuan dan keterpaduan dalam pengelolaan.
2 Keterpaduan sektor: di wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil, banyak
pihak, instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang ikut memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah tersebut, sehingga akibatnya
terjadi tumpang tindih pemanfaatan antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir, lautan dan pulau-
pulau kecil dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus memadukan semua kepentingan sektor. Oleh
karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu
kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya atau dengan kata lain kegiatan
40
suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu apalagi mematikan kegiatan di sektor lain.
3 Keterpaduan disiplin ilmu: wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil
memiliki sifat dan karakteristik yang unik dan dinamis, termasuk sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya, sehingga dibutuhkan keterpaduan
disiplin ilmu dalam pengelolaanya seperti ekologi, oseanografi, ketektikan, ekonomi, hukum dan sosiologi.
4 Keterpaduan stakeholders: Segenap keterpaduan di atas akan berhasil
diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari para pelaku dan pengelola pembangunan stakeholders yang terdiri dari pemerintah, masyarakat pesisir
dan pulau-pulau kecil, swastainvestor, dan juga LSM yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah
pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengkoordinir segenap kepentingan pelaku
pembangunan sumberdaya wilayah pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus mampu
menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan “top down” dan pendekatan “bottom up”.
2.6 Analisis Kebijakan