Analisis Perilaku Analisis Spasial

3.4.5 Analisis Perilaku

Data dan informasi yang telah diperoleh di lapangan kemudian dikumpulkan berdasarkan jenis aktifitas dan distribusinya menurut tipe habitat setiap hari, selanjutnya informasi perilaku banteng dianalisis secara deskriptif yaitu menggambarkan seluruh jenis aktifitas banteng yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan.

3.4.6 Analisis Spasial

Dengan menggunakan SIG, titik sebaran banteng dianalisis faktor-faktor spasialnya yang meliputi jumlah pakan, jumlah jenis pakan, jenis cover, jarak dengan sumber air, ketinggian, kelerengan dan jarak dengan jalan untuk mendapatkan bobot. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan metode tumpang tindih overlay, pengkelasan class, pembobotan weighting serta pengharkatan scoring. Pemberian skor akan dilakukan pada 5 output peta yaitu peta penutupan lahan, peta NDVI, ketinggian, kelerengan dan peta jarak dengan sungai yaitu dengan menggunakan metode Composite Mapping Analysis CMA dengan menghubungkan faktor penutupan lahan, analisis nilai NDVI, ketinggian, kelerengan dan jarak dari sungai pada setiap kelas klasifikasinya terhadap suatu kelompok banteng. Parameter penyusun kesesuaian habitat yang telah dimanipulasi dengan pemberian skor pada setiap kelas klasifikasinya skala mikro selanjutnya akan diproses lagi dengan melakukan pemberian bobot skor pada satu kesatuan tunggalnya skala makro. Pemberian bobot skor pada skala makro yang digunakan adalah akumulasi 1 atau 100. Nilai 1 atau 100 merupakan asumsi bahwa 7 parameter yang coba disusun sebagai model kesesuaian habitat banteng dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kegiatan pemberian skor atau bobot pada skala mikro dan skala makro yang telah dilakukan menghasilkan kumpulan total skor. Kumpulan total skor tersebut diolah kembali dengan membuat klasifikasi kesesuaian habitat banteng. Kumpulan total skor yang telah diklasifikasikan menjadi kelas-kelas kesesuaian habitat menghasilkan kumpulan peta kesesuaian habitat, namun dari kumpulan peta kesesuaian habitat yang telah dibuat hanya dipilih satu peta kesesuaian habitat dengan nilai akurasi tertinggi. Dimana untuk melakukan pemilihan peta dengan akurasi tertinggi yaitu dengan membandingkan jumlah individu banteng hasil observasi lapangan sesuai terhadap model yang dibuat dengan total jumlah individu banteng yang ditemukan pada saat observasi lapangan. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Penentuan Bobot dengan Composite Mapping Analysis

Composite Value : V = E ∑ wi . xi + H ∑ vi . yi E + H = 1 Keterangan : E = bobot pada faktor yang dipengaruhi lingkungan H = bobot pada faktor yang dipengaruhi manusia xi = skor pada masing-masing sub faktor lingkungan yi = skor pada masing-masing sub faktor manusia wi = bobot relatif masing-masing sub faktor lingkungan vi = bobot relatif masing-masing sub faktor lmanusia

2. Nilai skor pada masing-masing sub faktor

xi dan yi = [oiei ∑ oiei] x 100 dimana ei = T x ’Fi100 Keterangan : oi = jumlah observasi banteng pada sub faktor ke i. ei = jumlah banteng yang diharapkan pada sub faktor ke-i T = total banteng Fi = proporsi presentase area dari masing-masing sub faktor ke-i.

3. Bobot relatif masing-masing sub faktor

wi = Mi ∑ Mi Mi = rata-rata banteng pada masing-masing faktor lingkungan vi = Ni ∑ Ni Ni = rata-rata banteng pada masing-masing faktor pengaruh manusia.

4. Bobot relatif faktor lingkungan dan manusia

E = [oe faktor lingkungan] [oe faktor ling + oe faktor manusia] H = [oe faktor manusia] [oe faktor ling + oe faktor manusia]

5. Nilai selang skor klasifikasi

Selang = maks-min jumlah kelas

6. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat banteng

Validasi = n N x 100 Keterangan : n = jumlah banteng pada satu klasifikasi kesesuaian N = jumlah total banteng

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Dasar Hukum

Ujung Kulon pertama kali diperkenalkan oleh F. Junghuhn, seorang ahli botani Jerman pada tahun 1846 karena memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna yang luar biasa. Selanjutnya muncul dukungan dari berbagai pihak untuk melindungi kawasan Ujung Kulon agar terjaga keaslian dan kelestariannya. Pada tanggal 16 November 1921, Ujung Kulon ditetapkan sebagai suaka alam berdasarkan Keputusan Pemerintah No.60, dan pada tanggal 24 Juni 1937 berubah statusnya menjadi suaka margasatwa berdasarkan Keputusan Pemerintah No.17 dengan memasukkan Pulau Peucang dan Kepulauan Handeuleum. Kemudian menjadi suaka alam kembali pada tanggal 17 April 1958 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.43Um1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 m dari batas air laut surut terendah. Tanggal 16 Maret 1967 berubah menjadi cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.16Kpts31967 dengan memasukkan kawasan Gunung Honje. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.284Kpts-II1992 tanggal 26 Februari 1992 ditetapkan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon. Pada tanggal 1 Februari 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Ujung Kulon sebagai ‘warisan alam dunia natural world heritage site’ berdasarkan surat No.SCECO5827.2.409.

4.2 Keadaan Fisik Kawasan

Berdasarkan pernyataan Menteri Kehutanan No.284Kpts-II1992 luas kawasan TNUK adalah 120.551 ha yang terdiri dari 76.214 ha daratan 63,22 dan 44.337 ha 36,78 perairan laut. Penataan zonasi kawasan TNUK berdasarkan Keputusan Dirjen PHPA No.172KptsDj-VI1991 tanggal 7 November 1991, terbagi menjadi 6 zona pengelolaan yang terdiri dari: zona rimba 77.295 ha, zona inti 37.150 ha, zona pemanfaatan tradisional 1.810 ha, zona pemanfaatan intensif 1.096 ha, zona rehabilitasi 3.200 ha, dan zona penyangga 23.850 ha. Peta kawasan TNUK dapat dilihat pada Gambar 8. di bawah ini.