Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk sejak awal berdirinya. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas baik berupa bahasa, adat istiadat, bentuk fisik, agama, dan lain-lain. Setiap suku bangsa yang mempunyai cara hidup dan budaya yang berlaku dalam masyarakat suku bangsa masing-masing, sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainya. Perbedaan yang ada diantara kebudayaan suku bangsa di Indonesia pada hakekatnya adalah perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. 1 Perbedaan tersebut ada dan dapat kita saksikan sekaligus dalam kehidupan masyarakat kota. Beragamnya kebudayaan yang bertumpuk di kota karena keadaan masyarakat kota yang relatif heterogen dibanding dengan masyarakat pedesaan yang secara umum bersifat homogen. 2 Suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat perkotaan yang sejak puluhan tahun yang lalu adalah semakin membengkaknya laju migrasi ke kota. Hal ini erat hubunganya Heterogenitas sebuah kota adalah hal yang lazim terjadi pada setiap kota-kota di dunia. 1 Weinata Sairin Ed., Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-Butir Pemikiran , Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2006. Hal. 55. 2 Penduduk kota terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, kota menjadi tempat pertemuan dari berbagai kultur masyarakat karena perannya yang sentral sebagai pusat ekonomi suatu wilayah. Semakin maju sebuah kota maka akan semakin beragam kultur dan ras di dalamnya. Beny Octofryana Marpaung, Dkk., Fenomena Terbentuknya Kampung Kota Oleh Masyarakat Pendatang Spontan , Medan: Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hal. 12-15. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan persepsi yang muncul di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa kota adalah tempat yang menjanjikan untuk kehidupan lebih baik dan kota adalah pusat dari segala kemajuan, sehingga kota menjadi tumpuan bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan. Medan sebagai kota besar di Indonesia yang juga menjadi kota tujuan para perantau dari berbagai daerah. Peran Kota Medan sebagai kota tujuan migrasi menyebabkan komposisi penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, para migrant masuk bersamaan dengan pola budaya yang dibawanya masing-masing dari daerah asalnya. Keanekaan pola budaya inilah yang menjadikan Medan sebagai kota yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk. 3 Perkembangan industri perkebunan Sumatera Timur khususnya Medan sejak awal 1880-an menjadi daya tarik bagi para pendatang Migrant untuk mengubah kehidupan ekonomi yang lebih baik. 4 Migrasi para migrant dengan berbagai latar belakang selain menerima pengaruh dari daerah lain dan juga menerima bentuk modernisasi kehidupan Kota Medan. Para migrant tersebut berusaha mempertahankan adat-istiadatnya sebagai sesuatu yang vital dalam gelombang urbanisasi, 5 sehingga Kota Medan kalau dilihat dari fakta sosialnya tidak satu kelompok suku bangsapun yang merupakan kelompok mayoritas dalam jumlah, ataupun menduduki posisi dominan yang dapat berfungsi sebagai wadah pembauran atau malting poin. 6 3 Ibid 4 Najif Chatib, Para Pendatang Di Kota-Kota Sumatera Timur, Medan: Fakultas Sastra USU, 1955, hal. 4-8. 5 Harry Waluyo Ed., Perkawinan adat Batak di Kota Besar, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, hal. 23. 6 Edward M Bruner, Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Terj. T.O. Ihroni, Gramedia Jakarta, 1980, hal. 169. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Diantara migrant yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya adalah suku bangsa Batak Toba. Migrasi Batak Toba terbesar terjadi pada tahun 1930 dan diawal kemerdekaan Indonesia 1950. 7 Namun migrasi Batak Toba ke Sumatera Timur telah berlangsung jauh sebelum abad ke XIX. 8 Ugamo Malim merupakan salah satu aliran kepercayaan yang dianut oleh suku bangsa Batak Toba. Penyebarannya berasal dari Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Desa Huta Tinggi Kecamatan Laguboti, saat ini dipimpin oleh Ihutan Raja Marnangkok Naipospos. Dasar kepercayaan Ugamo Malim yaitu melakukan titah-titah yang dipercayai berasal dari Debata Mulajadi Nabolon Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta manusia, langit dan bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba. Orang Batak Toba bermingrasi ke Sumatera Timur baik secara berkelompok maupun perorangan, mereka membawa turut serta kebudayaannya ke tempat yang dituju. Sebagian dari suku bangsa Batak Toba itu sendiri masih menganut agama suku yang disebut Ugamo Malim atau Parmalim. Parmalim sebenarnya adalah suatu identitas pribadi sementara kelembagaanya disebut dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim”sebagai identitas lembaganya. 9 Dalam Buku Sitor Situmorang, masuknya agama Kristen dan kolonialisasi Belanda di akhir abad ke-19 menjadi ancaman bagi keberlangsungan kerajaan yang dipimpin oleh 7 Migrasi awal ini adalah lebih dikarenakan arus perdagangan, pada priode ini orang Batak toba yang disebut Batak Pardembanan, yaitu orang Batak yang berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Sumatera Timur, Orang Batak memelayukan dirinya dengan masuk agama Islam syarat menjalankan budaya Melayu. Lihat Johan Hasselgren, Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba Di Medan 1912-1965, Medan: Bina Media Perintis, 2008, hal. 143, 387-389. 8 Migrasi Batak dalam periode ini berlangsung secara estapet, migrasi periode ini lebih karena paksaan dengan perbudakan Hatoban dan Taban-taban dalam istilah Batak Toba. Lihat W.B. Sijabat, Ahu Sisingamangaraja . Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hal. 87-92. 9 Ibrahim Gulton, Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hal. 124-166. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sisingamangaraja XII. 10 Tekanan Kolonial Belanda menciptakan Perang Batak sejak tahun1976-1907 antara Orang Batak menentang Kolonial Belanda, dibawah pimpinan Sisingamangaraja XII. 11 Gerakan Parmalim di pelopori oleh Guru Somalaing Pardede, inti gerakannya adalah menolak kolonialis Belanda dan kristenisasi di Tapanuli Utara. Kerasnya cengkraman kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak mengakibatkan muncul gerakan mesianis Parmalim yang berpusat pada Sisingamangaraja XII. 12 Gerakan mesianis ini menyebabkan Parmalim dilarang di Tapanuli sejak tahun 1918. 13 10 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, 2004. hal. 380 dan 411. 11 Op cit , Dalam tahap awal perkembangan pekabaran Injil oleh Zending di Tapanuli tidak mengalami gangguan yang berarti berkat diplomasi yang dilakukan oleh I.L. Nomensen, bahkan Nomensen menjalin komunikasi yang baik dengan Bakkara sejak Sisingamangaraja XI. Komunikasi ini berlanjut sampai pada Sisingamangaraja XII sebelum Belanda campur tangan dan memperluas kekuasaanya ke daerah Barus, Dairi dan Silindung yang merupakan daerah Bius Kerajaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja XII menentang penjajahan yang dilakukan Belanda, terlebih karena Ia telah mendengar pembantain terhadap orang-orang Aceh, gerakan Paderi di Padang dan Tapanuli Selatan. Penjajahan Belanda selalu disertai dengan kerja rodi-belasting kerja rodi-pajak yang sangat ditentang oleh Sisingamangaraja XII. Dengan menyatakan perang Pulas terhadap Belanda Sibottar Mata tahun 1876. Serangan terhadap Belanda pecah di Bahal Batu sekarang daerah Sipoholon, Tarutung tanggal 17 Februari 1878 dan berakhir 30 tahun kemudian di Pearaja tanggal 17 Juni 1907 dengan gugurnya Sisingamangaraja XII dan pasukannya beserta ketiga anaknya. W.B. Sijabat, 1982, hal. 158-150, 286-304. 12 Mohammad Said menggambarkan gerakan Parmalim dengan Imam Mahdi yaitu keyakinan akan kembalinya Sisingamangaraja memerintah tanah Batak, sedangkan Hirosue mengambarkan Parmalim dengan Analisis Mileniarisme Michael Adas, Lihat Mohammad Said 1974 dan Masashi Hirosue 2005. 13 Op Cit. Sitor Situmorang, 2004, hal. 439-446. Gerakan Parmalim yang berkembang pada masa 1907-1942 sebanyak empat mazhab namun yang bertahan dan tetap berkelanjutan adalah Parmalim dari sekte Nasiakbagi. Sekte Nasiakbagi kemudian di pimpin oleh Raja Mulia Naipospos dari Bius Laguboti. Ugamo Malim yang dipimpin oleh Raja Mulia Naipospos lebih memfokuskan aktivitasnya pada pengembangan Ugamo Malim, Parmalim tampil sebagai agama murni yang secara damai menyebarkan ajaran Ugamo Malim sehingga mendapat persetujuan dari Residen Tapanuli Controleur van Toba tahun 1921. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dalam konteks Indonesia Merdeka Parmalim tidak diakui sebagai sebuah agama, Parmalim di kelompokkan ke dalam aliran Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Pepres No.1PNPS1965 junto Undang-undang No.51969. Pepres No.51969 hanya mengakui lima agama resmi yang banyak dianut bangsa Indonesia tetapi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di beri ruang untuk berkembang. Perubahan rezim tidak semerta-merta merubah cara pandang pemerintah terhadap Parmalim , bahkan pemerintah melalui Tap MPR Nomor IVMPR1978, nomor IIMPR1983 dan Nomor IIMPR1988 berusaha mengekang Parmalim sesuai dengan tujuan di bentuknya Tap MPR Nomor IVMPR1978 dimana ayat berbunyi sebagai berikut; “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Turunan kebijakan dari Pepres No.1PNPS1965 dan Tap MPR Nomor IVMPR1978, memiliki dampak yang merugikan warga Parmalim dalam kehidupan bernegara. Parmalim tidak dapat mencantumkan agamanya pada Kartu Tanda Penduduk KTP, kolom agama di kosongkan atau di beritanda “ - “. Status agama dalam KTP tersebut sering di artikan oleh orang lain di luar Parmalim sebagai kelompok atheis atau komunis. Kebijakan ini sangat diskriminatif bagi penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa yakni Parmalim, terutama bagi Parmalim yang merantau keluar Tapanuli seperti ke Kota Medan. Parmalim banyak yang mengosongkan kolom agama atau memilih salah satu agama resmi. Akibatnya Parmalim mengalami hambatan dalam melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan terutama bagi mereka yang ingin merantau baik sebagai pegawai UNIVERSITAS SUMATERA UTARA swasta maupun pegawai negeri sipil serta hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. 14 Berdasarkan pemikiran di atas, penulis akan mengkaji mengenai perkembangan Parmalim pada masyarakat Batak di Kota Medan dengan judul “Parmalim di Kota Medan 1963-2006”. Adapun alasan pemilihan judul tersebut dalam penelitian ini adalah ingin memaparkan migrasi dan perkembangan Parmalim serta bagaimana startegi Parmalim untuk menghadapi diskriminasi struktural dan stigma di tengah kalangan masyarakat Kota Medan.. Kota Medan merupakan kota yang heterogen dimana dihuni oleh penduduk dengan suku- suku dan kepercayaan mayoritas seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buhda dan Konghucu. Kondisi ini tentu berbeda dengan tempat asal mereka di Tapanuli yang mayoritas Batak dan beragama Kristen tetapi memiliki adat dan kebiasaan yang sama dengan Parmalim . Selain diskriminasi dalam administrasi kependudukan Parmalim dalam kehidupan sehari-hari masih dianggap sebagai penganut “sipelebegu” oleh kelompok tertentu. Kurangnya keseriusan pemerintah untuk membina aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam sosialisasi aliran kepercayaan di tengah-tengah masyarakat menyebabkan hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang mengetahui keberadaan Parmalim. 15 Penulis membuat batasan waktu pada tahun 1963-2000 dalam penelitian ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Rinsan Simajuntak, Punguan Parmalim Kota Medan di rintis sejak tahun 1963 dengan Ulu punguan pertama Bapak Marnaek Butar-butar. Selain itu juga terbentuknya Punguan Kota Medan menjadi wadah bagi migrant Parmalim yang tinggal di Kota Medan baik sebagai pekerja atau karena melanjutkan 14 Wawancara dengan Bapak Rinsan Simajuntak, 6 Juni 2012. 15 Elvi T. Simarmata, Parmalim di Kecamatan Porsea 1956-1981, Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2003, hal. 58-63. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pendidikan tinggi. Keberadaan Punguan Parmalim Kota Medan juga sangat penting perannya untuk mempertahankan keberlangsungan Ugamo Malim di kalangan Parmalim di Kota Medan. Perantau Parmalim yang datang ke Kota Medan sebelum adanya punguan ini banyak yang beralih kepada kepercayaan lain dan meninggalkan agama Ibu-nya baik karena pernikahan atau karena keinginan sendiri. Studi ini diakhiri pada tahun 2006 karena sepanjang tahun 1995-2006 telah dilakukan usaha-usaha pendirian Bale Parsattian nama tempat ibadah Parmalim sebagai tempat ibadah Parmalim, dimana sebelumnya ibadah hanya dilakukan dirumah salah satu jemaat. Pendirian Bale Parsattian Rumah Ibadah ini mengalami hambatan dari dalam Parmalim sehingga pembangunannya terhenti di tahun 2000. Ditahun 2005 usaha pendirian Bale Parsattian dimulai kembali namun mendapat penolakan dari pihak warga sekitar Bale Parsaktian dan permasalahan Izin Mendirikan Bangunan IMB dari Pemko Medan sehingga pembangunan terhenti kembali. Selain karena pembangunan bale parsattian munculnnya UU No 23 tahun 2006 tentang Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah diberikan kesempatan untuk dicatatkan sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberi pengakuan sebagai agama.

1.2 Rumusan Masalah