Studi perilaku banteng (Bos javanicus d'Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

(1)

STUDI PERILAKU BANTENG (

Bos javanicus

d’A

lton 1832)

DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR

KEMAS ROBBY WIRAWAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

STUDI PERILAKU BANTENG (

Bos javanicus

d’A

lton 1832)

DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR

KEMAS ROBBY WIRAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

KEMAS ROBBY WIRAWAN. Studi Perilaku Banteng (Bos Javanicus

d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Dibimbing oleh DONES RINALDIdan ABDUL HARIS MUSTARI.

Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) merupakan salah satu jenis satwa liar berkuku genap dan termasuk mamalia dalam golongan ruminansia besar. Pada masa lampau banteng tersebar di hampir seluruh hutan pulau jawa (Hoogerwerf 1970). Banteng adalah salah satu jenis satwa yang langka dan termasuk dalam katagori perlindungan binatang liar tahun 1931 No. 266 yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972. Selain itu dalam Red Data Book IUCN (1972) banteng termasuk dalam kategori “vurnerable” yang artinya populasinya sedang mengalami penurunan secara cepat.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari habitat, populasi, dan beberapa pola perilaku banteng (B. javanicus d‟Alton) di Taman Nasional Meru Betiri. Perilaku yang diamati meliputi makan, minum, kawin, istirahat, merawat tubuh, mengasuh anak, berkelahi, dan hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai habitat, populasi, dan perilaku banteng dan menjadi pertimbangan di dalam menetapkan langkah-langkah pengelolaan pihak Taman Nasional Meru Metiri sehingga dapat membantu upaya konservasi satwa Banteng.

Penelitian dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur yaitu SPTN I Sarongan, SPTN II Ambulu, dan SPTN III Kalibaru. Penelitian ini berlangsung dua bulan pada bulan Juli-Agustus 2010. Data yang digunakan pada penelitian ini ada dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: A. Perilaku banteng (B. javanicus) dengan menggunakan scan sampling dan focal animal B. Kondisi habitat Banteng (B. javanicus) dengan mengunakan metode garis berpetak, C. Populasi banteng (B. javanicus) dengan menggunakan perhitungan concentration count.

Banteng di TNMB menghabiskan sebagian waktunya di areal perkebunan kecuali banteng di daerah Gunung Betiri yang selalu ada di hutan. Banteng di TNMB dapat beradaptasi baik dengan keadaan lingkungan. Seringnya terjadi kontak dengan manusia maka sikap liarnya sudah mulai berkurang. Terjadi hubungan antara banteng dengan satwa yang menggunakan habitat sama. Banteng memiliki srtategi dalam berkelompok. Banteng jantan akan lebih agresif jika dalam musim kawin. Untuk di dua tempat yaitu Sukamade dan Bandealit, banteng mengasin pada dini hari ketika tidak adanya aktivitas manusia. Perilaku banteng dapat berubah menyesuaikan keadaan sekitarnya. Setiap kelompok banteng dipimpin oleh seekor betina dewasa dan para banteng jantan dewasa akan membentuk formasi perlindungan jika kelompoknya dirasa dalam bahaya. Sex rasio banteng di Resort Sukamade adalah 1 : 4 dan Resort Bandealit adalah 1 : 2 dengan populasi 9 individu di Resort Sukamade dan 69 individu di Resort Bandealit.


(4)

SUMMARY

KEMAS ROBBY WIRAWAN. Research Behaviour of Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) in Meru Betiri National Park, East Java. Supervised byDONES RINALDIandABDUL HARIS MUSTARI.

Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) is one of Artiodactyla and belongs to large ruminant class of mammal. Formerly, banteng was spread widely almost all over on Java Island forest (Hoogerwerf 1970). Banteng is one of rare species and included to wild species conservation category on year 1931 No. 266 which was decanted on Minister of Forestry Letter of Act No. 327/Kpts/Um/7/1972. Furthermore, on Red Data Book IUCN (1972) Banteng was categorized as „vurnerable‟ which means the population was decreasing quickly.

Purpose of this study was to knowing and studying habitat, population, and several behavior pattern from Banteng in the Meru Betiri National Park. The behavior which observed consist of feeding, drinking, mating, resting, body caring, parenting, fighting, and individual relationship between banteng and another wildlifes which use the same habitat. Hopefully, the result of this research could add knowledge about habitat, population, and behavior of banteng and as consideration to decide the management plan of Meru Betiri National Park so that it can help the banteng conservation effort.

This research was located on Meru Betiri National Park, East Java, in the area of SPTN I Sarongan, SPTN II Ambulu, and SPTN III Kalibaru. This research was conducted during two months from Juli until August 2010. There are two kind of data collection which used in this research, primary data and secondary data. The primary data consist of banteng behavior which use scan sampling and focal animal, banteng habitat condition which use line transect method, and banteng population which use concentration count method.

The Banteng on Meru Betiri National Park spent their particulary time at plantation area except banteng at Betiri mountain areal which always lived inside forest. The Banteng on Meru Betiri National Park could adapt with the its environment. The frequent contact with human made the wild attitude of banteng had been started decreasing. There were relationship between banteng and another wildlifes which used the same habitat. Banteng has a grouping strategies, the male would be more aggresive on breeding season. On the spot locations, Sukamade dan Bandealit, banteng was salted in midnight when there was no human activities. Banteng behavior could change depending on condition around. In addition, each group of banteng was lead by an adult female banteng and the males would form protection formation if was on threat. The sex ratio of banteng on Sukamade Resort was 1:4 and on Bandealit Resort was 1:2 with number of population was 9 individu on Sukamade Resort and 69 individu on Bandealit Resort.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Pebruari 2011

Kemas Robby Wirawan


(6)

Judul Skripsi : Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

Nama : Kemas Robby Wirawan

NIM : E34062651

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F. Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. NIP. 1961050 8198803 1 002 NIP. 19651015 199103 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

2000-2003 lalu dilanjutkan pendidikan SMA Negeri 1 Puri Mojokerto tahun 2003-2006.

Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan masuk ke dalam Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) tahun 2007. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, seperti Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) dan pernah menjadi Wakil Ketua dalam Himpunan Profesi (Himpro) DKSHE yaitu Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) tahun 2008 selain itu penulis aktif di Organisasi Daerah (OMDA) HIMASURYA. Penulis pernah melaksanakan magang di PERHUTANI KPH Lawu Selatan pada tahun 2009 dan menjadi finalis Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) tahun 2010 di Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali. Tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang-Kamojang dan tahun 2009 melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Penulis pernah mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang, Kabupaten Cianjur-Bandung, Jawa Barat tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) yang merupakan kegiatan Himpro di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kalimantan Barat tahun 2008. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) tahun 2010 di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur.

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 30 September 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan kemas Abdul Rochim dan Niken Lila Widyawati. Penulis memulai pendidikan formal tahun 1992 di TK Sandhi Putra. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Kranggan tiga Mojokerto tahun 1994-2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Mojokerto tahun


(8)

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, tahun 2010 penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur”dengan dosen pembimbing Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F dan Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk moril maupun materil, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang tua tercinta bapak H Kemas Abdul Rochim (ayah), Hj Niken Lila Widyawati (ibu), Kemas Buyung Fikriwardana (kakak), Nyimas Nadya Izana (adik) serta anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang dan dukungannya.

2.

Dosen pembimbing bapak Ir Dones Rinaldi, M.Sc.F dan bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc yang telah memberikan arahan, bimbingan serta saran selama penelitian hingga penulisan skripsi ini.

3. Dosen penguji bapak . Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS. bapak Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. Dan ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS.

4. Dosen beserta staf KPAP atas bimbingan serta pelayanan selama penulis mendapat ilmu di Departemen Konservasi Sumbersaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

5. Dosen, seluruh staf, dan teman-teman Fakultas Kehutanan dari MNH, THH, dan SVK.

6. Taman Nasional Meru Betiri yang telah memberikan izin melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional.

7. Seluruh staf Taman Nasional Meru Betiri baik yang di kantor maupun di lapangan yang memberi bantuan demi kelancaran penelitian ini. Bapak Wiwied Widodo, Bapak Seno, Ibu Nisa, Ibu Sulis, Mas Nugroho, Bapak Djoel.

8. Seluruh keluarga besarku KSHE 43 Cendrawasih terima kasih atas segala dukungan dan kasih sayang serta bantuan yang tak terhingga sampai akhir penulisan skripsi ini.


(10)

9. Ariani Ichtisinii, Arga Pandiwijaya, Junef Murtri Susantyo dan segenap penghuni Wisma LESTARI (Aga, Olop, Ferry, dan Jamhari) atas semangat dan canda tawa.

10.Teman seperjuangan penelitian Fiona Hanberia Inayah serta keluarga baruku dari TNMB Arief, Ryan, Syarifah (USU). Mas Nanda, Wafi dan Sandy (UNEJ), Adi, Yudi (Kader Konservasi Sukamade) atas bantuannya dan dukungannya selama di lapang.

11.Kakak-kakak kelas dan adik-adik kelas di DKSHE. 12.Keluarga besar HIMAKOVA.

13.Semua pihak yang telah membantu di lapangan dan di kantor balai, mas Dodit, mas Nugroho, mas Fendi, mas Ketut, mas Andri, mas Eko, mas Parno, mas Jumadi, bapak Slamet, bapak warno, bapak budi, Bapak Hasyim, bapak Dedi, dll.

14.Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Bogor, Maret 2011


(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur” telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F. dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf Taman Nasional Meru Betiri dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Pebruari 2011

Kemas Robby Wirawan


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi... ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Habitat... 5

2.4 Penyebaran ... 5

2.5 Makanan dan Air ... 7

2.6 Perilaku ... 8

2.6.1 Perilaku makan dan minum ... 9

2.6.2 Perilaku istirahat ... 10

2.6.3 Perilaku bermain ... 10

2.6.4 Perilaku kawin ... 10

2.6.5 Perilaku mengasuh anak ... 11

2.6.6 Perilaku hubungan banteng dengan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Metode Pengambilan Data ... 12

3.3.1 Observasi lapang... 12

3.3.2 Parameter yang diamati... 12


(13)

3.4 Pengumpuan Data ... 13

3.4.1 Data primer ... 13

3.4.2 Data sekunder ... 14

3.5 Analisis Data ... 14

3.5.1 Analisis vegetasai ... 14

3.5.2 Analisis populasi ... 15

3.5.3 Analisis perilaku ... 16

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Dasar Hukum ... 17

4.2 Keadaan Fisik Kawasan ... 19

4.2.1 Letak dan luas... 19

4.2.2 Topografi... 20

4.2.3 Geografi dan tanah ... 20

4.2.4 Iklim ... 21

4.3 Potensi Biotik ... 22

4.3.1 Flora dan tipe habitat ... 22

4.3.2 Fauna ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Habitat Banteng... 26

5.2 Populasi Banteng ... 30

5.2.1 Ukuran populasi... 30

5.2.2 Struktur populasi ... 31

5.3 Perilaku ... 33

5.3.1 Perilaku makan ... 33

5.3.2 Perilaku minum ... 38

5.3.3 Perilaku istirahat ... 40

5.3.4 Perilaku merawat tubuh ... 43

5.3.5 Perilaku kawin ... 44

5.3.6 Perilaku bermain ... 45

5.3.7 Perilaku mengasuh anak... 45


(14)

5.3.9 Hubungan intraspesifik dan interspesifik ... 48

5.3.10 Konservasi banteng ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Hubungan antara umur, tinggi sampai pundak dan panjang tanduk ... 4

2. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di savana Pringtali ... 27

3. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di savana Sumbersari ... 28

4. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Blok Sadelan ... 28

5. Jenis-jenis pakan banteng yang terdapat di TNMB ... 29

6. Aktivitas minum banteng ... 38

7. Ketersediaan air untuk kebutuhan minum banteng di lokasi penelitian TNMB ... 40

8. Hasil analisis ketersediaan tempat lindungan ... 42


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Penyebaran banteng di Indonesia... 6

2. Plot analisis vegetasi... 14

3. Peta zonasi kawasan Taman Nasional Meru Betiri... 19

4. Peta Penelitian... ... 25

5. Padang penggembalaan Sumbersari dan Pringtali... 26

6. Kelompok banteng di Bandealit... 31

7. Kelas umur banteng... 32

8. Aktifitas makan... 34

9. Diagram penggunaan tempat makan banteng... 35

10. Tempat lindungan di hutan Bandealit... 37

11. Perilaku minum... 39

12. Perilaku istirahat... 41

13. Aktifitas merawat tubuh dan pohon bekas tandukan banteng... 43

14. Tahapan aktivitas kawin... 44

15. Aktifitas mengasuh anak... 46

16. Banteng yang kalah setelah berkelahi (foto: TNMB)... 47

17. Sikap waspada banteng betina... 48

18. Formasi banteng jantan ketika ada bahaya... 49

19. Hubungan intraspesifik banteng... 50

20. Plang interpretasi di Resort Bandealit dan wawancara dengan warga Bandealit... 52


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Analisis vegetasi padang penggembalaan Sumbersari... 60

2. Analisis vegetasi padang penggembalaan savana Pringtali ... 60

3. Analisis vegetasi padang penggembalaan Sadelan ... 61

4. Analisis vegetasi Blok 90an Cokelat ... 61

5. Analisis vegetasi Blok 90an Karet ... 62

6. Analisis vegetasi Blok Balsa ... 63

7. Analisis vegetasi Blok Kedung Watu ... 64

8. Analisis vegetasi Blok Banyu Putih... 65

9. Analisis vegetasi Blok Sadelan ... 66

10. Perilaku makan banteng ... 68

11. Perilaku minum banteng ... 69

12. Perilaku istirahat ... 69

13. Perilaku merawat tubuh ... 70

14. Perilaku kawin ... 70

15. Perilaku bermain ... 71

16. Perilaku mengasuh anak ... 71

17. Perilaku agonestik ... 72

18. Perjumpaan banteng ... 72


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) merupakan salah satu jenis satwa liar berkuku genap dan termasuk mamalia dalam golongan ruminantia besar. Pada masa lampau banteng tersebar di hampir seluruh hutan Pulau Jawa (Hoogerwerf 1970). Akan tetapi, satwa ini sangat terbatas penyebarannya yaitu hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar Alam Cimapag, Cagar Alam Leuweung Sancang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Bojong Larang Jayanti, Cagar Alam Penanjung Pangandaran, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Baluran, dan Cagar Alam Blambangan Purwo (Alikodra 1983).

Populasi banteng di pulau Jawa diperkirakan ± 1000 ekor, di antaranya hidup di Taman Nasional Ujung Kulon dan Baluran yang jumlahnya kurang dari 500 ekor (Hoogerwerf 1970). Setiap tahun satwa ini populasinya mengalami penurunan yang sangat pesat karena semakin sempitnya habitatnya karena konversi lahan dan juga karena perburuan ilegal yang marak terjadi.

Banteng adalah salah satu jenis satwa yang langka dan termasuk dalam katagori perlindungan binatang liar tahun 1931 No. 266 yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972. Selain itu dalam Red Data Book IUCN (1972) banteng termasuk dalam kategori “vurnerable” yang artinya populasinya sedang mengalami penurunan secara cepat dan tahun 2008 berubah menjadi endangered terancam punah, contohnya di Taman Nasional Baluran yang populasi bantengnya pada tahun 1992 sebanyak 331 sedangkan pada tahun 2007 turun drastis menjadi 20 ekor saja (Anonim 1992 & 2007).

Perilaku merupakan ilmu dasar yang perlu dipelajari untuk usaha pelestarian satwa liar, terutama banteng. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang perilaku banteng ini untuk mendapatkan data terbaru mengenai perilaku banteng (Bos javanicus d‟Alton) sehingga dapat mencegah terjadinya kepunahan terhadap satwa ini.

Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu kawasan konservasi yang terdapat di Jawa tepatnya di Pantai Selatan Jawa Timur yang masuk ke dalam dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi. Pada tahun 1967 kawasan


(19)

Meru Betiri ditunjuk sebagai (calon) suaka alam. Selanjutnya komplek hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 276/Kpts/Um/6/1972. Tahun 1982 pada Konggres Taman Nasional sedunia yang ke III di Denpasar Bali, Suaka Margasatwa Meru Betiri ditetapkan menjadi calon kawasan Taman Nasional, sesuai dengan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 dengan luasan 58.000 ha.

Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi. Flora yang terdapat di Meru Betiri di antaranya adalah Rafflesia zollingeriana dan Balanphora fungosa. Sedangkan faunanya adalah macan tutul, kijang, monyet ekor panjang, lutung, burung merak, elang, rangkong, penyu, dan banteng (B. javanicus). Populasi banteng di Taman Nasional Meru Betiri ini tergolong baik, Berdasarkan pengamatan tim Taman Nasional Meru Betiri 2002 dan 2009 di SPTN I Ambulu populasi banteng di Taman Nasional Meru Betiri tiap tahunnya mengalami peningkatan yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha.

Untuk tetap terjaganya kelestarian banteng di Taman Nasional Meru Betiri ini maka perlu dilakukan pengelolaan yang baik.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari habitat, populasi serta beberapa pola perilaku banteng (Bos javanicus d‟alton) di Taman Nasional Meru Betiri. Perilaku yang diamati meliputi makan dan minum, kawin, beristirahat, merawat tubuh, mengasuh anak, bermain, berkelahi, dan hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai habitat, populasi, dan perilaku banteng serta menjadi pertimbangan didalam menetapkan langkah-langkah pengelolaan pihak Taman Nasional Meru Metiri sehingga dapat membantu upaya konservasi satwa banteng.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832) adalah satwa yang memiliki beberapa nama daerah seperti sapi alas (Jawa), klebo dan temadu (Kalimantan), (Alikodara 1983) mempunyai klasifikasi taksonomi. Berikut taksonomi banteng (Lekagul & McNeely 1977) :

Kingdom : Animalia Sub-kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub-phylum : Craniata Class : Mammalia Sub-class : Theria Superorder : Ruminantia Familia : Bovidae Sub-familia : Bovinae Tribe : Bovini Genus : Bos

Spesies : Bos javanicusd‟Alton, 1938 2.2 Morfologi

Banteng memiliki ciri ciri tubuh yang tegap, besar, dan kuat. Pada bagian dadanya terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Alikodra 1983). Di kepalanya terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan tanduk berwarna hitam agak mengkilap, runcing dan melengkung ke dalam, sedangkan pada banteng betina ukuran tanduk lebih kecil dibanding dengan tanduk banteng jantan.

Pada dasarnya ukuran tubuh banteng jantan lebih besar dibandingkan dengan banteng betina. Tinggi badan dari banteng sendiri bervariasi menurut umurnya, banteng jantan yang berumur 8-10 tahun mempunyai tinggi bahu ± 170 cm, sedangkan banteng betina dengan umur yang sama mempunyai tinggi sampai bahu ± 150 cm. Banteng jantan ukuran tengkoraknya 50 cm, sedangkan betina


(21)

lebih ≥ 45 cm. Berat tubuh banteng betina berkisar antara 248 –315 kg (Hoogerwerf 1970).

Menurut Hoogerwerf (1970), banteng jantan dewasa yang hidup di daratan asia mempunyai jarak maksimum antara ujung tanduk 109,4 cm dan keliling ujung tanduk di bagian dasar yaitu 46,9 cm. Perkembangan tanduk dapat digunakan untuk mengetahui kelas umur dari banteng sampai batas umur tertentu. Adapun hubungan antara umur, tinggi dan panjang tanduk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan antara umur, tinggi sampai pundak dan panjang tanduk (Hoogerwerf 1970)

Kelamin Umur (tahun)

Tinggi pundak sampai

(cm) Panjang tanduk (cm)

Jantan 4 75 Tidak ada tanda-tanda.

Jantan 23 84 Benjolan kecil.

Jantan 36 92 Tidak muncul di permukaan kulit.

Jantan 63 85 2

Jantan 70 3

Jantan 6.5 110 8

Jantan 9.5 120 15

Jantan 12 125 23

Jantan 20.5 125 35

Betina 2.5 90 2

Betina 19 118 9

Sumber : Alikodra (1983).

Banteng jantan mempunyai tubuh berwarna hitam, makin tua umurnya warna tubuhnya akan semakin hitam. Banteng betina tubuhnya berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap warnanya. Pada banteng anakan baik jantan maupun betina berwarna cokelat tua sehingga sulit menentukan kelaminnya (Alikodra 1983) akan tetapi semakin tua umur anakan maka warna tubuhnya akan berubah menurut jenis kelaminnya. berbeda dengan kerabatnya Kerbau liar yaitu warna jantan dan betina sama (Santosa 1985).

Pada bagian tertentu dari tubuh banteng terdapat warna putih yang sekaligus menjadi ciri khas satwa ini dibandingkan dengan satwa satwa yang lain. Warna putih pada tubuh banteng ini terdapat pada bagian pantat atau pangkal kaki yang semakin tua warna putih tersebut akan semakin mengecil tetapi tidak hilang.


(22)

Menurut Hoogerwerf (1970) pada anak banteng seluruh bagian pantatnya akan ditutupi oleh warna putih. Bagian kaki sampai lutut, gelambir dan bagian mulutnya juga berwarna putih.

2.3 Habitat

Satwa memerlukan hal untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti tempat untuk digunakan sebagai tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain dan berkembang biak. Tempat-tempat yang berfungsi semacam ini membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra 1979). Jadi dapat disimpulkan habitat adalah tempat hidup satwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Alikodra (1980) mengatakan tentang lingkungan hidup banteng yang paling ideal, terdiri atas komponen hutan alam yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Padang penggembalaan sebagai tempat mencari makan, istirahat, mengasuh dan membesarkan anaknya serta melakukan hubungan sosial lainnya. Sumber air tawar sebagai tempat minum. Hutan pantai atau payau sebagai daerah penyangga yang berfungsi untuk melindungi banteng dari pemburu dan daerah pantai sebagai tempat mencari garam yang dibutuhkan untuk membantu pencernaannya.

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) sebelum perang dunia II banteng selalu merumput di daerah terbuka selama pagi dan sore hari, dan baristirahat di bawah hutan pada saat matahari terik.

2.4 Penyebaran

Sebelum tahun 1940 banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah pulau Jawa, akan tetapi sekarang penyebaran satwa ini menyempit antara lain hanya dapat ditemukan di dalam Suaka Margasatwa, Cagar Alam serta Taman Nasional yang berada di pulau Jawa. Sebelum perang dunia II, banteng dapat ditemukan hidup bebas pada padang rumput di Burma dan Indochina, akan tetapi setelah perang dunia II berakhir banteng menjadi jarang ditemukan (Lekagul & McNeely 1977).


(23)

Gambar 1 Penyebaran banteng di Indonesia.

Penyebaran banteng pada saat ini menurut IUCN hanya berada di beberapa tempat saja seperti pada gambar 1. Di pulau Jawa, banteng hanya dapat ditemukan di kawasan cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Jawa Timur, banteng dapat ditemui Suaka Margasatwa Meru Betiri, Taman Nasional Baluran dan Blambangan Purwo (Banyuwangi Selatan). Di Jawa Barat, banteng dapat dijumpai di Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar alam (Cikamurang, Cikepuh, Penanjung Pangandaran, Leuweung Sancang, Bojong Larang Jayanti dan Tegal Waru) (Alikodra 1983). Di Kalimantan Timur, banteng terdapat di Taman Nasional Kutai dan Kota Waringin serta kemungkinan di daerah daerah berbukit. Sekitar tahun 1930 banteng sangat banyak dijumpai di Kutai dan sekitarnya dan kelihatannya sebagian dari populasi tersebut sudah tidak murni lagi, tetapi merupakan hasil kawin silang dengan sapi domestik (Hoogerwerf 1970).


(24)

2.5 Makanan dan Air

Makanan dan air merupakan salah satu faktor terpenting bagi semua makhluk hidup dan merupakan pembatas bagi satwa. Makanan dan air itu sendiri sangatlah penting untuk menyangga keberlangsungan hidup satwa termasuk banteng.

Makanan dibutuhkan untuk proses sintesa di dalam tubuh satwa dan melengkapi kebutuhan energi yang dibutuhkan tubuh satwa untuk proses pertumbuhan, penggantian jaringan yang sudah mati, produksi sel-sel baru serta kegiatan lainnya seperti lokomasi, osmoregulasi dan ekskresi.

Alikodra (1983) mengemukakan bahwa untuk mndapatkan pertumbuhan populasi satwa yang normal diperlukan makanan yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Makanan tersebut harus mengandung komponen-komponen protein, karbohidrat, lemak, air, garam inorganic, dan vitamin. Selanjutnya Alikodra (1983) dalam penelitiannya menggunakan sistem ransum pada 12 ekor banteng di Kebun Binatang Ragunan menunjukkan bahwa dalam hal makanan banteng tidak selektif. Jenis rumput yang diberikan langsung dimakan, di antaranya adalah : jampang pilit (Cytococcum patens), rumput geganjuran (Paspalum commersonii), rumput bamboo (Panicum montanum), rumput memerakan (Themeda arguens), ki pait (Axonopus compressus), rumput alang-alang (Imperata cylindrica), daun dan batang padi (Oriza sativa), dan jukut kidang (Centoteaca lappacea). Dari hasil perhitungan diperoleh, nilai konsumsi makanan rata-rata untuk tiap ekor per hari berdasarkan berat basahnya yaitu 18,71 kg. Nilai konsumsi makanan tersebut diukur berdasarkan banteng yang ada di dalam kandang.

Di samping makanan, air juga mempuynyai peranan penting bagi kehidupan banteng, terutama untuk minum. Air berfungsi untuk mengangkut zat-zat makanan dari bagian tubuh yang satu ke bagian tubuh yang lainnya, menggelembungkan sel-sel untuk membantu sel-sel tersebut dalam mempertahankan bentuknya serta digunakan dalam banyak reaksi-reaksi biokimia dalam tubuh, menolong mengatur suhu tubuh dan membantu mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar.


(25)

Menurut Alikodra (1983) pada daerah yang lebih kering seperti Taman Nasional Baluran, dalam musim kemarau air merupakan salah satu pembatas sehingga banteng menyesuaikan dirinya dengan keterbatasan sumber air dengan jalan :

a. Melakukan perpindahan ke tempat-tempat yang dapat mencukupi keperluan akan air.

b. Sebagian dari populasi bertahan pada kondisi air minum yangh kritis, bersaing dengan jenis satwa yang lainnya.

2.6 Perilaku

Perilaku merupakan ilmu dasar yang perlu dipelajari dan dipahami secara baik agar mendapat pengetahuan atau mempelajari pembinaan dan pengelolaan satwa. Dalam mempelajari tentang perilaku satwa ini masing-masing ilmuwan mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkannya akan tetapi perbedaan tersebut merupakan pertanda awal bahwa makin berkembangnya ilmu perilaku satwa terutama satwa liar.

Tanudimadja (1978) mengungkapkan perilaku satwa adalah tidak tanduk yang terlihat dan saling berkaitan baik secara individual maupun secara bersama-sama atau kolektif. Teage (1971) memberikan batasan bahwa perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan Alikodra (1983) mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, selanjutnya Alikodra (1983) semua satwa akan bergerak untuk mencari makan dan minum maupun untuk berkembang biak.

Teage (1971) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa disebut sebagai rangsangan, stimuli atau agent. Sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan tersebut disebut respon. Satwa menerima rangsangan atau stimuli dari lingkungannya melalui suara, pandangan, tenaga mekanis dan kimia.


(26)

2.6.1 Perilaku makan dan minum

Banteng menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk merumput dan memamah biak secara bergantian. Banteng akan memulai merumput jika cuaca cerah, mereka memilih hari yang agak berawan dibanding hari yang terik (Hoogerwerf 1970). Selanjutnya Alikodra (1983) menyatakan bahwa kawanan banteng di daerah terbuka pada waktu siang hari terdiri dari beberapa kawanan banteng yang biasanya masing-masing terdiri dari 10-12 ekor. Mereka merumput sambil berjalan berlawanan arah mata angin.

Banteng termasuk satwa diurnal atau satwa yang aktif sepanjang siang hari yaitu mulai pagi hingga petang hari. Hoogerwerf (1970) masih diragukan penyebab banteng berada di tempat terbuka pada saat panas sekali. Merumput pada siang hari di luar cover mungkin disebabkan kurangnya gangguan manusia atau makan diwaktu malam ternyata tidak mencukupi kebutuhan tubuh menghindari pemangsaan predator hal ini dikarenakan pada daerah bertumbuhan lebat, predator akan mudah menyerang mereka dan kemungkinan lain adalah banteng menghindari dari serangan nyamuk dan serangga

Di alam kegiatan merumput banteng berselang seling dengan istirahat sambil memamah biak (ruminansi), waktu merumput sangat bervariasi, bila cuaca baik maka banteng lebih suka memamah biak sambil berbaring di tempat merumput, tetapi bila hujan lebat banteng seringkali memamah biak sambil berdiri (Hoogerwerf 1970).

Sancayaningsih et al. (1983) mengemukakan banteng memamah biak di saat merumput dengan posisi berbaring maupun berdiri. Periode ruminansi tersebut ± 2-5 jam per hari. Kecepatan mengunyah selama periode tersebut 48-56 kali permenit. Dari bentuk rahangnya (bentuk U), banteng lebih beradaptasi untuk memakan jenis rumput daripada semak.

Kawanan banteng yang sedang merumput di padang rumput dipimpin beberapa banteng betina tua yang selalu bersikap waspada dan selalu memperhatikan keadaan sekitarnya. Banteng betina sebagai pemimpin kelompok tidak langsung merumput ketika datang ke padang penggembalaan tetapi melihat sekeliling dahulu selama beberapa menit. Jika sudah merasa aman mereka akan


(27)

mulai merumput, banteng dewasa sesekali akan mendongakkan kepalanya untuk melihat sekeliling guna memastikan bahwa keadaan sekitarnya aman.

Di alam banteng biasa minum sekali dalam sehari. Tempat minum tersebut jarang didatangi oleh lebih dari 10 banteng pada waktu yang bersamaan, pada umumnya mereka memeriksa dan mengintai dahulu sebelum mendekati tempat minum. Sekali mereka datang ke tempat air selanjutnya tidak lagi memperhatikan lingkungan sekitarnya (Hoogeerwerf 1970).

2.6.2 Perilaku istirahat

Banteng beristirahat baik di padang penggembalaan, di tepi-tepi hutan bahkan kadang di tepi pantai. Ketika beristirahat biasanya kakinya ditekuk di bawah badannya dan sering juga mereka menggeletakkan badannya di tanah (Setiawati 1986).

Pada matahari bersinar sangat terik, biasanya banteng akan beristirahat di bawah hutan maupun di bawah cover (Lekagul & McNeely 1977; Alikodra 1983). Jika cuaca cerah atau agak berawanbanteng lebih sering istirahat di padang penggembalaan.

2.6.3 Perilaku bermain

Perilaku bermain biasanya terjadi pada banteng anakan. Tingkah laku bermain atau play behaviour ini sebenarnya mempunyai manfaat yang besar karena tingkah laku bermain ini merupakan latihan dalam berkelahi dalam membela diri dan melatih kelincahan tubuh untuk beradaptasi untuk hidup di alam. Banteng muda akan memulai bermain setelah lelah merumput. Kadang-kadang dua ekor banteng muda akan saling mengadukan kepala (Sancayaningsih et al. 1983).

2.6.4 Perilaku Kawin

Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Ujung Kulon melakukan perkawinan di padang penggembalaan antara jam 15.00-17.00 WIB. Dalam musim kawin, banteng jantan tampak lebih agresif. Nafsu birahi banteng jantan dapat diperlihatkan dalam perilaku sebagai berikut :

1. Bersuara lebih banyak daripada biasanya

2. Mengikuti banteng betina sambil menjilati pantat banteng betina dan sering mendongakkan kepala


(28)

3. Berusaha untuk mengusir banteng jantan lain yang berada di dekatnya, gelisah dan banyak makan dari biasanya

4. Sering menanduk pohon atau pun semak sambil berjalan berputar-putar.

Banteng melakukan perkawinan dalam periode tertentu tergantung dari lokasinya (Setiawati 1986). Menurut Lekagul & McNeely (1977) musim banteng kawin di Thailand adalah bulan Mei dan Juni.

2.6.5 Perilaku mengasuh anak

Perilaku mengasuh anak ini biasanya dilakukan oleh banteng betina dewasa. Menurut Hoogerwerf (1970) banteng betina bila akan memanggil anaknya ialah dengan cara mengeluarkan suara yang lemah dan anak-anaknya akan mendekati induknya dengan segera.

2.6.6 Perilaku hubungan banteng dengan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama

Menurut Hoogerwerf (1970) kehidupan banteng dengan satwa pemakan tumbuhan lainnya baik, tetapi pada musim kawin sedikit ditandai oleh sikap permusuhan. Banteng juga melakukan hubungan yang saling menguntungkan dengan beberapa jenis burung seperti jalak (Sturnus javanicus), gagak (Corvus enca), dan burung merak (Pavo muticus). Biasanya burung jalak dan gagak sering terlihat diatas punggung banteng untuk memakan kutu dan serangga yang ada di tubuh banteng. Jenis satwa lain yang ada di padang penggembalaan adalah babi hutan (Sus scrofa) dan rusa (Cervus timorensis).


(29)

BAB III

METODA PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur yaitu SPTN I Sarongan (Rerort Sukamade), SPTN II Ambulu (Resort Bandealit), dan SPTN III Kalibaru (Blok Sadelan) peta penelitian pada Gambar 3. Penelitian ini berlangsung pada bulan Juli sampai Agustus 2010.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Binokuler : Digunakan untuk mengamati objek penelitian (banteng) dari jarak jauh.

b. Kamera : Digunakan untuk dokumentasi hasil hasil penelitian. c. Stop watch : Digunakan untuk mengetahui lama satwa berperilaku.

d. Tally sheet : Digunakan untuk mencatat semua data yang didapat dilapangan. e. Senter : Digunakan untuk mengetahui perilaku banteng pada malam hari. f. Alat tulis : Digunakan untuk mencatat data.

g. Obyek yang diamati adalah banteng.

3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1 Observasi lapang

Observasi lapang kegiatan awal digunakan untuk mengetahui dan mengenal tempat-tempat yang biasanya digunakan banteng berkumpul, selain itu observasi lapang digunakan untuk memperoleh data primer mengenai perilaku banteng dan kondisi habitatnya.

3.3.2 Parameter yang diamati

Parameter yang diamati pada saat pengambilan data di lapangan:

a. Perilaku banteng yang meliputi perilaku makan. minum, beristirahat, bermain, merawat tubuh, kawin, bermain, mengasuh anak, berkelahi dan hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama.


(30)

c. Populasi banteng.

3.3.3 Wawancara

Kegiatan wawancara bertujuan untuk mendapatkan info tentang perilaku banteng beserta penyebarannya di Taman Nasional Meru Betiri. Wawancara ini ditujukan kepada petugas Taman Nasional dan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri

3.4 Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari lapangan, adapun data-data yang yang dicatat berupa :

a. Perilaku banteng meliputi perilaku makan. minum, beristirahat, merawat tubuh, kawin, mengasuh anak, berkelahi dan hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama.

Pengamatan perilaku banteng yang umum seperti makan, minum, beristirahat, merawat tubuh menggunakan metode scan sampling yaitu metode pengamatan yang dilakukan untuk semua individu dalam kelompok dan untuk pengamatan perilaku khususnya menggunakan metode focal animal sampling yakni metode pengamatan perilaku yang dilakukan khusus pada individu-individu tertentu yang dianggap bisa mewakili dan biasanya digunakan dalam studi satwa yang berkelompok, yang perlu dicatat pada pengamatan ini adalah lama dan frekuensi saat perilaku banteng terjadi seperti kawin, bermain, mengasuh anak, berkelahi, dan hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama. Untuk pencatatan data menggunakan metode continous recording yakni metode pencatatan yang dilakukan secara kontinu dalam sesi pengamatan. Pengamatan sendiri dilakukan dua sesi yaitu pukul 05.00-09.00 dan 15.00-20.00

b. Kondisi habitat banteng. digunakan analisis vegetasi pada habitat banteng. c. Populasi banteng. Untuk mengetahui populasi Banteng digunakan


(31)

3.4.2 Data sekunder

Pengumpulan data kondisi umum kawasan Taman Nasional Meru Betiri yang meliputi letak, topografi, luas, geologi, iklim, potensi baik flora maupun fauna, dan lain-lain.

3.5 Analisis Data 3.5.1 Analisis vegetasi

Analisis vegetasi digunakan untuk mencari Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk setiap jenis tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 2002). Analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui cover dan pakan yang digunakan banteng. Jumlah petak yang di ukur adalah 6 petak yaitu 3 petak berukuran 1 m x 1 m untuk pakan di padang penggembalaan Sumbersari, Sadelan dan Pringtali dan 3 petak berukuran 20 m x 20 m, didalam petak 20 m x 20 m untuk pohon, 10 m x 10 m untuk tiang, 5 m x 5 m untuk pancang dan 2 m x 2 m untuk semai. Petak ini sendiri untuk cover di sumbersari, sikapal, dan pringtali. Berikut adalah gambar plot analisis vegetasi

Gambar 2 Plot analisis vegetasi.

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kerapatan suatu spesies (K)

a) contoh (h Luas petak

u species ividu suat

Jumlah Ind

Kerapatan relatif suatu spesies (KR) 100%

spesies seluruh

Kerapatan

sies suatu spe Kerapatan

 


(32)

Frekuensi suatu spesies (F) petak seluruh Jumlah ditemukan spesies petak sub Jumlah

Frekuensi relatif suatu spesies (FR)  100%

spesies seluruh Frekuensi sies suatu spe Frekuensi

Dominasi suatu spesies (D)

(Ha) contoh petak Luas sies suatu spe dasar bidang Luas

Dominasi relatif suatu spesies (DR)  100%

spesies seluruh Dominansi sies suatu spe Dominansi

Indeks Nilai Penting (INP)

 Untuk tingkat semai dan pancang : INP = KR + FR  Untuk tingkat pohon dan tiang : INP = KR + FR + DR

Total Indeks Nilai Penting (INP) untuk setiap tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah, dihitung untuk setiap tipe ekosistem. Nilai INP setiap tipe ekosistem menggambarkan kondisi vegetasi.

3.5.2 Analisis populasi

Analisis populasi digunakan untuk menjelaskan jumlah banteng yang dijumpai pada saat pengamatan. Adapun pendugaan populasi Banteng berdasarkan metode concentration count menggunakan rumus Alokdra (2002) sebagai berikut :

Keterangan :

P = Σ Pi Pi = jumlah individu yang dijumpai di lokasi penelitian

P = total populasi di seluruh areal penelitian

3.5.3 Analisis perilaku

Analisis perilaku digunakan untuk menjelaskan perilaku banteng (Bos javanicusd‟Alton) seperti perilaku perilaku makan, minum, beristirahat, merawat tubuh, mengasuh anak, berkelahi, hubungan antar individu banteng dan satwa lain yang menggunakan habitat yang sama. Analisis perilaku menggunakan deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan tabel dan gambar untuk menjelaskan data yang diperoleh di lapangan.


(33)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Dasar Hukum

Kawasan hutan Meru Betiri pada awalnya berstatus hutan lindung yang ditetapkan dengan surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu melalui Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Hendel No. 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit Directur van Economiche Zaken No 5751 tanggal 28 April 1938. Kawasan Meru Betiri pada tahun 1967 ditunjuk sebagai (calon) suaka alam. Kemudian, komplek hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 Ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 276/Kpts/Um/6/1972 dengan tujuan utama untuk melindungi jenis satwa harimau jawa (Panthera tigris sondaica).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Um/7/1978, kawasan seksi Perlindungan dan Pelestarian Alam (Seksi PPA) Jawa Timur II, wilayahnya dibagi menjadi 2 Sub Balai, yaitu Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam Jawa Timur II di Jember dan Sub Balai Kawasan Pelesatarian Baluran dan sekitarnya di Banyuwangi. Kawasan Suaka Alam Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 Ha dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 529/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982 (terlampir). Perluasan tersebut meliputi Areal Perkebunan PT Sukamade Baru (Meru Betiri bagian timur) dan PT Perkebunan Bandealit (Meru Betiri bagian barat) seluas 2155 Ha serta kawasan hutan lindung sebelah utara dan perairan laut sepanjang pantai selatan seluas 845 Ha.

Suaka Margasatwa Meru Betiri kemudian dinyatakan sebagai kawasan (calon) taman nasional melalui Surat Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. Pernyataan kawasan Meru Betiri sebagai (calon) taman nasional dikeluarkan bersamaan dengan diselenggarakannya Kongres III Taman Nasional se-Dunia di Denpasar, Bali. Sejak berakhirnya izin HGU perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT Bandealit tahun 1980, maka status perluasan kawasan (calon) Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58.000 Ha diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 377/Kpts-II/1986 tentang pengaturan pengelolaan dalam masa peralihan areal perkebunan.


(34)

Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No. 144/Kpts-II/1991 tanggal 13 Maret 1991 Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II dijadikan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur IV dan secara administrasi di bawah Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Pada tahun 1997 status kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri diubah fungsinya menjadi taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997 tentang penunjukkan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) seluas 58.000 Ha. Dalam rangka optimalisasi fungsi dan pengelolaan kawasan telah ditetapkan sistem zonasi TNMB berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam No. 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 31 Desember 1999 dengan zonasi sebagai berikut beserta petanya (gambar 3):

a. Zona Inti seluas 27.915 Ha terdiri atas hutan hujan tropis, hutan pantai, dan hutan bambu. Zona ini hanya dimanfaatkan untuk penelitian dan inventarisasi flora dan fauna yang bermanfaat, yang hingga saat ini masih belum banyak diketahui.

b. Zona Rimba seluas 22.622 Ha terdiri atas hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan hujan tropis dan hutan bambu. Zona ini umumnya digunakan untuk menunjang upaya penelitian seperti pengamatan satwa dan habitatnya serta ekosistem yang menunjang pendidikan dan rekreasi.

c. Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285 Ha merupakan formasi hutan hujan tropis dan hutan bambu. Kawasan rimba ini secara khusus telah dimanfaatkan penduduk setempat untuk menanam palawija dan tanaman endemik, dan dipergunakan juga oleh peneliti untuk merehabilitasi kawasan yang telah rusak atau gundul.

d. Zona Rehabilitasi seluas 4.023 Ha tersusun atas hutan pantai dan hutan bambu yang secara khusus dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, paket wisata. e. Zona Pemanfaatan Khusus atau penyangga seluas 2.155 Ha yang hanya

merupakan hutan hujan tropis ini dikembangkan untuk ekoagrotourism dan budidaya tanaman obat serta penangkaran satwa jenistertentu.


(35)

Gambar 3 Peta zonasi kawasan Taman Nasional Meru Betiri.

4.2 Keadaan Fisik Kawasan 4.2.1 Letak dan luas

Berdasarkan letak administrasi pemerintahan, kawasan TNMB terletak di dua wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Propinsi Jawa Timur yaitu bagian Barat termasuk kabupaten Daerah Tingkat II Jember dengan luas 37.626 Ha dan bagian Timur termasuk kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi dengan luas 20.374 Ha. Kawasan TNMB secara geografis terletak antara 113º58'48‟‟- 113º58'30‟‟ BT dan 8º20'48‟‟- 8º33'48‟‟ LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Adapun batas-batas wilayah kawasan Taman Nasional Meru Betiri meliputi:

a. Sebelah Utara, berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum Perhutani RPH Curahtakir.

b. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.

c. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia

d. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Dati II Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen PTPN XII Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang.


(36)

4.2.2 Topografi

Secara umum kawasan Taman Nasional Meru Betiri berupa perbukitan yang berbatasan dengan kawasan pantai (bagian selatan). Kawasan ini berada pada ketinggian antara 900-1223 m dpl. Kondisi kelerangan tanah sangat beragam, mulai dari keadan datar, landai hingga memiliki kelerangan dengan tingkat yang curam. Kawasan Meru Betiri didominasi dengan bukit-bukit yang relatif tersebar secara merata.

Gunung yang terdapat di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II di Ambulu antara lain: G. Rika (535 m dpl), G. Guci (329 m dpl), G. Alit (534 m dpl), G. Gamping (538 m dpl), G. Sanen ( 437 m dpl), G. Butak (609 m dpl), G. Mandilis (844 m dpl), dan G. Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat di seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sarongan adalah G. Betiri (1223 m dpl) yang merupakan gunung tertinggi, G. Gendong (840 m dpl), G. Sukamade (806 m dpl), G. Sumberpacet (706 m dpl), G. Permisan (568 m dpl), G. sumberdadung (520 m dpl), dan G. Rajegwesi (160 m dpl).

Pada umumnya keadaan topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-sungai yang berada di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di Pantai Selatan Jawa.

4.2.3 Geologi dan tanah

Secara umum jenis tanah di kawasan TNMB merupakan asosiasi dari jenis aluvial, regosol dan latosol. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat rendah sampai pantai, sedangkan regosol dan latosol umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung. Menurut Suganda et al. (1992) dalam TNMB (2005) geologi kawasan TNMB terdiri atas:

a. Aluvium: kerakal, kerikil, pasir dan lumpur.

b. Formasi Sukamade: batu gunung terumbu bersisipan batu lanau dan batu berpasir.


(37)

c. Formasi Puger: Batu gunung terumbu bersisipan breksi batu gunung dan batu gamping hutan.

d. Formasi batu ampar: perselingan batu pasir dan batu lempung bersisipan tuf, breksi dan konglomerat.

e. Anggota batu gamping formasi Meru Betiri: batu gamping, batu gamping tufan dan napal.

f. Formasi Meru Betiri: perselingan breksi gunung api, lava dan tuf, terpropilitan g. Formasi Mandiku: breksi gunung api dan tuf, breksi berkomponen andesit dan

basal bersisipan tuf.

h. Batuan terobosan: granodiorit, diorit dan dasit.

Aluvium, Formasi Sukamade, Formasi Puger, Formasi Batu Ampar dan anggota batu gamping Formasi Meru Betiri berasal dari batuan endapan permukaan dan batuan sedimen. Formasi Meru Betiri dan Formasi Mandiku berasal dari batuan gunung api. Sedangkan batuan terobosan berasal dari batuan terobosan. Aluvium terbentuk pada zaman Holosen Kuartier, Formasi Batu Ampar terbentuk pada Zaman Oligosen, Formasi Mandiku dan Formasi Puger terbentuk pada Zaman Akhir Miosen Tersier, Batuan terobosan terbentuk pada Zaman Tengah Miosen Tersier sedangkan Formasi Meru Betiri, Formasi Sukamade, anggota batu gamping Formasi Meru Betiri terbentuk pada Zaman Awal Miosen Tersier.

4.2.4 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim kawasan taman nasional bagian Utara dan Tengah termasuk iklim B dan C, dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2.544 – 3.478 mm per tahun dengan rata-rata bulan kering selama empat sampai lima bulan dan bulan basah selama tujuh sampai sampai delapan bulan. Sedangkan kawasan TNMB bagian Barat mempunyai tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata 2.300 mm per tahun, dan kawasan sebelah Timur mempunyai curah hujan rata-rata 1.300 mm per tahun sehingga kondisinya lebih kering.

Kawasan TNMB merupakan wilayah yang dipenuhi oleh angin musim. Bertiupnya angin barat laut pada Bulan November sampai dengan Maret menyebabkan hujan, sedangkan pada akhir Bulan April sampai dengan Oktober


(38)

terjadi musim kemarau. Pada bulan Juni hingga Agustus curah hujan cukup besar sehingga menyebabkan banjir di beberapa daerah. Curah hujan di kawasan ini bervariasi antara 1252 – 2818 mm per tahun dengan bulan basah antara bulan November – Maret, dan kering antara April – Oktober. Di daerah bekas perkebunan Bandealit (sebelah Barat) rata-rata curah hujan antara 1438 – 2818 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember – Maret. Sebaliknya di daerah bekas perkebunan Sukamade (sebelah Tengah) rata-rata curah hujan tahunan antara 1307 – 1856 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari – Maret.

4.3 Potensi Biotik

4.3.1 Flora dan tipe habitat

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri mempunyai flora sebanyak 518 jenis, terdiri atas 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi. Taman Nasional Meru Betiri memiliki formasi vegetasi yang lengkap dan juga beberapa jenis flora langka antara lain bunga Rafflesia (Rafflesia zollingeriana), juga terdapat Balanophora fungosa yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp. Selain itu, terdapat pula jenis flora yang digunakan sebagai bahan baku obat/jamu tradisional sebanyak 239 jenis. Berikut ini merupakan jenis flora yang diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat adalah Cabe Jawa (Piper retrofractum), Kemukus (Piper cubeba), Kedawung (Parkia roxburghii), Kluwek/Pakem (Pangium edule), Kemiri (Aleurites moluccana), Pule Pandak (Rauwolfia serpentina), Kemaitan (Lunasia amara), Anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora), Sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata). Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis yang mempunyai 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tipe vegetasi hutan pantai

Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari 2 tipe utama yaitu formasi ubi pantai (Ipomea pescaprae) dan formasi Barringtonia (25-50 m). Formasi


(39)

Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba, sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan rumput lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari keben (Baringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain. Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang sempit, umumnya menempati daerah sekitar teluk yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi.

b. Tipe vegetasi hutan mangrove

Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah bakau-bakauan (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp) dan tancang (Bruguiera sp). Di muara sungai Sukamade terdapat nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.

c. Tipe vegetasi hutan rawa

Jenis vegetasi yang banyak dijumpai di antaranya mangga hutan (Mangifera sp), sawo kecik (Manilkara kauki), ingas/rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia scholaris), kepuh (Sterculia foetida), dan Barringtonia spicota. Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan payau Sukamade.

d. Tipe vegetasi hutan rheophyt

Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit. Jenis yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontanum), rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan beberapa jenis herba berumur pendek serta rumput-rumputan.

e. Tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah

Tipe vegetasi ini merupakan hutan campuran antara hutan hujan dataran rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Sebagian besar kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran


(40)

rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di antaranya jenis walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur (Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstromia speciosa), segawe (Adenanthera microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Langsium domesticum), bendo (Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio ziberthinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti: bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizostachyum mosum), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, di antaranya : rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata) dan lain-lain.

4.3.2 Fauna

Fauna yang telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri hingga saat ini sebanyak 217 jenis, terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115 jenis yang tidak dilindungi, meliputi 25 jenis mamalia (18 di antaranya dilindungi), 8 reptilia (6 jenis di antaranya dilindungi), dan 184 jenis burung (68 jenis diantaranya dilindungi). Keragaman jenis fauna tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelas antara lain aves, mamalia, herpetofauna (amphibi dan reptilia) dan perairan. Kelompok besar yang berada dalam kawasan taman nasional adalah jenis aves, mamalia (herbivora, primata dan karnivora besar) dan reptilia besar (penyu laut, biawak dan ular phyton).

Fauna yang terdapat di kawasan TNMB diantaranya adalah Banteng (Bos javanicus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Macan tutul (Panthera pardus melas), Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), Rusa (Cervus timorensis), Bajing terbang ekor merah (Iomys horsfieldii), Merak (Pavo muticus), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu hijau (Chelonia mydas), dan Penyu ridel/lekang (Lepidochelys olivacea).


(41)

(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Habitat Banteng

Taman Nasional Meru Betiri mempunyai lima tipe vegetasi yaitu hutan pantai. Hutan Mangrove, Hutan Rawa, Hutan Rheophyt yaitu hutan vegetasinya telah beradaptasi dengan aliran sungai, Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah dimana beberapa vegetasi tersebut merupakan habitat yang ideal untuk habitat banteng (Bos javanicus d‟Alton 1832). Lokasi penelitian dilakukan di beberapa tempat yaitu STPN I di Resort Sukamade pada Blok Sumbersari dab Blok 90an, SPTN II di Resot Bandealit pada Blok dan SPTN III di Baban tepatnya di blok Sadelan.

Karakteristik habitat adalah toleransi satwa terhadap habitat yang ditempatinya.

Hasil analisis vegetasi yang yang dilakukan pada habitat banteng, didapatkan bahwa padang pengembalaan (Feeding ground) yang terdapat di dua lokasi penelitian yaitu Sumbersari di Resort Sukamade dan Pringtali di Resort Bandealit jarang digunakan banteng untuk memenuhi kebutuhan pakannya. Tumbuhan yang tumbuh dominan di padang pengembalaan tersebut tidak disukai banteng hal ini yang menyebabkan tidak berfungsinya padang penggembalaan, hal ini dibuktikan dengan jarangnya ditemukan perjumpaan langsung maupun tidak

langsung yaitu berupa jejak atau bekas rengutan pakan.

Gambar 5 Padang penggembalaan Sumbersari (kiri) dan padang penggembalaan Pringtali (kanan).

Banteng lebih suka menggunakan kebun sebagai tempat makan dibandingkan dengan padang pengembalaan yang telah dibuatkan oleh pihak


(43)

TNMB karena padang pengembalaan yang telah disiapkan pihak Taman Nasional ternyata didominasi oleh rumput yang tidak disukai dan tumbuhan yang bukan pakan banteng. Seperti pada padang pengembalaan Sumbersari yang dominan ditumbuhi plumping (Panicium respens) yang tidak disukai dan telean (Lantana camara) yang merupakan gulma. Padang pengembalaan Pringtali yang dominan ditumbuhi telean (Lantana camara). Analisis vegetasi juga dilakukan di Blok Sadelan, walaupun bukan padang pengembalaan tetapi berdasarkan wawancara Blok ini sering didatangi oleh banteng walau tempatnya 1.019 m dpl. Berikut hasil analisis padang pengembalaan Pringtali (Tabel 2), padang pengembalaan Sumbersari (Tabel 3), dan Blok Sadelan (Tabel 4).

Tabel 2 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di savana Pringtali No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili KR

(%)

FR (%)

INP (%)

1. Krayutan/kariya Mikania micrantha Asteraceae 2.55 10.63 13.19

2. Sintru Clitoria ternatea. Leguminosae 15.91 14.89 30.80

3. Kerinyu Chromolaena odorata Asteraceae 6.48 14.89 21.37

4. Telean Lantana camara Verbenaceae 32.40 14.89 47.29

5. Babadotan Ageratum conyzoides. Compositae 2.16 4.25 6.41

6. Kawatan Cynodon dactylon Poaceae 8.44 12.76 21.21

7. Paitan Paspalum conjugatum

Berg

Poaceae 25.75 14.89 40.64

8. Sidagori Sida glabra Malvaceae 1.96 8.51 10.47

9. Pulutan Urena lobata Malvaceae 0.78 4.25 5.04

Jumlah 200

Sumber : Inayah ( 2011).

Padang pengembalaan Pringtali merupakan salah satu habitat buatan yang sengaja dibuat oleh pihak TNMB dengan sebagai bentuk pengelolaan satwa banteng sebagai tempat makan dan istirahat di resort Bandealit. Luasan padang pengembalaan Pringtali adalah 6 ha dengan ditumbuhi oleh tumbuhan bawah, adapun 9 jenis tumbuhan bawah yang terdapat di FG Pringtali tumbuhan bawah yang dominan tumbuh di pringtali ini adalah telean (Lantana camara) dengan INP 47.29% dan disusul dengan paitan (Paspalum conjugatum) dengan INP 40.64%. Kenyataannya habitat buatan ini tidak terawat sehingga sangat jarang didatangi banteng selain itu karena pada FG Pringtali ini dominan ditumbuhi oleh telean yang merupakan tumbuhan yang kurang disukai banteng sebagai sumber pakannya sehingga FG ini jarang digunakan oleh banteng.


(44)

Tabel 3 Hasil analisi vegetasi tumbuhan bawah di savana Sumbersari No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili KR

(%)

FR (%)

INP (%)

1. Kerayutan Mikania micrantha Asteraceae 8.83 12.12 20.95

2. Telean Lantana camara. Verbenaceae 30.48 15.15 45.64

3. Plumpung Panicium respens Poaceae 28.22 15.15 43.37

4. Sintru Clitoria ternatea. Leguminosae 10.84 15.15 25.99

5. Kacang – kacangan

Desmodium puchellum

Fabaceae 1.20 3.03 4.23

6. Lagetan Spilanthes acmelia Asteraceae 3.21 6.06 9.27

7. Kemukus Piper cubeba Piperaceae 0.80 3.03 3.83

8. Paitan Paspalum

conjugatum

Poaceae 6.82 9.09 15.91

9. Rumput gambir - - 5.62 9.09 14.71

10. Rumput teki Cyperus rotundus. Cyperaceae 1.20 3.03 4.23

11. Rumput kawat Cynodon dactylon Poaceae 2.00 6.06 8.06

12. Putri malu Mimosa pudica 0.80 3.03 3.83

Jumlah 200

Sumber : Inayah ( 2011).

Padang penggembalaan Sumbersari terletak di Resort Sukamade SPTN I mempunyai luas 10 ha yang juga merupakan habitat buatan yang sengaja dibuat oleh pihak TNMB untuk pengelolaan satwa banteng. Menurut pihak TNMB awal dibuat FG ini dengan membabat tumbuhan dan pepohonan agar diharapkan nantinya akan tumbuh tumbuhan bawah sehingga bisa digunakan sebagai sumber pakan banteng.

Sumbersari dipilih sebagai salah satu padang pengembalaan di TNMB karena letaknya yang dahulu merupakan habitat banteng dan terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun yaitu sungai Sumbersari. Keadaan padang pengembalaan Sumbersari sekarang tidak terawat dan banyak ditumbuhi bambu.

Dari hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah dengan luasan plot 1 x 1 m didapatkan 12 jenis tumbuhan bawah dengan didominasi telean (Lantana camara)dengan INP 45,64% dan plumpung (Panicium respens) dengan INP 43,37%. Dua tumbuhan bawah yang tumbuh di FG Sumbersari ini tidak disukai banteng sehingga banteng lebih memilih mencari makan di dalam kebun.

Tabel 4 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di blok Sadelan No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili KR

(%)

FR (%)

INP (%)

1. Paitan Paspalum

conjugatum Berg

Poaceae

65.59 29.41 95.00

2. Jirek - - 0.53 5.88 6.41

3. Beru - - 1.07 5.88 6.95

4. Arbei Morus alba Moraceae

17.20 23.52 40.73

5. Jagiran - - 9.67 11.76 21.44


(45)

7. Srau Dracontomelon mangiferum

Anacardiaceae

2.68 11.76 14.45

Jumlah 200

Blok Sadelan merupakan salah satu daerah di Gunung Betiri yang memiliki keunikan yaitu sering didatangi oleh banteng untuk makan dan sebagai lintasan, hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya jejak dan bekas rengutan pakan banteng. Blok Sadelan mempunyai luasan 5 ha dengan ketinggian 1.019 m dpl dengan tipe hujan tropis dataran rendah. Adapun hasil analisis vegetasi tumbuhan bawahnya ditemukan 7 jenis dengan paitan (Paspalum conjugatum) sebagai tumbuhan dominan dengan INP 95 % dan arbei (Morus alba ). Tumbuhan paitan dan arbei ini termasuk pakan yang disukai banteng, hal ini dibuktikan dengan banyaknya bekas rengutan yang ditemukan yang ditemukan di Blok Sadelan ini.

Hasil kegiatan pengamatan pakan berdasarkan hasil renggutan, pengamatan langsung, wawancara dengan masyarakat dan petugas diperoleh jenis-jenis tumbuhan yang dimakan oleh banteng di TNMB mencapai 22 jenis dari tingkat tumbuhan bawah sampai pohon. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 5. Dapat dilihat bahwa banteng tidak hanya makan jenis-jenis tumbuhan bawah namun juga jenis-jenis yang dapat menjadi pohon ataupun bambu.

Tabel 5 Jenis-jenis pakan banteng yang terdapat di TNMB

No Nama lokal Famili Nama ilmiah

1. Kerayutan Asteraceae Mikania micrantha

2. Plumpung Poaceae Panicium respens

3. Kacang-kacangan Fabaceae Desmodium puchellum

4. Lagetan Asteraceae Spilanthes acmelia

5. Paitan Poaceae Paspalum conjugatum

6. Rumput kawat Poaceae Cynodon dactylon

7. Coklat Sterculiaceae Theobrroma cacao

8. Kirinyuh Asteraceae Chromolaena odorata

9. Babadotan Compositae Ageratum conyzoides.

10. Bambu wuluh Poaceae Schizoschyum blumea

11. Jerukan Annonaceae Polyalthia ruphii

12. Ketangi/bungur Lythraceae Lagerstromia speciosa

13. Ringin Moraceae Ficus benjamina

14. Jenti Fabaceae Sesbania sesban

15. Rambusa Passifloraceae Passiflora foetida

16. Waru Malvaceae Hibiscus tiliaceus

17. Kinura/sembung

sukmo Compositae Gynura procumbens

18. Rampelasan Lauraceae Litsea amara

19. Puka/takokak Solnaceae Solanum torfum

20. Lameta Poaceae Leersia hexandra

21. Bayur Sterculiaceae Pterospermum javanicum


(46)

Sumber : Inayah (20101).

Banteng tidak makan hanya rumput saja tetapi bisa juga makan daun muda oleh karena itu banteng di TNMB tidak hanya grazer yaitu pemakan rumput dan semak tetapi juga lebih banyak browser pemakan daun dan pucuk muda. Pakan banteng seperti pada Tabel 4 banyak ditemui pada areal kebun sehingga membuat banteng lebih senang mencari makan di kebun dibanding di padang penggembalaan yang sengaja dibuat oleh pihak Taman Nasional untuk tempat sumber pakan banteng.

5.2 Populasi Banteng 5.2.1 Ukuran populasi

Pengamatan yang dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri meliputi Resort Sukamade, Resort Bandealit dan Resort Baban Adapun teknis pengamatan menggunakan metode concentration count yaitu pengamatan dilakukan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai tempat adanya banteng dengan peluang perjumpaan banteng tinggi, misalnya pada tempat tersedianya pakan dan air untuk banteng.

Resort Sukamade dan Resort Bandealit saja yang ditemukan banteng secara langsung berdasarkan hasil pengamatan. Pada Resort Baban hanya ditemukan jejak dan bekas rengutan pakan banteng. Dari hasil pengamatan menggunakan Concentration count yang diperoleh dugaan populasi minimum pada Resort Sukamade adalah 9 individu dan Resort Bandealit 69 individu dengan asumsi tidak terjadi pertukaran populasi antar titik konsentrasi. Perhitungan yang dilakukan Taman Nasional pada 2009 pada Resort Bandealit adalah sebanyak 66 individu sedangkan pada Resort Sukamade adalah 4 individu.

Bandealit merupakan tempat yang ideal bagi populasi banteng, hal ini dibuktikan dengan perjumpaan paling banyak selama pengamatan berlangsung. Kelompok kelompok yang berada pada satu blok sesekali terlihat merumput bersama pada satu waktu. Pada kegiatan merumput bersama tersebut tidak ditemukannya permusuhan atau perkelahian antar individu banteng yang berbeda kelompok.

22. Arbei Moraceae Morus alba

Tabel 5 (Lanjutan)


(47)

Jumlah populasi banteng yang ditemukan di Sukamade tidak sebanyak yang ditemukan di Bandealit karena luas area dan penyebaran banteng yang jauh sehingga selama pengamatan berlangsung hanya ditemukan satu kelompok saja padahal dari informasi di lapang populasi banteng di Sukamade ini tergolong banyak.

Gambar 6 Kelompok banteng di Bandealit.

Lokasi yang tidak ditemukan banteng secara langsung adalah Blok Sadelan tepatnya di dekat gunung Betiri. Lokasi sadelan ini ditemukan banyak jejak baru dan rengutan makanan banteng. Diduga terdapat satu kelompok yang berada di lokasi tersebut.

5.2.2 Struktur populasi

Banteng di TNMB biasanya hidup berkelompok dan soliter. Kelompok banteng berjumlah antara 4-14 ekor terdiri dari betina, jantan dan anak. Banteng soliter ini adalah banteng yang kalah berkelahi dengan banteng lainnya untuk memperoleh kekuasaan.

Ukuran kelompok banteng merupakan strategi pertahanan dari faktor makanan dan faktor gangguan. Menurut Hoogerwerf (1970) dalam Alikodra (1983) pada kondisi yang tidak terganggu banteng akan menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas makan di daerah terbuka dengan membentuk kelompok (lebih dari satu). Pada kondisi terganggu banteng akan lari dan bersembunyi. Kecepatan lari banteng di daerah terbuka lebih cepat dan mudah membelokkan


(48)

tubuhnya ke daerah yang rapat dan aman. Untuk itu, banteng membentuk ukuran kelompok yang lebih kecil pada daerah yang rapat sebagai strategi pertahanan diri dari pemangsa.

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 7 Kelas umur banteng. Keterangan: (a) jantan dewasa; (b) betina dewasa; (c) jantan muda; (d) betina muda; (e) anak.

Kolompok banteng terdiri dari betina sebagai ketua kelompok lalu oleh jantan dan anak seperti pada Gambar 8. Jantan dan betina dibedakan dengan warna tubuhnya, dimana banteng betina berwarna coklat dan banteng jantan berwarna hitam. Banteng yang masih anak tidak bisa dibedakan jenis kelaminnya berdasarkan warnanya, karena anak banteng jantan maupun betina berwarna


(1)

No Nama jenis K KR (%) F FR (%) D DR(%) INP (%)

7. Tutup 25 14.28571429 0.666667 12.50000078 3.025083 8.266524 35.05224

8. Nongkoan 8.333333 4.761904762 0.333333 6.250000391 0.690358 1.886515 12.89842

9. Labayan 8.333333 4.761904762 0.333333 6.250000391 0.802817 2.193825 13.20573

10 Kayu pacar 8.333333 4.761904762 0.333333 6.250000391 2.707275 7.398062 18.40997

11. Jirek 16.66667 9.523809524 0.333333 6.250000391 1.571725 4.29499 20.0688

12. Bayur 16.66667 9.523809524 0.333333 6.250000391 12.90473 35.26423 51.03804

13. Sabunan 8.333333 4.761904762 0.333333 6.250000391 0.663483 1.813074 12.82498

Jumlah 175 5.333333 36.59438 300

Lampiran 10 Perilaku makan banteng

No Tanggal Waktu mulai (WIB) Waktu berakhir (WIB) Kelas umur Tempat

1. 08-07-10 16.35 16.45 J, B Muara Sukamade

2. 11-07-10 23.50 24.00 J, B, A Blok 90an coklat

3. 08-08-10 07.00 07.30 J, B, A Blok Banyu Putih

4. 09-08-10 19.00 19.30 J Kedung Watu

5. 10-08-10 05.05 05.29 J, B, A Blok Banyu Putih

6. 10-08-10 06.40 06.50 J, B, A Blok Banyu Putih

7. 10-08-10 06.50 07.00 J, B, A Hutan samping Blok Banyu Putih

8. 10-08-10 23.15 23.35 J, B Blok Banyu Putih

9. 11-08-10 05.30 05.40 J, B, A Hutan samping Blok Kedung Watu

10. 11-08-10 23.45 00.05 J, B, A Blok Banyu Putih

11. 12-08-10 10.35 10.45 J Hutan Pantai

12. 13-08-10 16.30 17.00 J, B, A Ladang dekat Pringtali

13. 15-08-10 05.15 05.25 J, B, A Blok Balsa

14. 17-08-10 05.35 05.45 J, B, A Blok Kedungwatu

15. 17-08-10 16.30 17.00 J, B, A Ladang dekat Pringtali

16. 18-08-10 10.15 10.20 J Hutan Pantai

Keterangan: J = Jantan; B = Betina; A = Anak

4. Pohon (Lanjutan )


(2)

Lampiran 11 Perilaku minum banteng

No Tanggal Waktu mulai (WIB) Waktu berakhir (WIB) Kelas umur Tempat

1. 10-08-10 05.05 05.29 J, B, A Sungai Banyu Putih

2. 11-08-10 05.30 05.40 J, B, A Sungai Kedung Watu

3. 12-08-10 05.00 05.15 J, B, A Sungai Banyu Putih

4. 13-08-10 04.50 05.10 J, B, A Sungai Kedungwatu

5. 15-08-10 05.15 05.25 J, B, A Sungai Kedungwatu

6. 17-08-10 05.35 05.45 J, B, A Sungai Kedungwatu

7. 18-08-10 05.00 05.10 J, B, A Sungai Kedungwatu

Keterangan: J = Jantan; B = Betina; A = Anak

Lampiran 12 Perilaku istirahat

No Tanggal Waktu mulai (WIB)

Waktu berakhir

(WIB) Kelas umur Tempat Keterangan

1. 08-08-10 07.00 07.30 J, B Blok Banyu Putih Berbaring

2. 10-08-10 06.40 06.50 J, A Blok Banyu Putih Berbaring

3. 10-08-10 06.50 07.00 B Hutan samping Blok Banyu

Putih Berbaring

4. 11-08-10 05.30 05.40 J, B Hutan samping Blok Kedung

Watu Berbaring

5. 13-08-10 16.30 17.00 A Ladang dekat Pringtali Berbaring

6. 17-08-10 16.30 17.00 A Ladang dekat Pringtali Berbaring


(3)

Lampiran 13 Perilaku merawat tubuh

No Tanggal Waktu mulai Waktu berakhir Kelas umur Tempat Keterangan

1. 10 Agustus 2010 07.00 07.20 Jantan dewasa Blok Banyu Putih Menanduk pohon

2. 11 Agustus 2010 05.30 05.40 Jantan dewasa, betina

dewasa Blok banyu putih Mengibaskan ekor

3. 12 Agustus 2010 10.35 10.40 Jantan dewasa Hutan panati Mengibaskan ekor

4. 13 Agustus 2010 16.20 16.30 Betina remaja, Ladang dekat Pringtali Mengibaskan ekor

5. 15 Agustus 2010 05.15 05.25 Jantan dewasa Blok Balsa Mengibaskan ekor

6. 17 Agustus 2010 16.30 16.40 Jantan dewasa Ladang dekat Pringtali Mengibaskan ekor dan

menggaruk badan

Lampiran 14 perilaku kawin

No Tanggal Waktu mulai (WIB) Waktu berakhir (WIB) Tempat Keterangan

1. 13-08-10 16.30 17.00 Ladang dekat Pringtali Banteng jantan dewasa mulai dengan

menjilati pantat betina

2. 15-08-10 05.15 05.25 Blok Balsa Banteng jantan mendekati banteng betina

dan lebih agresif

3. 17-08-10 16.30 17.00 Ladang dekat Pringtali Banteng jantan dewasa mulai dengan

menjilati


(4)

Lampiran 15 Perilaku bermain

No Tanggal Waktu mulai (WIB) Waktu berakhir (WIB) Tempat Keterangan

1. 08-08-10 07.00 07.30 Blok Banyu Putih Meloncat-loncat disekitar kelompok

2. 10-08-10 05.05 05.29 Blok Banyu Putih Meloncat-loncat disekitar kelompok

3. 10-08-10 06.40 06.50 Blok Banyu Putih Meloncat-loncat dan menanduk ke

banteng lain

4. 10-08-10 06.50 07.00 Hutan samping Blok Banyu Putih Berlari larian dan loncat-loncatan

5. 11-08-10 05.30 05.40 Hutan samping Blok Kedung Watu Menanduk ke banteng lainnya

6. 13-08-10 16.30 17.00 Ladang dekat Pringtali Menanduk ke banteng lainnya dan

lari-lari

7. 15-08-10 05.15 05.25 Blok Balsa Lari-lari dan loncat-loncat

8. 17-08-10 05.35 05.45 Blok Kedungwatu Loncat-loncat

9. 17-08-10 16.30 17.00 Ladang dekat Pringtali Meloncat-loncat disekitar kelompok

Lampiran 16 Perilaku mengasuh anak

No Tangga Waktu mulai (WIB) Waktu berakhir (WIB) Tempat Keterangan

1. 08-08-10 07.00 07.30 Blok Banyu Putih Mengeluarkan kuakan

2. 10-08-10 05.05 05.29 Blok Banyu Putih Mengeluarkan kuakan

3. 10-08-10 06.40 06.50 Blok Banyu Putih Mengeluarkan kuakan

4. 10-08-10 06.50 07.00 Hutan samping Blok Banyu Putih Mengeluarkan kuakan

5. 11-08-10 05.30 05.40 Hutan samping Blok Kedung Watu Menyusui anak dan menjilati tubuh anak

6. 13-08-10 16.30 17.00 Ladang dekat Pringtali Mengeluarkan kuakan

7 15-08-10 05.15 05.25 Blok Balsa Mengeluarkan kuakan

8. 17-08-10 05.35 05.45 Blok Kedungwatu Menjilat tubuh anak


(5)

Lampiran 17 Perilaku agonestik

No Tanggal Waktu mulai Waktu berakhir Kelas umur Tempat Keterangan

1. 28 Juni 1010 23.40 00.40 Jantan dewasa Kebun Sukamade 1 banteng yang kalah mati

2. 10 Agustus 2010 07.00 07.20 Jantan dewasa Blok Banyu Putih Hanya saling menanduk

3. 13 Agustus 2010 16.20 16.30 Jantan dewasa Ladang dekat Pringtali Saling menanduk

4. 15 Agustus 2010 05.15 05.25 Jantan dewasa Blok Balsa Saling mendengus

5. 17 Agustus 2010 16.30 16.40 Jantan dewasa Ladang dekat Pringtali Jantan dominan mengusir

jantan lainnya

Lampiran 18 Perjumpaan banteng

No Tanggal Tempat Waktu (WIB) Jantan Betina Anakan Total

1. 08-07-10 Muara Sukamade 16.35 - 5 1 6

2. 11-07-10 Blok 90an coklat 23.50 2 3 1 5

3. 08-08-10 Banyu Putih 07.00 10 12 5 27

4. 9-08-10 Kedung Watu 19.00 1 - - 1

5. 10-08-10 Banyu Putih 05.05 8 7 6 21

6. 10-08-10 Banyu Putih 06.40 3 4 - 7

7. 10-08-10 Banyu Putih 23.15 1 - - 1

8. 11-08-10 Banyu Putih 05.30 3 3 2 8

9. 11-08-10 Banyu Putih 23.45 3 3 2 8

10. 12-08-10 Hutan Pantai 10.35 1 - - 1

11. 13-08-10 Ladang dekat Pringtali 16.30 4 5 3 12

12. 13-08-10 Ladang dekat Printali 16.45 2 3 1 6

13. 15-08-10 Blok Balsa 05.15 5 6 5 14

14. 17-08-10 Kedung Watu 05.00 - 1 - 1

15. 17-08-10 Kedung Watu 05.35 2 3 2 7

16. 17-08-10 Ladang dekat Pringtali 16.30 6 11 4 21

17. 18-08-10 Hutan Pantai 10.15 1 - - 1


(6)

Lampiran 19 Penghitungan ukuran populasi di lokasi penelitian

No Tempat Ulangan Jumlah (N)

1 Blok 90‟an cokelat 1 5

2 Muara Sukamade 1 6

3 Blok Banyu Putih 1 27

2 21

3 7

4 1

5 8

6 8

4 Ladang dekat Pringtali 1 12

2 6

3 21

5 Blok Balsa 1 14

6 Blok Kedung Watu 1 1

2 1